Anda di halaman 1dari 12

EPILEPSI PADA KEHAMILAN

Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone yang


bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua hal
tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan. Epilepsi pada kehamilan dapat
menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal yang dapat
terjadi, yaitu : bangkitan berulang (hipoksia), status epilepstikus, bangkitan saat
persalinan, hipertensi kehamilan, persaliunan preterm. Sedangkan komplikasi pada
fetal/neonatal yang bias terjadi adalah : keguguran (2 kali lebih sering dari normal),
kelainan congenital (2-3 kali lebih sering dari normal), hipoksia, kurangnya usia
kehamilan dan berat badan lahir, kelahiran premature , IQ rendah dan perilaku
abnormal.

TERATOGENITAS
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi congenital
mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat antiepilepsi
monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih tinggi pada ibu
menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi.
Oleh karena itu, direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang
merencanakan kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan dosis
1-5 mg perhari untuk mencegah defek neural tube.
Pemberian asam folat perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak yang
lahir dari perempuan menggunakan obat antiepilepsi. Beberapa obat antiepilepsi
generasi kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin,
leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.
TATALAKSANA SEBELUM KEHAMILAN
 Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE dalam
masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat pengguanaan
OAE terhadap kehamilan dan janin.
 Terapi OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila
memungkinkan periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran.)
 Bila memungkinkan diganti OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif
harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.
 Hindari penggunaan OAE politerapi.
 Apabila memungkinkan, hindari penggunaan valproat. Apabila harus
menggunakan valproat, berikan dosis terkecil (kurang dari 750mg) dan gunakan
bentuk lepas lambat.

Tatalaksana Saat Hamil


 Ibu diberikan informasi bahwa bagi yang mengalami bebas bangkitan minimal 9
bulan sebelum kehamilan, kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas
bangkitan selama kehamilannya. Demikian juga kemungkinan terjadinya
persalinan premature atau kontraksi prematur terutama pada perempuan yang
merokok.
 Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk
mengurangi resiko teratogenik.
 Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan utnuk dilakukan:
o Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16
kehamilan)
o Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)
o Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan
antikolinesterase dalam cairan amnion)
Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan
pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.
 Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.
Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu
dengan ketaatan minum obat)
 Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE
sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.
Persalinan Pada Penyandang Epilepsi
 Harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan
epilepsi dan untuk unit intensif untuk neonatus.
 Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam.
 Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan.
 Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan diazepam 10 mg
i.v atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus i.v diikuti dosis 8mg/kg/hari diberikan 2
kali/hari secara intravena atau oral.
 Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu
yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan.

Tata Laksana Setelah Persalinan


 Bila dosis OAE dinaikkan selama lehamilan, maka turunkan kembali secara
bertahap sampai dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar
OAE perlu dipantau sampai minggu ke-8 pasca persalinan.
 Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang
tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.
 Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh
disaat ibu mengalami kekambuhan.

EPILEPSI PADA MENYUSUI


 Semua OAE terdapat pada air susu ibu )ASI) walaupun dalam proporsi yang
berbeda-beda. Konsentrasi plasma OAE pada bayi tidak hanya ditentukan oleh
jumlah obat dalam ASI, namun juga fungsi hepar yang belum sepenuhnya
berkembang dan eliminasi obat yang lebih lambat.
 Levetiracetam kemungkinan ditransfer kedalam ASI dalam jumlah yang cukup
bermakna secar klinis. Valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin
kemungkinan tidak ditransfer ke dalam ASI dalam jumlah yang bermakna secara
klinis.
 Apabila bayi dari ibu yang menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka
dianjurkan untuk memberikan susu botol berseling dengan ASI.

