Anda di halaman 1dari 8

ARTI PENTING PERANG JAWA PADA ORANG JAWA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas 6 Teknik Penulisan Karya Ilmiah

KELAS A

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Sumarjono, M. Si.

Oleh:

1. Ajeng zahrotul M 180210302008

PRODI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
ARTI PENTING PERANG JAWA PADA ORANG JAWA
Sumarjono, Ajeng Zahrotul M
Program Studi Pendidikan Sejarah, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember
juhairiyatulanwariah@gmail.com

ABSTRAK

Perang Jawa (1825-1830) merupakan perang terjadi serta muncul di pulau Jawa
Tengah bagian selatan. Namun, dalam perkembangannya, perang ini memiliki dampak yang
perlahan meluas serta melibatkan beberapa daerah di pulau Jawa. Perang ini meletus setelah
rentetan konflik internal Kasultanan Yogyakarta serta campur-tangan Belanda di satu sisi
dengan Pangeran Diponegoro di sini yang lain. Dalam Perang Jawa ini tidak murni hanya
diakibatkan serta melibatkan pihak-pihak yang disebutkan di muka. Kondisi sosial, ekonomi,
nilai-budaya Jawa mengalami titik nadir yang menyebabkan kecemasan rerata masyarakat,
seperti merajalelaanya kolera, intervensi etis Daendels dalam bentuk penyambutan serta
memudarnya kepercayaan masyarakat
terhadap segelintir elit Kasultanan. Kecemasan kompleks masyarakat yang semakin menjadi-
jadi diasosiasikan hampirnya kemunculan Ratu Adil guna mengatasinya, dan pada titik inilah
Pangeran Diponegroro muncul sebagai sosok yang representatif.

ABSTRACT
The Java War (1825-1830) was a war that occurred and appeared on the southern part
of Central Java. However, in its development, this war had an impact that slowly expanded
and involved several regions on the island of Java. This war erupted after a series of internal
conflicts of the Yogyakarta 1Sultanate and Dutch interference on the one hand with Prince
Diponegoro here the other. In the Java War this is not purely only caused and involves the
parties mentioned in advance. Social, economic conditions, Javanese cultures experience
nadir which causes average anxiety in society, such as rampant cholera, Daendels' ethical
intervention in the form of welcoming and waning public trust towards a handful of elite
Kasultanan. The complex anxiety of society that is increasingly becoming associated is
associated with the appearance of the Adil Queen to overcome it, and at this point Prince
Diponegror2o appears as a representative figure.

