net/publication/281616484
CITATIONS READS
0 6,144
1 author:
Wiryanto Dewobroto
Universitas Pelita Harapan
30 PUBLICATIONS 13 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
ANALISIS STABILITAS PERANCAH BERTINGKAT dengan ADVANCE ANALYSIS dan D.A.M View project
All content following this page was uploaded by Wiryanto Dewobroto on 09 September 2015.
Abstrak :
Era perkembangan peradaban yang dipicu oleh kemajuan ekonomi, menuntut tersedianya
infrastruktur fisik yang mendukung, bisa berupa bangunan gedung, maupun jembatan dan
jalan sebagai sarana transportasinya. Keberadaannya tidak sekedar pelengkap, tetapi telah
menjadi urat nadi perekonomian itu sendiri. Jadi keandalannya, menjadi hal yang penting.
Salah satu upayanya adalah memanfaatkan kemajuan bidang teknologi komputer, khusus-
nya piranti lunak rekayasa untuk perencanaan dan evaluasi struktur. Apa dan bagaimana
implementasinya akan disajikan dalam makalah ini, yang merupakan hasil studi literatur
terbaru. Fokus utama adalah jembatan, meskipun struktur lain jika relevan juga dibahas.
Hasil studi menunjukkan bahwa teknologi yang dimaksud sangat membantu, dapat dibuat
simulasi perilaku struktur yang kompleks, sehingga banyak permasalahan dapat dianalisis
secara teliti dan mendapat solusinya. Meskipun demikian, untuk menggunakannya perlu
latar belakang pengetahuan yang cukup, karena bagaimanapun komputer hanya sekedar
alat bantu. Insinyur pemakai adalah kata kuncinya. Jadi, selain perlu piranti lunak yang
tepat, juga kompetensi s.d.m. menentukan. Perlu pengetahuan dan pelatihan khusus yang
teratur. Akhirnya, semoga hasil studi yang dibuat ini dapat menjadi bahan pemikiran,
bagaimana mencari format tepat untuk kemajuan dan perkembangan dunia konstruksi
khususnya jembatan di Indonesia.
Kata kunci: piranti lunak komputer, rekayasa struktur
1. PENDAHULUAN
Era perkembangan peradaban yang dipicu oleh kemajuan ekonomi, menuntut ketersediaan
infrastruktur fisik pendukung, bisa berupa konstruksi bangunan gedung, maupun konstruksi
bangunan jembatan dan jalan sebagai sarana transportasinya. Keberadaannya tidak sekedar
pelengkap, atau hiasan semata tetapi telah menjadi urat nadi perekonomian itu sendiri. Jika
terjadi kegagalan atau tidak berfungsinya infrastruktur tersebut, maka jalan perekonomian
menjadi terganggu. Tidak saja hanya setempat pada tempat kejadian perkara, karena jika
yang rusak adalah infrastruktur vital maka tentu bisa mengganggu sistem secara keseluruhan.
Bisa-bisa perkembangan peradaban itu sendiri yang terganggu. Oleh sebab itulah, faktor
keandalan konstruksi bangunan adalah utama dan menjadi kepentingan bersama.
Risiko terjadinya bencana alam, menjadi hal yang relatif standar yang harus dipersiapkan
dengan baik oleh insinyur untuk menghadapinya. Meskipun kepastian bentuk, besar dan
kapan datangnya peristiwa alam yang menimbulkan bencana itu sendiri masih jadi misteri.
Tentu saja itu semua tidak menjadi alasan untuk tidak memikirkannya atau menyerahkan
saja pada sang pencipta. Sebagai manusia, wajiblah hukumnya untuk berusaha, meskipun
keputusan akhir, Tuhan juga yang menentukan. Jika sebagai manusia saja, berusaha adalah
suatu kewajiban, apalagi bagi seorang insinyur yang telah meluangkan waktu mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan maupun fenomena alam terkait, sehingga tentu saja harus dapat
menyikapinya dengan lebih baik dan bahkan memberi solusi yang lebih rasional.
1
Invited Speaker pada Seminar Nasional Teknik Sipil oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang, Gedung Sasana Budaya UNM, Kamis, 9 Oktober 2014.
1 dari 27
Kajian Teknologi Analisa Struktur dalam Perancangan dan Evaluasi Struktur Jembatan
Segala tindakan yang dilakukan belum tentu bisa menunda atau mencegah peristiwa alam
yang biasanya mengiringi bencana itu terjadi. Tetapi tindakan yang dilakukan itu diharapkan
bisa mengurangi atau meminimalisir risiko bahaya kerusakan struktur bangunan, atau jatuh-
nya korban jiwa yang tidak perlu. Untuk itu, persiapan yang dapat dilakukan insinyur adalah
melakukan pendataan akan bencana yang pernah terjadi, dan memprediksi kemungkinan
yang terjadi berikutnya. Selanjutnya dapat dibuat model bentuk atau macam bencana yang
kemungkinan besar akan terjadi. Berdasarkan model bencana tersebut maka dapat dibuatlah
simulasi pada perencanaan konstruksi yang akan dibangun, bisa juga diterapkan pada
bangunan yang sudah ada dengan maksud melihat potensi risiko yang terjadi. Hasilnya tentu
dapat menjadi feedback bagi perbaikan atau tindakan lebih lanjut yang lebih baik.
Cara analisis elastis linier tingkat pertama disarankan karena bersifat konservatif, ada-
pun cara elastis linier tingkat kedua diutamakan untuk rangka portal tidak terikat (portal
bergoyang). Cara plastis hanya dipahami dan dipakai untuk kasus yang sederhana saja.
Ada pengertian bahwa perilaku struktur jembatan adalah rumit, hingga perlu perhitungan
matematik canggih, yang diolah komputer memakai piranti lunak rekayasa yang sesuai.
Ada pemahaman, jika memakai cara manual maka sifatnya harus lebih konservatif.
Meskipun telah digunakan komputer dan piranti lunak yang sesuai, tetapi disyaratkan
harus diawasi oleh ahli teknik perencanaan yang berkualifikasi dan berpengalaman,
serta punya kualifikasi akademis sesuai bidang, lulusan universitas atau lembaga setara
yang diakui formal. Pengalaman minimal 4 tahun bidang perencanaan dan pelaksanaan
jembatan, dan sekurang-kurangnya 2 tahun bidang perencanaan.
Cara analisis yang diijinkan adalah cara elastis-linier, tidak linier, plastis dan sederhana.
Proses analisis struktur akan dimulai dengan pemodelan, untuk itu perlu proses trial-and-
error, atau berulang untuk dilakukan modifikasi atau perbaikan model. Maklum model
adalah pendekatan, bukan struktur sesungguhnya. Frekuensi pengulangan tergantung dari
pengalaman insinyur yang mengerjakannya.
Pada detail pembahasan Analisis Struktural (Pasal 3.3 BMS-1992), perencanaan jembatan
secara umum mensyaratkan bahwa perilaku unsur struktur terhadap beban rencana untuk
setiap kondisi batas harus dianggap tetap elastis (kecuali Ps. 3.2.2 : Ultimate Limit Stated
Design). Ada beberapa metoda analisis struktural yang ditulis pada code, sebagai berikut :
Analisis Elastis Tingkat Pertama (elastis linier), pengaruh perubahan geometri akibat
pembebanan dan pengaruh gaya aksial diabaikan. Stabilitas struktur global jika ada,
diatasi dengan faktor pembesaran momen. Detail analisisnya sendiri pada code dijelaskan
secara rinci dalam bentuk tabel (Tabel 3.1a), antara lain : cara penyederhanaan, grid, pelat
orthotropik, metode elemen hingga, metode finite strip dan folded plate, metode analisis
tradisionil untuk truss, rigid-frame dan pelengkung, juga analisis model (skala kecil).
