Arum 20091015100705 2301 0
Arum 20091015100705 2301 0
Arum Atmawikarta *)
Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman kita
bersama tentang pentingnya peranan investasi kesehatan dalam
pembangunan ekonomi. Sumber utama dari tulisan ini berasal dari
“Konferensi Regional Anggota Parlemen Tentang Laporan Komisi
Makroekonomi dan Kesehatan” yang diselenggarakan oleh World Health
Organization (WHO) di Bangkok, Thailand pada tanggal 15 – 17
Desember 2002. Konferensi ini diikuti oleh para anggota parlemen yang
berasal 9 negara, yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Maldives,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, dan Thailand.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Tentang Pembangunan Sosial
(The World Summit For Social Development) di Copenhagen tahun 1995
telah dilakukan pembahasan dengan tema difokuskan pada
penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan
kesetiakawanan sosial. Dengan latar belakang ini, selanjutnya para
Menteri Kesehatan membicarakan tentang peranan kesehatan dalam
pembangunan berkelanjutan, pada pertemuannya yang ke-13 bulan
September 1995. Para Menteri Kesehatan sangat menyadari tentang
keterkaitan antara kemiskinan dengan kesehatan.
Selanjutnya, telah diterbitkan monografi tentang kaitan antara
kemiskinan dan kesehatan sebagai issu regional di Asia Tenggara pada
bulan Juli tahun 1997. Monografi tersebut antara lain menyimpulkan
bahwa kebijakan makroekonomi seharusnya diarahkan untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial secara beriringan.
Analisis membuktikan bahwa penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan status kesehatan memerlukan kerangka kebijakan
makroekonomi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang cepat dan berkeadilan.
Pada pertemuan mereka pada tahun 1997, para Menteri Kesehatan
mengadopsi Deklarasi Tentang Pembangunan Kesehatan di Regional Asia
Tenggara untuk Abad ke-21. Pada pertemuan tersebut, mereka
menyatakan pendiriannya bahwa kesehatan adalah merupakan inti atau
pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan. Mereka menyadari bahwa
terdapat hubungan yang sangat erat antara kemiskinan dengan
kesakitan, dan membuat komitmen diantara mereka untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai prioritas yang paling
tinggi.
Selanjutnya, dalam Deklarasi tentang Kesehatan Masyarakat di
Calcutta, pada bulan November 1999 antara lain meneguhkan komitmen
bahwa penangulangan kemiskinan, dan keadilan sosial, yang merupakan
* )
Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH adalah Direktur Kesehatan dan Gizi
Masyarakat, BAPPENAS-red
Halaman 1
elemen utama untuk mewujudkan kesehatan bagi semua. Dengan
demikian, keterkaitan antara kesehatan dan pembangunan telah disadari
oleh para pemimpin kesehatan dan pembuat kebijakan di regional Asia
Tenggara.
Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan (selanjutnya disebut
Komisi) pada bulan Desember 2001 menekankan pentingnya
pembangunan manusia sebagai sentral pembangunan.
Halaman 2
memperkirakan bahwa perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak
30% terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di Inggris.
Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara
dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, mengahadapi
tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan
jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan
pendidikannya. Pada Tabel 1 dibawah ini ditunjukkan tingkat
pertumbuhan dari beberapa negara sedang berkembang pada periode
1965-1994. Pengelompokan negara-negara tersebut didasarkan atas
tingkat pendapatan dan angka kematian bayi (sebagai proksi dari seluruh
keadaan penyakit pada tahun 1965). Tabel tersebut menjelaskan di
negara-negara dengan tingkat angka kematian bayi yang rendah
menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode
tertentu.
Halaman 3
meningkat, dan pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Peranan kesehatan diantara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi
dapat digambarkan dalam Diagram 1 dibawah ini. Dalam diagram
tersebut dapat dilihat, pembangunan ekonomi disatu fihak, merupakan
fungsi dari kebijakan dan institusi (kebijakan ekonomi, pemerintahan
yang baik, dan penyediaan pelayanan publik), dan faktor masukan
(sumber daya manusia, teknologi, dan modal perusahaan) dilain fihak.
Kesehatan mempunyai peranan ekonomi yang sangat kuat terhadap
sumber daya manusia dan modal perusahaan melalui berbagai
mekanisme seperti digambarkan.
