Anda di halaman 1dari 4

Pengabdianku di Profesiku

Kedua bola mata gadis yang duduk di depan jendela kamarnya bergerak seiring
kalimat yang tertulis di secarik kertas yang dipegangnya. Kalimat itu telah hafal di luar
pikiranku. Terngiang-ngiang di benakku. Mengundang Ananda Ayu Bunga Lambora sedagai
dokter umum di Desa Renggani, Kalimantan Utara. Daerah pelosok yang berbatasan
langsung dengan negara Malaysia. Aku bisa saja menolak tawaran itu namun keinginan
Rendy untuk melanjutkan sekolah di Jerman membuat otakku berpikir rasional untuk
menerimanya walau hatiku menolak. Hujan di luar rumah seakan tak membantu meredam
pertarungan sengit itu. Jika dulu aku bisa kuliah dengan jurusan yang ku inginkan maka
adikku juga harus bisa kuliah dengan jurusan yang dia inginkan. Aku membuka laptop,
mataku sibuk mencari informasi mengenai Desa Renggani. Seperti yang ku duga, di desa
tersebut jarang ada sinyal karena daerahnya yang polosok. Malam itu ku habiskan untuk
menguatkan niatku pergi ke desa itu.
Menjadi anak yatim piatu membuatku dan adikku tinggal sendiri. Semua keperluan
rumah aku yang mengurusnya. Aktivitas rumah tangga, bahkan biaya sekolah Rendy aku
yang mengurusnya. Menjadi dokter umum setidaknya membuat ekonomi keluargaku bisa
dikendalikan sekarang. Pagi ini aku telah mendapatkan jawaban atas keraguanku semalam.
“Mbak...”
“Ya Ren, kenapa? Sarapannya udah mbak siapin di meja. Bekalnya juga udah mbak
siapin tinggal berangkat aja kamunya.”
“Mbak mau ke Desa Renggani?” Satu kalimat itu membuat percakapan di antara ku
dan Rendy hening sekejap. Aku bahkan sudah bisa menduga respon yang akan dia berikan
setelah aku menjawabnya.
“Iya Ren, itu yang mbak tunggu-tunggu selama ini Ren. Mengabdi langsung ke
masyarakat kecil yang memang sangat butuh sosok mbak di sana. Itu cita-cita mbak dari kecil
Ren.”
“Mbak tau kan kalau disitu tempat pelosok, bahkan di sana juga susah sinyal mbak.
Kehidupan di sana pasti jauh dengan kehidupan disini mbak. Mbak yakin?”
“Mbak sangat yakin Ren.”
Kalimat itu menutup perbincanganku dengan Rendy. Aku tak mau melanjutkan debat
ini dengan Rendy. Aku hanya ingin cita-citanya disa tercapai. Rendy telah berangkat sekolah
beberapa menit yang lalu. Aku mengambil tas di kamarku, lantas masuk ke dalam kamar.
Mengambil laptop yang tergeletak di atas meja. Jariku mengetik alamat web untuk
mengonfirmasi persetujuanku lantas mendaftarkan diriku mennjadi dokter umum Desa
Renggani. Anda telah mengonfirmasi undangan kami. Itu kalimat terakhir yang ku baca
sebelum aku mematikan laptopku.
Seminggu ini terasa begitu cepat bagiku menerima kenyataan bahwa aku akan pergi
dan meninggalkan adikku sendiri di rumah. Ini bukanlah hal yang baru bagi Rendy, ia sudah
terbiasa hidup sendiri karena ia merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Tapi
10 tahun itu bukan waktu yang singkat. Apalagi di tempat yang serba susah.Tanpa alat
transportasi, tanpa sinyal, bahkan aku tidak tahu bagaimana kondisi masyarakat disana.
“Aku tanya lagi ke mbak, mbak yakin mau berangkat?”
“Iya Rendy, mbak sangat yakin karena mbak pasti juga sudah memikirkannya
matang-matang sebelumnya. Untuk uang sekolah kamu nanti mbak transfer. Kamu bisa kan
hidup sendiri?”
“Kalau untuk hidup sendiri itu udah biasa tapi mbak, kita ngga bisa telfonan trus kita
bisa komunikasi lewat apa?”
“Kita masih bisa telfonan Ren, mbak akan usahain itu. Semuanya udah siap, mbak
pamit ya. Kamu harus sekolah bener-bener. Selama mbak ngga ada bukan cuma sekolah aja
yang bener tapi perilaku juga bener. Jangan salah pergaulan.”