EPILEPSI PADA ANAK


Anamnesis
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada anak
adalah sebagai berikut:
 lingkar kepala
 mencari tanda-tanda dismorfik
 kelainan kulit
 pemeriksaan jantung dan organ lain
 gangguan respirasi(hiperventilasi)
 evaluasi psikologis
 deficit neurologis
 pemeriksaan funduskopis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EEG4.5
2. Pencitraan : CT-scan, MRI,MR spektroskopis
3. Laboratorium: pemeriksaan metabolic, genetic dan lain-lainsesuai indikasi

BEBRAPA SINDROMA EPILEPSI PADA ANAK YANG SERING DITEMUKAN


SINDROMA OHTARA
Awitan pada hari pertama setelah lahir, sampai usia 3 bulan. Laki-laki le3bih banyak
dari pada perempuan dengan perbandingan 9:7.
 ETIOLOGI tersering adalah malformasi otak pada saat tumbuh kembang atau
adanya lesi diotak
 MANIFESTASI KLINIS bangkitan utama berupa spasme tonik, lama bangkitan
1-10 detik, frekuensi 10-300 kali dalam 24 jam, dapat juga disertai kejang
motorik parsial atau hemikonvulsi pada ½ sampai1/3 kasus.
 GAMBARAN EEG: brust suppression asimetris. Lamanya fase supresi 3-5
detik. Interval dari brust ke brust 5-10 detik.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN:
o Pencitraan untuk mencari cerebral dysgenesis,keruakaan otak atau atrofi otak
o Laboratorium : pemeriksaan kromosom, analisis generic, kelainn metbolik
berup hiperglikemia nonketotik, defisiensi cytochrome c.oxidase atau laktik
asidosis
TATALAKSANA
o Tidak ada terapi efektif.
o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat dysplasia serebri fokal.
 PROGNOSIS
o Morbiditas dan mortalitas tinggi. Lima puluh persen penyandang hidup
dengan gngguan psikomotor dan defisit neurogis berat.
o Sindrom ini dapat berlanjut menjadi sindroma west (75 %), dan
selanjutnya sindroma lennox gastaut(12%).
SINDROMA WEST
Awitan pad usia 4-6 bulan, jarang sebelum usia3 bulan atau setelah 12 bulan, laki-laki
lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 3:2 insiden 3-5/10.000
kelahiran hidup
 ETIOLOGI
o Idopatik
o Kriptogenik (10-40%)
o Simtomatis (70-80%):
 Prenatal: atrofi otak 50%, malformasi SSP seperti agenesis
corpus callosum, polimikrogilia, lissensefali, hemimegaensefali,
dysplasia kortikal fokal, schizencephaly dan termasuk sindroma
neurokutan seperti tuberous sclerosis complex (TSC), sturge-
Weber atau foetopathy, sindroma Down. Gangguan metaboliki
seperti penyakit Menkes, fenilketonuri atau gangguan
mitokondria seperti mutasi NARP.
 Perinatal: ensefalopati hipoksik-iskemik, hipoglikemia saat masa
perinatal atau komplikasi terjadinya hipotrofi fetal akibat
perdarahan intra uterin atau suatu toksemia, trauma, perdarahan
intracranial, infeksi.
 Postnatal: iskemia, trauma, infeksi dan tumor papiloma pleksus
Khoroid
 MANIFESTASI KLINIS
o Spasme infantile berupa gerakan aksial singkat dan mendadak lebih
sering fleksi disbanding ektensi ektremitas atau berupa campuran fleksi