Kebijakan ekonomi
Pemerintahan yang baik
Penyediaan pelayanan publik
Kesehatan
Teknologi, termasuk:
Pengetahuan ilmiah yang relevan Pertumb
untuk menghasilkan inovasi dalam uhan
difusi ekonomi dalam negeri dengan ekonomi
menggunakan teknologi dari luar :
Pertumb
uhan
Modal perusahaan, termasuk: GNP
Investasi yang pasti dalam peralatan, perkapit
organisasi dan kerjasama karyawan, a,
peluang investasi untuk menarik
modal
Halaman 4
dan politik pemerintahan. Sebagai contoh, tingginya angka prevalensi
penyakit malaria menunjukkan hubungan yang erat dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen atau lebih setiap tahunnya.
Kedua, Kesehatan dan Kemiskinan
Berbagai indikator kesehatan di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah jika dibandingkan dengan negara-negara
berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa angka kesakitan dan
kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan pendapatan, seperti
terlihat dalam Tabel 2 dibawah ini. Studi lain dilakukan oleh Bank Dunia
yang membagi keadaan kesehatan antara kelompok penduduk
berpenghasilan tinggi dan rendah pada negara-negara tertentu. Sebagai
contoh, tingkat kematian anak pada quantil termiskin di Bolivia dan Turki
diperkirakan empat kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat
kematian pada quantil terkaya. Dengan demikian kebijakan yang
diarahkan untuk menanggulangi penyakit malaria dan kekurangan gizi
secara langsung merupakan implementasi dari kebijakan mengurangi
kemiskinan.
Komitmen global untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas
dicantumkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium
Development Goals-MDGs). Tujuan pembangunan milenium tersebut
antara lain: (1) menurunkan angka kematian anak sebesar dua
pertiganya pada tahun 2015 dari keadaan tahun 1990; (2) menurunkan
angka kematian ibu melahirkan sebesar tiga perempatnya pada tahun
2015 dari keadaan 1990; dan (3) menahan peningkatan prevalensi
penyakit HIV/AIDS dan penyakit utama lainnya pada tahun 2015. Tujuan
pembangunan milenium difokuskan terhadap pengurangan kemiskinan
pada umumnya dan beberapa tujuan kesehatan pada khususnya,
sehingga terdapat keterkaitan antara upaya keseluruhan penurunan
kemiskinan dengan investasi di bidang kesehatan.
Halaman 5
Pendapatan 891 25730 78 6 6
Tinggi
Sub-Sahara 642 500 51 92 151
Afrika
Sumber: Human Development Report 2001, Table 8, and CMH Calculation using World
Development Indicators of the World Bank
Beberapa alasan meningkatnya beban penyakit pada penduduk
miskin adalah: Pertama, penduduk miskin lebih rentan terhadap penyakit
karena terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi serta
kecukupan gizi. Kedua, penduduk miskin cenderung enggan mencari
pengobatan walaupun sangat membutuhkan karena terdapatnya
kesenjangan yang besar dengan petugas kesehatan, terbatasnya sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan terbatasnya pengetahuan
untuk menghadapi serangan penyakit.
Konsekuensi ekonomi jika terjadi serangan penyakit pada anggota
keluarga merupakan bencana jika untuk biaya penyembuhannya
mengharuskan menjual aset yang mereka miliki atau berhutang. Hal ini
akan menyebabkan keluarga jatuh kedalam kemiskinan, dan jika tidak
bisa keluar dari hal ini akan mengganggu tingkat kesejahteraan seluruh
anggota keluarga bahkan generasi berikutnya. Serangan penyakit yang
tidak fatal dalam kehidupan awal akan mempunyai pengaruh yang
merugikan selama siklus hidup berikutnya. Pendidikan secara luas
dikenal sebagai kunci dari pembangunan, tetapi masih belum dihargai
betapa pentingnya kesehatan anak dalam pencapaian hasil pendidikan.
Kesehatan yang buruk secara langsung menurunkan potensi kognitif dan
secara tidak langsung mengurangi kemampuan sekolah. Penyakit dapat
memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya
angka harapan hidup, dan menurunya kesejahteraan psikologis.
Ketiga, Pendekatan Aspek Demograf
Hal yang paling merugikan, namun kurang diperhatikan, biaya yang
tinggi dari kematian bayi dan anak dapat ditinjau dari aspek demografi.
Keluarga miskin akan berusaha mengganti anaknya yang meninggal
dengan cara memiliki jumlah anak yang lebih banyak. Jika keluarga
miskin mempunyai banyak anak maka keluarga tersebut tidak akan
mampu melakukan investasi yang cukup untuk pendidikan dan kesehatan
untuk setiap anaknya. Dengan demikian, tingginya beban penyakit pada
keluarga yang memiliki banyak anak akan menyebabkan rendahnya
investasi untuk kesehatan dan pendidikan untuk setiap anaknya.