1
Dosen Pendidikan Sejarah UNEJ
2
UNEJ Jl. Kalimantan No. 37, KrajanTimur, Sumbersari, Kec. Sumbersari
LATAR BELAKANG

sesuai dengan fokus penelitian ini, muncullah perang yang dikenal dengan Perang
Jawa yang dipimpin langsung oleh pangeran Diponegoro. Perang ini, oleh Peter Carey
disebutkan,5 memiliki perbedaan karakter dengan perang-perang terdahulu yang biasanya
langsung dipimpin oleh seorang pemimpin kerajaan, dalam Perang Jawa ini justru dipimpin
langsung oleh pangeran yang, secara keturunan, bukanlah anak dari istri resmi Sultan
melainkan selir. Walaupun begitu, pengaruh pangeran Diponegoro ini melibihi kharisma Raja
Yogyakarta pada waktu itu.
Konsep kuasa penuh seorang Sultan yang harus dipatuhi tidak berlaku di sini.
Pada dasarnya, banyak hal yang mendasari mengapa Sultan tidak lagi diindahkan bahkan
disesalkan keputusan-keputusannya oleh rakyatnya sendiri—dan mengapa Perang Jawa ini
terjadi. Untuk sedikit disebutkan di pendahuluan ini, kondisi kerajaan Yogyakarta semenjak
berpisah dengan Surakarta, pada tahun 1755 M. setelah konfrontasi militer dengan Sunan
Surakarta dan Belanda,6dan semenjak meninggalnya Mangkubumi, Yogyakarta mengalami
krisis yang pelik akibat dari “pengusik” Belanda yang konsisten menggerogoti kekuatan dari
segala lini. Kondisi ekonomi masyarakat Yogyakarta yang semakin jatuh ke titik yang paling
terendah, instabilitas harga-harga akibat ditetapkannya sistem pajak dan sewa tanah yang
dimiliki kerajaan kepada pihak Cina dan Belanda, bahkan konflik antar keluarga di dalam
keraton Yogyakarta. Semua konflik yang penulis sebutkan ini, tidak terjadi serentak dan
dalam satu waktu, melainkan perlahan dan bermula dari kelalaian kecil keluarga keraton
sehingga mengakibatkan tragedi yang tidak diinginkan dan saling bersusulan. Paling muasal
munculnya riak instabilitas Yogyakarta secara keseluruhan,
oleh Carey, disinyalir dari Sultan Hamengkubuwono II. Dari sini, banyak tradisi,
kebijakan, pengetahuan, bahkan beberapa wasiat kebijaksanaan dari ayah Hamengkubuwono
II tidak dilanjutkannya: meliputi cara komunikasi, interaksi, dan negosiasi dengan perwakilan
dari Belanda: mengganti penasehat kerajaan dengan generasi yang lebih muda: menambah
kas kerajaan dengan menarik pajak dengan nominal yang menjerat rakyat. Semenjak Perang
Jawa meletus, segala perhatian berbagai lapisan masyarakat baik Yogyakarta dan daerah
lainnya, bahkan Belanda di posisi yang lain, tertuju pada pangeran Diponegoro. Seluruh isi
pulau Jawa yang membentang dari barat ke timur, utara ke selatan dan pesisir maupun
pedalaman seakan disuguhkan tontonan melampaui getir-suka-cita yang pernah ada.Betapa
tidak, perang ini terjadi di saat rakyat Yogyakarta secara ekonomi-politik berada jauh di
bawah musuhnya, Belanda, termasuk di beberapa daerah lain tengah terdera penyakit epidemi
kolera yang semakin membuta makan korban 1821, serta gagal panen besar.
Fenomena sosial yang carut-marut, ekonomi hancur, dan politik keraton yang lebam
di sana-sini ini menarik intelektualitas penulis untuk mengadakan riset mengenai Perang
Jawa. Dengan segala keterbatasannya, pangeran Diponegoro justru membuat Belanda
kewalahan dan selalu merevisi taktik perang mereka.8 Kompleksitas keterbatasan dan getir
hidup yang mendera secara total dijadikan ujung tombak dan senjata untuk menghadapi
kolonialisasi Belanda. Ada hal yang signifikan di sini, bergerak secara sistematis, namun
perlahan, yang menjadi sumbu daripada semangat perjuangan rakyat secara keseluruhan.
Setelah penulis mencari di beberapa literatur, didapat bahwa pangeran Diponegoro-lah
kreator semua ini: melibatkan tempaan pengetahuan di bidang politik, taktik dan strategi
perang, persejataan dan seni mobilisasi massa.
Pada titik ini, kualitas seni perang pangeran Diponegoro melebihi rata-rata dengan
kondisi sosial yang tidak mendukung. Tingkat pengetahuan dan kedekatan secara personal
seorang pangeran dengan rakyat Yogyakarta sedari kecil menjadi tumpuan referensial
kemampuan mengatur dan meracik strategi melawan Belanda dengan bernas. Disebutkan bila
seni berperang tersebut tidak serentak menggunakan ritme yang sama, namun ada waktu-
waktu tertentu bagi sepasukan militer perang melancarkan gerilya, di waktu yang sama
dengan tempat yang berbeda pasukan perang difungsikan sebagai teliksandi (mata-mata), ada
petani yang siap siaga menyerang sewaktu diperlukan. Kekuatan serangan dari pihak rakyat
tidak akan didapat tanpa adanya seni perang ulung. Betapa tidak, rakyat biasa yang pada
mulanya enggan justru mengabdikan diri dengan semangat juang tinggi untuk turun serta
mengikuti jejak peperangan melawan Belanda—dalam hal ini, dalam konteks ilmu politik
diklasifikasikan sebagai “kudeta politik” karena melawan status quokuasa Belanda atas
kasultanan Yogyakarta, dan “perang sipil”10: karena rakyat setempat di wilayah konflik ikut
terlibat. Di mula peperangan, pasukan militer didominasi oleh kaum tani, yang alat perangnya
adalah alat seadanya—terkadang cangkul, celurit, dan keris yang dijadikan ujung tombak
bambu.
METODOLOGI