Analisis elastis orde-2 (analisis elastis tingkat ke-2) : unsur-unsur masih dianggap elastis
kecuali perubahan geometri portal pada beban rencana dan perubahan kekakuan efektif
unsur akibat gaya aksial, harus diperhitungkan. Analisa elastis orde ke-2 ini harus dipakai
untuk analisis struktur jembatan gantung (suspension bridge). Pilar jembatan tinggi harus
didesain terhadap gempa, apalagi jika jembatannya menyatu dengan pilar tersebut.
Analisis struktural lengkap (rigorous) : untuk frame tertambat efektif terhadap tekuk
atau instabilitas, dapat dilakukan analisa struktur lengkap atau rigorous, dengan syarat
bahwa analisis harus dapat memodelkan secara tepat perilaku aktual struktur. Jika perlu
maka hal-hal yang relevan perlu diperhitungkan, misal properti bahan material, tegangan
sisa (residual stress), geometri imperfection, efek orde ke-2, tahapan konstruksi (erection)
dan interaksi tanah-struktur pada pondasi. (Lihat CATATAN).
Analisis struktural lengkap harus memperhitungkan bentuk alaminya dalam tiga dimensi
atau ruang, serta teori yang terkait.
Analisis plastis. Adapun penjelasan yang menyertainya adalah : metode non-linier yang
dievaluasi adalah salah satu atau keduanya dari [1] geometri nonlinier - perubahan
geometri yang signifikan akibat pemberian beban, seperti misalnya yang terjadi pada
jembatan gantung [2] material nonlinier - perilaku tegangan-regangan bahan, seperti
misal pengaruh retak pada beton, atau plastifikasi pada baja. (Lihat CATATAN).
Analisis bangunan atas yang disederhanakan, yaitu cara analisis yang berfokus pada
respon struktur yang utama saja, adapun respon sekunder yang tidak signifikan pengaruh-
nya, diabaikan. Analisis relatif menjadi sederhana, tetapi tidak berarti hasilnya tidak dapat
dipertanggung-jawabkan. Maklum ada batasan yang harus dipenuhi. Contoh analisis yang
disederhanakan : struktur rangka (truss) dan pelengkung dengan mengabaikan keberadaan
momen, puntir dan geser pada arah memanjangnya; struktur pelat dengan mengabaikan
pengaruh geser melintang atau torsi memanjang.
perubahan geometri pondasi, misalnya pada struktur pelengkung dengan tumpuan jepit,
atau ketika menghitung waktu getar alami struktur. Kondisi tumpuan sangat mempengaruhi
hasilnya, jika terdapat keraguan maka bisa saja dicari kondisi konservatif, yaitu ditinjau pada
dua kondisi ekstrim, misalnya satu dengan tumpuan jepit dan satu dengan tumpuan sendi,
lalu dicari yang konservatif yan mengakomodasi keduanya.
Untuk struktur jembatan yang sifatnya fleksibel, seperti jembatan gantung atau jembatan
cable-stayed maka harus dianalisis dengan metode elastis nonlinier yaitu large displacement
analysis, yang termasuk kategori geometri nonlinier. Karena nonlinier, maka urut-urutan
pemberian beban menentukan dan mempengaruhi hasil, sehingga analisa struktur jembatan
yang fleksibel ditentukan juga oleh tahapan konstruksi yang dilakukan. Untuk itu urutan
pelaksanaan antara rencana dan aktual harus dipastkan, tidak terdapat banyak perbedaan.
Karena jika berbeda, maka hasil analisis yang telah dilakukan, memakai analisa nonlinier
bisa menjadi tidak valid lagi. Kecuali yang flesibel, jembatan pelengkung bentang panjang
jug diminta untuk dianalisis dengan analisa nonlinier, yaitu untuk mengantisipasi adanya
stabilitas keseluruhan, termasuk pengaruh out-of-straight dari batangnya (imperfection).
Untuk tipe jembatan gantung yang relatif sangat panjang, maka analisa fisik terowongan
angin dipersyaratkan juga dalam perencanaan, khususnya untuk mengantisipasi pengaruh
induksi vortex, akibat angin sehingga tidak melebihi ambang batas untuk menjadi bahaya
fatig. Jembatan dengan perbandingan bentang ke lebar atau tinggi jembatan lebih dari 30
dianggap rawan terhadap pengaruh angin. Jika pengaruh angin cukup dominan maka faktor-
faktor berikut seperti percepatan vortex, galloping, flutter harus diperhitungkan.
Salah satu metode yang diusulkan untuk analisis struktur berbasis komputer oleh AASHTO
adalah refine analysis method, seperti memakai finite strip atau finite element method. Dari
keduanya, maka finite element method-lah saat ini yang paling banyak dijumpai.
Adapun yang dimaksud dengan refine analysis method adalah strategi analisa struktur yang
memperhitungkan keseluruhan bangunan atas (superstructure) sebagai satu kesatuan yang
dapat bekerja bersama menerima beban luar dan berdeformasi. Oleh karena itu diperlukan
pemodelan tiga dimensi, dan saat ini strategi seperti itu baru dapat diatasi secara memuaskan
jika digunakan bantuan program komputer berbasis finite element method.
Kecuali istilah refine analysis method, yang sebenarnya analisis struktur biasa (tapi lengkap)
dengan finite element method, dan keharusan memperhitungkan nonlinier geometri untuk
struktur fleksibel atau yang terpengaruh stabilitas, maka pada prinsipnya AASHTO (2005)
tidak memberikan prosedur khusus terkait pemakaian komputer untuk analisis.
Penulis belum mempunyai kesempatan membahas code AASHTO selain versi 2005 di atas,
yang ternyata belum mempunyai materi seperti AISC (2010). Dari kebiasaan yang ada,
materi yang ada pada AISC selalu selaras dengan AASHTO, atau sebaliknya. Oleh karena
itulah materi AISC, yaitu Direct Analysis Method, akan dibahas agar pembaca memperoleh
gambaran akan materi sama jika diterapkan nantinya pada AASHTO.
Prinsip linier, dimana hubungan beban (F) dan deformasi (δ) berupa garis lurus, sangat mem-
bantu menyederhanakan perencanaan. Bagaimana tidak, kasus-kasus beban dapat ditinjau
terpisah, bekerja independen, tidak saling tergantung satu dengan lainnya. Sehingga untuk
mendapatkan berbagai tinjauan kondisi pembebanan, cukup dilakukan kombinasi dari kasus-
kasus beban yang telah ditinjau, yaitu memanfaatkan asas super-posisi, yaitu menjumlahkan
masing-masing kasus beban dengan kasus beban yang lainnya. Prinsip elastis-linier ini pula
yang digunakan pada perencanaan kuat ultimate, dimana beban pada kondisi ultimate hanya
didasarkan pada hasil elastis-linier yang dikalikan faktor beban (ditentukan oleh code atau
peraturan) dan kombinasinya, misalnya ASCE/SEI 7-05 menetapkan sebagai berikut :
Kombinasi dengan beban terfaktor di atas, dimana ketentuan kombinasi dan besarnya faktor
beban didasarkan pada prinsip statistik dan probabilitas, telah menjadi standar industri pada
perencanaan. Itu merupakan bukti bahwa hasil analisa struktur elastis-linier mencukupi. Jadi
wajar juga jika peraturan jembatan Indonesia (BMS-1992) merekomendasikannya juga.
Dengan bantuan komputer, maka berbagai konfigurasi geometri dan juga pembebanan dapat
dengan mudah dianalisis. Jika hal itu digabungkan dengan imajinasi insinyur perencananya,
maka bisa saja keterbatasan analisa elastis-linier akan tercapai. Jadi sebenarnya cara tersebut
hanya valid untuk struktur-struktur yang memenuhi persyaratan berikut :
Geometri struktur sebelum dan sesudah pemberian beban dapat dianggap konstan, tidak
ada perubahan signifikan, dianggap deformasi struktur yang terjadi relatif sangat kecil.