Bukti empiris tentang adanya hubungan antara tingkat fertilitas
dengan tingkat kematian anak adalah sangat kuat. Negara-negara yang
memiliki angka kematian bayi kurang dari 20, mempunyai angka rata-
rata tingkat fertilitas (Total Fertility Rate) sebesar 1.7 anak. Negara-
negara dengan tingkat kematian bayi diatas 100 mempunyai angka rata-
rata tingkat fertilitas 6,2 anak. Pola ini menuntun pengertian kita bahwa
negara-negara yang mempunyai tingkat kematian bayi yang tinggi
mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk tercepat di dunia dengan
segala konsekwensinya.
Halaman 6
Ketika angka kematian anak menurun, disertai dengan turunnya
tingkat kesuburan, secara keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduk
juga menurun dan rata-rata umur penduduk akan meningkat. Ratio
ketergantungan penduduk juga akan menurun. Perubahan demografi ini
akan mendorong keseluruhan peningkatan GNP per kapita dan
pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya proporsi penduduk usia kerja
secara langsung meningkatkan GNP per kapita.
Halaman 7
dikatakan lebih sehat jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang
jumlah penderita penyakit tersebut lebih banyak.
Kedua kelompok indikator tersebut sayangnya tidak menjelaskan
kepada kita kapan kematian atau kecacatan terjadi, bagaimana tingkat
parahnya penyakit, dan berapa lama mereka menderita. Masyarakat
pempunyai nilai atau persepsi yang berbeda tentang hal-hal tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1993 kedua kelompok
indikator tersebut digabungkan kedalam satu indikator yang disebut
DALY ( Disability Adjusted Life Years ) untuk mengukur dengan lebih baik
status kesehatan penduduk. DALY menggambarkan jumlah tahun untuk
hidup sehat yang hilang sebagai akibat dari kematian dan kecacatan.
Satu DALY didefinisikan sebagai satu tahun yang hilang untuk hidup
sehat akibat dari kematian dan kecacatan. Penggunaan DALY dapat
digunakan untuk membandingkan kesehatan penduduk dari waktu ke
waktu atau membandingkan antara satu kelompok penduduk dengan
kelompok penduduk lain dengan lebih mudah dan sederhana.
Kesimpulannya, DALY mengukur beban yang ditimbulkan oleh penyakit
yang diakibatkan oleh kematian dan atau kecacatan yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Penggunaan indikator DALY dapat
dianalogikan dengan penggunaan indikator HDI (Human Development
Index) yang dikembangkan oleh UNDP yang merupakan indikator
komposit dari kesehatan, pendidikan dan tingkat pendapatan.
Komisi Makroekonomi dan Kesehatan dalam penyusunan
laporannya menggunakan DALY dan analisis manfaat biaya. Dalam
laporan tersebut satu DALY dinilai sebesar rata-rata pendapatan
perkapita dalam setahun.
Tabel 3: Kehilangan Total DALY Dalam Tahun 1990 dan 1999-2001, pada
Tingkat Global dan SEAR (Dalam Juta)
Halaman 8
Kecelakaan 534 201 65 183 54 179 54
(32%) (30%) (30%)
TOTAL 1129 1438 412 1471 425 1468 419
(28%) (29%) (29%)
Sumber: WHO-SEAR, 2002
Pada tabel tersebut dapat dilihat secara global pada tahun 1999
kehilangan total DALY sekitar 1.438 juta. Untuk regional Asia Timur-
Selatan pada kehilangan total DALY pada tahun 1999, 2000, dan 2001
berturut-turut sekitar 412, 425, dan 419 juta. Pada regional tersebut,
terjadi beban ganda dalam masalah kesehatan yaitu disatu fihak
menghadapi masalah penyakit menular (seperti AIDS, TB, dan Malaria)
dilain fihak menghadapi penyakit tidak menular (misalnya Kanker,
Hipertensi, dan Diabetes).
Komisi telah mengidentifikasi tujuh penyebab utama kematian
yang dialami di negara-negara berpendapatan rendah (pendapatan
pertahun sekitar US$ 300) yaitu: HIV/AIDS, Malaria, Tuberkulosis/TB,
infeksi menular pada anak, masalah kesehatan ibu dan bayi, kekurangan
zat gizimikro, dan penyakit akibat merokok.
