Paper
Paper
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS TRISAKTI
SENTUL
2019
A. PENGERTIAN
Munculnya pemanasan global, penipisan lapisan ozon, perlindungan hutan,
kerusakan lokasi di areal pertambangan, pencemaran udara, pengolahan air limbah,
pencemaran udara, pencemaran udara, peningkatan tumpahan , dan sebagainya
merupakan hasil negatif dari aktivitas bisnis yang hanya berorientasi tanpa
mempedulikan pengaruh negatif yang membahayakan masyarakat dan bumi ini.
Munculnya Corporate Social Responsibility (CSR), analisis pemangku kepentingan,
dan sejenisnya merupakan respons atas tindakan perusahaan yang telah melibatkan
masyarakat dan bumi yang kita huni ini. Pada sub bab ini akan dibahas pokok-pokok
pemikiran Pengertian CSR Sementara konsep CSR dewasa ini sangat populer, belum
dijumpai keseragaman dalam pemahaman konsep CSR. Di bawah ini diberikan
beberapa resolusi CSR yang dikutip dari buku Membedah Konsep dan Aplikasi CSR
karangan Yusuf Wibisono (2007) dan buku Corporate Social Responsibility dari A.B.
Susanto (2007). Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan menetapkan
CSR sebagai "Komitmen berkelanjutan oleh bisnis untuk berperilaku etis dan
berkontribusi pada pembangunan ekonomi sambil meningkatkan kualitas kehidupan
tenaga kerja dan keluarga mereka yang besar" Komitmen bisnis untuk terus bergerak
berperilako etis dan terlibatribisnis dalam pembangunan ekonomi serta meningkatkan
kualitas hidup karyawan dan keluargai masyarakat lokal, serta masyarakat luas pada
umumnya "serta dari komunitas lokal dan masyarakat
Jika dilihat dari beberapa tampak bahwa konsep CSR sebenarnya banyak
berbeda dengan konsep stakeholders yang telah dibahas sebelumnya pengenalan
konsep CSR ini merupakan upaya untuk leblh memperjelas atau mempertegas konsep
Dari konsep 3P yang dikemukakan oleh Elkington, konsep CSR sebenarnya ingin
memadukan tiga fungsi perusahaan secara seimbang, yaitu:
a. Fungsi ekonomis.
Fungsi keuntungan (profit) bagi perusahaan (yang sebenarnya merupakan
kepentingan pemilik Namun barangkali merupakan fungsi tradisional
perusahaan, untuk memperoleh keuntungan atau laba.)
b. Fungsi sosial
Perusahaan menjalankan fungsi ini melalui pemberdayaan manusianya, yaitu
para pemangku kepentingan (people stakeholders) pemangku kepentingan
primer maupun pemangku kepentingan keadilan dalam membagi manfaat dan
menanggung beban yang ditimbulkan dari aktivitas sekunder.
c. Fungsi alamiah
Perusahaan berperan dalam menjaga kelestarian alam (planet/bumi).
Perusahaan hanya merupakan salah satu elemen dalam sistem kehidupan di
bumi ini. Bila bumi ini dirusak maka seluruh bentuk kehidupan di bumi ini
(manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan) akas terancam musnah. Bila tidak ada
kehidupan, bagaimana mungkin akan ada perusahaan yang masih bertahan
hidup?
C. STATUS PERUSAHAAN
Dengan kondisi di atas, timbul pertanyaan: apakah perusahaan mempunyai
tanggung jawab moral dan juga sosial? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, sebaiknya
kita lihat terlebih dahulu apa sebenarnya perusahaan itu dan bagaimana statusnya.
Perusahaan adalah sebuah badan hukum. Artinya, perusahaan dibentuk berdasarkan
hukum tertentu dan disahkan dengan hukum atau aturan legal tertentu. Karena itu,
keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Itu berarti perusahaan adalah
bentukan manusia, yang eksistensinya diikat berdasarkan aturan hukum yang sah.