Struktur kabel pada jembatan gantung (suspension bridge) sangat fleksibel, oleh sebab itu
code memerlukan analisa struktur orde ke-2 yang telah memperhitungkan deformasi.
Bahan material yang digunakan harus dapat dianggap memenuhi kriteria elastis-linier,
yang umumnya terjadi pada kondisi beban relatif kecil. Jadi jangan sampai dibuat elemen
struktur yang akhirnya akan menerima beban berlebihan sehingga kondisinya menjadi
non-linier. Jika itu terjadi, maka besarnya gaya-gaya atau deformasi yang diperoleh dari
hasil analisa elastis-linier sebelumnya menjadi tidak valid lagi. Maklum, pada kondisi
non-linier maka bisa saja terjadi redistribusi momen atau semacamnya. Ingat peristiwa
redistribusi momen tidak bisa diakses melalui analisa elastis-linier.
Pertambatan lateral yang dapat mencegah tekuk atau instabilitas struktur, harus ada
dalam pemikiran insinyur meskipun hal itu tidak dimodelkan dan tidak mempengaruhi
hasil analisa struktur elastik-linier. Kondisi itu menunjukkan bahwa analisa struktur tipe
elastis-linier belum bisa mengevaluasi stabilitas struktur. Tanggung jawab insinyur.
Jika keterbatasan analisa elastis-linier tidak dipenuhi, maka perilaku struktur tidak valid lagi
untuk dianalisi dengan cara elastis-linier, perlu analisa inelastis-nonlinier. Untuk itu tidak
setiap program komputer analisa struktur mampu memberikan solusi, maklum prosedur atau
algoritma penyelesaian numeriknya berbeda dan lebih kompleks.
Penyebab non-linier cukup banyak, bahkan belum semua dapat teridentifikasi dengan baik.
Meskipun demikian untuk kasus engineering mechanic, secara garis besar dapat dibagi
dalam tiga kelompok utama (Cook et.al. 2002), yaitu [1] Nonlinier geometri; [2] Problem
kontak dan [3] Nonlinier material.
Jika dapat dicari dan dipahami penyebab nonliniernya yang dominan, dan penyelesaiannya
dapat difokuskan untuk itu saja, maka strategi analisa struktur nonlinier relatif akan lebih
sederhana dan mudah dilakukan. Oleh sebab itu, ada baiknya unsur nonlinier yang dimaksud
dapat dibahas secara tersendiri sebagai berikut.
1. Nonlinier Geometri
Syarat analisa elastis-linier, tidak ada perubahan geometri, kondisi sebelum dan sesudah
dibebani dianggap sama atau tidak berubah. Jadi lendutan struktur hasil analisis perlu
diperiksa dan besarnya harus relatif kecil dibandingkan geometri keseluruhan. Misalnya
simpel-beam, lendutan di tengah harus << L/360.
Pada kondisi tertentu, bisa saja karena konfigurasi struktur atau besarnya beban maka
deformasi yang terjadi mengakibatkan perubahan perilaku struktur. Untuk itu, Gambar 2
memperlihatkan struktur rangka sederhana dengan beban P di tengah bentang. Pada
konfigurasi asli sebelum dibebani maka diprediksi gaya batangnya adalah aksial tekan.
Fakta, akibat lendutan δ yang relatif besar dibanding konfigurasi strukturnya, maka peri-
lakunya berubah. Pada kondisi yang berubah tersebut, akibat P gaya batangnya tidak lagi
tekan, tetapi tarik. Jadi jika dianalisis pakai elastis-linier hasilnya batang tekan, faktanya
adalah batang tarik, berarti cara elastis-linier tidak valid. Itulah nonlinier geometri.
2. Problem Kontak
Geometri nonlinier bisa mempengaruhi kondisi tumpuan, sehingga perilaku strukturnya
akan berubah sama sekali. Gambar 3 adalah pelengkung dengan dua tumpuan sendi-rol.
Karena rol, saat dibebani akan mengalami translasi (ke kanan). Besarnya tergantung dari
kekakuan lentur penampang, jika translasi yang terjadi lebih besar dari gap, dinding akan
menghambat translasi tersebut. Perubahan sifat tumpuan, dari rol menjadi sendi.
Meskipun pelengkung tetapi jika kondisi tumpuannya sendi-rol maka perilakunya adalah
balok lentur. Tetapi saat berubah menjadi pelengkung dengan tumpuan sendi-sendi.
Maka perilaku struktur dari balok lentur menjadi pelengkung (arch), yang didominasi
oleh gaya aksial yang relatif sangat kaku dibanding perilaku lentur balok.
Perubahan kondisi tumpuan pelengkung semula rol dan kemudian menjadi sendi itulah
yang disebut problem nonlinier kontak. Perubahan kondisi tersebut juga disebabkan
adanya deformasi yang cukup signifikan, tidak bisa diabaikan, sehingga nonlinier kontak
dan geometri biasanya harus dianalisis bersama-sama. Masalah tentu akan lebih rumit
lagi jika nonlinier material terjadi juga, seperti terjadi leleh (plastifikasi penampang).
Untuk penyederhanaan maka bisa dipilih yang paling dominan saja.
3. Material Non-Liner
Hubungan tegangan-regangan material diwakili oleh konstanta Modulus Elastisitas harus
mengikuti hukum Hooke, yaitu elastik-linier. Jadi perlu dicek apakah gaya-gaya internal
batang yang terjadi menghasilkan tegangan pada penampang yang masih pada batas
proporsionalnya atau tidak. Tentunya kalau sudah melewati tegangan leleh (misalnya
baja), akan menjadi petunjuk bahwa hasil analisis pada model struktur sudah tidak valid
lagi dibanding kondisi struktur real.
Gambar 4. Pengaruh Tegangan Material Terhadap Hasil Analisis (Dewobroto 2013)
Meskipun hanya tiga kategori nonlinier, tetapi implementasinya tidak sesederhana itu saja.
Masih banyak kasus-kasus non-linier yang belum terindentifikasi baik. Adapun kategori di
atas adalah untuk penyederhanaan saja, karena prakteknya masing-masing kelompok
memerlukan strategi penyelesaian yang berbeda, termasuk cara formulasinya.
Adanya dukungan teknologi komputasi yang semakin canggih dan terjangkau menyebabkan
analisa struktur nonlinier menjadi hal umum. Analisis tersebut dilakukan dengan tujuan
mendapatkan kepastian dan keandalan struktur terhadap suatu kondisi beban yang tak
terduga. Harapannya agar struktur berperilaku daktail. Meskipun demikian, kebenaran
hasilnya tidak absolut masih perlu uji eksperimental untuk kasus yang sama sebagai validasi.
Analisa nonlinier umumnya tidak mencari kuantitas gaya atau lendutan, lebih diutamakan
untuk mengetahui perilaku struktur yang dibebani, mulai dari linier, nonlinier dan ultimate,
yang perlu untuk memperkirakan risiko struktur saat menerima beban tak terduga.
Penyelesaian analisa nonlinier berbasis komputer umumnya memakai iterasi numerik untuk
mencari solution point dari suatu tahapan beban yang memenuhi persamaan keseimbangan
struktur setelah berdeformasi. Prosesnya tidak sederhana, sangat tergantung perilaku struktur
(kurva beban - lendutan) yang kadang-kala unik tidak sama satu sama lain.