Komisi tersebut mengarahkan agar dilakukan intervensi langsung
terhadap tujuh penyebab utama kematian tersebut, dan intervensi
tersebut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan dasar seperti
Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan jaringannya agar lebih dekat
pelayanannya terhadap penderita, disebut dengan sistem Dekat Dengan
Klien-DDK (Close to Client-CTC)
Sebagian besar kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan
intervensi esensial tersebut tidak memerlukan teknologi canggih atau
tenaga kesehatan dengan keahlian tinggi seperti tersedia di Rumah Sakit.
Dibawah ini disampaikan beberapa intervensi esensial yang diperlukan
untuk menangani berbagai penyakit penyebab utama kematian yaitu
sebagai berikut.
1. HIV/AIDS: Ubah kebiasaan hidup, contohnya hanya melalukan
hubungan intim dengan satu partner, gunakan kondom, gunakan
transfusi darah yang aman, gunakan jarum suntik yang aman.
2. Malaria: Gunakan kelambu yang telah dicelup dengan insektisida,
lakukan manajemen kasus yang baik.
3. Tuberkulosis: Manajemen kasus yang lebih baik melalui DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course)
4. Penyakit infeksi menular pada anak: Imunisasi, penggunaan oralit
atau larutan gula garam
5. Gangguan kesehatan ibu dan bayi: Pertolongan persalinan oleh
tenaga terlatih, imunisasi ibu dengan tetanus-toksoid
6. Kekurangan zat gizimikro: Yodisasi garam, pemberantasan penyakit
cacing pada anak sekolah
Halaman 9
7. Penyakit akibat tembakau: Larangan iklan rokok, naikan pajak
rokok.
Meningkatkan Keadilan Melalui Pentargetan Penduduk Miskin
Yang Lebih Baik
Memilih intervensi dengan biaya efektif seperti yang telah
diuraikan diatas tidak akan secara otomatis meningkatkan keadilan
pelayanan kesehatan. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
tingkat penggunaan (utilisasi) pelayanan kesehatan secara optimal dan
mempengaruhi status kesehatan yaitu hambatan geografik, pembiayaan,
dan sosio-antropologis. Dengan melaksanakan sistem DDK diharapkan
akan menghilangkan hambatan geografis. Untuk mengatasi hambatan
keuangan dianjurkan untuk melaksanakan sistem asuransi kesehatan
untuk menggantikan sistem pembayaran pelayanan kesehatan langsung.
Asuransi kesehatan, diluar asuransi swasta komersial akan mencegah
keluarga jatuh kedalam keadaan melarat. Komisi juga menganjurkan
diterapkannya skema skala kecil pembiayaan kesehatan yang berasal dari
masyarakat (Di Indonesia dikenal dengan Dana Sehat), sebagai
manifestasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Hambatan sosio-antropologi berkaitan dengan bagaimana tanggapan dari
sistem kesehatan terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat,
dan seberapa besar jarak ekonomi dan budaya antara pengguna dan
penyedia pelayanan kesehatan.
Halaman 10
untuk melakukan intervensi esensial di negara-negara berpendapatan
rendah adalah kurang dari US$ 1.200 per orang per tahun. Paket
intervensi dan target serta cakupan intervensi disajikan dalam Tabel 4.
Sebagai contoh, diperkirakan cakupan DOTS untuk pengobatan TB akan
meningkat dari 44% dari pasien tang terinfeksi menjadi 60% pada tahun
2007, dan 70% pada tahun 2015.
Halaman 11
menjadi US$ 34 dan menjadi US$ 38 pada tahun 2015. Tingkat
pengeluaran ini masih kasar sebagai angka minimum per orang yang
diperlukan untuk melakukan intervensi esensial. Perkiraan ini cukup
rasional jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya kesehatan di
negara-negara maju yang besarnya lebih dari US$ 2000 per orang per
tahun. Namun disadari bahwa peningkatan biaya yang diharapkan
dinegara-negara berpendapatan rendah masih cukup tinggi mengingat
daya beli masyarakatnya masih rendah. Pembiayaan khusus diperlukan
diantara negara-negara tertentu tergantung dari epidemiologi penyakit
dan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Sekitar US$ 30-45 harus berasal dari pengeluaraan publik, untuk
dua alasan: Pertama, untuk memenuhi pelayanan publik (misalnya
pemberantasan penyakit infeksi menular), dimana individu kurang
mendapatkan insentif terhadap proteksi untuk dirinya sendiri, dan
Kedua, untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan dimana mereka tidak cukup memiliki uang.