Anggukan Rendy setidaknya membuatku tenang. Kalimat wejangan dariku menutup
salam perpisahanku dengan Rendy kali ini. Pelukan hangat Rendy seakan menggugurkan
semua niatku untuk pergi. Menangis. Itu yang ku lakukan saat di dalam pesawat. Apa yang
aku pikirkan seminggu yang lalu kini menjadi nyata. Niat yang kukumpulkan seminggu lalu
seakan amblas ketika mengingat wajah Rendy. Tapi memang ini yang harus aku lakukan
sekarang.
Pegawai dari kabupaten setempat bertugas mengantarkanku ke desa yang dituju.
Terbukti bahwa transportasi di desa ini masih sangat jarang, bahkan hampir seluruh warganya
berjalan jauh untuk bekerja. Alam yang masih sangat asri memanjakan mataku. Rumah-
rumah tradisional warga setempat berjajar dengan rapi. Ternyata hanya di kantor kepala desa
yang disediakan sebuah sepeda sebagai alat transportasi. Aku ditempatkan di sebuah rumah
panggung yang berjajar di antara rumah-rumah lain. Pak Rosman, kepala desa setempat
mengamanatkanku untuk bekerja lusa karena renovasi puskesmas baru akan selesai besok.
Aku merapikan semua barang-barang yang ku bawa. Di antara sela-sela jendela, aku melihat
seorang anak laki-laki asyik berjalan sambil menawarkan sesuatu yang dijualnya.
“Ikan... ikan... seringgit... ikan seringgit.”
“Dek... sini.. ikannya.” Tanganku bergerak memberi isyarat kepadanya untuk
menghampiriku. Anak itu lantas berjalan ke arahku. Kedua tangannya memegang bambu
untuk menjaga keseimbangan bebanya. Hanya dengan sebilah bambu ia mengangkat dua
ember berukuran sedang berisi ikan segar.
“Kakak mau beli satu yah.”
“Ada ember kak?”
“Oh... sebentar kakak ambil dulu.” Aku masuk mencari ember lantas membawanya
keluar. Aku menyerahkan dua lembar uang lima ribuan. Sedangkan anak itu sibuk
mempersiapkan dagangannya
“Tak ada duit ringgit kak?”
“Ngga ada dek, kembaliannya untuk kamu aja. Kenapa jualannya pakai ringgit dek?
Di Indonesia kan pakainya rupiah?”
“Di sini biasanya pakai duit Malaysia kak karna di sini banyak yang kerja di
Malaysia, saya juga dagang dan banyaknya laku di Malaysia. Jadi kebanyakan pakai duit
Malaysia.”
Semua ibu-ibu di desa ini menyiapkan makan besar untuk menyambutku. Aku tak
menyangka, warga di sini begitu ramah hingga membuat sebuah kenduri untukku. Nasi, lauk,
buah, semuanya di letakkan di lembaran daun pisang yang sudah ditata berjajar di jalan depan
rumah warga. Bapak-bapak menyiapkan bilah-bilah bambu yang digunakan sebagai lampu.
Desa ini bersinar malam ini. Lampu-lampu tradisional itu dipasang disepanjang jalan untuk
penerangan. Semua orang duduk di tikar, menghadap makanan yang telah disiapkan. Pak
Rosman membuka acara. Memberi sambutan dan memperkenalkanku kepada warga. Semua
orang tampak begitu senang. Desa yang sangat berkecukupan terlihat seperti desa yang
sangat kaya dengan persaudaraannya.
Pagi ini aku belum mulai bekerja. Aku menghampiri Abdul, anak kecil yang menjual
ikannya kemarin kepadaku. Aku berniat ikut berjualan dengan Abdul ke pasar terdekat di
Malaysia. Kata Abdul menjual ikan di desa ini sulit karna kebanyakan orang memancing
sendiri di sungai sehingga ia harus menjualnya ke Malaysia. Untuk ke Malaysia kita harus
melewati hutan sekitar sepuluh menit barulah sampai di jalan perbatasan yang dijaga
langsung aparat kedua negara. Abdul mengonfirmasi bahwa kami mau ke Malaysia untuk
berdagang. Aku melihat bendera kedua negara yang berkibar di perbatasan wilayah. Setelah
diijinkan, kami memasuki wilayah Malaysia. Kami masih harus berjalan sekitar dua puluh
menit hingga sampai di pasar itu. Membawa ember berisi air dan ikan ternyata tidak mudah.
Harus berjalan hati-hati agar air tidak tumpah. Abdul menitipkan dagangannya ke salah satu
kios di pasar itu.
“Kamu bisa dapat banyak ikan memang tidak habis kalau diambil setiap hari?”