Salah satu metode iterasi lama yang umum untuk menyelesaikan problem non-linier adalah
metode Newton-Rahpson (Gambar 5). Untuk kasus nonlinier, matrik kekakuan tangent KT
dipengaruhi oleh hasil analisis, yang nilainya baru diketahui jika telah selesai dilakukan
analisis. Oleh sebab itu prosesnya seperti trial-and-error, yaitu dimulai dengan menetapkan
tahapan beban awal ΔF0. Selanjutnya dicari selisih hasil antara KT awal dan KT setelah
analisis, proses dilakukan secara iterasi sampai dihasilkan selisih hasil yang dianggap relatif
kecil atau tidak berpengaruh (kondisi konvergen). Prinsipnya sederhana, tetapi implementasi
praktis melibatkan algoritma pemrograman numerik yang rumit, itulah mengapa sampai ada
versi modifikasi (Gambar 5b), yaitu agar jalannya iterasi lebih efisien (cepat). Bahkan pada
kondisi tertentu, metode Newton Rahpson dapat menghasilkan kondisi divergen, yaitu pada
tahapan beban yang diberikan berikutnya tidak diperoleh solution point yang memenuhi
persamaan keseimbangan. Itu terjadi jika kondisi kurva beban-deformasi struktur mencapai
Limit Point (lihat Gambar 5). Jadi metode Newton Rahpson pemakaiannya masih terbatas
pada perilaku struktur sampai kondisi batas (ultimate) saja, setelah itu fail.
Informasi perilaku struktur sampai kondisi batas (Limit Point di Gambar 5), tidak cukup jika
yang diharapkan adalah untuk melihat perilaku daktailnya. Karena jika hanya itu tujuannya,
maka pendekatan dengan analisa elastis-linier dan faktor beban akan memberi hasil lebih
mudah, sekaligus tidak ada keberatannya karena telah disarankan juga oleh code. Selanjut-
nya jika ingin diperoleh hasil analisa struktur nonlinier untuk kondisi daktailnya, maka solusi
atau algoritma numerik lain telah tersedia, yaitu metode Displacement Control; Constant
Work; Arc-Length; dan Minimum Residual Displacement (lihat Gambar 6). Metode-metode
telah dibuat untuk opsi penyelesaian pada program NIDA (Nonlinier Integrated Design &
Analysis), program analisa struktur nonlinier yang dibuat oleh Prof S.L. Chan, Hong Kong
Polytechnic University, Hong Kong (http://www.nida-naf.com).
Hasil analisa struktur nonlinier sangat spesifik, tidak bisa dilakukan superposisi antara hasil
satu dengan yang lainnya. Bahkan urutan pembebanan menentukan hasil. Penyelesaian satu
kasus nonlinier saja, cukup kompleks, apalagi jika harus memasukkan semua penyebab
nonlinier. Oleh sebab itu kasus yang ditinjau perlu dievaluasi terlebih dahulu, apa penyebab
nonlinier yang paling dominan, atau dipertanyakan juga apakah ada perbedaan signifikan
dengan analisa elastis-linier yang standar. Oleh sebab itu, pertama-tama harus mempunyai
informasi perilaku elastis-linier terlebih dahulu. Maklum analisis struktur nonlinier relatif
lebih kompleks, maka itu dijadikan pilihan terakhir, jika elastis-linier tidak mencukupi lagi.
Untuk menunjukkan bahwa hasil analisa nonlinier adalah unik, dan tidak mudah ditebak jika
hanya mengandalkan pengalaman sebelumnya, sehingga pelaksanaannya harus hati-hati
maka ada baiknya melihat kasus yang diselesaikan oleh Sivaselvan dan Reinhorn (2003).
Struktur yang ditinjau pada penelitian tersebut relatif sederhana, sehingga setiap insinyur
yang paham analisa struktur tentu dapat menduga atau membayangkan bagaimana perilaku-
nya ketika dibebani. Juga dapat dibayangkan mengapa ketika digunakan analisa struktur
elastis-linier maka hasilnya jelas-jelas salah, sehingga perlu analisa struktur nonlinier.
Penelitian Sivaselvan dan Reinhorn (2003) memberikan illustrasi analisis struktur nonlinier
struktur rangka yang dibebani sampai melewati batas-batas elastis-linier-nya. Adapun struk-
tur tersebut hanya ditinjau dari segi geometri nonlinier-nya saja.
Gambar 7 memperlihatkan hasil analisis struktur nonlinier Sivaselvan dan Reinhorn (2003)
terhadap dua buah struktur rangka (truss) yang mempunyai konfigurasi sama, hanya berbeda
pada perbandingan h/L-nya saja. Hasil analisis nonlinier berbentuk kurva hubungan antara
beban (F) dan lendutan (u), dimana pada kurva tersebut dapat dilihat : bahwa perbedaan nilai
h/L saja bisa mempengaruhi perilaku keruntuhan struktur, meskipun sama-sama mempunyai
sifat daktail, tetapi terdapat perbedaan.
Konfigurasi alami struktur rangka ketika dibebani menyebabkan batangnya mendapat gaya
aksial tekan dan sekaligus berdeformasi. Jika beban terus ditambahkan, batang tekan akan
mengalami tekuk (kegagalan). Karena material batang dianggap daktail (tidak ada evaluasi),
maka kegagalan struktur ditandai dengan adanya deformasi besar. Akibatnya, konfigurasi
struktur menjadi berubah, elemen batang tidak lagi menerima gaya aksial tekan, tetapi tarik.
Karena materialnya selain daktail juga mampu menahan gaya tarik, menyebabkan setelah
terjadi keruntuhan pertama (kurva drop) maka strukturnya mempunyai kekakuan lagi (kurva
naik). Itu berarti struktur rangka mampu untuk menerima tambahan beban lagi sampai
dibatasi oleh kekuatan materialnya (tercapai leleh dan akhirnya fraktur).
Konsep timbulnya kekuatan lagi setelah terjadi keruntuhan tekuk yang pertama ini, banyak
dimanfaatkan pada perencanaan struktur baja canai dingin (cold-formed). Beda antara Kasus
1 dan Kasus 2 pada Gambar 7, bahwa rangka dengan h/L= 0.05 (Kasus 1) perlu beban yang
lebih kecil untuk mengubah elemen batang menerima gaya aksial tekan jadi tarik, selain itu
perubahannya relatif tidak bersifat mendadak. Adapun rangka dengan h/L= 0.25 (Kasus 2)
strukturnya relatif lebih kaku, perlu beban lebih besar dan perubahannya bersifat tiba-tiba
(lihat Gambar 7b, terdapat perubahan kurva yang tajam). Jadi resiko adanya bahaya kejut
(impact) pada Kasus 2 akan lebih besar. Jika massa-nya cukup signifikan besarnya, maka
tidak hanya perilaku statik, tetapi perilaku dinamiknya perlu juga mendapat perhatian.
Untuk kasus di atas, penyelesaian analisa struktur nonlinier dengan metode Newton-Rahpson
tentunya tidak akan berhasil secara tuntas dalam menghasilkan kurva beban-deformasinya,
maklum metode tersebut hanya terbatas untuk mendapatkan nilai beban tertinggi pertama.
Struktur tersebut pada kenyataannya meskipun mengalami kehilangan kekakuan (umumnya
dianggap sebagai kuat ultimate struktur), padahal jika beban diteruskan, struktur menjadi
stabil dan kuat lagi. Informasi ini jelas tidak bisa diakses dengan analisis elastis-linier.
Mempelajari hasil penelitian analisis nonlinier struktur sederhana oleh Sivaselvan dan Rein-
horn (2003), sedikit banyak dapat memahami bagaimana kompleksnya suatu analisis non-
linier, bahkan itu hanya berasal dari satu kategori nonlinier yang ditinjau saja, yaitu geometri
nonlinier. Kompleksitas yang dimaksud adalah :
Perilaku struktur hasilnya kadang tidak terduga bentuknya. Ini tentu akan menyulitkan
bagi insinyur yang belum berpengalaman, tidak mudah mengetahui apakah hasilnya telah
benar atau salah. Untuk hal seperti ini, kalibrasi dengan hasil eksperimental sangat perlu.
Jika tidak bisa dilakukan langsung, maka ada baiknya membandingkannya dengan hasil
publikasi di jurnal-jurnal ilmiah international.