Komisi sadar bahwa dengan pengeluaran publik sekitar US$ 30 –
45, belum banyak yang dilakukan guna peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan seperti halnya pelayanan komprehensif dinegara-negara maju.
Perkiraan ini adalah biaya minimal sitem kesehatan untuk menangani
penyakit infeksi menular dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi yang
merupakan proporsi terbesar untuk menghindari kematian di negara-
negara berpendapatan rendah. Dengan memberikan intervensi pelayanan
kesehatan yang efektif akan meningkatkan kemampuan daerah untuk
menanggapi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat sebagai pra
kondisi untuk meningkatkan askes penduduk miskin terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan umum.
Halaman 12
Infeksi dan 9,073,05 8,903,93 2,849,25 8,763,00 2,804,16
kurang gizi 9 5 9 0 0
Gangguan 491,185 360,720 203,645 252,000 87,400
Kesehatan
Ibu
Infeksi 2,101,80 2,175,87 718,038 2,080,00 686,400
Saluran 2 3 0
Nafas
Gangguan 2,101,80 1,815,00 1,384,68 1,576,00 1,015,51
Kesehatan 2 1 2 0 9
Perinatal
Sumber: WHO-SEAR, 2002
Catatan: Biaya dalam Juta US$, Angka dalam kurung adalah % dari GNP, Berdasarkan 8
Negara Asia Selatan
Halaman 13
Mobilisasi Sumberdaya Dalam Negeri Yang Lebih Besar Untuk
Kesehatan
Tidak cukupnya tingkat pengeluaran biaya kesehatan, adalah
sebagai refleksi dari kemiskinan. Ketika suatu negara mempunyai GNP
sekitar US$ 500 per orang per tahun, walaupun pengeluaran kesehatan
sebanding dengan 5% dari GNP maka jumlahnya sekitar US$ 25 per
orang per tahun. Terdapat 1,8 miliar penduduk hidup di negara-negara
yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$ 500, dan terdapat 350
juta penduduk yang hidup di negara-negara tersebut dengan pengeluaran
biaya kesehatan kurang dari US$ 25 per orang per tahun. Tidak ada satu
pun negara dengan pendapatan US$ 500 atau kurang per tahun
mempunyai pengeluaran US$ 30 per orang per tahun untuk kesehatan.
Dan tidak ada satu negara pun yang pemerintahnya mengeluarkan US$
20 per orang per tahun untuk pengeluaran publik untuk kesehatan.
Negara-negara termiskin didunia ditandai dengan teramat
rendahnya pengeluaran biaya untuk kesehatan dibanding dengan standar
negara-negara berpendapatan tinggi. Walaupun seandainya negara-
negara miskin tersebut mengalokasikan sumber daya dalam negeri lebih
banyak untuk kesehatan hal ini tidak akan memecahkan masalah
mendasar: negara-negara miskin tidak memiliki sumber daya biaya yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakatnya. Dengan perkiraan US$ 30 – 40 per kapita untuk
pelayanan esensial, jumlah ini akan menyerap sekitar 10% dari GNP dari
negara miskin tersebut, jauh dari sumber daya dalam negeri yang dapat
dimobilisasikan.
Komisi telah menguji secara hati hati peningkatan sumber daya
dalam negeri, terutama sumber daya biaya yang dapat dimobilisasi untuk
kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah. Berkaitan dengan
sumber daya sektor publik, kemampuan untuk meningkatkan anggaran
kesehatan tentu akan berbeda antar negara hal ini dipengaruhi oleh
struktur ekonomi, kemampuan mengumpulkan pajak, kemampuan bayar
hutang, dan banyak faktor lainnya. Masih terdapat beberapa kasus
dimana pengeluaran publik untuk kesehatan yang sangat rendah
mungkin dapat dimobilisasi, tetapi komitmen politik sangat sulit
diperoleh. Jika masyarakat secara tegas dapat dibedakan secara
geografis maupun etnis, pemerintah cenderung memilih untuk
mengalokasikan untuk kelompok minoritas daripada untuk kelompok
penduduk yang luas. Begitu pula halnya jika terdapat diskriminasi yang
merugikan terhadap perempuan yang bertanggung jawab terhadap
perawatan kesehatan keluarga, seringkali perhatian menjadi kurang
terhadap kelompok miskin secara keseluruhan.
