Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epitaksis atau sering disebut juga mimisan yaitu satu keadaan pendarahan
dari hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan lokal pada
rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh.
Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain.
Dengan kata lain epistaksis bukan merupakan suatu penyakit.11,12

Etiologi epistaksis biasanya tidak diketahui (idiopatik). Namun beberapa


penyebab yang jelas diketahui menimbulkan epistaksis seperti trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembluh darah, infeksi lokal, benda asing, pengaruh udara, dan
tumor. Kelainan sistemik juga dapat menyebabkan epistaksis seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Epistaksis banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak-


anak maupun usia lanjut.1 sekitar 60% dari populasi mengalami epistaksis pada
beberapa waktu, dan 6% membutuhkan perhatian ahli medis.3 Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun dan sering dijumpai
pada musim dingin dan kering.1 Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki
dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan
riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1,11

Hampir 90% epistaksis merupakan gejala ringan dan dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal apabila tidak segera
ditangani.1,2,3 Banyak masyarakat yang mempunyai respon yang berbeda ketika

1
mengalami epistaksis. Beberapa orang menganggap epistaksis sebagai masalah
yang serius bahkan sampai panik dan takut. Namun beberapa orang menganggap
epistaksis sebagai hal yang sepele, sehingga tentu saja akan mengancam nyawa
jika tidak ditangani dengan benar. Kedua kondisi ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan mengenai epistaksis. Untuk itulah perlunya pengetahuan mengenai
epistaksis secara komprehensif, agar penatalaksanaan yang tepat dapat
mengurangi kejadian epistaksis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah epistaksis dimasukkan ke dalam deretan penyakit di bidang
THT?
1.2.2 Apakah yang menyebabkan epistaksis?
1.2.3 Bagaimana cara menganggulangi epistaksis?
1.2.4 Bagaimana tindakan kita agar epistaksis tidak berulang?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

A. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke


bawah :

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior).

3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa
dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares
dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os
frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut
dorsum nasi.1

Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi
oleh:

- Superior : os frontal, os nasal, os maksila

- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris


mayor dan kartilago alaris minor .

Persarafan :

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

B. Kavum Nasi

4
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum
nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial
anterior dan fossa kranial media.

Persarafan :

1.Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus


yaitu N. Etmoidalis anterior

2.Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion


pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian
menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

C. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan


fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih
terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi
metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang


penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum
nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia

5
dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret
kental dan obat – obatan. 1,3

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan.

Perdarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid


anterior dan posterior yang merupakan cabang arteri oftalmika dari arteri
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang arteri maksilaris interna diantaranya adalah ujung arteri palatina
mayor an arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatine mayor yang disebut pleksus kiesselbach (Little’s area). Pleksus
kiesselbach ini letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.1

Fungsi hidung :

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada
ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara

6
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk


mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara:

a. Mengatur kelembaban udara.


Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b.Mengatur suhu.
Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan
silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri (lysozime)

4. Indra penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa


olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

7
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan


hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)


dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara. 1,3

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas

2.2 DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya
bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila
tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya
berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.

1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya


mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya
iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak
cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan
transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus
cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda

8
adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga
memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80
tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat
angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3

2.4 ETIOLOGI
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya
epistaksis. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui
penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis
dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.
Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.
Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital.1 Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor, berikut
penjelasannya :

Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis
antara lain :
 Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,

9
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaanlalu lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda
asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering juga terjadi
karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan.1
 Obat semprot hidung (nasal spray)
Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama
golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten.
Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah
berdarah jika krusta terlepas. Pemakaianfluticasone semprot hidung
selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.9
 Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
 Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat
epistaksis yang berulang.
 Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal
dan kokain.9
 Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure
(CPAP).
 Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat).9
 Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)
merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan.
Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang
hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas
pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.2
 Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin)
dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel).9

10
Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis.
Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan
kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah. 2 Penyebab epistaksis
yang bersifat sistemik antara lain:
 Sirosis hepatis. 9
 Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol. 9
 Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormone adrenokortikosteroid atau
hormone mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau
hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan
hyperparathyroidism. 8

Termasuk etiologi sistemik lain

 Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya


pada kehamilan, menarke dan menopause
 kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;
 Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung pada pasien dengan
pengobatan antikoagjlansia.

Sumber Perdarahan :

Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.

Epistaksis anterior

 Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan


biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
 Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus
Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area
terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis

11
anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior.
Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial,
mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior

Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah
mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior
untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan
hipertensi.