Sebagai badan hukum, perusahaan mempunyai hak-hak legal tertentu
sebagaimana dimiliki oleh manusia. Misalnya, hak milik pribadi, hak paten, hak atas
merek tertentu, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, perusahaan juga mempunyai
kewajiban legal untuk menghormati hak legal perusahaan lain: tidak boleh merampas
hak perusahaan lain. Pada tingkat ini, sesungguhnya dalam arti tertentu perusahaan
sama dengan manusia. Sama seperti manusia, perusahaan pun punya hak dan kewajiban
legal. Namun, apakah itu berarti perusahaan juga punya kewajiban moral, dan
bersamaan dengan itu tanggung jawab moral? Itu persoalan lain yang tidak gampang
dijawab. Bagaimanapun, perusahaan bukanlah manusia yang mempunyai akal budi dan
kemauan bebas. Perusahaan hanyalah badan hukum, dan bukan pribadi. Sebagai badan
hukum perusahaan mempunyai hak dan kewajiban legal, tapi tidak dengan sendirinya
berarti perusahaan juga mempunyai hak dan kewajiban moral. De George secara khusus
membedakan dua macam pandangan mengenai status perusahaan.
Pertama, pandangan legal-creator, yang melihat perusahaan sebagai
sepenuhnya ciptaan hukum, dan karena itu ada hanya berdasarkan hukum. Menurut
Negara dan hukum sendiri, perusahaan adalah ciptaan masyarakat. Maka, kalau
perusahaan tidak lagi berguna bagi masyarakat, masyarakat bisa saja mengubah.
Kedua, pandangan legal-recognition yang tidak memusatkan perhatian pada
status legal perusahaan melainkan pada perusahaan sebagai suatu usaha bebas dan
produktif. Menurut pandangan ini, perusahaan terbentuk oleh orang atau kelompok
orang tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu dengan cara tertentu secara bebas
demi kepentingan orang atau orang-orang tadi. Dalam hal ini, perusahaan tidak
dibentuk oleh negara. Negara hanya mendaftarkan, mengakui, dan mengesahkan
perusahaan itu berdasarkan hukum tertentu. Ini sekaligus juga berarti perusahaan bukan
organisasi bentukan masyarakat. Karena, menurut pandangan kedua, perusahaan bukan
bentukan negara atau masyarakat, maka perusahaan menetapkan sendiri tujuannya dan
beroperasi sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya itu. Ini berarti, karena
perusahaan dibentuk untuk mencapai kepentingan para pendirinya, maka dalam
aktivitasnya perusahaan memang melayani masyarakat, tapi bukan itu tujuan utamanya.
Pelayanan masyarakat atau meniadakannya. hanyalah 1 sarana untuk mencapai
tujuannya: mencari keuntungan. Ini berbeda sekali dengan lembaga sosial, yang
didirikan terutama untuk melayani masyarakat. Masyarakat memang bisa membatasi
perusahaan itu apabila perusahaan itu merugikan masyarakat, persis seperti halnya
setiap manusia bertindak secara bebas namun bisa dibatasi oleh masyarakat (melalui
aparat negara) apabila merugikan masyarakat. Hanya saja, ini terutama dilakukan
dalam kerangka legal. Dari sudut pandang pertama pun kegiatan perusahaan dapat
dibatasi, yakni ketika perusahaan merugikan kepentingan masyarakat. Tapi itu pun
hanya sebatas tindakan legal.
Berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan di atas, dapat
disimpulkan bahwa perusahaan memang punya tanggung jawab, tetapi hanya terbatas
pada tanggung jawab legal, yaitu tanggung jawab memenuhi aturan hukum yang ada.
Hanya ini tanggung jawab perusahaan, karena perusahaan memang dibangun atas dasar
hukum untuk kepentingan pendiri dan bukan untuk pertama-tama melayani masyarakat
Secara lebih tegas itu berarti, berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan di
atas, jelas bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial.