Dapat juga terjadi pengeluaran kesehatan seringkali menjadi tidak
efisien atau bahkan percuma. Keadaan ini terutama terjadi akibat
pengeluaran langsung untuk kesehatan oleh orang miskin guna
memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas rendah dan pengobatan
kurang tepat. Di China dan India sebagai contoh, penduduk miskin di
Halaman 14
desa membayar langsung sekitar 85% palayanan kesehatannya untuk hal-
hal yang tidak layak misalnya untuk pembelian obat yang tidak bermutu,
dan tenaga kesehatan yang kurang profesional dan tidak memiliki
lisensi.
Walaupun sebagian besar negara akan memobilisasi lebih banyak
biaya untuk kesehatan, tetapi sangatlah realistik untuk memperkirakan
bahwa meningkatnya pendapatan tidak akan lebih dari 1 – 2% dari GNP
dinegara-negara berpendapatan rendah. Sebagai pedoman indikatif,
diperkirakan bahwa rata-rata di negara berpendapatan rendah akan
meningkatkan pengeluaran biaya untuk kesehatan menjadi 1% dari GNP
pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015. Bagi negara-negara dengan
pendapatan per kapita US$ 500, kenaikan $ 5 per kapita per tahun pada
tahun 2007 dan $ 10 pada tahun 2015 tidaklah cukup untuk menutupi
jurang antara biaya untuk pelayanan esensial dengan ketersediaan
sumber daya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan
memobilisasi sumber sumber dana dari luar negeri (donor) untuk dapat
menutupi kekurangan pembiayaan bagi negara-negara berpendapatan
rendah.
Strategi dasar untuk reformasi pembiayaan kesehatan di negara-
negara berpendapatan rendah, Komisi menyarankan 6 langkah yaitu:
(1) meningkatkan mobilisasi pajak umum untuk kesehatan guna mencapai
1% dari GNP pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015, (2)
meningkatkan bantuan dari negara donor untuk membiayai pengadaan
barang publik guna menjamin akses penduduk miskin terhadap
pelayanan kesehatan esensial, (3) mengalihkan pengeluaran langsung ke
sistem pra bayar, termasuk program pembiayaan masyarakat yang
didukung oleh pembiayaan publik jika memungkinkan, (4) menggali
inisiatif untuk membantu negara-negara sangat miskin (HIPC), (5)
mengatasi inefisiensi sumber daya pemerintah dan digunakan untuk
sektor kesehatan, (6) realokasi pengeluaran biaya publik dari
pengeluaran yang tidak produktif dan subsidi untuk sektor sosial agar
lebih fokus untuk penduduk miskin.
Tingkat Hambatan
Keluarga dan Masyarakat Terbatasnya permintaan untuk intervensi yang
Halaman 15
efektif
Hambatan untuk menggunakan intervensi yang
efektif : fisik, biaya, sosial.
Pelayanan Kesehatan Kurangnya dan tidak meratanya distribusi tenaga
profesional kesehatan;
Lemahnya bimbingan teknis, manajemen, dan
supervisi;
Tidak cukupnya alokasi obat dan alat kesehatan;
Terbatasnya peralatan dan infrastrutur (termasuk
laboratorium dan komunikasi) dan rendahnya
aksesibilitas pelayanan kesehatan.
Kebijakan Sektor Lemahnya dan tersentralisasinya sistem
Kesehatan dan perencanaan dan manajemen;
Manajemen Strategik Lemahnya kebijakan obat dan peralatan
kesehatan;
Tidak memadainya regulasi kefarmasian dan
sektor swasta dan praktek industri;
Kurangnya kerjasama dan kemitraan dibidang
kesehatan antara pemerintah dan masyarakat
sipil;
Kurangnya insentif untuk menggunakan input
secara efisien dan tanggapan terhadap kebutuhan
pengguna;
Ketergantungan terhadap biaya dari donor
sehingga mengurangi fleksibilitas dan rasa
memiliki, kebijakan donor bertentangan dengan
kebijakan negara.
Kebijakan Publik Antar Birokrasi pemerintahan
Sektor Terbatasnya ketersediaan infrastruktur
komunikasi dan transportasi
Karakteristik Lingkungan A. Belum terciptanya Good Governance
Korupsi, pemerintahan yang lemah, lemahnya
hukum;
Ketidak stabilan politik dan keamanan;
Prioritas yang rendah bagi sektor sosial;
Rendahnya akuntabilitas publik;
Terbatasnya kebebasan press.
B. Lingkungan Fisik
Keadaan iklim dan geografik sebagai
peredisposisi timbulnya penyakit;
Keadaan fisik yang menghambat palayanan
kesehatan
Halaman 16
Daftar Pustaka
Halaman 17