Tidak setiap program dilengkapi dengan algoritma numerik yang mampu memberikan
solusi nonlinier yang memuaskan. Sisi lain, kalaupun digunakan program komersial yang
sudah terkenal untuk solusi nonlinier, seperti ABAQUS misalnya, maka kesulitan timbul
dari sisi insinyur, tentang bagaimana memilih satu yang paling sesuai dari beberapa atau
bahkan ratusan metode atau algoritma penyelesaian yang disediakan program. Dalam hal
ini diperlukan proses trial-and-error dan juga kompetensi insinyur yang mengerjakannya.
Dua alasan itu saja rasanya mencukupi untuk mencari tahu, berapa besar perbedaan masing-
masing jenis analisis jika digunakan, seperti : elastis-linier, geometri-nonlinier, material-non-
linier, atau gabungan geometri dan material nonlinier. Trahair (2008) menyajikan kurva
hubungan beban-deformasi yang merepresentasikan perilaku struktur yang dievaluasi dengan
berbagai jenis analisis tersebut, lihat Gambar 8.
Mempelajari kurva hubungan beban-deformasi hasil dari berbagai macam metode analisis
struktur dapat diketahui bahwa :
Untuk semua metode analisis yang digunakan, pada beban relatif kecil, memberikan
hasil kurva yang berimpit, atau sama. Itu berarti analisa struktur elastis-linier sebagai
cara yang standar, pada kondisi tersebut memberi hasil yang cukup teliti.
Pada kondisi beban yang besar, mendekati ultimate, perilaku struktur yang dihasilkan
akan berbeda-beda tergantung tinjauan non-linier yang dipakai. Berarti, analisa nonlinier
yang tepat diperlukan untuk mempelajari perilaku struktur pada kondisi ultimate.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat diketahui bahwa analisa struktur elastis-linier
mencukupi untuk dipakai dalam perencanaan secara umum. Jika ada keraguan, maka safety
factor untuk pembebanannya dapat ditingkatkan. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa
ada pernyataan di BMS 1992 yang menyebutkan bahwa cara analisis elastis linier tingkat
pertama disarankan karena bersifat konservatif. Tentu saja jika pembebanan rencana lebih
tinggi daripada beban sesungguhnya yang terjadi. Jika tidak, tentu pernyataan itu tidak valid.
Evaluasi terhadap kerusakan atau keruntuhan struktur melibatkan kondisi nonlinier. Analisis
seperti itu umumnya diperlukan untuk mempelajari atau meneliti penyebab keruntuhan suatu
struktur dan membuat sistem perbaikannya. Oleh karena itu penggunaan analisis struktur
elastis-linier untuk mengevaluasi kekuatan batas struktur adalah tidak dapat dipertanggung-
jawabkan hasilnya. Harus digunakan program analisa struktur yang dilengkapi opsi nonlinier
yang sesuai. Oleh karena itu kemampuan mengidentifikasi jenis nonlinier yang menjadi
penyebab keruntuhan suatu struktur akan dievaluasi adalah sangat membantu.
Langkah awal untuk itu adalah mempelajari dan mengenal dengan baik berbagai perilaku
keruntuhan dari berbagai macam struktur yang pernah diuji di laboratorium (atau yang ada di
jurnal ilmiah), termasuk juga dokumentasi keruntuhan yang pernah terjadi sesungguhnya.
Jadi proses mendokumentasikan dengan baik keruntuhan suatu struktur dan mengevaluasi
penyebabnya merupakan bagian dari usaha peningkatan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat
dimanfaatkan sebagai latihan untuk melakukan simulasi numerik dengan komputer, sehingga
bila diperlukan nanti maka infrastruktur dan s.d.m-nya telah siap.
5. IMPLEMENTASI ENGINEERING-SOFTWARE
5.1. Umum
Dari penjelasan tentang “Simulasi Numerik dan Perilaku Struktur” diketahui bahwa software
analisa struktur dengan opsi inelastis-nonlinier sekalipun, jika dipakai sekedar mengevaluasi
struktur pada kondisi elastis-linier, maka hasilnya akan sama saja (lihat Gambar 8). Kecuali
tentunya jika strukturnya sendiri mempunyai permasalahan stabilitas, seperti misal struktur
langsing. Padahal saat ini struktur yang seperti itu, baik yang dipakai untuk memenuhi aspek
estetika atau efisiensi pelaksanaan, telah menjadi trend. Akibatnya permasalahan stabilitas
dapat menentukan dan harus diperhitungkan dengan baik. Itulah alasannya, mengapa pada
code perencanaan yang terkini, AISC (2010) atau Eurocode (2001), telah memberi persya-
ratan bahwa analisa struktur yang dikerjakan minimal berupa elastis-nonlinier. Adapun yang
bersifat nonlinier di sini adalah analisa struktur dapat memperhitungkan pengaruh P-Delta
atau perubahan geometri (nonlinier geometri).
Adanya persyaratan seperti itu, saat ini tidak lagi menjadi masalah besar. Maklum program
komersial lama, seperti SAP2000 ver 7.4 yang direlease satu dekade yang lalu (tahun 2000),
terbukti dapat menghitung pengaruh P-Delta, yaitu dengan lolos uji benchmark AISC (2010).
Dampak adanya software analisa struktur saat ini tidak sekedar sebagai pengganti kalkulator,
tetapi telah meningkatkan kemampuan analisis, karena dengan prosedur tepat seperti Direct
Analysis Method (AISC 2010) sekaligus dapat dievaluasi stabilitasnya secara global. Analisa
struktur cara lama, yang diarahkan untuk perhitungan manual, terbatas pada kondisi elastis-
linier tanpa stabilitas. Adapun masalah stabilitas didekati dalam desain penampang secara
setempat dengan cara pembesaran momen, tidak dihitung keseluruhan secara langsung.
Gambar 9. Fenomena flutter pada jembatan Tacoma Narrows (Szabó dan Györgyi 2009)
Pada mulanya, uji terowongan angin dipakai untuk mengakses kinerja aerodinamis jembatan.
Untuk itu perlu dibuatkan suatu model fisik jembatan skala kecil sesuai hukum similiritas,
sehingga dianggap dapat mewakili perilaku struktur sebenarnya. Model uji terowongan angin
yang dimaksud, bisa terdiri dari model skala penuh, atau cukup model potongan-penampang.
Model skala penuh hasilnya lebih teliti tetapi perlu dibuat model yang mendetail, adapun
model potongan penampang cukup berupa potongan deck jembatan (lihat Gambar 10).
Jika memperbandingkan antara model skala penuh dan model potongan-penampang, sistem
peredaman akibat adanya interaksi osilasi global dan lokal pada jembatan dengan sistem
kabel, antara keduanya sangat berbeda (Gimsing 1983). Selain itu, saat tahap pelaksanaan,
risiko adanya bahaya angin bisa saja terjadi, dan itu tentu saja tidak akan valid jika dipakai
model potongan-penampang (Szabó dan Györgyi 2009). Jadi hanya model skala penuh yang
dapat mensimulasi secara lebih sempurna, meskipun hasilnya juga tergantung dari kemiripan
detail yang dibuat antara model dan jembatan yang sesungguhnya. Akibatnya pembiayaan
uji model terowongan angin menjadi mahal, dan tidak mudah (lama) jika perlu perubahan
atau modifikasi. Keterbatasan tersebut menyebabkan banyak dicari alternatif penggantinya,
dan yang populer adalah simulasi numerik berbasis komputer (Szabó dan Györgyi 2009).
Salah satu program komputer komersil yang dapat melakukan simulasi numerik terowongan
angin adalah ANSYS, dengan fasilitas CSD (Computational Solid Dynamic) dan CFD (Com-
putational Fluid Dynamic) (Szabó-Györgyi 2009, Hong et.al 2009, Waterson-Baker 2010).
a. CSD pada model struktur jembatan b. CFD pada model aliran angin
Gambar 11. Fasilitas simulasi numerik terowongan angin (Szabó dan Györgyi 2009).