Penelitian sejarah ini menggunakan empat tahap yaitu: pengumpulan sumber (Heuristik),
kritik sumber (Verifikasi), analisis sumber (Interprestasi), dan penulisan (Historiografi).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Perang diponegoro adalah perang yang berlangsung antara tahun 1825-1830 di dareah
jawatengah dan sebagian jawa timur. Dalam perang terjadi antara Belanda penduduk pribumi
yang dipimpinoleh Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro (1785-1855) adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari


selirRaden Ayu Mengkarawatiputri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, R
atu Ageng diTegalrejo. Sebuah tempat tinggal yang terpencil yang letaknya beberapa
kilometer dari istanaYogyakarta.Disana dia memasuki lingkungan-lingkungan pesantren dan
tidak mau menghadap istanayang tidak disukainya karena banyak persengkongkolan,
kemerosotan akhlak, pelanggaran susila, danpengaruh barat yang bersifat merusak.
(Ricklefs,1999:177-).Sekitar tahun 1805 pangeran diponegoro mengalami sebuah kejadian
spiritual ,dia bermimpibahwa dia adalah calon raja yang mempunyai tugas bahwa dia harus
memasuki zaman kehancuranyang harus mensucikanya. Setelah 20 tahun menantikan wkatu
yang baik,sementara situasi di jawabertambah buruk . Pada tahun 1820 mulai terjadi
pemberontakan pemberontakan kecil(Ricklefs,1999:177).

Melihat situasi Jawa yang penuh dengan penderitaan,dengan rakyat dibebani


dengankewajiban membayar pajak. Serta harus memenuhi kebutuhan orang Belanda dan para
bangsawanyang menjadi kaki tangan belanda. Hal tersebut membuat Pangeran Diponegoro
menjadi tidak tahanmelihat situasi tersebut. Selain itu ,Belanda pada masa itu ikut campur
dalam urusan pemerintah istana,seperti penobatan Sultan Yogyakarta. Setelah Sultan
Hamengkubuwono IV wafat,Belandamengangkat putra mahkota,yaitu Jarot sebagai sultan
Yogyakarta, Padahal usianya pada saat itu barutiga tahun. Sultan hanya dijadikan sebagi
simbol pemerintahan saja. Selanjutnya dalam pemerintahanistana Yogyakarta diatur oleh
Residen Smissert.Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak
belandayangmembuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujua
n dari pangeran diponegoro.Pangeran diponegoro dan masyarakat merasa tersinggung dan
marah karena Tegal rejo adalah tempatmakam dari leluhur Pangeran Diponegoro (Junaidi
,2007:85). Selain itu pembutan jalan tersebutpembangunan tersebut akan menggusur banyak
lahan. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinyaperang Diponegoro . Untuk
menyelesaikan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang
dibuat jalan.Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu
memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran
Diponegoro, Belandamempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan
tindakan. Tentara meriam pundidatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Mereka
pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga keDesa Dekso di Kabupaten Kulonprogo,
lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basispasukan.