Pertama, karena perusahaan bukanlah moral person yang punya akal budi dan
kemauan bebas dalam bertindak. Kedua, dalam kaitan dengan pandangan legal-
recognition perusahaan dibangun oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk
kepentingan nya dan bukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Karena itu, pada
dasar-nya perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial. Dalam kerangka
pemikiran bahwa tanggung jawab hanya bisa dituntut dari pelaku yang tahu, bebas, dan
mau, Milton Friedman dengan tegas mengatakan bahwa hanya manusia yang
mempunyai tanggung jawab [moral]. Suatu perusahaan adalah pribadi artifisial dan
dalam pengertian ini mungkin saja mempunyai tanggung jawab artifisial. Tetapi bisnis
secara keseluruhan tidak dapat dianggap mempunyai tanggung jawab, sekalipun dalam
pengertian yang kabur ini. Walaupun orang bisnis mempunyai tanggung jawab,
menurut dia, itu adalah tanggung jawab pribadi, dan bukan tanggung jawab atas nama
seluruh perusahaan. Alasannya, tanggung jawab sosial-moral tidak bisa dilemparkan
kepada orang lain, dan karena itu tidak relevan mengatakan bahwa perusahaan
mempunyai tanggung jawab sosial. Bahkan walaupun perusahaan tetap dituntut untuk
mempunyai tanggung jawab sosial-moral, Friedman tetap menekankan bahwa
tanggung jawab itu hanya terbatas pada lingkup mendatangkan keuntungan.
Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan hanya dinilai dan diukur
berdasarkan sejauh mana besarnya perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan
sebesar - besarnya. Pandangan Friedman tentu sangat masuk akal. Hanya saja tidak
sepenuhnya benar. Tidak dapat disangkal, sebagaimana akan kita lihat di bawah, bahwa
keuntungan Ekonomi merupakan salah satu lingkup tanggung jawab sosial perusahaan.
Akan tetapi, tanggung jawab moral-sosial perusahaan tidak hanya mencakup
keuntungan ekonomi sebagaimana diklaim Friedman. Kalau ini terjadi, ada bahaya
bahwa demi keuntungan apapun bisa dilakukan, karena keuntungan sebagai tujuan
membenarkan apa pun yang dilakukan suatu perusahaan. Lebih dari itu, tidak
sepenuhnya benar kalau dikatakan bahwa karena perusahaan hanyalah badan hukum
dan bukan pribadi moral, maka perusahaan tidak punya tanggung jawab sosial-moral.
Tidak benar bahwa perusahaan hanya punya tanggung jawab legal. Sebabnya,
pertama, sebagaimana dikatakan Friedman, dalam arti tertentu perusahaan adalah
pribadi artifisial. Ini terutama karena perusahaan terdiri dari manusia. Perusahaan jelas
bukan benda mati, bukan pula binatang aneh. Perusahaan adalah lembaga atau
organisasi manusia yang kegiatannya diputuskan, direncanakan, dan dijalankan oleh
manusia. Tidak pernah dibayangkan, dan akan sangat absurd, bahwa perusahaan
sebagai badan hukum menjalankan tugasnya sendiri. Karena itu, dalam berbicara
mengenai perusahaan dan aktivitasnya, yang terbayangkan adalah manusia- manusia
dengan aktivitasnya. Atas dasar ini, sangat sah untuk mengatakan bahwa kendati
perusahaan bukanlah pribadi moral dalam arti sepenuh-penuhnya, ia tetap merupakan
pribadi moral artifisial. Tidak bisa disangkal bahwa kegiatan bisnis perusahaan adalah
kegiatan yang didasarkan pada perencanaan, keputusan yang rasional, bebas, dan atas
dasar kemauan yang diambil oleh staf manajemen. Karena itu, sesungguhnya sampai
tingkat tertentu, paling kurang secara analog, perusahaan sesungguhnya punya suara
hati Artinya, ada kelompok orang-orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci
yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala kegiatan bisnis suatu
perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan benar dari segala aspek:
bisnis, keuntungan (jangka pendek dan jangka panjang), hukum, dan seterusnya.
Mereka adalah Suara batin (inner-self) perusahaan. Karena itu, perusahaan tetap
mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Anggapan bahwa perusahaan tidak
punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan
bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia. Itu sangat absurd.
