Anda di halaman 1dari 17

1.

Definisi
Tes paternitas adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Pemeriksaan forensik
serologis yang pertama kali digunakan untuk menyelesaikan kasus paternitas
adalah sistem ABO yang pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1910.
Setelah itu ditemukan sistem MNS dan rhesus pada tahun 1940. Pemeriksaan
serologi dengan menggunakan sistem-sistem ini terutama digunakan untuk
mengeksklusi seseorang yang dituduh sebagai ayah biologis seorang anak atau
dapat memastikan bahwa seorang pria pasti bukan ayah biologis anak tersebut.1,2,3

2. Tujuan Tes Paterniti


a. Tujuan utama:
1) Untuk menetapkan riwayat medis yang akurat untuk anak.
2) Untuk mencegah perselisihan dalam adopsi.
3) Untuk membuat catatan untuk imigrasi.
4) Untuk menumbuhkan ketenangan pikiran bagi semua pihak yang
terlibat.
5) Untuk mendapatkan tunjangan anak.
6) Untuk menentukan ayah kandung atau ibu kandung.

b. Biasanya pengujian DNA adalah untuk:

1) Seorang wanita mencari dukungan anak dari seorang pria yang


menyangkal dia adalah ayah anak itu.

2) Seorang pria yang berusaha memenangkan tahanan atau kunjungan.

3) Anak angkat yang mencari keluarga biologis mereka.

4) Orang-orang yang berusaha mengidentifikasi satu orang tua ketika orang


tua lainnya tidak ada atau meninggal, atau ingin mengidentifikasi kerabat
yang hilang lainnya.

5) Orang yang ingin menentukan kakek nenek, hak waris atau apakah
kembar identik atau persaudaraan.
6) Orang-orang yang mencari masuk ke suatu negara dengan alasan bahwa
dia adalah kerabat dari seorang warga negara, atau seseorang yang berusaha
untuk menetapkan hak-hak lahir.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pengelompokan sistem yang digunakan dalam tes paternitas dibagi menjadi
empat yaitu:
a) Sistem sel darah merah terdiri dari: sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS, Kell
(K), Duffy (Fy), Kidd (Jk), Lutheran.
b) Sistem biokimia meliputi pemeriksaan plasma protein dan enzim sel darah
merah terdiri dari: haptoglobin (Hp), phosphoglucomutase (PGM),
esterase D (EsD), erythrocyte acid phosphatase (EAP), glyoxalase (GLO),
adenosine deaminase (ADA), adenylate kinase (AK), group specific
component (GC), Gm dan KM.
c) Human Leucocyte Antigen (HLA) yang mengidentifikasi antigen pada
leukosit.
d) DNA profiling.
Pada prinsipnya dalam penyelesaian kasus disputed paternity (ragu ayah)
semakin banyak sistem yang diperiksa, maka peluang untuk memastikan bukan
ayah akan semakin besar. Dengan pemeriksaan semua serologi forensik yaitu
pemeriksaan sel darah merah, biokimia, dan HLA maka peluang eksklusi yang
memastikan bukan ayah sebesar 99,7% dengan pemeriksaan HLA yang
memberikan peluang eksklusi tertinggi yaitu sebesar 94%. Pemeriksaan dengan
serologi forensik kurang kuat jika dibandingkan dengan pemeriksaan DNA yang
memiliki peluang memastikan status keayahan sebesar 99,9%. Berikut ini tabel
peluang eksklusi bukan ayah dari masing-masing sistem pemeriksaan serologis
pada tes paternitas. 3

Tabel 1. Peluang Eksklusi Bukan Ayah3

Sistem Peluang (%)

Antigen sel darah merah


MNS 32.1

Rhesus 28.0

Kidd 19.0

Duffy 18.0

ABO 17.6

Kell 3.3

Lutheran 3.3

Protein Serum

GC 24,7

Hp 17,5

Glm 6.5
Km
6.0
Enzim sel darah merah

PGM
25.3
EAP
21.0
GPT
19.0
Glyoxalase
18.4
Esterase
9.0
AK
4.5
ADA
4.5
Human Leukocyte Antigen (HLA)
94.0
Total kombinasi semua sistem 99.7

