Anda di halaman 1dari 11

RUU KUHP Dalam Sudut Pandang Kesehatan

Oleh: Fatkhul ‘Ulum

Pada tahun 2015, Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)
melanjutkan proses pembahasan RUU KUHP dengan DPR melalui surat presiden R-
35/Pres/06/2015. Beberapa waktu lalu di akhir September 2019, di akhir periode, DPR
berencana hendak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP). Pembahasan RUU KUHP ini dibahas sudah sangat lama namun masih
belum juga dapat disahkan hingga saat ini karena menuai banyak pro dan kontra di masyarakat.
Realita yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia untuk dapat dengan bahagia memiliki
peraturan perundangan yang mengatur tindak pidana rupanya masih membutuhkan waktu
tambahan. Pembahasan RUU KUHP selama 56 tahun yang dimulai sejak tahun 1963, melewati
masa 7 kepemimpinan Presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM, secara sepakat oleh
DPR RI dan pemerintah ditunda pengesahannya sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Mencermati RUU KUHP dari berbagai sudut pandang sangatlah menarik. Pembahasan
akan menjadi sangat kompleks apalagi jika dianalisis hubungannya antar lintas sektoral. Di
samping itu, pembahasan RUU KUHP juga sangat perlu dilakukan secara khusus sesuai dengan
disiplin ilmu tertentu demi memperoleh suatu kajian yang lebih mendalam terhadap suatu
permasalahan. Analisis permasalahan dari satu sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan tentu
akan sangat memberikan pencerahan terutama untuk menghindari penilaian-penilaian subjektif
yang bias oleh orang yang tidak memiliki kompetensi pada bidang tersebut.
Kesehatan adalah salah satu sektor yang menuai banyak perhatian dalam setiap
diskursus mengenai RUU KUHP. Hal tersebut menjadi wajar karena kesehatan selalu menjadi
problem yang hingga saat ini masih terus digaungkan oleh pemerintah dalam setiap periodenya.
Kesehatan yang merupakan pilar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga turut menjadi
sektor penting dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. RUU KUHP
terdiri dari 36 bab dan 628 pasal yang di antaranya terdapat beberapa pasal yang berkaitan
dengan isu-isu di bidang kesehatan. Beberapa pasal yang berkaitan dengan bidang kesehatan
tersebut menuai banyak pertanyaan karena secara redaksional dan substansial terdapat hal-hal
yang tidak dapat disepakati begitu saja. Perlu kiranya untuk dilakukan pengkajian ulang
terhadap pasal-pasal tersebut agar produk hukum yang kita nantikan bersama selama berpuluh-
puluh tahun ini tidak berpotensi buruk dalam penggunaannya.

1
Orientasi bahasan pada tulisan ini diberikan batasan hanya pada permasalahan pasal-
pasal sebagai berikut, yaitu pasal 251, 276, 414, 415, 416, 466, 469, 470, dan 471.
A. Pidana pengguguran kandungan yang diskriminatif
RUU KUHP memuat beberapa pasal yang berkaitan dengan pengguguran
kandungan. Pasal tersebut diantaranya adalah pasal 251, 469, 470, 471. Pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 251
(1) Setiap orang yang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk
menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa
obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan
tersebut dalam menjalankan profesinya dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.
Pasal 469
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 470
(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun.

2
Pasal 471
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat
ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.
(3) Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan
medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak dipidana.
Kemudian diberikan juga penjelasan yaitu sebagai berikut:
Penjelasan
Pasal 469
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kandungan seorang perempuan. Jika
yang digugurkan adalah kandungan yang sudah mati, ketentuan pidana dalam pasal
ini tidak berlaku. Tidaklah relevan di sini untuk menentukan cara dan sarana apa yang
digunakan untuk mengugurkan atau mematikan kandungan perempuan itu. Yang
penting dan yang menentukan adalah akibat yang ditimbulkan, yaitu gugur atau
matinya kandungan itu.
Pasal 470
Cukup jelas.
Pasal 471
Ketentuan ini secara khusus mengancam pidana yang lebih berat kepada pelaku yang
mempunyai profesi sebagai dokter, bidan, atau juru obat, mengingat profesi mereka
sedemikian mulia bagi kemanusian yang seharusnya tetap dijaga untuk tidak
melakukan perbuatan tersebut. Dokter yang melakukan pengguguran kandungan
karena alasan media abortus provocatus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan pidana.
Terdapat beberapa kejanggalan pada pasal-pasal tersebut yang menarik untuk
dibahas. Pertama yaitu tentang batasan aborsi yang diperbolehkan. Memahami
pasal pengguguran kandungan dalam RUU KUHP dapat menimbulkan kerancuan jika
tidak diimbangi dengan membaca UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
khususnya pasal 75 ayat (1) sampai (4) yang berbunyi:

3
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sesuai dengan amanat dari Pasal 75 ayat (4) UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi. Penjelasan lebih lanjut mengenai batasan aborsi yang
diperbolehkan diatur dalam pasal 31 sampai pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis
b. Kehamilan akibat perkosaan
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat
puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada pasal 31 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau
b. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan

4
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dilaksanakan
sesuai dengan standar
Pasal 33
(1) Penentuan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 32
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi
(2) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang
tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan
kewenangan
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis tim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) membuat surat kelayakan aborsi
Pasal 34
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf
b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari
pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat
keterangan dokter; dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai dugaan
perkosaan.
Penjelasan mengenai pengguguran kandungan dalam RUU KUHP tidak
memiliki relevansi dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Hal tersebut dibuktikan
dengan tidak adanya redaksi yang secara jelas memberikan pengecualian pidana bagi
perempuan yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 sampai pasal 34 Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi jo pasal 75 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Redaksi pengecualian tersebut justru malah muncul
pada pasal 471 ayat (3) yang mengarah pada perlindungan untuk profesi dokter. Oleh
karena itu, redaksi pengecualian pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi karena
indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan perlu kiranya untuk
dipertimbangkan agar dapat menjadi penambahan dalam pasal pengguguran kandungan

5
pada RUU KUHP sesuai dengan substansi yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.
Masih berbicara tentang kehamilan dan kematian anak, jika kita melihat di pasal
466 ayat (1) sampai (3) dalam RUU KUHP disebutkan sebagai berikut:
Pasal 466
(1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain dipidana
karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(3) Orang lain yang turut serta melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana yang sama dengan
pembunuhan atau pembunuhan berencana.
Redaksi pada pasal 466 ayat (1) dinilai sangat diskriminatif karena hanya
memberikan penekanan pelaku pidana pada perempuan. Seolah-olah dalam keadaan
tersebut yang layak dinyatakan bersalah hanyalah perempuan. Padahal anak tersebut
tidak lain juga merupakan hasil proses reproduksi antara laki-laki dan perempuan.
Mengapa laki-laki tidak mendapat perhatian dalam kasus ini? Apakah laki-laki tidak
memiliki kemungkinan untuk merampas nyawa anaknya yang baru lahir? Bukankah
laki-laki juga penyebab kahamilan tersebut? Sifat diskriminatif pada pasal ini
sepatutnya dapat diantisipasi dengan memberikan beban tindak pidana tidak hanya pada
perempuan, namun juga pada laki-laki. Karena bagaimanapun juga, kehamilan dan
kelahiran yang dilakukan merupakan tanggung jawab laki-laki dan perempuan tersebut.
Substansi dari pasal-pasal yang membahas terkait pengguguran kandungan
adalah besarnya upaya pemerintah dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB merupakan indikator keberhasilan
program kesehatan suatu negara. Hal tersebut juga tercantum dalam SDGs tepatnya
pada Goals ke-3, di antara tujuannya adalah untuk mengurangi AKI hingga di bawah
70 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat
dicegah, dengan menurunkan Angka Kematian Neonatal hingga 12 per 1.000 KH dan
Angka Kematian Balita 25 per 1.000 KH. Kondisi saat ini di Indonesia jika merujuk
pada Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017
menunjukkan Angka Kematian Neonatus (AKN) (Neonatus = bayi baru lahir usia 0-28