Pemodelan struktur jembatan untuk CSD (Computational Solid Dynamic) pada prinsipnya
sama seperti analisis struktur untuk tegangan-regangan dengan FEM (Finite Element Model),
seperti element Shell yang dapat memodelkan bentuk permukaan struktur yang akan berin-
teraksi dengan aliran angin, secara mudah. Model aliran angin untuk CFD (Computational
Fluid Dynamic) dapat dibuat dengan modul CFX (dari program ANSYS) berdasarkan Finite
Volume Method (FVM) yang perlu mendiskritisasi model menjadi sel-sel kecil atau mesh,
sehingga menghasilkan element yang sangat banyak. Itu semuanya tentu berdampak pada
kapasitas komputer dan lamanya proses. Jadi alih-alih memakai model 3D yang meskipun
secara teori lebih baik dari model 2D, tetapi karena pertimbangan perlunya komputer kapa-
sitas tinggi, atau lamanya waktu proses, maka model 2D masih masih menjadi pilihan. Mini-
mal langkah awal untuk memprediksi hubungan antara kecepatan angin, bentuk penampang
jembatan dan fenomena flutter. Maklum model 2D relatif sederhana dan cepat.
Waterson-Baker (2010) memakai program ANSYS dengan model 2D berhasil mensimulasi
perilaku dinamik angin yang diduga meruntuhkan jembatan Tacoma-Narrow di tahun 1941.
Gambar 12 di bagian atas memperlihatkan rekaman perubahan sudut (radian) dari waktu ke
waktu dalam bentuk grafik riwayat waktu untuk dua kondisi kecepatan berbeda, jika peru-
bahan sudut maksimal di kecepatan 10m/s dianggap 100% (acuan) maka ketika kecepatan
angin ditingkatkan menjadi 15m/s, terjadi peningkatan perubahan sudut maksimum yang be-
sar pula sebesar 400%. Ini selaras dengan hasil uji terowongan angin (Farquharson 1952)
yang mengindikasikan terjadinya divergensi torsi di sekitar kecepatan 16m/s. Perlu dicatat
bahwa jembatan Tacoma-Narrow itu sendiri runtuh pada kecepatan angin sekitar 19m/s.
Gambar 12. Riwayat waktu perubahan sudut (atas) dan kontur kecepatan angin (bawah) yang terjadi pada
simulasi jembatan 1st Tacoma-Narrow (Waterson-Baker 2010)
Gambar 12 di bagian bawah menunjukkan kondisi penampang jembatan masih dalam kon-
disi stabil pada aliran angin dengan kecepatan 10m/s, dan disampingnya ketika kecepatan
aliran angin ditingkatkan menjadi 19 m/s, terjadi perubahan sudut yang signifikan. Pada
kecepatan angin seperti itulah keruntuhan jembatan Tacoma-Narrow pada tahun 1941 terjadi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa program rekayasa teknik sipil yang didukung dengan kemajuan
teknologi komputer, telah membuka peluang baru untuk meneliti pengaruh dinamik interaksi
angin dan struktur. Akibatnya dapat didesain struktur ditempat dengan risiko tinggi terkena
terpaan angin kencang, seperti jembatan bentang panjang, secara lebih aman dan ekonomis.
Gambar 13. Finite element meshing untuk analisis tegangan dan fatig (Colquhoun-Draper 2000)
Terkait perlunya detailing model secara teliti (mesh kecil) bahkan diperlukan teknik khusus
untuk mengatasi, misalnya dengan pembuatan mesh yang sangat detail hanya pada bagian
yang terindikasi fatig. Tekniknya sendiri terdiri dari pembuatan global model untuk bagian
regular dan sub-model pada bagian yang terindikasi (Aygül 2012), lihat Gambar 14 berikut.
Perlunya pemodelan yang “rumit” untuk analisis fatig tentunya tidak praktis jika digunakan
untuk desain, khususnya untuk proyek konstruksi. Kondisi berbeda untuk desain komponen
mesin yang diproduksi (otomobil atau pesawat terbang), dimana kerja keras prosesnya akan
terbayar dengan hasil produk yang lebih efisien. Untuk komponen struktur pada proyek
konstruksi, kalaupun terpaksa harus didesain memanfaatkan FEM (komputer) maka tentunya
hanya dipilih pada bagian-bagian struktur yang vital dan yang belum ada sebelumnya
(komponen baru). Sedangkan untuk keperluan desain konstruksi yang umum, akan lebih baik
mengacu saja pada standar detail yang sudah ada, dan tentunya yang terbukti kinerjanya,
daripada membuat analisis yang rumit dengan FEM yang perlu biaya tinggi dan waktu lama.
** simulasi perilaku keruntuhan – pushover analysis**
Salah satu upaya sederhana untuk mendapatkan jaminan keselamatan bagi pemakai bangun-
an konstruksi (jembatan) adalah dengan memastikan bahwa struktur yang direncanakan akan
berperilaku daktail pada saat keruntuhan. Bisa saja struktur bangunan direncanakan terhadap
suatu pembebanan rencana yang sangat besar untuk menjamin keamanan pemakai, tetapi jika
itu digunakan sebagai suatu pertimbangan umum, maka jelas akan sangat tidak ekonomis.
Jadi pada prinsipnya, struktur direncanakan aman terhadap suatu pembebanan rencana yang
telah disepakati bersama (code), dan ketika mendapat beban tak terduga ketika mengalami
kerusakan harus memperlihatkan deformasi yang besar (daktail) sebelum runtuh. Kondisi ini
memungkinkan pemakai tahu kapan meninggalkannya secara cepat agar selamat.
Pada tahap perancangan, penggunaan analisa struktur elastis linier ataupun elastis non-linier
dengan P-Delta, sekedar memastikan kekuatan dan kekakuan struktur yang direncanakan.
Adapun perilaku daktail yang diharapkan, umumnya hanya mengandalkan tahapan desain,
yaitu dengan memastikan detail-detail konstruksi sesuai code yang berlaku. Meskipun demi-
kian hal itu umumnya hanya mengevaluasi bagian struktur lokal, interaksi non-linier antar
bagian secara keseluruhan tidak diketahui. Dengan dukungan teknologi komputasi berbasis
komputer saat ini telah berkembang tool sederhana untuk mengakses perilaku struktur, untuk
mengetahui apakah strukturnya mempunyai daktilitas yang mencukupi atau tidak. Tool ter-
sebut yang saat ini cukup populer di dunia konstruksi adalah push-over analysis.
Push-over analysis pada prinsipnya adalah pengembangan dari analisis struktur elastis-non-
linier (dengan P-Delta) biasa, hanya saja pada elemen-elemen tertentu pada model struktur
dapat berperilaku non-linier. Pembebanan diberikan bertahap, secara statik, ketika tercapai
suatu kondisi momen dan rotasi tertentu pada elemen yang dimaksud, dapat terbentuk sendi
plastis. Bagaimana sendi plastis pada elemen tersebut terbentuk, dan apakah sudah mewakili
kondisi aktual struktur, maka disitulah fokus penelitian tentang push-over. Ada yang sekedar
menyisipkan titik nodal yang akan berperilaku sebagai sendi pada kondisi beban tertentu,
tetapi bahkan ada yang membagi-bagi elemen menjadi serat atau fiber-model agar dapat
mendeteksi secara teliti kondisi non-linier yang terjadi, sebagaimana dilakukan Casarotti dan
Pinho (2006) dalam memodelkan elemen beton bertulang berikut.
Gambar 15. Fiber modeling approach untuk elemen beton bertulang (Casarotti- Pinho 2006)
Strategi pemodelan elemen beton bertulang menjadi serat-serat yang terbagi sangat detail
seperti pada Gambar 15 di atas tentu hanya dimungkinkan jika didukung oleh komputer.