ektremitas atas dengan ektensi ektremitas bawah, simetris/asimetris,
diikuti dengan teriakan. Dapat terbatas pada leher saja atau kontraksi
aksial diikuti spasme tonik selama 10 detik. Pada umumnya terjadi 20-40
kadang sampai 100 spasme dengan interval waktu antaranya 5-30 detik
 GAMBARAN EEG
o interiktal : hypsarrhythmia berupa gelombang tajam multifocal dengan
amplitudo tinggi dengan irama dasar tidak beraturan,simetris pada 2/3
kasus, asimetris pada 1/3 kasus.
o Iktal: pola elektro-dekrimental berupa gelombang lambat menyeluruh
dengan amplitudo tinggi, diikuti aktivitas amplitude rendah.
 PENCITRAAN
o CT scan kepala : hidraensefali, schizencephaly dan agenesis corpus
collusum
o MRI: disgenesis kortikal, gangguan migrasi neorun, gangguan
mielinasi.
 TATALAKSANA
o Belum ada terapi yang efektif
o ACTH dengan dosis 150 unit/m2/hari atau 20-40 unit/.m2/hari dapat
menurunkan kejang pada 60-80% kasus. Dosis diturunkan perlahan
dalam 4-8 minggu. Observasi kemungkinan efek samping berupa:
edema, perdarahan lambung, berat badan meningkat, hipertensi, iritasi
atau infeksi didaerah injeksi, lebih mudah sakit, dan kematian.
Bangkiatan dapat timbul kembali8 pada 1/3 kasus, tetapi kemungkinan
dapat berespons pada pemberian kembali ACTH atau menggunakan
dosis yang tinggi (dan kemudian perlahan diturunkan kembali).
o Valproate, Zonisamide, Vigabatrin, Topiramate dapat digunakan.
o Diet ketogenik
o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat lesi structural fokal.
 PROGNOSIS
o Sangat tergantung etiologi, kematian pada 50% kasus sebelum usia 10
tahun. Retardasi mental pada 80-90 % kasus, pada kriptogenik prognosis
lebih baik.
o
SINDROMA LENNOX GASTAUT
Awitan 1-7 tahun, puncak pada usia 1-5 tahun, laki-laki banding perempuan 20:14.
Insidensi 2,8/10.000 kelahiran hidup, 5-10% pada anak dengan epilepsi yang
intraktabel.
 Etiologi
o Cacat otak structural
o Gangguan metabolisme otak.
 Manifestasiklinis
o Mioklonik, lena atipikal, atonik, tonik dan tonik klonik atau status
epileptikus non-konvulsif (se-nk)
o Retardasi mental.
 Gambarabeeg
o Eeg interiktal :slow spike wave complex (sswc) menyeluruh dengan
irama dasar lambat.
o Eegiktal : bangkitan tonik, tampak aktivitas cepat> 10 hz; lena atipikal,
swc; mioklonik : polyspikes; atonik : seluruh aktivitas eeg menunjukkan
amplitude yang rendah (flattening of all eeg activity).
 Pencitraan: malformasikortikal, sturge weber, tumor lobus frontal, hamartoma
hipotalamus, hipoksik ensepalopati.
 Tatalaksana
o Asam valproate, klonazepam( untuk mioklonik), dan fenitoin
(untuktonik), lamotrigin, levetir asetam, zonisamid atau topiramat.
o Diet ketogenik
o Terapi operatif pada kasus reprakter bilater dapat lesi structural yang
jelas. Corpus collosumpada refractory drop attacks.
 Prognosis
o Kemungkinan besar bangkitan tidak dapat dikontrol dengan obat.
o Buruk bila sebelumnya terdapat sindroma-west, gangguan kognitif atau
neurologis.