6
hari) sebesar 15 per 1.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) 24 per 1.000
kelahiran hidup, dan Angka Kematian Balita (AKABA) 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka AKI tersebut menempatkan Indonesia tertinggi kedua di Asia Tenggara. Aborsi
erat sekali hubungannya dengan AKB. Data BKKBN pada tahun 2014 menunjukkan
bahwa aborsi menyumbang sebanyak 30% penyebab kematian ibu. Tingginya angka
aborsi dapat memperburuk kualitas kesehatan ibu, sehingga pada akhirnya juga dapat
meningkatkan AKI dan AKN. Hal ini semakin mengerikan jika melihat laporan WHO
bahwa 25% kehamilan di dunia pada setiap tahunnya digugurkan atau dilakukan aborsi.
Adanya regulasi yang tepat dalam menindak tegas tindakan aborsi diharapkan dapat
menurunkan angka aborsi dan meningatkan kualitas hidup ibu dan anak di Indonesia.

B. Ancaman pekerjaan yang menyerupai dokter


Terdapat permasalahan muncul pada pasal 276 ayat (1) dan (2) yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 276
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.
(2) Setiap Orang yang menjalankan pekerjaan menyerupai dokter atau dokter gigi
sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Kemudan juga terdapat penjelasan sebagai berikut:
Penjelasan
Pasal 276
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pekerjaan yang harus mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku adalah pekerjaan dokter, dokter gigi, dokter hewan, bidan, dan
sebagainya.
Orang yang dapat dijatuhi pidana menurut ketentuan ini misalnya bukan dokter
memberikan pengobatan sebagai dokter, bukan dokter gigi memberikan pengobatan,
sebagai dokter gigi.

7
Jika diperhatikan dengan saksama, diksi “menyerupai” ini merupakan hal yag
menarik untuk dibahas lebih dalam. Tindakan menyerupai dokter itu batasannya yang
seperti apa? Apakah tindakan pelimpahan wewenang seperti delegasi/mandat yang
dilakukan oleh dokter kepada perawat juga termasuk tindakan menyerupai? Kemudian
apakah tugas perawat di daerah pelosok yang mana di tempat tersebut dalam keadaan
keterbatasan tertentu karena tidak terdapat tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian
juga dikategorikan dalam kasus pidana ini? Tentu hal ini harus diperhatikan agar tidak
menjadi pasal karet bagi profesi lain. Batasan yang jelas dari suatu pasal akan dapat
mengarah pada penindakan hukum yang bijak.
Di bidang kesehatan masih terdapat banyak grey area yang sering kali menjadi
permasalahan apabila hal tersebut dipidanakan. Profesi apakah yang memang
berwenang melakukan tindakan tersebut? Apakah profesi lainnya juga berwenang
melakukan tindakan tersebut? Hal semacam ini masih menjadi permasalahan klasik.
Seperti contoh kasus perawat Misran yang harus masuk penjara karena dia gagal
membuktikan bahwa tindakannya itu dalam keadaan gawat darurat. Dunia kesehatan
sedikit berbahagia karena dalam 5 tahun terakhir banyak peraturan perundangan yang
disahkan demi memenuhi kebutuhan aspek legal suatu profesi dalam melaksanakan
setiap tindakan profesionalnya. Peraturan tersebut misalnya seperti UU Keperawatan,
UU Kebidanan, Peraturan Presiden tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan
juga Permenkes No. 26 Tahun 2019 yang telah mengatur batasan tugas dan wewenang
seorang perawat. Semakin bergulirnya waktu sedikit demi sedikit diharapkan peraturan
perundangan tersebut dapat mengurangi kerancuan grey area di lahan praktik
kesehatan. Kemudian hal yang juga perlu dicatat dalam mencermati Pasal 273 ayat (1)
dan (2) RUU KUHP ini adalah mengapa yang dipermasalahkan hanya pekerjaan
dokter? Mengapa tidak juga dipermasalahkan pekerjaan yang berkaitan dengan profesi
tenaga kesehatan lain? Artinya dalam konteks ini masih terdapat asas keadilan yang
kurang.