“Ada aturannya kak, Kalau mau ambil ikan di sungai juga harus kasih makan ikan di
sana. Kalau ikannya masih kecil ya tak boleh diambil.” Abdul berjalan di kios sebelah untuk
membeli makan ikan. Ia memberikan beberapa uang ringgit lantas mengajakku untuk balik.
Abdul adalah salah satu dari banyak anak di desa ini yang tidak bersekolah. Tidak ada biaya
katanya. Kasihan abang yang sudah bekerja untuk makan dia. Bakan ia juga membantu untuk
berjualan ikan. Walau dia ingin sekali bersekolah, tapi ia juga tidak berani untuk
mengemukakan keinginannya pada abangnya.
Hari ini, hari pertamaku bekerja. Pak Samsul adalah orang yang berobat pertama.
Bersama dengan cucunya yang masih kecil datang untuk mengecek keadaan kakeknya yang
menderita penyakit jantung. Aku memeriksanya. Semuanya masih normal dan tidak perlu di
khawatirkan. Senyum manis anak itu tergambar jelas dengan lesung pipi kecil. Asti. Mereka
lantas meninggalkan ruangan kerjaku. Kali ini semuanya masih berjalan dengan normal.
Masih bisa aku atasi. Melihat abdul bersama abangnya, aku teringat dengan Rendy. Aku
lantas keluar menghampiri Abdul. Menanyakan dimana tempat yang ada sinyalnya. Bang
Syahrul menunjukkan tempatnya kepadaku. Kami berjalan sekitar sepuluh menit. Sampailah
di sebuah rumah pohon yang lumayan tinggi.
“Di sana bu dokter.” Syahrul menunjuk di rumah pohon itu. Aku lantas naik ke rumah
pohon itu.
“Syahrul, jangan pergi dulu. Saya tidak hafal jalan pulangnya.” Aku berteriak dari
atas pohon. Syahrul hanya menunjukkan jari jempolnya seakan mengerti perkataanku. Aku
lantas menghubungi Rendy.
“Rendy.”
“Mbak? Aku kira benar-benar nggak ada sinyal di sana.”
“Ada Ren, cuma ya harus naik ke rumah pohon. Itu juga mbak baru tahu hari ini...
Gimana pendaftarannya? Udah dapet pengumumannya?”
“Aku udah daftar mbak cuma pengumumannya masih seminggu lagi. Menurut mbak,
bisa ngga?”
“Bisa lah Ren. Jangan lupa berdoa terus. Udah dulu ya. Mbak ditungguin soalnya.”
Aku lantas mematikan telefon dan beranjak menuruni tangga kayu rumah pohon. Syahrul
masih menungguku di bawah rumah pohon. Suasana di antara kami sekarang canggung.
Tidak ada di antara kami yang memulai percakapan. Kami kembali ke tempat kerjaku. Tidak
ada lagi warga yang berobat hingga menjelang sore. Aku memutuskan untuk menutup
puskesmas.
Tidak terasa sudah sebulan lebih aku bertugas dan kondisi masih seperti biasa. Abdul
dan teman-temannya sudah pergi mencari ikan sejak subuh tadi. Aku bersiap menuju
puskesmas. Tidak ada yang berbeda, semuanya masih sama. Warga yang sakit berobat ke
puskesmas. Aku melaporkan perkembangan kesehatan warga kepada Pak Rosman. Kesehatan
warga di desa ini membaik. Di antara perbincanganku dengan Pak Rosman. Didit, salah satu
teman Abdul datang bersama ibunya. Ibunya menjelaskan keluhan Didit. Aku melihat seluruh
tubuh Didit dipenuhi bintil-bintil merah menyebar. Aku memeriksa Didit dengan jeli.
Menanyakan apa saja yang dimakan ataupun diminum Didit. Ibunya berkata bahwa ia makan
seperti hari biasanya dan biasanya juga baik-baik saja. Aku mencoba memberi saleb untuk
mengurangi bintil-bintil di kulitnya. Hari menjelang petang. Aku hendak menutup
puskesmas, namun beberapa warga datang dan mengeluh tentang penyakit kulit mereka yang
sama.
Aku merasa aneh dengan hal ini. Warga serentak mengeluhkan penyakit yang sama.