EPILEPSI LENA PADA ANAK


Awitanusia 2-10 tahun, puncakusia 5-6 tahun, 60-70% adalah anak perempuan. 20.21
Etiologi; faktor genetic, eca1 dikaitkan dengan kromosom 8q24, eca2 oleh mutasi gen
gabrg2 pada band 5q311, eca2 oleh mutasi gen saluran ion klorida clcn2 pada band
3q26.
Kriteria diagnosis
1. Status perkembangan dan neurologii normal.
2. Bangkitan selama 4-20 detik dan sering, mendadak dan disertai dengan
gangguan kesadaran. Sering disertai dengan automatism.
3. Eegikat : spike danduble spike wavecomplex3hz, menyeluruh dengan
amplitude tinggi, kemudian melambat, berlangsung 4-20 detik.
Manifestasiklinis
1. Hanya gangguan kessadaran (10%)
2. Lena disertai dengan komponik klonik ringan, biasanya melibatkan mata (50%)
3. Lena dengan kelainan atonia menyebabkan kelemahan bertahap kepala dan
lengan (20%)
4. Lena dengan kelompok klonik (rotasi mata keatas)
5. Lena denagan komponen otomatisme (pasien tetap dengan apa yang dilakukan)
atau de novo berupa menggigit bibir atau menelan (60%)
6. Lena dengan komponen otonom (misalnya dilatasi pupil, flusing,takikardia).
Eeg
Eeg interiktal: irama dasar normal atau irama delta-areaposterior yang, sinusoidal,
dapat bersifat simetris atau sering asinetris pada oksipito parietal dan oksipital
(oirda).
Tatalaksana: monoterapi dengan sodium valproate, etosuksimid, atau lamotigrin.
Levetiracetam dan topiramat dapat digunakan. Pada kasus yang resisten, asam
valproate dapat ditambah dengan lamotigrin dalam dosis kecil.
Prognosis
o Baik
o Kurang dari 10% kasus berkembang menjadi spada usia 8-15 tahun atau
kadang-kadang 20-30 tahun.
o Dapat berkembang menjadi juvenile myoclonic epilepsy.

EPILEPSI MIOKLONIK PADA REMAJA


Awitan pada usia 5-166 tahun, prevalensi 88-10% diantara epilepsy pada dewasa dan
dewasa muda. Laki-laki sama dengan perempuan.
 Etiologi: penyebab pasti belum diketahui, berkaitan dengan kelainan
genetic.
 Manifestasiklinis
o Trias bangkitan sebagai berikut
1. Bangkitan mioklonik saat bangun tidur biasanya pada
ektremitas atas (proksimal atau distal) berupa elevasi bahu
dan ektensi siku dengan durasi singkat yang lebih dari satu
detik.
2. Bangkitan umum tonik klonik (gtcs), dicetuskan oleh sleep
deprivation dan saat dibangunkan dari tidur.
3. Bangkitan absanstipikal> 1/3 kasus dengan gangguan
kesadaran ringan.
o Bentuk serangan lain adalah: perioral reflex myoclonias (± 23 %)
danflash like oro-linguo-facial myoclonias. pada 30% pasien
ditemukan clinical photosensitifity, terutamapada wanita.
 Gambaraneeg:
o Iktal: polispike menyeluruh(10-16 hz) atau 4-6 hzswc, sinkron
bilateral predominan frontal, dengan durasi 0.5-2 detik, diikuti
perlambatan irregular.saat lena: 3hz swc.
o Interiktal; spike wave 4-6 hz,polispikedan 3 hzswcpada 20% kasus.
 Tatalaksan
o Asam valproate
o Levetiracetam
o Klonazepam baik sebagai terapi tambahan atau terapi tunggal
myoclonic jerks tanpa gtcs
o Fenobarbital efektif pada 60% pasien.
 Prognosis
o Prognosis baik, 80-90% terkontrol dengan obat
o Pasien yang mempunyai ketiga trias bangkitan resisten terhadap
pengobatan.