Kedua, ada benarnya bahwa tanggung jawab moral dan sosial tidak bisa
diwakilkan dan diwakili oleh orang lain. Tanggung jawab moral pada dasarnya bersifat
pribadi dan tak tergantikan. Tanggung jawab moral dan sosial bersifat pribadi, dan
karena itu hanya orang yang bersangkutan yang bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Dalam konteks ini ada benarnya apa yang dikatakan Milton Friedman
bahwa para pimpinan perusahaan tidak bisa mewakili dan mengambil alih tanggung
jawab sosial dan moral perusahaan Hanya saja, Friedman lupa bahwa ketentuan ini
hanya berlaku bagi mereka yang dapat diwakili. Misalnya, ketika seorang anak yang
innocent melakukan suatu tindakan yang berakibat merugikan orang lain, tindakan
tersebut tidak bisa diterima begitu saja.
Dalam kasus di mana kerugian itu sangat besar dan fatal, harus ada pihak
tertentu yang bertanggung jawab tidak hanya secara legal melainkan juga moral yang
bertindak secara sadar, bebas, dan atas kemauannya sendiri. Namun, dalam banyak
kasus kita menemukan bahwa pada situasi tertentu tanggung jawab moral sesungguh
masih bisa bertanggung jawab atas tindakannya, yang dalam hal ini berarti mereka
kesediaan untuk bertanggung jawab secara legal sudah dengan sendirinya
mengisyaratkan dan mengandaikan kesediaan moral untuk bertanggung jawab).
Terlepas dari tindakannya. kenyataan bahwa tindakan itu terjadi tanpa sengaja dan
tanpa disadari, harus ada yang bertanggung jawab atas tindakan itu.
Dalam hal ini, orang tua atau pihak yang punya otoritas atas anak tersebut
mewakili anak itu untuk bertanggung jawab atas Hal yang sama terjadi pada binatang
piaraan. Ketika binatang piaraan lepas dari kandangnya dan melakukan tindakan
tertentu yang merugikan tetangga, binatang itu memang tidak bertanggung jawab atas
tindakan itu. Namun, tetap saja pemiliknya harus bertanggung jawab, tidak saja secara
legal melainkan juga secara moral dan sosial atas tindakan binatang piaraannya itu.
Atas dasar kedua contoh di atas, kita dapat mengatakan bahwa hal yang sama bahkan
jauh lebih lagi berlaku untuk perusahaan.
Ketika perusahaan melakukan tindakan bisnis tertentu yang merugikan pihak
lain (sesungguhnya bukan tindakan perusahaan tapi tindakan manusia-manusia yang
bekerja dalam perusahaan itu), mau tidak mau harus ada orang tertentu yang
bertanggung jawab atas tindakan itu. Ini sangat masuk akal. Kalau tidak, manusia-
manusia yang bekerja dalam perusahaan itu akan seenaknya melakukan tindakan bisnis
apa saja, termasuk merugikan pihak lain tanpa peduli, lalu tidak mau bertanggung
jawab hanya dengan dalih bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral. Bisa
dibayangkan, masyarakat dan kehidupan sosial macam apa yang akan terjadi. Semua
perusahaan (baca: manusia yang bekerja dalam perusahaan) saling memakan satu sama
lain tanpa ada perasaan tanggung jawab atas tindakannya itu. Ini akan sangat
mengerikan.
Argumen ini dapat diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa dalam segala aspek
lainnya ternyata perusahaan selalu diwakili oleh staf manajemen. Karena itu, sah saja
bahwa dalam hal tanggung jawab moral dan sosial pun perusahaan dapat diwakili oleh
staf manajemen. Dalam hal tanggung jawab legal (baik menyangkut kontrak legal,
tuntutan legal di depan pengadilan, dan semacamnya) perusahaan selalu diwakili oleh
staf manajemen. Demikian pula dalam hal tanggung jawab keuangan (entah dalam
kasus untung atau bangkrut) perusahaan selalu diwakili oleh staf manajemen. Lalu,
mengapa dalam hal tanggung moral, perusahaan tidak bisa diwakili? Padahal, seluruh
kegiatan perusahaan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan (yang berarti di
dalamnya sudah melibatkan aspek-aspek moral) dijalankan oleh staf Manajemen.
Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa dipisahkan dari
tanggung jawab moral. Karena itu, kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tanggung
jawab legal, sudah menyiratkan bahwa dengan demikian perusahaan pun punya
tanggung jawab moral karena tanggung jawab legal hanya mungkin dijalankan secara
serius kalau ada sikap moral untuk bertanggung jawab. Tanpa sikap moral, berupa
kesediaan untuk menerima tanggung jawab itu, tanggung jawab legal tidak punya
makna apa pun. Betul bahwa dalam banyak hal tanggung jawab legal bersifat legalistis.
Tapi, kenyataan bahwa orang serius dengan tanggung jawab tersebut sudah
menunjukkan adanya kualitas moral dalam tanggung jawab yang bersifat legal itu.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun
Perusahaan tetap punya tanggung jawab moral dan sosial. Pada tingkat operasional,
tanggung jawab sosial dan moral ini diwakili secara formal oleh staf manajemen.
Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada di tangan para manajer,
maka pada tempatnya tanggung jawab sosial dan moral perusahaan juga dipikul
mereka. Ini bukan soal melemparkan tanggung jawab, justru sebaliknya adalah
konsekuensi logis dari pelimpahan seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan
pada para manajer. Karena mereka telah menerima kepercayaan untuk menjalankan
perusahaan itu, maka mereka jugalah yang memikul tanggung jawab sosial dan moral
perusahaan itu.
Bahkan sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen
yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ini. Seluruh karyawan,
dengan satu dan lain cara, dengan tingkat dan kadar yang beragam, memikul tanggung
jawab sosial dan moral dari perusahaan di mana mereka bekerja. Selama mereka
menjalankan pekerjaan dan kegiatan bisnis apa pun sebagai karyawan perusahaan yang
bersangkutan, mereka tetap dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan
moral atas nama perusahaan mereka. Maka, ketika mereka tampil dalam menjalin
kegiatan bisnis dengan pihak lain, mereka diharapkan untuk memperlihatkan tanggung
jawab moral dan sosial perusahaannya. Melalui karyawan-karyawan inilah tanggung
jawab sosial dan moral perusahaan menemukan bentuk dan manifestasinya yang paling
konkret dan transparan. Melalui tanggung jawab moral dan sosial para karyawan dalam
kegiatan bisnisnya, bisa dilihat besar kecilnya, serius atau tidaknya tanggung jawab
moral dan sosial suatu perusahaan. jemen.
H. IMPLEMENTASI
Dalam implementasi tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan,
agar tanggung jawab sosial dan moral benar-benar terlaksana, dibutuhkan kondisi
internal tertentu di dalam perusahaan. Prinsip utama dalam suatu organisasi adalah
struktur organisasi didasarkan dan ditentukan oleh strategi dari organisasi tersebut.
Strategi didasarkan pada tujuan serta misi yang diemban oleh perusahaan. Tujuan dan
misi ini yang membedakan satu perusahaan dari perusahaan lain.
Dalam menentukan tujuan dan misi perusahaan, ditentukan oleh nilai yang
dianut oleh perusahaan itu. Maka, etos bisnis atau budaya perusahaan punya arti penting
dalam menentukan tujuan dan misi perusahaan.
Strategi menetapkan dan menggariskan arah yang akan ditempuh oleh
perusahaan dalam mencapai tujuan dan misi sesuai dengan nilai yang dianut. Strategi
juga menetapkan kegiatan yang mendapatkan perhatian dan penekanan utama sesuai
dengan apa yang dinilai tinggi oleh manajer puncak.