Tes paternitas yang sering digunakan untuk untuk menyelesaikan kasus


ragu ayah yaitu metode konvensional dengan analisis fenotip berupa tes golongan
darah sistem ABO, Rhesus, MNS dan tes Human Leukocyte Antigen (HLA) serta
tes paternitas yang menggunakan metode forensik molekular yaitu tes DNA.
Analisis fenotip hanya dapat memberikan jawaban pasti jika si X bukan
ayah si anak, sedangkan tes DNA didasarkan pada analisis informasi genetik yang
sangat spesifik dalam membedakan ciri setiap individu sehingga dapat
menentukan identitas seseorang hampir 100% pasti sebagai ayah biologis si anak.3

4. Penentuan Golongan Darah


Dalam kasus yang ada kaitannya dengan faktor keturunan, hukum Mendel
memainkan peranan penting. Semua sistem golongan darah diturunkan dari orang
tua kepada anaknya sesuai hukum Mendel. Walaupun masih ada kemungkinan
penyimpangan hukum tersebut, misalnya pada peristiwa mutasi, namun karena
frekuensinya sangat kecil (1:1.000.000) untuk kasus-kasus forensik hal ini dapat
diabaikan.
Hukum Mendel untuk sistem golongan darah adalah sebagai berikut:
- Antigen tidak mungkin muncul pada anak, jika antigen tersebut tidak terdapat
pada salah satu atau kedua orang tuanya.
- Orang tua yang homozigot pasti meneruskan gen untuk antigen tersebut
kepada anaknya. (anak dengan golongan darah O tidak mungkin mempunyai
orang tua yang bergolongan darah AB).
Pada manusia dikenal bermacam-macam sistem golongan darah yang
antigennya terletak di permukaan sel darah merah, misalnya sistem ABO, Rhesus,
Antigen limfosit manusia (HLA) dan lain-lain. Selain itu dikenal pula antigen-
antigen yang terletak di luar sel darah merah, misalnya sistem Gm, Gc,
Haptoglobin (Hp), serta sistem enzim misalnya fosfoglukomutase (PGM),
adenilate kinase (AK), pseudokholinesterase (PCE/PKE), adenosin deaminase
(ADA), Fosfatase asam eritrosit (EAP), glutamat piruvat transaminase (GPT), 6-
fosfo glukonat dehidrogenase (6 PGD), glukose 6 fosfatase dehidrogenase
(G6PD), yang terdapat dalam serum.
Pada kasus paternitas, bila hanya sistem ABO, MNS dan Rhesus yang
diperiksa, maka kemungkinannya adalah 50-60%, sedangkan bila semua diperiksa
maka kemungkinannya meningkat menjadi > 90%.
Perlu diingat bahwa hukum Mendel tetap berdasarkan kemungkinan
(probabilitas), sehingga penentuan ke-ayah-an dari seorang anak tidak dapat
dipastikan, namun sebaiknya kita dapat memastikan seseorang bukan ayah
seorang anak (“singkir ayah”/”paternity exclusion”).4
Dasar penggolongan pada sistem ABO dan Rhesus sebenarnya sama,
yakni presentasi antigen permukaan yang terdapat di eritrosit. Di dalam tubuh
kita, terdapat aglutinogen dan aglutinin eritrosit yang berbeda sehingga tidak
menimbulkan autolisis.
Untuk sistem ABO, rinciannya adalah sebagai berikut:5
 Golongan darah A: memiliki aglutinogen A dan aglutinin anti-B
 Golongan darah B: memiliki aglutinogen B dan aglutinin anti-A
 Golongan darah AB: memiliki aglutinogen A dan B, dan tidak mempunyai
aglutinin
 Golongan darah O: tidak memiliki aglutinogen, dan aglutininnya anti-A dan
anti-B