Sepertinya penyakit itu terjadi karena adanya wabah. Tidak hanya anak-anak, tapi orang
dewasa juga terkena penyakit itu. Aku memberi obat kepada para warga dan memintanya
untuk membagi obat tersebut karena persediaan obat di puskesmas masih sangat minim. Aku
menutup puskesmas dan beranjak pergi ke kantor kepala desa. Aku memberi tahu kepada Pak
Rosman apa yang terjadi dengan warga di desa ini. Wabah yang sepertinya menyebarkan
penyakit yang sama di desa ini. Pak Rosman memberi tanggapan yang sangat baik. Beliau
akan bertindak secepatnya mengenai hal ini.
Paginya, aku bersama dengan Pak Rosman melakukan survei di beberapa rumah
warga. Terbukti bahwa air di bak tampung desa tercemar. Pak Rosman mengajak Syahrul
untuk mengecek bak air desa bersamaku. Syahrul menelusuri aliran air yang mengalir ke bak
air desa. Aku mengikutinya dari belakang bersama Pak Rosman. Syahrul melihat adanaya
aliran air kecil yang masuk ke bak air desa. Kami menelusuri aliran air itu dan menemukan
sebuah pabrik yang membuang limbahnya ke sebuah gorongan air. Kata Pak Rosman itu
adalah pabriks tekstil yang baru beroperasi. Pak Rosman berjanji akan bertemu dengan
pemilik pabrik dan membicarakan tentang hal ini. Sementara warga diminta untuk tidak
menggunakan bak air desa untuk sementara waktu dan mengambil air dari sungai yang
letaknya memang sedikit lebih jauh.
Sedikit deemi sedikit penyakit yang diderita warga sembuh. Negosiasi Pak Rosman
dengan pemilik pabrik juga berhasil. Bak air desa bisa digunakan lagi sekarang. Semua
masalah di desa ini selesai. Aku menutup puskesmas dan beranjak pulang ke rumah. Ketika
selesai shalat aku mendengar seseorang memanggilku. Aku lantas bergegas keluar dari rumah
dan mendapati Asti berlari ke arahku tanpa mengenakan alas kaki. Nafasnya ngos-ngosan
karena berlari. Air matanya menetes ketika menatapku. Raut wajah takut itu tergambar jelas
di muka kecilnya.
“Kakek bu dokter...” ia seperti tidak bisa mengatakan apa yang ingin di katakan. Asti
lantas menarik tanganku dan berlari menuju rumahnya. Aku menemukan kakeknya yang
sudah lemas tak berdaya di atas kasur tipis di rumahnya. Aku meminta Abdul ang saat itu
sedang di luar rumah Asti untuk mengambilkan tas yang berisi perlengkapan doker di
rumahku. Abdul berlari dan mengambilnya. Aku bergegas memeriksanya. Memastikan kakek
berada dalam kondisi sadar. Pak Rosman datang ke rumah Asti karena mendengar keributan
dari warga. Aku meminta bantuan kepada Pak Rosman agar kakek dirujuk ke rumah sakit
yang memiliki peralatan yang lebih lengkap. Asti memeluk dengan erat kakeknya. Pak
Rosman dan Syahrul mencari tumpangan ke rumah sakit terdekat. Aku kembali mengecek
ulang keadaanya. Mengajak kakek berbicara untuk memastikan keadaannya. Semuanya
terlambat. Kakek Asti telah meninggal dunia di pangkuan cucunya sendiri. Asti menangis
sekencang-kencangnya. Tak lama mobil sayur milik warga di desa teangga datang. Aku
mengatakan kepada Pak Rosman dan Syahrul bahwa kakek sudah tiada.
Pemakaman kakek Asti berjalan lancar. Warga berantusias datang memberi semangat
kepada Asti dan menampaikan bela sungkanya kepada anak itu. Bu Wisa, salah seorang
warga berniat mengangkat Asti menjadi anaknya dan bersedia merawatnya. Itu membuatku
sedikit lega, penderitaan anak itu setidaknya berkurang. Tetapi, hari ini adalah hari terakhirku
bertugas di sini. Aku berpamitan dengan Pak Rosman, Abdul, Asti, Bang Syahrul, dan warga.
Selanjutnya aku akan pulang dan bertugas menjadi dokter umum di daerahku.

TAMAT
Namaku Fatimah Khusnul Khasanah. Imah, nama panggilanku semasa kecil hingga
sekarang. Namun tak jarang juga orang memanggilku dengan nama Fatimah. Aku lahir di
Surakarta, 8 Juni 2003. Hmm... hobi? hobiku membaca novel, tapi aku juga suka
mendengarkan musik dan menggambar. Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara,
artinya aku memiliki seorang kakak perempuan yang berselisih tujuh tahun lebih tua dariku.
Sekian dulu dariku.
Salam hangat,
Fatimah

Anda mungkin juga menyukai