Strategi yang diwujudkan akan dievaluasi secara periodik. Salah satu bentuk
evaluasi yang mencakup nilai sosial dan moral, termasuk tanggung jawab sosial adalah
social audit. Audit sosial dimaksudkan untuk menilai dan mengukur kinerja perusahaan
dalam kaitan dengan berbagai masalah sosial yang ingin diatasi oleh perusahaan
tersebut, misalnya penciptaan lapangan kerja bagi kelompok minoritas atau masyarakat
sekitar. Dalam melakukan audit sosial juga melibatkan berbagai ahli dari berbagai
bidang ilmu untuk melihat sejauh mana kegiatan bisnis masih tetap sejalan dengan nilai,
tujuan, misi yang diembannya.
Dengan audit sosial, bisa dinilai apakah tujuan dan misi perusahaan yang
berkaitan dengan dan didasarkan pada nilai tertentu, termasuk tanggung jawab moral
dan sosial perusahaan telah diimplementasikan ? Faktor apa saja yang mendukungnya
( strategi atau struktur organisasi ) ? Kalau tidak, mengapa ? Apa hambatannya ?
Apakah strategi tidak tepat ? Dari evaluasi ini, bisa dirumuskan lagi perencanaan bisnis
selanjutnya, termasuk strategi dan struktur organisasi yang sesuai.
I. KASUS 1
Contoh kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan di
perusahaan yang ada di Indonesia misalnya PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) adalah
Program Pendidikan Akuntansi (PPA). BCA mulai mengembangkan PPA sejak 1996.
Program ini ditujukan bagi lulusan SMA atau sederajat dengan prestasi akademik yang
baik, namun memiliki kendala finansial, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
PPA berlangsung selama 30 bulan, dengan sistem gugur serta standar kelulusan
yang relatif ketat. Kegiatan belajar Peserta PPA, tidak hanya dilakukan di kelas, siswa
juga wajib mengikuti program on the job training di lingkungan BCA. Selain itu,
peserta juga mendapatkan pembekalan soft skill, seperti kepemimpinan, kerja tim,
pembentukan karakter, grooming, dan perencanaan keuangan.
PPA didukung oleh staf pengajar berkualitas yang terdiri dari profesional
maupun dosen berpengalaman. Staf pengajar akan menggali untuk mengenal
kepribadian dan kompetensi peserta didik dan mendorong mereka untuk
mengoptimalkan potensi terbaik yang ada di dalam diri mereka. PPA juga memfasilitasi
pengembangan minat siswa di bidang olahraga dan seni.
Selama mengikuti pendidikan, peserta tidak dikenai biaya. Peserta mendapatkan
uang saku dan fasilitas berupa buku-buku pelajaran serta pemeriksaan kesehatan sesuai
kebijakan perusahaan. Peserta tidak dikenai ikatan dinas. Namun demikian, peserta
diberikan kesempatan untuk bekerja di BCA selepas menyelesaikan program tersebut,
sesuai dengan kebutuhan perusahaan (baik di bidang Akuntansi ataupun bidang
Perbankan lainnya).
J. KASUS 2
Perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak yang melanggar etika bisnis
dengan melakukan pencemaran terhadap lingkungan dan sosial, misalnya saja untuk
kasus PT.Lapindo Brantas. Indonesia misalnya untuk kasus kelalaian yang dilakukan
PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo,
akan tetapi pihak Lapindo malah beralih dan enggan untuk bertanggung jawab.
Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT.Lapindo Brantas
jelas telah melanggar etika dalam berbisnis, dimana PT.Lapindo Brantas telah
melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan
terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan
sosial. Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh PT.Lapindo membuktikan bahwa
PT.Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan
keengganan PT.Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT.Lapindo
lebih memilih untuk melindungi aset aset mereka daripada melakukan penyelamat dan
perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.
Analisis kasus: kasus kelalaian PT.LAPINDO brantas merupakan kasus utama
meluapnya lumpur panas sidoarja, solusi saya agar tidak terjadi kelalaian yaitu
dibutuhkan ketelitian. Dan solusi supaya tidak meluapnya lumpur panas perlu adanya
penanaman tumbuhan hijau dan di adakannya go green.