8
C. Alat kontrasepsi dalam bingkai promosi dan edukasi
Pasal-pasal yang membahas masalah ini yakni sebagai berikut:
Pasal 414
Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah
kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Pasal 415
Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat
untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan
untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori
II.
Pasal 416
(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan
oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana,
pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan
dan penyuluhan kesehatan.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 tidak dipidana jika dilakukan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan.
(3) Petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan
yang kompeten yang ditugaskan oleh Pejabat yang berwenang.

Kemudian terkait pasal-pasal tersebut juga diberikan penjelasan yaitu sebagai berikut:
Penjelasan
Pasal 414
Yang dimaksud dengan “alat untuk mencegah kehamilan” adalah setiap benda yang
menurut sifat penggunaannya secara umum dapat mencegah kehamilan walaupun
benda itu juga dapat digunakan untuk hal-hal lain. Pencegahan kehamilan dapat
terjadi baik selama atau setelah dilakukannya hubungan badan.
Perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini adalah perbuatan
mempertunjukkan, menawarkan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana
untuk mencegah kehamilan. Perbuatan mempertunjukkan dapat dipidana bilamana
dilakukan secara terang-terangan, sedang perbuatan menawarkan atau menunjukkan
untuk dapat memperoleh sarana tersebut, dapat dilakukan secara terang-terangan atau

9
tidak secara terang-terangan tapi perbuatan tersebut dilakukan tanpa diminta. Dengan
demikian, apabila perbuatan itu dilakukan untuk memenuhi permintaan, bukan suatu
Tindak Pidana.
Perbuatan menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana pencegahan kehamilan,
bersifat umum, dan tidak selalu hanya menunjuk pada tempat memperoleh sarana
tersebut.
Pasal 415
Yang dimaksud dengan “alat untuk untuk meggugurkan kandungan” adalah setiap
benda yang menurut sifat penggunaannya dapat menggugurkan kandungan.
Pasal 416
Cukup jelas.
Hal yang patut diapresiasi dari uraian pasal di atas adalah tingginya semangat
pemerintah dalam mencegah bahaya seks bebas sejak dini dan mencegah perilaku
pengguguran kandungan di Indonesia. Namun adanya pasal tersebut juga membuat
adanya batasan-batasan yang dilakukan pemerintah dalam hal edukasi tentang
kesehatan reproduksi. Selain hanya diperkenankan dilakukan oleh pihak yang
berwenang, peran keluarga dalam edukasi kesehatan reproduksi juga menjadi
berkurang. Padahal menurut American Academy of Pediatrics dalam artikelnya yang
berjudul “Sex Education for Children and Adolescents”, edukasi kesehatan reproduksi
perlu diberikan kepada anak-anak dan remaja melalui berbagai macam sektor, yaitu
dapat dilakukan lewat media, organisasi keagamaan, sekolah, teman, pengasuh, dan
juga pastinya keluarga. Kerja sama yang baik antar lintas sektoral dalam memberikan
edukasi, tentunya akan menghasilkan pemahaman anak yang lebih bijak terhadap
penyalahgunaan alat kontrasepsi dan alat penggugurkandungan.
Niat baik dari pemerintah yang awalnya untuk mencegah bahaya seks bebas
sejak dini dan mencegah perilaku pengguguran kandungan jangan sampai malah
menjadi boomerang karena redaksi pasal yang multitafsir. Yang menjadi pertanyaan
di sini adalah apabila di apotek terdapat poster promosi tentang alat kontrasepsi, apakah
hal ini akan dipidanakan? Kemudian jika kita mengamati lebih luas, di era digital seperti
ini, apakah admin situs-situs online atau media sosial yang memberikan informasi
tentang alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan juga dapat dipidana? Bahkan
jika ada situs jual beli online yang menjual alat kontrasepsi, apakah itu juga termasuk
tindakan pidana? Permasalahannya kembali lagi pada hal batasan redaksional yang
harus tegas. Pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan berpotensi menjadi

10
pasal karet (haatzai artikelen) bagi masyarakat harus dapat dihindari demi terciptanya
produk hukum yang baik dan tidak mudah disalahgunakan untuk menjerat orang-orang
yang secara materil sebenarnya tidak bersalah.

11

Anda mungkin juga menyukai