Terbentuknya sendi plastis pada elemen suatu struktur-statis-tertentu berarti kekuatan ulti-
mate-nya telah tercapai. Beban yang menyebabkan runtuh sudah dapat diperoleh tanpa harus
memakai analisis struktur yang canggih. Tetapi jika strukturnya adalah statis-tak-tentu maka
terbentuknya sendi-plastis pada satu bagian tidak akan menyebabkan kondisi ultimate, akan
terjadi terlebih dahulu redistribusi momen ke bagian-bagian lain, sehingga bagian tersebut
bisa juga mengalami sendi plastis. Semakin banyak sendi plastis terbentuk, struktur akan
semakin daktail. Bahkan dengan digunakannya komputer rekayasa khusus dapat dimodelkan
secara detail interaksi struktur dengan tanah dan lainnya yang memungkinkan simulasi yang
mendekati kondisi real. Gambar 16 memperlihatkan contoh model yang dimaksud.
Gambar 16 adalah pemodelan 3D dari struktur jembatan I-5 Ravenna (Shafiei et al 2011),
untuk mencari responsnya terhadap berbagai level beban gempa rencana memakai analisis
pushover. Pengaruh interaksi antara tanah dan struktur yang nonlinier juga telah dapat dimo-
delkan, termasuk juga hubungan PC girder dengan RC pier jembatan memakai Elastomeric
Bearing. Pemakaian PC girder pracetak yang penempatannya menimbulkan gap, juga telah
dapat dimodelkan dan dipelajari pengaruhnya terhadap perilaku keruntuhan. Salah satu hasil
analisis pushover dapat memberikan urutan keruntuhan elemen struktur jembatan berikut.
Gambar 17. Urutan terjadinya sendi-plastis arah memanjang jembatan (Shafiei et al 2011)
Analisis pushover memprediksi besarnya beban lateral yang menyebabkan keruntuhan. Se-
lanjutnya dapat dikalibrasi dengan besarnya gempa yang mungkin terjadi. Dengan demikian
dapat diperkirakan apakah struktur aman atau tidak pada level gempa tertentu tersebut.
** simulasi perilaku keruntuhan – mencari penyebab keruntuhan**
Perlunya simulasi model struktur yang sangat mendetail dengan FEM (komputer) belum jadi
kebutuhan mutlak bagi proses perencanaan atau desain konstruksi, bahkan untuk simulasi
perilaku keruntuhan struktur seperti analisis pushover belum memerlukannya. Meskipun
demikian jika simulasi yang dimaksud untuk mencari tahu penyebab keruntuhan secara tepat
maka model struktur yang mendetail akan diperlukan. Untuk memahami hal yang dimaksud,
ada baiknya mempelajari bagaimana para insinyur dapat mendeteksi secara tepat penyebab
keruntuhan jembatan Minneapolis I-35W (USA) tanggal 1 Agustus 2007 yang lalu.
Gambar 18. Puing-puing jembatan Minneapolis I-35 yang runtuh (source : blog.cleveland.com)
Jika melihat dari kaca mata awam, yaitu didasarkan kondisi jembatan sebelum runtuh atau
puing-puing setelah keruntuhan, seperti terdokumentasi pada foto-foto berikut.
Gambar 19. Joint sebelum runtuh (kiri) dan potongan pelat buhul yang ditemukan (kanan) - internet
Dapat saja diungkapkan bahwa penyebabnya adalah korosi pelat buhul. Oleh karena itu, baru
setelah ± 40 tahun jembatan tersebut berdiri maka keruntuhan itu terjadi. Itulah penjelasan
segera, terkait dengan keruntuhan yang terjadi. Tetapi apakah benar seperti itu adanya.
Fakta yang ditemukan kemudian ternyata berbeda dari prediksi awal. Maklum, kesimpulan
singkat seperti di atas tidak memuaskan para pejabat penanggung jawab transportasi di sana.
Perlu penelitian yang mendalam untuk mendapatkan jawaban tepat, seperti yang dihasilkan
oleh Kenneth et. al. (2008), Toshio Nakamura dan Dassault Systemes Simulia Corp. (2008),
Howard et. al. (2008), dan banyak yang lain. Penelitian dimulai dengan mempelajari fakta
lapangan bahwa terjadi kerusakan yang parah pada bagian pelat sambungan (gusset plate).
Apakah hal itu dipicu oleh korosi seperti foto, atau hal lain. Untuk penelitian mengandalkan
simulasi numerik berbasis komputer, khususnya FEA (Finite Element Analysis).
Langkah pertama evaluasi struktur jembatan adalah membuat analisa struktur menyeluruh,
dilanjutkan dengan check kondisi elemen struktur terhadap beban-beban rencana. Prosesnya
dikerjakan dengan program analisis struktur SAP2000 (Howard et al 2008). Pada tahap ini
ternyata tidak ditemukan masalah. Semua elemen struktur memenuhi kriteria perencanaan
yang berlaku. Hal ini dapat dimaklumi karena program SAP2000 memang tidak bisa meng-
akses kondisi pelat sambungan (gusset plate), yang diduga menjadi sumber pemicu terjadi-
nya keruntuhan jembatan. Dugaan diperkuat dengan adanya fakta baru, yang diketemukan
setelah mempelajari dokumentasi foto-foto yang dibuat sebelumnya, khususnya pada bagian
sambungan yang dicurigai, yaitu pelat sambungan terlihat melengkung (lihat Gambar 20).
Selanjutnya analisis dilanjutkan dengan membuat model bagian gusset-plate yang mendetail
untuk dijadikan satu dengan model struktur keseluruhan memakai program Abaqus. Model
sambungan gusset plate yang detail tersebut dibuat dengan element Shell (element 2D FEM)
sebagaimana terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Pemodelan analisis struktur global dengan model gusset-plate yang detail. (Source : Simulia)
Program Abaqus yang saat ini dimiliki perusahaan Dassault System (www.3ds.com) pada
dasarnya seperti program SAP2000, hanya saja kemampuan analisa nonlinier-nya lengkap
dan didukung oleh kemampuan grafis pemodelan 3D yang canggih. Itulah mengapa dapat
dengan mudah memodelkan baut-baut pada sistem sambungan yang ditinjau. Karena elemen
struktur dapat dimodelkan secara detail seperti halnya komponen-komponen mesin, maka
bagian yang mengalami overstress atau berdeformasi berlebihan dapat langsung terdeteksi.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 22 berikut yang memperlihatkan pada suatu tahapan
beban yang dievaluasi, terjadi konsentrasi tegangan yang kritis (maksimum) pada pelat.
Pada pelat buhul yang menghubungkan elemen U10-L9W selain terjadi konsentrasi tegangan
yang besar juga memperlihatkan terjadinya tekuk. Pelat yang digunakan adalah ½ inch. Hasil
studi selanjutnya menunjukkan bahwa inilah penyebabnya. Bagian pelat bahkan bisa dieva-
luasi secara independen untuk setiap tahapan pembebanan, lihat Gambar 23.
Gambar 23. Perilaku pelat buhul pada tahapan kondisi beban yang berbeda (Schultheisz et al. 2008)
Jadi konsentrasi tegangan yang timbul pada pelat buhul memicu pelat buhul mengalami
kondisi instabilitas (tekuk). Studi lebih lanjut juga menunjukkan bahwa jika ketebalan pelat
ditingkatkan dari ½ inch ke 1 inch maka dapat dipastikan keruntuhan tidak akan terjadi.
Gambar 24. Simulasi gusset plate dengan ketebalan berbeda (Ballarini-Okazaki 2009)
Studi yang dilakukan Ballarini-Okazaki (2009) memperlihatkan bahwa jika digunakan pelat
dengan ketebalan 1 inch atau dua kali dari ketebalan pelat eksisting, maka perilaku pelat
masih pada kondisi elastis (ditunjukkan oleh garis lurus hubungan gaya-deformasi) adapun
untuk pelat ½ inch perilaku pelat sudah dalam kondisi nonlinier, bahkan ultimate.
Pada studi lain, juga telah dievaluasi pengaruh korosi, yaitu dengan cara mereduksi bagian
pelat yang diduga mengalami korosi, yang hasilnya ternyata tidak signifikan pengaruhnya.