EPILEPSI BENIGNA DENGAN GELOMBANG PAKU DI DAERAH SENTROTEMPORAL


Awitan pada usia 3-13 tahun (puncak 9-10 tahun), laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan perbandingan 2:3.27,28
 Etiologi: berhubungan dengan genetic, kelainan kromosom 15q14.
o Manifestasiklinis: bangkitan tidak sering terjadi.
o Bangkitan hemifasial sensorimotor( 30% pasien). Bangkitan
motoric pada bibir bawah berupa klonik beberapa detik sampai
menit. Seringkali terjadi bangkitan tonik ipsilateral menyebabkan
deviasi mulut. Bangkitan hemifasial sensorik jarang terjadi,
berupa rasa kebas pada sudut mulut. Kesadaran biasanya intak.
Gejala sensori motor hemifasial kemungkinan terjadihanya saat
iktal, seringkali berhubungan dengan ketidak mampuan berbicara
dan hipersalivasi.
o Bangkitan oro-pharingo-laryngeal (opl), terjadi pada 53% kasus,
yang berdiri dari manifestasi sensori motor didaerah dalam mulut,
lidah, pipi, gusi, dan daerah pharingo-laryngeal. Gejala sensorik
berupa parestesi dan biasanya difus pada satu sisi. Gejala motoric
opl berupa gargling grunting.
o Gangguan bicara (40%). Anak mengalami gangguan artikulasi,
dan berusaha berkomunikasi melalui bahasa tubuh.
o Hipersalivasi.
Pada 75% pasien banagkitan terjadi saat tidur non-rapid eyes movement (nrem) baik
pada siang hari ataupun malam hari. Lama bangkitan hanya beberapa detik sampai 1-2
menit dapat lebih lama.30-60% dapat menjadi gtcs.
 Gambraneeg
o Eeg interiktal:
Irama dasar pada umumnya normal.
o Spike wave yang terletak disentro temporal (centrotemporal
wave/cts) atau area rolandic. Eegiktal : terdapat pengurangan
spontan cts sebelum iktal, pada daerah rolandic dan terdiri atas
gelombang lambat bercampur dengan aktivitas cepat dan
gelombang paku.
 Tatalaksana
o Oag tidak diperlukan pada sebagian anak oae yang dapat
diberikan adalah karbamazepin, lamotrigin, levetiracetam,
soldium valproate.
 Prognnosis: remisi lengkap tanpa deficit neurologis sebelum usia 15-16
tahun.
EPILEPSI PADA LANJUT USIA