Tabel 2 . Golongan Darah

Untuk mengetahui golongan darah seseorang dapat dilakukan dengan


pengujian yang menggunakan serum yang mengandung aglutinin. Dimana bila
darah seseorang diberi serum aglutinin a mengalami aglutinasi atau
penggumpalan berarti darah orang tersebut mengandung aglutinogen A. Dimana
kemungkinan orang tersebut bergolongan darah A atau AB. Bila tidak mengalami
aglutinasi, berarti tidak menngandung antigen A, kemungkinan darahnya adalah
bergolongan darah B atau O.
Bila darah seseorang diberi serum aglutinin b mengalami aglutinasi,
maka darah orang tersebut mengandung antigen B, berarti kemungkinan orang
tersebut bergolongan darah B atau AB. Bila tidak mengalami aglutinasi,
kemungkinan darahnya adalah A atau O. Bila diberi serum aglutinin a maupun b
tidak mengalami aglutinasi, kemungkinan darahnya adalah O.5
Tabel 3. Sistem Golongan Darah ABO6
Fenotipe Genotipe Antigen Antibodi Alamiah
O OO O Anti-A, Anti-B
A AA atau AO A Anti-B
B BB atau BO B Anti-A
AB AB AB Tidak ada

Berdasarkan sistem penggolongan darah ABO, maka dapat diketahui


kemungkinan pewarisan golongan darah dari orangtua terhadap anaknya.

Tabel 4. Pewarisan Golongan Darah Terhadap Anak

Faktor genetik mempengaruhi golongan darah tiap orang, karena setiap


orang mewariskan sifat genetiknya kepada generasi berikutnya. Tabel di atas
menunjukkan kemungkinan golongan darah untuk keturunan akibat pewarisan
genetik dari orang tua.
5. Pemeriksaan DNA

Proses Analisis DNA untuk Tes Paternitas


Tes paternitas dengan menggunakan analisis DNA adalah analisis
informasi genetik yang sangat spesifik dalam membedakan ciri setiap individu
sehingga dapat menentukan identitas seseorang hampir 100 % pasti sebagai ayah
biologis si anak, sedangkan metode konvensional dengan analisis fenotip berupa
tes golongan darah sistem ABO, Rhesus, MNS dan tes Human Leukocyte Antigen
(HLA) hanya dapat mengeksklusi pria yang diduga sebagai ayah biologis. Selain
pada kasus paternitas tes DNA juga sangat berguna pada kasus-kasus yang
membutuhkan pembuktian forensik. Beberapa kelebihan pemeriksaan DNA
dibandingkan dengan pemeriksaan konvensional lainnya adalah sebagai berikut:3,7
1. Ketepatan yang lebih tinggi
Sebagai contoh dalam pemeriksaan suatu bercak darah sebelum
ditemukannya pemeriksaan DNA dilakukan pemeriksaan golongan
darah. Hasil pemeriksaan golongan darah yang tidak cocok akan
menyebabkan orang yang dicurigai tersingkir sebagai sumber darah
tersebut, namun jika cocok maka merupakan suatu kemungkinan saja.
Sedangkan hasil pemeriksaan DNA terhadap bercak darah tersebut
akan nyaris sempurna dalam menentukan siapa sumber bercak darah
tersebut.
2. Kestabilan yang tinggi
Pada kasus-kasus dimana bukti sebagai sampel sudah membusuk,
maka hanya tes DNA yang masih dapat dilakukan, karena DNA
bersifat tahan pembusukan dibandingkan protein.
3. Pilihan sampel yang luas
Penyebaran DNA hampir pada seluruh bagian tubuh membuat sampel
untuk tes DNA dapat diambil dari berbagai bagian tubuh kecuali sel
darah merah.
4. Dapat mengungkap kasus sulit
Hanya tes DNA yang dapat dilakukan untuk pemecahan kasus-kasus
sulit yang tidak dapat dipecahkan oleh metode konvensional antara lain
seperti: penentuan keayahan, kasus incest, kasus paternitas dengan
bayi dalam kandungan, kasus paternitas dengan bayi yang sudah
meninggal dan kasus paternity tanpa kehadiran sang “ayah”.
5. Dapat mengungkap kasus perkosaan dengan banyak pelaku,
pemeriksaan DNA dapat memastikan berapa orang pelaku dan siapa
saja pelakunya.
6. Sensitifitas yang amat tinggi
Sensitifitas tes DNA dapat mencapai 99,9 %. Tes DNA juga dapat
dilakukan pada sampel dengan jumlah kecil dengan metode PCR.