Demikian gambaran singkat bagaimana simulasi komputer digunakan menemukan sumber
penyebab keruntuhan struktur. Memang, untuk melakukan simulasi tersebut tidaklah semu-
dah seperti membalikkan telapak tangan. Untuk kasus yang dapat dilakukan uji empiris di
laboratorium, maka ini bahkan bisa saja lebih mudah dilakukan daripada simulasi numerik.
Meskipun demikian, salah satu keunggulan simulasi numerik berbasis komputer (FEM)
dibanding uji empiris di laboratorium adalah bahwa datanya berupa data digital, yang dapat
diakses berulang kali tanpa mengalami penurunan mutu. Proses simulasi numerik sendiri
dapat di-stop di tengah jalannya proses dan dilakukan pengamatan. Setiap parameter yang
mempengaruhi simulasi numerik dapat diamati secara independen (contoh lihat Gambar 23).
Hal-hal tadi tentu tidak bisa diterapkan pada penelitian empiris. Bahkan dengan studi para-
metris maka pengaruh parameter satu dengan yang lainnya terhadap keruntuhan dapat dicari
hubungan dan pengaruhnya. Bahkan untuk menentukan suatu penyebab secara pasti, umum-
nya dilakukan dengan studi parametris tersebut, yaitu dapat memastikan bahwa parameter
yang dimaksud memang berpengaruh sekali terhadap keruntuhan struktur yang terjadi.
6. KESIMPULAN
Program komputer rekayasa teknik sipil saat ini membuka peluang digunakan oleh insinyur
tidak sekedar sebagai pengganti kalkulator saja, tetapi telah masuk pada wilayah kerja baru
yang sebelumnya bahkan tidak terbayangkan. Agar dapat bermanfaat bagi kemajuan kons-
truksi jembatan di negeri ini, alangkah baiknya jika potensi tersebut mulai menjadi perhatian
serius bagi semua pihak, pemerintah, praktisi konstruksi maupun akademisi.
7. PENUTUP
Penulis mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kesempatan berpartisipasi pada acara
CIVIL DAYS 2014 oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Negeri Malang. Semoga tulisan dan paparan yang diberikan menginspirasi dan
Always make sure you are right and then - go for it.
David Crockett
8. DAFTAR PUSTAKA
Alain Nussbaumer, Luis Borges, Laurence Davine. (2011). “Fatigue Design of Steel and Composite Structure”,
ECCS Euroced Design Manuals, ECCS – European Convention for Constructional Steelwork
AISC. (2010). “ANSI/AISC 360-10 : Specification for Structural Steel Buildings”, AISC, Chicago, Illinois
AISC. (1992). “Manual of Steel Construction – Volume II Connections ASD 9th Ed./LRFD 1st Ed.”, AISC,
Chicago
Aygül, M. (2012). “Fatigue Analysis of Welded Structures Using the Finite Element Method”, Thesis :
Department of Civil and Environmental Engineering, Division of Structural Engineering, Steel and Timber
Structures, Chalmers University Of Technology, Gothenburg, Sweden 2012
Casarotti, C., Pinho, R. (2006). “Seismic response of continuous span bridges through fiber-based finite element
analysis”. Journal of Earthquake Engineering and Engineering Vibration, 5:1, 119-131
Carl R. Schultheisz, Alan S. Kushner, Justin M. Ocel, William J. Wright, John Finke, Carlos Matos, Jihshya Lin.
(2008). - Modeling Group Chairman Final Report - Report No. 08-119, National Transportation Safety
Board , Washington DC
Cook, Malkus, Plesha and Witt. (2002), “Concept and Applications of Finite Element Analysis 4th Ed.”, Wiley
Colquhoun, C., dan J. Draper. (2000). "Fatigue Analysis of an FEA Model of a Suspension Component, and
Comparison with Experimental Data", NAFEMS Seminar : Fatigue Analysis, November 8 - 9, 2000,
Wiesbaden, Germany
CSI. (2007). “Steel Frame Design Manual AISC 360-05/IBC2006 - for SAP2000 & ETABS”, CSI, Berkeley
Dewobroto, W. (2013). “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, Lumina Press, Jakarta
Farquharson, F.B. (1952). “Aerodynamic stability of suspension bridges”. University of Washington Experiment
Station, Bulletin Number 116, Part I and III.
Gimsing, N.S. (1983). “Cable supported Bridges - Concept and Design”, John Wiley & Sons, 1983
Hong, H.P., Z. Hu and J.P.C. King.(2009). "Gust responses of bridges to spatially varying wind excitations and
calibration of wind load factors", Highway Standards Branch, Ontario Ministry of Transportation
Howard J. Hill, Jonathan C. McGormley, Michael J. Koob dan William J. Nugent.(2008). “I-35W Bridge Over
The Mississippi River Collapse Investigation”, Final Report, Prepared by Wiss, Janney, Elstner Associates,
Inc, for Minnesota Department of Transportation Bridge Office
Kenneth W. Gwinn, Gerald W. Wellman, James M. Redmond.(2008). "Peer Review of the National
Transportation Safety Board Structural Analysis of the I-35W Bridge Collapse", SANDIA REPORT
SAND2008-6206, Sandia National Laboratories
Miyata, T. (2003). “Historical view of long-span bridge aerodynamics”, Journal of Wind Engineering and
Industrial Aerodynamics 91 (2003) 1393–1410
Shafiei-Tehrany, R., M. ElGawady, W. Coffer. (2011). "Pushover Analysis of I-5 RAVENNA Bridge", Electronic
Journal of Structural Engineering 11(1) 2011
Sivaselvan, M.V., dan A.M Reinhorn. (2003). “Nonlinier structural analysis toward collapse simulation A
Dynamical system approach”, Technical Report MCEER‐XXXXXX, University at Buffalo
Szabó, G., dan J. Györgyi (2009). “Threedimensional FluidStructure Interaction Analysis for Bridge
Aeroelasticity”, http://www.ara.bme.hu/oktatas/tantargy/NEPTUN/BMEGEATMW02/2009‐2010‐
I/ea_lecture/11_12_GergelySzabo_FSI.pdf (download 7 Agustus 2013)
Toshio Nakamura dan Dassault Systemes Simulia Corp.(2008). "Structural and Local Failure Study of
Gusset Plate In Minneapolis Bridge Collapse", Final Report ‐ NTSBC070010, Submitted to National
Transportation Safety Board, Washington
Waterson, N. P., dan N. Baker. (2010).“Numerical prediction of flutter behaviour for longspan bridge decks”,
The Fifth International Symposium on Computational Wind Engineering (CWE2010), Chapel Hill,
North Carolina, USA May 23‐27, 2010
1. Dewobroto, W., L. Hidayat dan H. Vaza. (2013).“Bridge Engineering in Indonesia”, in : Chapter 21 of the Handbook of
International Bridge Engineering, by WF. Chen dan L. Duan, CRC Press, Boca Raton, FL.
2. Dewobroto, W. (2013). “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, Lumina Press, Jakarta
3. Dewobroto, W. (2007). “Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan SAP2000 – Edisi Baru”, PT. Elex Media, Jakarta.
4. Dewobroto, W. (2005). “Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan Visual Basic 6.0 : Analisis dan Desain Penampang
Beton Bertulang sesuai SNI 03-2847-2002”, PT. Elex Media, Jakarta
5. Dewobroto, W. (2004). “Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan SAP2000”, PT. Elex Media, Jakarta.
6. Dewobroto, W. (2003). “Aplikasi Sain dan Teknik dengan Visual Basic 6.0”, PT. Elex Media, Jakarta.
7. Dewobroto, W., Reineck, K.-H. (2002). “Beam with indirect support and loading”, in: Reineck, K.-H. (2002): (Editor):
Examples for the Design of Structural Concrete with Strut-and-Tie Models, ACI SP-208, ACI, Farmington Hills, MI.
Segera di 2015