Dalam persembunyianya Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat


banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa
dengan Sultanmaupun Belanda . Lima belas dari dua puluh sembilan pangeran bergabung
dengan Diponegoro,demikian pula empat puluh satu dari delapan puluh bupati. Salah
satu bangsawan pengikut Diponegoroadalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda
yang tangguh di medan tempur. Komunitas agamabergabung dengan Diponegoro , yang
diantarana adalah Kiai Mojo yang menjadi pimpinan spiritualpemberontakan
tersebut. Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukanpasukan infant
ri,kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah
pertempuransengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di
desa di seluruh Jawa.Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain
untuk menyokong keperluan perang.Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang
dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu danpeluru terus diproduksi saat peperangan
berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata utuk mencari informasi guna
menyusunn setrategi perang.Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan
strategi gerilya, yakni dengan caraberpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh
lengah. Setrategi ini sangat merepotkantentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro
mendapat dukungan rakyat. Awlanya sendiripeperangan banyak terjadi di daerah barat kraton
Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, danLowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).
Perlawanan lalu berlanjut kedaerah lain: Gunung kidul,Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar
Semarang.

Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-


bulanpenghujan karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda
terhambat. Selain itu,penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan
,Belanda kewalahanmenhadapi perlawanan Diponegoro. Diponegoro sempat mengalami
kekalahan besar pada bulanOktober 1826 ketika dipikul mundur di Surakarta . Meskipun
demikan , pada akhir tahun 1826 pasukan-pasukan pemerintah Belanda nampak tidak dapat
maju lagi, dan Diponegoro masih menguasaiberbagai wilayah pedalaman Jawa
tengah.Berbagai langkah langkah sudah di coba pihak Belanda diantaranya, ada bulan
Agustus 1826pihak Belanda memulangkan sultan Hamengkubuwono II yang sudah berusia
lanjut dari tempatpengasingan Ambon dan mendudukanya lagi diatas tahta Yogyakarta
(1826-1828). Tetapi langkah inisama sekali gagal mendorong rakyat Jawa supaya tidak lagi
mendukung pemberontakan.(Ricklefs,1999:179)

Pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan setrategi jitu untuk
mematahkanperlawanan gerilya ini. Menghadapi perlawanan tersebut,Belanda menerapkan
strategi Benteng Stelsel(sistem Benteng) atas perintah Jendral De Kock.
Akibatnya ,pasukan Diponegoro mengalami kesulitan karena hubungan antar pasukan dan ra
kyatmenjadi sulit. Rakyat dihasut dan di adu domba dengan politik Devide et empera.
Kekeutan pasukanDiponegoro pun semakin lemah karena banyak pemimpin yang
gugur,tertangkap, atau menyerah.Pembelotan dan jumlah tawanan dari pihak pemberontak
semakin meningkat. Pada bulan April1829 Kiai Mojo berhasil ditangkap. Pada bulan
september 1829 paman Diponegoro,pangeranmangubumi dan panglima utamanya sentot,
keduanya menyerah. Selanjutnya Sentot dimanfaatkanoleh Belanda untuk menjalankan tugas
untuk melawan kaum padri di sumatera,sedangkanMangkubumi diangkat sebagai salah satu
dari pangeran-pangeran yang paling senior dari Yogyakarta. Akhirnya ,pada bulan
Maret 1830 Diponegoro bersedia untuk berunding di Magelang. Namun setibanyadisana dia
di tangkap. Pihak Belanda mengasingkanya ke Manado dan kemudian ke Makasar,
Dimanadia wafat pada tahun 1855. Pemberontakan akhirnya berakhir, di pihak Belanda
perang ini telahmenelan setidaknya 8000 serdadu Belanda dan di pihak pribumi sekitar
2000.000 tewas sehinggapenduduk Yogyakarta habis hampir separuhnya
3

*)”seni perang diponegoro”yogyakarta:ja’far, shodiq(yogyakarta: uinsa 2016) hal 5


*) Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Penerbit Buku
Kompas: Jakarta, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Carey, Peter, Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh,
(LKiS: Yogyakarta, 2001).
Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Penerbit Buku
Kompas: Jakarta, 2014).
D. Moore, Christopher, Ilmu Politik Dalam Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi
Panduan Tematis, Jilid I, terj. Ahmad Fedyani Saifuddin, (Kencana: Jakarta, 2013).
Dr. Anton Bakker, Filsafat Penelitan & Metode Penelitian, (Gadjah Mada Press:
Yogyakarta, 1989).
Olthof. W. L, Babad Tanah Jawi (Narasi: Yogyakarta, 1941).

Anda mungkin juga menyukai