12
2.5 PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia
menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh
darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi
jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih
muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh
darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.4 Berdasarkan
lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. 3 Perdarahan pada lokasi
ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis
dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung
postero superior vestibulum nasi.2,5 Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior.2 Mukosa pada daerah ini sangat rapuh
dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini terbuka
terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan .5

2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.3 Thornton

13
(2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal
lateral.7

2.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan epitaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari


sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah beulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,
perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya.
Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus.
Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu
dibersihkan atau diisap.1

Untuk menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya,


setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat- alat
yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung
dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab perdarahan.1

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan


darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaan
lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala
ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran
napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk,
kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.1,3

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah


dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang
tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri
pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama

14
10-15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi biasanya dapat dilihat apakah
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.1

Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di


septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya,
perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan
menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila
sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi
krim antibiotik.1

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka


perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau
kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas
ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan
baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4
buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan.
Tampon di pertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk
mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan
masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1

Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya


perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm.
Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di
sisi berlawanan.1,3

15
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung
sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung
kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter
ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik.
Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat
melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan,
maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofarinf tetap pada
tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar
pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat
menyebabkan laserasi mukosa.1

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus


angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui
kavum nasi kanan dan kiri dan tampon posterior terpasang di tengah-
tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan
kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon
buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari
bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian
endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi
a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.

2.7 KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epitaksis sendiri atau


sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan
yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga
dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan

16
darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemik
serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah
harus dilakukan secepatnya.

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga


perlu diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan
rinosinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh
karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasang tampon
hidung dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih
berlanjut dipasang tampon baru.

Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya


darah melalui tuba Eustachius dan airmata berdarah akibat mengalirnya
darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon
posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika
benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

2.8 MENCEGAH PERDARAHAN BERULANG

Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan


pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi
hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT
scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau
Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

17
BAB III

PEMBAHASAN

1. Apakah epistaksis dimasukkan ke dalam deretan penyakit di bidang THT?

Epistaksis merupakan gejala keluarnya darah dari hidung yang dapat terjadi
akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan
yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Epistaksis bukan merupakan suatu
penyakit, namun merupakan gejala dari suatu kelainan atau penyakit baik
dalam bidang THT maupun di luar bidang THT.

2. Apakah yang menyebabkan epistaksis?

Penyebab epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis
antara lain:
 Trauma nasal.
 Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung
secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat
menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada
septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas.
Pemakaianfluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum
menimbulkan efek samping pada mukosa.12
 Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
 Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya
riwayat epistaksis yang berulang.
 Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan
topikal dan kokain.12

18
 Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP).
 Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat).12

b. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis.
Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan
kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah.1 Penyebab
epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:
 Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)
merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom
dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan
perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan
kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.1
 Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin,
warfarin) dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel).12
 Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.12
 Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.12
 Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormone adrenokortikosteroid
atau hormone mineralokortikoid, pheochromocytoma,
hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan
dan hyperparathyroidism.11

Termasuk etiologi sistemik lain

 Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya


pada kehamilan, menarke dan menopause
 kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;

19
 Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung
 pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.

3. Bagaimana cara menganggulangi epistaksis?

Penatalaksanaan epitaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber


perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
beulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan
keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada
kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas
dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
diisap.

Untuk menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya


dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat- alat yang
diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab perdarahan.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah


mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaan lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar
tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan


bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-
1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat

20
dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit.
Setelah terjadi vasokontriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan
berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum


bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan
anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan
hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber
perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim
antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu
dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa
yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini
agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru
saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
di pertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti,
dipasang tampon baru.

Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya


perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi
anterior.

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon


posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat

21
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan


bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak
di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan
2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui
hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong
dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon
anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat
pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofarinf tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar
dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut
tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan
dan kiri dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan
balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan
balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan
panduan endoskop.

4. Bagaimana tindakan kita agar epistaksis tidak berulang?

Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan


tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan

22
ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus
bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan
Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

23
BAB IV

KESIMPULAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa


lokal atau sistemik. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-
80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi
atau arteriosklerosis.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau
kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.
Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital.1
Berdasarkan sumber perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi
epistaksis anterior dan posterior. Epistaksis anterior berasal dari pleksus
Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah
diatasi dan dapat berhenti sendiri. Pada epistaksis posterior perdarahannya
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Umumnya berasal dari
a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior.
Penatalaksanaan epitaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
beulangnya perdarahan. Perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali
berhasil. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu
dilakukan pemasangan tampon anterior Bila perdarahan masih belum berhenti,
dipasang tampon baru. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan

24
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq, kateter Folley,
teknik kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epitaksis sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang
hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal..

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,


Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok.
Edisi 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 2008: 155– 59.
2. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease
Aproblem-Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9.
3. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,
Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok.
Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.
4. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 1–19.
5. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih
bahasa staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa
Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6.
6. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a
pocket reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher,
Inc, 1994: 170– 80 dan 253 – 60.
7. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of
common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90.
8. Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler. Cermin
Dunia Kedokteran 2005; 147: 16-20.
9. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on Current Management.
Postgrad Med J 2005; 81: 309-14.
10. Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End
Organ Damage in Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999; 109:
1111-5.

26
11. Bestari J Budiman, Al Hafiz. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah
Hubungannya?. Jurnal FK Unand yang dipublikasikan. Balai Penerbit FK
Unand, Padang, Sumatera Barat. 2012.
12. Jeffrey, D Suhh,MD. 2012. Article of American Rhinologic society.
Published May, 5th 2012. United states of America. ( http://care.american-
rhinologic.org/epistaxis diakses tanggal 21 Agustus 2014).

27

Anda mungkin juga menyukai