6. Sampel Pada Tes DNA


Bahan sampel DNA dapat dipilih dari jaringan apa saja, karena DNA
dapat diperoleh dari semua sel berinti. Sel yang tidak memiliki DNA hanyalah sel
darah merah karena sel darah merah tidak memiliki inti. Untuk tes diperlukan
spesimen yang diambil dari ibu, anak dan pria yang diduga sebagai ayah
biologisnya. Tes tidak dapat dilakukan jika spesimen tidak lengkap, misalnya
tanpa spesimen yang diambil dari ibu. Kalaupun dilakukan, kesimpulan tes yang
akan diperoleh sangat rendah yaitu kurang dari 50%.7
Hal yang paling penting pada tahap pengambilan bahan atau spesimen
adalah jangan sampai terjadi kontaminasi. Artinya spesimen yang akan diperiksa
tercampur dengan spesimen individu lain sehingga mengakibatkan kesalahan
pengambilan kesimpulan dalam menentukan siapa ayah biologis anak tersebut.
Bahan sampel setelah dikumpulkan harus diberi perlakuan tertentu agar tidak
rusak. Secara umum DNA dapat rusak akibat pengaruh lingkungan seperti
paparan sinar matahari, terkena panas, bahan kimia, air dan akibat kerja enzim
DNAase yang terdapat dalam jaringan sendiri. Untuk itu terhadap berbagai bahan
sampel tersebut harus diberi perlakuan sebagai berikut:7
1. Jaringan
Untuk bahan sampel yang segar, sampel terbaik adalah jaringan limpa,
kelenjar getah bening dan hati. Sedangkan untuk bahan yang telah busuk,
otak yang terbaik meskipun kondisinya telah mencair. Bahan sampel
diambil, dibungkus kertas alumunium dan dibekukan pada suhu dibawah
20°C.
2. Darah
Darah cair diberikan pengawet EDTA, dan disimpan dalam termos es
atau lemari es. Alternatif lain, bahan diserap dengan kain kasa lalu
dikeringkan. Bercak kering dapat dikerok dengan scalpel, dibawa dengan
bendanya atau diusap dengan kain kasa basah lalu dikeringkan.
3. Cairan mani
Diserap dengan kain kasa kemudian dikeringkan
4. Tulang, Gigi dan Rambut
Dibungkus dengan kertas alumunium dan disimpan pada suhu di bawah
20°C. Bahan yang telah dikeringkan dapat disimpan pada suhu kamar.
Sampel rambut diambil 10 – 15 helai beserta akarnya. Sampel gigi dipilih
paling sedikit empat, molar jika mungkin. Sampel gigi sebaiknya tidak
rusak oleh endodontia. Sampel tulang sebaiknya dari femur.

7. Teknik Analisis DNA


Adapun jenis-jenis teknik analisa DNA yang dapat digunakan pada kasus ini
adalah sebagai berikut:2
 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Teknik pertama yang digunakan analisa DNA dalam bidang forensik
adalah RFLP. Polimorfisme yang dinamakan Restriction Fragment
Leght Polymorphism (RFLP) adalah suatu polimorfisme DNA yang
terjadi akibat variasi panjang fragmen DNA setelah dipotong dengan
enzim retriksi tertentu menjadi fragmen Variable Number Of Tandem
Repeat (VNTR). Teknik ini dilakukan dengan memanfaatkan enzim
retriksi yang berfungsi memotong DNA pada tempat-tempat tertentu
dengan cara mengenali urutan basa tertentu seperti AATT. Urutan basa
tersebut disebut sebagai recognition sequence. Enzim yang berbeda
memiliki recognition sequence yang berbeda. Enzim ini lalu memotong
DNA menjadi segmen-segmen yang berbeda. Panjang segmen tersebut
bervariasi pada tiap orang, hal ini disebabkan karena titik potong enzim
yang berbeda dan panjang segmen antara titik potong juga berbeda.7,8

Analisa yang dihasilkan adalah variasi pada panjang fragmen DNA


yang telah ditentukan. Setelah selesai, pola RFLP tampak seperti kode
batang (bar code). Saat membandingkan hasil analisa dua sampel, pola
batang pada autoradiograf dibandingkan untuk menentukan apakah
kedua sampel tersebut berasal dari sumber yang sama.7,8

Proses pada teknik Restriction Fragment Leght Polymorphism


(RFLP) diawali dengan proses pemotongan dengan menggunakan enzim
retriksi tertentu. Kemudian dengan menggunakan gel yang dialiri arus
listrik, potongan DNA diurutkan berdasarkan panjangnya. Proses ini
dinamakan electrophoresis, prinsip pada proses in adalah potongan DNA
yang lebih pendek bergerak lebih cepat daripada yang lebih panjang.
Untuk mendeteksi adanya segmen yang bersifat polimorfik maka
dilakukan suatu prosedur yang disebut sebagai Southern Blooting.
Dalam prosedur ini pada gel ditambahkan suatu zat kimia yang berfungsi
untuk memisahkan rantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian
membran nilon diletakkan diatas gel dan bahan penyerap diatas
membran nilon. Cairan akan bergerak ke dalam bahan penyerap bersama
potongan DNA rantai tunggal. Kemudian dengan menggunakan fragmen
pendek DNA (DNA probe) yang mengandung petanda radioaktif maka
akan dideteksi DNA yang berasal dari lokasi pada genome yang
memiliki ciri yang jelas dan sangat polimorfik. Pada proses ini DNA
probe akan berikatan dengan potongan DNA rantai tunggal dan
membentuk DNA rantai ganda pada bahan nilon. DNA probe yang tidak
berikatan akan dicuci. Membran nilon yang berisi potongan DNA yang
telah ditandai dengan DNA probe selanjutnya ditransfer pada selembar
film X-ray. Pada proses ini akan tampak hasil berupa kode batang yang
disebut autorad. Pola inilah yang dibandingkan untuk mengetahui
apakah kedua sampel bersal dari sumber yang sama. Pada teknik RFLP
tidak hanya digunakan satu DNA probe, dimana DNA probe yang
berbeda menandai lokus yang berbeda.7,8

Walaupun penggunaanya telah mulai digeser oleh teknologi baru


RFLP tetap adalah teknik terbaik untuk diskriminasi masing-masing
lokus. Hal ini disebabkan oleh karena lokus-lokus yang dipergunakan
untuk RFLP dapat menunjukkan ratusan variasi untuk tiap lokus.
Dengan demikian jika dua sampel berasal dari sumber yang berbeda,
RFLP dapat membedakannya menggunakan jumlah lokus yang lebih
sedikit. RFLP dapat menentukan apabila sebuah sampel berasal dari
lebih satu sumber dan dapat membedakan sumbernya dengan baik.
Tingginya daya diskriminasi teknik ini disebabkan oleh hipervariabilitas
pada tiap lokus dan kemampuan untuk memeriksa lebih dari satu lokus.
Kelemahan teknik ini adalah memerlukan sampel DNA dalam jumlah
lebih besar dan harus dalam kondisi baik jika dibandingkan dengan
teknik menggunakan PCR. Teknik ini juga membutuhkan lebih banyak
tenaga.

 Polymerase Chain Reaction (PCR)


Metode analisa DNA yang selanjutnya adalah Polymerase Chain
Reaction (PCR) yaitu suatu metode untuk memperbanyak fragmen DNA
tertentu secara in vitro dengan enzim polymerase DNA. Teknik ini
didesain agar yang diperbanyak hanya segmen tertentu dari sampel
dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga dapat diperoleh informasi
dari sampel yang jumlahnya sedikit atau bahkan pada sampel DNA yang
sudah mulai terdegradasi.2,7,8
Sampel DNA yang disiapkan dengan metode PCR dapat
diananlisis menggunakan beberapa cara. Secara umum variasi per lokus
sampel DNA yang disiapkan melalui PCR lebih rendah daripada variasi
pada RFLP. Dengan demikian hasil dapat diperoleh dari sampel yang
kurang secara kualitas maupun kuantitas namun kekuatan
deskriminasinya lebih rendah dengan jumlah lokus yang sama. Kekuatan
metode analisis PCR adalah kemampuan untuk menganalisa beberapa
lokus secara bersamaan dengan proses yang otomatis.2,7,8
Proses yang terjadi pada teknik ini serupa dengan cara DNA
memperbanyak jumlahnya dalam sel. Ada tiga tahap yang dilakukan di
laboratorium. Pertama, proses yang dinamakan denaturation yaitu
segmen atau urutan DNA rantai ganda dipisahkan menjadi dua rantai
tunggal dengan cara memanaskan. Kedua proses Annealing atau
Hybridization, pada proses ini setiap rantai tunggal tersebut dipersiapkan
dengan cara mengikatkannya dengan DNA primer. DNA primer adalah
DNA pendek yang dibuat secara sintetis yang menunjukkan urutan DNA
yang akan diperbanyak. Proses ketiga disebut Extension yaitu enzim
DNA polymerase ditambahkan bersama dengan sejumlah basa bebas
dari keempat jenis basa DNA dilanjutkan dengan proses replikasi.
Keunggulan PCR dibandingkan RFLP adalah:2
1) Simpel dan mudah dilaksanakan di laboraturium
2) Hasil diperoleh dalam waktu singkat (dalam beberapa hari)
3) Oleh karena kapasitas produksi segmen DNA yang tidak terbatas
maka metode yang berdasarkan PCR memungkinkan untuk
menganalisa DNA dalam jumlah sangat sedikit.
Kekurangan metode PCR adalah:2,9
1) Mudah terkontaminasi
Kontaminasi merupakan masalah yang besar pada PCR karena
sistem ini memperbanyak DNA yang ada dengan tingkat akurasi
yang tinggi. Sebuah molekul DNA dapat menjadi jutaan bahkan
milyaran DNA dalam waktu tiga jam, jika ada sebuah molekul
DNA bakteri atau kontaminan lain tercampur maka molekul
tersebut juga akan diperbanyak dalam laju yang sama sehingga
akan terjadi salah kesimpulan.

2) Kebanyakan lokus dalam PCR memiliki alel lebih sedikit


dibandingkan VNTR pada metode RFLP.
3) Tidak seperti VNTR yang menggunakan area yang tidak
berfungsi, beberapa lokus dari PCR adalah gen yang fungsional,
ini berarti telah terjadi seleksi alam yang menyebabkan perbedaan
yang lebih besar dari subgroup populasi.
 STRs (Short Tandem Repeats)
Short tandem repeats (STRs), merupakan nama lain dari
microsatellites atau Simple sequence repeats (SSRs), bentuk dari
mikrosatelit itu sendiiri berbentuk seperti accordion dimana rantai DNA
nya memiliki bagian pengulangan antara dua sampai tujuh nukleotida
dengan panjang pengulangan kira-kira sampai setengah lusin atau lebih.
Meskipun manusia memiliki beribu-ribu genom sebagai penanda STR,
hanya sebagian lokus yang bisa dipakai untuk pemeriksaan DNA
forensik dan identifikasi personal, seperti mata uang yang dipakai secara
umum, sebagian kecil lokus yang diambil sebagai sampel dapat
mewakili gambaran secara umum dari genomnya sebagai sumber
informasi dan pembanding. Di masa sekarang telah tersedia 1 set
peralatan (commercial kits) untuk pemeriksaan profil DNA termasuk
pemeriksaan STR. Setiap tahun secara luas sudah dihasilkan jutaan
profil STR yang dilakukan oleh pemerintah, universitas, dan
laboratorium untuk beberapa kepentingan diantaranya identitas pribadi
termasuk DNA database, untuk kepentingan kedokteran forensik,
identifikasi orang hilang atau identifikasi korban bencana, atau masalah
penentuan hubungan orangtua-anak.2
Metode STRs (Short Tandem Repeats) adalah salah satu metode
analisis yang berdasar pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
STRs (Short Tandem Repeat) adalah suatu istilah genetik yang
digunakan untuk menggambarkan urutan DNA pendek (2 – 5 pasangan
basa) yang diulang. Genome setiap manusia mengandung ratusan STRs.
Metode ini paling banyak dikembangkan karena metode ini cepat,
otomatis dan memiliki kekuatan diskriminasi yang tinggi. Dengan
metode STRs dapat memeriksa sampel DNA yang rusak atau dibawah
standar karena ukuran fragmen DNA yang diperbanyak oleh PCR hanya
berkisar antara 200 – 500 pasangan basa. Selain itu pada metode ini
dapat dilakukan pemeriksaan pada setiap lokus yang memiliki tingkat
polimorfisme sedang dengan memeriksa banyak lokus dalam waktu
bersamaan. Teknik yang digunakan adalah multiplexing yaitu dengan
memeriksa banyak lokus dan berbeda pada satu tabung. Dengan cara ini
dapat menghemat waktu dan menghemat sampel. Analisis pada teknik
ini didasarkan pada perbedaan urutan basa STRs dan perbedaan panjang
atau pengulangan basa STRs.2,7
Sekarang 1 set peralatan (commercial kits) sudah tersedia dimana
disediakan primer campuran dan standard master mixture yang terdiri
dari enzim polymerase, enzim buffer, dan dNTPs, dengan hasil yang
sudah memenuhi standard nasional dan internasional untuk keperluan
identifikasi kasus kriminal. Commercial kits lebih sering digunakan di
laboratorium forensik meskipun harganya lebih mahal, karena peralatan
ini mudah untuk digunakan dan sudah memiliki standard nasional dan
internasional dan bisa memberikan hasil akhir yang akurat.2
Mulai tahun 1996, laboratorium FBI meluncurkan upaya ilmu
forensik nasional untuk menyusun lokus-lokus STR inti (core STR loci)
untuk dimasukkan dalam database nasional yang dikenal sebagai CODIS
(Combined DNA Index System). Ke-13 lokus CODIS adalah CSF1PO,
FGA, TH01, TPOX, VWA, D3S1358, D5S818, D7S820, D8S1179,
D13S317, D16S539, D18S51 dan D21S11. Lokus-lokus ini secara
nasional dan internasional diakui sebagai standar untuk identifikasi
manusia.2

 Y- STRs (Y-Short Tandem Repeats)


Y- STRs adalah STRs yang ditemukan pada kromosom Y. Y- STRs
dapat diperiksa menggunakan jumlah sampel kecil dan rusak dengan
metode dan alat yang sama dengan pemeriksaan STRs pada kromosom
autosomal. Karena kromosom Y hanya terdapat pada pria maka Y- STRs
dapat berguna untuk menyaring informasi genetik yang spesifik dari pria
yang yang menjadi sampel. Pemeriksaan Y- STRs dapat digunakan
untuk memeriksa sampel tanpa sperma yang bercampur antara sampel
laki-laki dan perempuan, seperti sampel darah atau air liur yang diambil
dari korban kasus perkosaan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi
profil pria ketika hanya profil wanita yang tampak jelas saat
menggunakan STRs. Karena kromosom Y tidak mempunyai homolog
pada genom manusia, maka disebut hemizygous. Kromosom Y tidak
mempunyai partner yang sama seperti pada kromosom autosomal.
Walaupun ia berpasangan selama pembelahan sel, rekombinasi genetik
yang terjadi hanya sedikit atau yidak ada sama sekali, hal ini diwariskan
kepada keturunannya. Y- STRs sangat berguna untuk menyelesaikan
kasus disputed paternity pada anak laki-laki, karena kromosom Y
diturunkan oleh ayah kepada anak laki-laki.2,7

8. Analisis Hasil Tes DNA


Analisis DNA untuk tes paternitas meliputi beberapa tahap yaitu tahap
pengambilan spesimen, tahap proses laboraturium, tahap perhitungan statistik dan
pengambilan kesimpulan. Untuk metode tes DNA di Indonesia, masih
memanfaatkan metode elektroforesis DNA. Intreprestasi hasilnya adalah dengan
cara menganalisa pola DNA menggunakan marka STR (Short Tandem Repeats).
STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom
manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya.
Dengan menganalisa STR ini, maka DNA tersebut dapat diprofilkan dan
dibandingkan dengan sampel DNA terduga lainnya.

Beberapa tahapan tes DNA yaitu:9

1. Tahapan preparasi sampel yang meliputi pengambilan sampel DNA (isolasi)


dan pemurnian DNA. Dalam tahap ini diperlukan kesterilan alat-alat yang
digunakan. Untuk sampel darah, dalam isolasinya dapat digunakan bahan kimia
phenolchloroform sedangkan untuk sampel rambut dapat digunakan bahan kimia
Chilex. Selanjutnya DNA dimurnikan dari kotoran-kotoran seperti protein, sel
debris, dan lain lain. Untuk metode pemurnian biasanya digunakan tehnik
sentrifugasi dan metode filtrasi vakum. Tetapi berbagai ilmuwan telah banyak
meninggalkan cara tersebut dan beralih ke produk-produk pemurnian yang telah
dipasarkan seperti produk butir magnet yang memanfaatkan silica-coated
paramagnetic resin yang memungkinkan metode pemisahan DNA yang lebih
sederhana dan cepat.

2. Tahapan selanjutnya adalah memasukan sampel DNA yang telah dimurnikan


kedalam mesin PCR (polymerase chain reaction) sebagai tahapan amplifikasi.
Hasil akhir dari tahap amplifikasi ini adalah berupa copy urutan DNA lengkap
dari DNA sampel. Selanjutnya copy urutan DNA ini akan dikarakterisasi dengan
elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang
berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu
juga berbeda. Pola pita inilah yang disebut DNA sidik jari (DNA fingerprint)
yang akan dianalisa pola STR nya. Tahap terakhir adalah DNA berada dalam
tahapan typing, proses ini dimaksudkan untuk memperoleh tipe DNA. Mesin PCR
akan membaca data-data DNA dan menampilkannya dalam bentuk angka-angka
dan gambar-gambar identifikasi DNA. Finishing dari tes DNA ini adalah
mencocokan tipe-tipe DNA.

3. Hasil analisis laboratorium atau profil DNA akan terlihat berupa pita-pita DNA
yang terdapat pada gel poliakrilamid. Pita DNA anak kemudian dibandingkan
dengan pita DNA ayah dan ibunya. Dapat dilihat bahwa masing-masing orang
memiliki dua pita sebagai representasi dua alel yang menggambarkan DNA pada
satu pasang kromosom. Salah satu pita pada kolom DNA anak sama tinggi dengan
salah satu pita ibu yang menunjukkan alel tersebut berasal dari ibu, artinya pita
anak yang kedua berasal dari pihak ayah terlihat bahwa salah satu pita ayah sama
tinggi dengan pita kedua anak. Kemudian dilakukan perhitungan statistik sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa pria tersebut kemungkinan besar adalah ayah
dengan kemungkinan sekian persen dibandingkan dengan orang lain dalam ras
yang sama.
Daftar Pustaka

1. Anonim. Brief history of forensik DNA typing. 20 Agustus 2006. Diunduh


dari: www.cstl.nist.gov/strbase/ppt/intro.pdf, 6 Agustus 2016.
2. Samuels JE, Christopher A. The future of forensik DNA testing:
Prediction of the research and development working group. 15 April
2009. Diunduh dari: http://www.denverda.org/DNA/Forensik_DNA_
Articles.htm; 6 Agustus 2016.
3. Anonim. Pusdokkes Polri the Indonesian police centre for medical and
health service. 7 November 2008. Diunduh dari:
http://www.pusdokkes.polri.go.id/naskah/dokpol/ladok poli.html; 6
Agustus 2016.
4. Ilmu kedokteran forensik FKUI hal 182-4
5. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV hematologi klinik ringkas
6. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Hematologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. Hal. 290.
7. Rudin N, Inman K. Introduction to forensik DNA analysis. 2nd ed. USA:
CRC Press LLC; 2002. Hal. 97-125.
8. Thomas C. Forensik DNA analysis: Technology and aplication. 10
Agustus 2009. Diunduh dari:
http://www.denverda.org/DNA/Forensik_DNA_Articles.htm; 6 Agustus
2016.
9. Anonim. DNA genetik testing-paternity and forensik use. 20 Juni 2010.
Diunduh dari: http://www.genetiks.edu.au; 6 Agustus 2016.

Anda mungkin juga menyukai