Epilepsi pada lanjut usia (≥65 tahun) seringkali terlambat terdiagnosis karena
menyerupai gejala penyakit lain.1,2 Diagnosis epilepsi seringkali baru dipikirkan bila
disertai bangkitan tonik klonik umum (generalized tonic clonic seizure), padahal tidak
seperti epilepsi pada anak atau usia muda, bentuk bangkitan ini lebih jarang terjafi pada
lanjut usia.
Pemberian dan pemilihan obat antiepilepsi pada lanjut usia perlu lebih berhati-
hati, karena terjadi perubahan parameter farmakodinamik dan farmakokinetik, adanya
penyakit komorbid, kemungkinan gangguan metabolik, dan interaksi dengan obat lain
karena penderita lanjut usia seringkali mengkonsumsi banyak obat lain.
ETIOLOGI
Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia.8 Perdarahan
intraserebral merupakan penyebab tersering (15%) dan pada kelompok stroke yang
paling jarang adalah lakunan infark (2%).9 Insidensi timbulnya bangkitan epilepsi pada
demensia berkisar 2-16%.9 Trauma merupakan penyebab lain dari timbulnya epilepsi
pada lanjut usia, demikian pula penggunaan berbagai obat merupakan faktor penting
yang dapat memprovokasi timbulnya bangkitan epilepsi.
DIAGNOSIS
Pada umumnya sindrom epilepsi pada lanjut usia adalah epilepsi fokal, dengan
dan tanpa bangkitan umum sekunder.1,9 Gambaran klinis dapat menyerupai gejala
penyakit pembuluh darah otak (transient ischemic attack), demensia, atau kelainan
jantung.
Pada usia tua, fokus epileptik cenderung lebih sering terjadi pada lobus frontal
dan parietal, berbeda dengan gejala klinis yang berhubungan dengan epilepsi dengan
fokus di lobus temporal pada penderita epilepsi usia yang lebih muda, sehingga aura
dizziness dapat lebih sering muncul dibanding gejala khas epilepsi lobus temporal.
Padahal gejala dizziness juga sering timbul pada penyakit neurologi lain, penyakit
jantung maupun penyakit sistem organ lainnya.
Gejala bangkitan parsial kompleks seperti gangguan kesadaran, pandangan kosong, atau
tampak bingung pada epilepsi lanjut usia sering disalahartikan sebagai onset gejala
demensia atau penyakit lain. Acute confusional state atau gangguan mental yang
fluktuatif dapat merupakan manifestasi dari iktal, postiktal, ataupun merupakan
manifestasi dari status epileptikus non konvulsius yangs seringkali disangka sebagai
manifestasi dari gangguan psikiatrik.
MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi abnormalitas anatomi.
Perubahan yang berkaitan dengan lanjut usia dapat berkaitan dengan atrofi difus,
hiperintensitas periventrikuler akibat hipertensi dan aterosklerosis umum terjadi dan
sebaiknya tidak diinterpretasikan sebagai penyebab bangkitan.
EEG rutin dapat tidak sensitif atau spesifik untuk menegakkan diagnosis pada
lanjut usia, tidak terdapatnya abnormalitas epileptiform, tidak menyingkirkan epilepsi.
Jika diagnosis diragukan, pasien dapat dilakukan monitoring video EEG.
PENATALAKSANAAN
Pemilihan Obat Anti Epilepsi pada Lanjut Usia
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) yang direkomendasikan untuk epilepsi fokal
pada lanjut usia lanjut dapat dilihat pada daftar dibawah. Obat antiepilepsi spektrum
luas perlu dipertimbangkan pada epilepsi umum atau pada tipe campuran (fokal dan
umum).
Rekomendasi epilepsi parsial pada lanjut usia (ILAE 2013)
- Level A : Gabapentin, Lamotrigin
- Level B : tidak ada
- Level C : Carbamazepine
- Level D : Topiramat, Asam Valproat
- Level E : lain-lain
- Level F : tidak ada\
Pemberian dimulai dari dosis sangat rendah dan peningkatan dosis (titrasi)
dilakukan secara sangat perlahan (start very low and go very slow) merupakan prosedur
yang perlu diperhatikan dalam pemberian OAE pada lanjut usia. Setengah dosis dewasa
yang direkomendasikan sebagai dosis awal dan awitan seringkali dapat mengontrol
kejang.
Perbedaan farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pada lanjut usia terjadi berbagai perubahan fisiologis, seperti nafsu makan,
fungsi saluran cerna, dan fungsi hati yang dapat menyebabkan menurunnya kadar
albumin serum. Hal ini akan berdampak pada perubahan farmakokinetim yang
berhubungan dengan karakeristik ikatan dengan protein (protein binding).
Menurunnya kapasitas fungsi hati dan kemampuan filtrasi glomerulus ginjal
menurunkan clearance OAE pada lanjut usia. Hal tersebut mengakibatkan waktu
paruh akan jauh lebih panjang dibandingkan pada penderita usia muda. Interaksi
dengan berbagai macam obat non OAE juga mempengaruhi absorbsi, protein
binding, metabolisme hati, dan kemampuan filtrasi glomerulus. Perubahan
farmakokinetik tersebut akan mempermudah terjadinya toksisitas obat.

Perbedaan farmakodinamik pada lanjut usia berupa perubahan jumlah dan


sensitivitas reseptor. Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik tersebut akan
mempengaruhi toksisitas dan efikasi OAE. Dengan demikian theurapetic ranges
OAE pada usia muda harus disesuaikan pada lanjut usia.

Pemberian OAE harus dimulai dari dosis yang lebih rendah dibanding
penderita usia muda. Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati perlu dilakukan dan
diperiksa secara berkala. Pemberian politerapi OAE sedapat mungkin dihindari.
Efektivitas OAE monoterapi untuk mengontrol bangkitan epilepsi pada lanjut usiia
lebih baik dibanding pada penderita epilepsi usia muda.

PROGNOSIS
Pasien epilepsi lanjut usia mempunyai angka mortalitas dua sampai tiga kali lebih
tinggi daripada populasi umum. Epilepsi pada lanjut usia umumnya mempunyai
respon yang baik terhadap pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai