Anda di halaman 1dari 14

Penyakit Genetik (Keturunan)

“Talasemia”

Makalah Mini

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Genetik

Oleh:

Putri Anggraeni (1111101000045)

Siti Khotijah (1111101000

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (PSKM)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014
A. Pendahuluan

Talasemia adalah kelainan gen tunggal (single gene disorders) dalam darah dan
diturunkan melalui kaidah hukum Mendel (Kemenkes, 2010). Kelainan ini disebabkan oleh
mutasi pada gen globin α atau β yang mengakibatkan sintesis hemoglobin menjadi abnormal
(Vanichsetakul, 2011). Talasemia α dan β paling umum terjadi di dunia. Pada tahun 2005,
pembawa sifat talasemia α dan talasemia β mencapai 1,67% populasi dunia sedangkan
pembawa sifat hemoglobin E sekitar 0,95% (Gatot, dkk., 2007). Prevalensi dari Talasemia α
dan β paling tinggi terjadi di daerah endemik malaria (WHO, 2014).
Di Indonesia pada akhir bulan Maret 2007, tercatat sebanyak 1.264 pasien di Pusat
Thalassemia Jakarta dengan 80-100 pasien baru setiap tahunnya. Untuk kasus talasemia β
merupakan kasus terbanyak, yaitu sebesar 50,6%, talasemia β-Hb E sebesar 46,7% dan
talasemia α sebesar 2,2% (Gatot, dkk., 2007). Berdasarkan data dari Perhimpunan Yayasan
Talasemia Indonesia diketahui bahwa hingga Juni 2008, terdapat 1.433 pasien dirawat di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Selain itu, terjadi peningkatan pasien baru talasemia
rata-rata sebanyak 8% sejak tahun 2006 sampai 2008 (Indanah, dkk., 2013). Di rumah sakit
yang sama, sampai akhir tahun 2008 terdapat 1.442 pasien talasemia mayor yang berobat
jalan di Pusat Talasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM yang terdiri dari
52,5% pasien talasemia β homozigot, 46,5% pasien talasemia β-Hb E dan 1,3% pasien
talasemia α (IDAI, 2009).
Besar masalah yang terlihat, khususnya di Indonesia, hanya berdasarkan pada catatan
pasien saja. Artinya, hanya pada orang-orang yang telah terdiagnosis menderita Talasemia.
Dengan kata lain, besar masalah di populasi bisa lebih besar dibandingkan dengan data di
atas, sehingga diperlukan pencatatan yang lebih baik dan sumber data yang lebih luas untuk
menyatakan besar masalah Talasemia di Indonesia.
Talasemia ini merupakan penyakit genetik yang diturunkan menurut hukum Mendel,
sehingga pencegahan yang dilakukan berbasis genetik. Makalah ini disusun untuk
memberikan informasi mengenai mutasi gen yang terjadi pada Talasemia, sehingga
pencegahan dapat dilakukan.
B. Definisi Talasemia

Talasemia merupakan penyakit keturunan/penyakit bawaan yang diturunkan dari


salah satu orang tua kepada anaknya sejak dalam kandungan. Penyakit ini terjadi akibat
kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi pengurangan produksi satu atau lebih rantai
globin yang menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin (Yunanda, 2008).
Pasangan suami istri yang keduanya membawa gen thalasemia mempunyai kemungkinan
anaknya menderita thalasemia sebesar 25%, pembawa gen thalasemia (carrier) sebesar 50%,
dan normal sebesar 25% (Thalasemia.org, 2014). Berikut ini adalah skema dari gen penurun
thalasemia:

Hemoglobin (Hb) merupakan suatu zat di dalam sel darah merah (eritrosit) yang
berfungsi mengangkut oksigen dari paru ke seluruh tubuh dan memberi warna merah pada
eritrosit. Dalam keadaan normal, Hemoglobin yang normal pada dewasa adalah hemoglobin
A yang terdiri dari empat kelompok heme dan empat rantai polipeptida dengan jumlah
keseluruhan 547 asam amino. Rantai polipeptida ini mempunyai dua rantai alfa dan dua
rantai beta. Setiap rantai ini akan mengikat satu kelompok heme. Satu rantai alfa terbentuk
daripada 141 asam amino sedangkan satu rantai beta pula terbentuk daripada 146 asam
amino (Thalasemia.org, 2014).

Thalasemia terjadi akibat kelainan atau perubahan gen globin α atau β yang
mengatur produksi rantai α atau β. Thalasemia terjadi jika rantai globin berkurang atau tidak
terbentuk sama sekali. Keadaan ini menyebabkan produksi hemoglobin terganggu dan umur
eritrosit memendek. Dalam keadaan normal, umur eritrosit berkisar 120 hari. Gejala yang
timbul akibat dari thalasemia seperti anemia, pembesaran limpa, dan Fascies Cooley’s
(sumsum memproduksi sel darah merah berlebihan sehingga rongga sumsum membesar
menyebabkan penipisan tulang dan penonjolan pada dahi) (Thalasemia.org, 2014).

C. Klasifikasi Talasemia Berdasarkan Rantai Globin yang Rusak

Talasemia adalah kelainan genetik yang ditandai dengan penurunan atau tidak adanya
produksi satu atau lebih rantai globin yang membentuk molekul hemoglobin. Setiap molekul
hemoglobin terdiri dari empat rantai globin yang secara normal terdiri dari dua rantai globin
keluarga α dan dua rantai globin keluarga β (Sayani, et al., tt). Talasemia dapat
dikategorikan berdasarkan rantai globin yang rusak, menjadi:
a. Talasemia α
Talasemia α disebabkan oleh berkurangnya atau tidak adanya produksi rantai
globin α. Secara normal setiap individu memiliki 4 gen globin α, yaitu dua gen globin di
setiap salinan kromosom (Sayani, et al., tt). Haplotip yang normal diindikasikan sebagai
αα dan genotip sebagai αα/αα (Ahmad, et al., 2013). Secara klinis, bentuk-bentuk
penghapuan dan bukan penghapusan dari Talasemia α dapat diklasifikasikan menjadi
empat sindrom berdasarkan jumlah gen α globin fungsional yang diwariskan, yaitu:
1) Hb Bart’s hydrops fetalis/α Thalassemia major (--/--). Dalam kondisi ini, terjadi
penghapusan semua gen globin α, sehingga terjadi anemia intrauterine berat dan
kematian (Sayani, et al., tt).
2) Hb H disease/α Thalassemia intermedia (--/-α). Penyakit ini disebabkan oleh
penghapusan atau mutasi pada tiga gen globin α (hanya ada satu gen globin α
yang utuh) (Sayani, et al., tt).
3) α-Thalassemia traits/α Thalassemia minor (--/αα atau -α/-α)
Hal ini disebabkan oleh penghapusan atau mutasi dari dua gen globin α
menghasilkan heterozigositas untuk Talasemia α0 (--/αα) dan homozigositas untuk
Talasemia α+ (-α/-α) (Ahmad, et al., 2013).
4) Silent Carrier (-α/αα)
Pasien pada keadaan ini hanya mengalami penghapusan atau mutasi pada
satu gen α globin dan tidak menunjukkan gejala secara klinis (asimtomatik)
(Sayani, et al., tt).

Untuk Hb Bart’s hydrops fetalis dikelompokkan dalam Thalassemia α0, yaitu jika
kedua gen α pada kromosom tunggal tidak aktif. Sedangkan untuk Hb H disease, α-
Thalassemia traits dan Silent Carrier dikelompokkan dalam Thalassemia α+ (Cheerva,
2013).

b. Talasemia β
Talasemia β disebabkan oleh penurunan (Talasemia β+) atau tidak adanya
(Talasemia β0) produksi rantai globin β yang menghasilkan kelebihan rantai globin β
bebas dan kerusakan dini pada sel darah merah. Secara normal, individu memiliki dua
gen globin β (Sayani, et al., tt). Terdapat tiga keadaan yang dapat terjadi dalam Talasemia
β, yaitu:
1) β Thalassemia mayor
Istilah ini mengacu pada fenotipe klinis berat yang disebabkan oleh tidak
adanya produksi rantai globin β sebagai akibat dari mutasi senyawa homozigot
atau heterozigot Talasemia β (Sayani, et al., tt).
2) β Thalassemia intermedia
Keadaan ini mengacu pada fenotip klinis sedang yang dikarenakan genotip
seperti pada senyawa heterozigot untuk globin β mutasi lebih ringan, varian
hemoglobin thalassemic (seperti Hb E) atau mutasi thalassemic alternatif (seperti
db) (Sayani, et al., tt).
3) β Thalassemia trait/carrier/minor
Keadaan ini mengacu pada fenotip klinis ringan dengan hanya satu gen
yang bermutasi, sehingga kadar hemoglobin menjadi sedikit rendah dan individu
tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatik), tetapi kadang-kadang memiliki
anemia ringan (Sayani, et al., tt).
D. Patofisiologis Talasemia
Talasemia terjadi akibat adanya mutasi gen dalam tubuh yang disebabkan oleh faktor
herediter atau keturunan. Berikut ini adalah patofisiologis terjadinya talasemia berdasarkan
klasifikasinya:
1. Talasemia alpha (α)
Gen yang mengatur sintesis dan struktur globin yang berbeda akan disusun
dalam dua kelompok terpisah. Gen globin α dikodekan pada kromosom 16,
sedangkan γ, delta δ dan gen globin β dikodekan pada kromosom 11. Individu
yang sehat memiliki 4 gen globin α, dimana terdapat dua pada setiap kromosom
16 (αα /αα). Sindrom Talasemia α disebabkan oleh ekspresi kekurangan dari satu
atau lebih dari empat gen globin α pada kromosom 16 yang ditandai dengan tidak
adanya atau berkurangnya sintesis pada rantai globin α.
Produksi rantai globin α yang abnormal akan menghasilkan kelebihan
relatif rantai globin γ pada janin dan bayi baru lahir, serta rantai globin β pada
anak-anak dan orang dewasa. Selanjutnya, rantai globin β mampu membentuk
tetramer yang larut (β4 atau hemoglobin H/ Hb H). Namun bentuk hemoglobin
yang tidak stabil dan cenderung mengendap dalam sel, dapat membentuk
inclusion bodies (badan Heinz) yang merusak membran sel darah merah.
Selain itu, berkurangnya hemoglobinization pada sel darah merah akan
menghasilkan kerusakan prekursor eritrosit dan eritropoiesis yang tidak efektif
dalam sumsum tulang, serta hipokromia dan mikrositosis pada sirkulasi sel darah
merah.
Dari sudut pandang genetik, talasemia α sangat heterogen. Namun,
ekspresi fenotip mereka dapat dijelaskan dalam istilah klinis sederhana yang
berkaitan dengan jumlah gen globin α yang diwariskan, sebagai berikut:.
a. Talasemia α0
Ada lebih dari 20 mutasi genetik yang berbeda, sehingga terjadi
penghapusan fungsional dari kedua pasang globin gen α (-/-) telah
diidentifikasi. Gangguan yang dihasilkan disebut sebagai hydrops fetalis,
talasemia α mayor atau hemoglobin Bart. Individu dengan gangguan ini tidak
dapat menghasilkan globin α yang fungsional dan dengan demikian tidak
dapat membentuk hemoglobin A, F atau A2 yang fungsional. Hydrops fetalis
tidak kompatibel dengan kehidupan ekstrauterin. Janin dengan kondisi ini
akan meninggal baik di dalam rahim atau segera setelah lahir karena anemia
intrauterine berat (Cheerva, 2013). Di era modern, pasien yang masih hidup
membutuhkan transfusi intrauterine seumur hidup untuk bertahan hidup
setelah lahir (Sayani, et al., tt). Transfusi ini bertujuan untuk mengatasi
anemia dan mempertahankan kadar Hb 9-10 gr% (Ratih, dkk., 2011).
Selain pemberian transfusi darah secara rutin, penderita Talasemia mayor
juga diberikan kelator besi yang optimal untuk mempertahankan kualitas
hidupnya. Namun, pemberian transfusi berulang tersebut memiliki dampak
yang kurang baik bagi pasien, yaitu terjadinya penimbunan besi yang
berlebihan pada berbagai organ tubuh dan akan memacu timbulnya Reactive
Oxygen Spesies (ROS) bebas. Radikal superoksida mengoksidasi lipid
membran sel dan protein begitu juga membran organel, yang menyebabkan
kerusakan sel dan kematian (Ratih, dkk., 2011).

b. Talasemia α+
Ada lebih dari 15 mutasi genetik berbeda yang mengakibatkan penurunan
produksi globin α, biasanya melalui penghapusan satu atau lebih dari empat
gen globin α fungsional. Talasemia α+ dapat dikelompokkan menjadi tiga
bentuk umum berdasarkan jumlah gen α diwariskan, yaitu:
1) Hemoglobin H disease/α Thalassemia intermedia (--/-α)
Pewarisan satu gen globin α normal (--/-α) menyebabkan kondisi
yang dikenal sebagai penyakit Hb H. Hilangnya tiga gen globin α
menghasilkan pembentukan berlimpah Hb H yang ditandai dengan
tingginya rasio globin β dengan globin α dan kelebihan dari dua kali lipat
menjadi lima kali lipat dalam produksi globin β. Selain itu, terjadi juga
kelebihan rantai β agregat menjadi tetramers, yang mencakup 5-30% dari
tingkat hemoglobin pada pasien dengan penyakit Hb H (Cheerva, 2013).
Hb H memiliki afinitas yang tinggi untuk oksigen dan tidak
memiliki efek Bohr atau interaksi heme. Oleh karena itu, pemasok
oksigen ke jaringan menjadi tidak efektif dalam kondisi fisiologis. Pasien
dengan jumlah Hb H yang signifikan, memiliki kecacatan dalam
kapasitas pembawa oksigen yang lebih parah dari yang diharapkan
berdasarkan konsentrasi hemoglobin saja. Sel darah merah yang
mengandung Hb H menjadi sensitif terhadap stres oksidatif. Dengan
demikian, mereka akan lebih rentan terhadap hemolisis ketika terdapat
oksidan, seperti pemberian sulfonamide (Cheerva, 2013).
Sel darah merah yang tua mengandung lebih banyak endapan Hb H
dibandingkan sel darah merah muda. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari
sirkulasi sebelum waktunya. Dengan demikian, penyakit Hb H pada
dasarnya adalah gangguan pada hemolitik. Ketika sel-sel sumsum tulang
diperiksa, pemasukan Hb H jarang terjadi dan eritropoiesis ternyata
efektif. Hiperplasia eritroid dapat mengakibatkan kelainan pada struktur
tulang yang khas dengan hiperplasia sumsum, penipisan tulang,
hiperplasia rahang atas dan fraktur patologis (Cheerva, 2013).
Pasien dengan penyakit Hb H mengalami anemia hemolitik sedang
(Sayani, et al., tt). Namun, sumber yang berbeda menyebutkan bahwa
anemia hemolitik yang terjadi adalah berat (Ahmad, et al., 2013).
Beberapa pasien membutuhkan transfusi dan memiliki fenotip
talasemenia intermedia (Sayani, et al., tt).

2) α Thalassemia trait/ α Thalassemia minor (--/αα atau -α/-α)


Keadaan ini diakibatkan dari pewarisan dua gen globin α yang
normal, baik melalui heterosigositas untuk talasemia α0 (--/αα) atau
homozigositas untuk talasemia α+ (-α/-α). α Thalassemia trait juga
disebut sebagai α Thalassemia minor atau α Thalassemia 1 trait. Jika
kedua gen globin α2 dan gen globin α1 dihapus pada kromosom yang
sama (--/αα), maka genotip memiliki bentuk cis. Jika dua gen globin α2
dari kedua alel kromosom 16 dihapus tetapi gen globin α1 utuh (-α/-α),
dapat dikatakan genotip memiliki bentuk trans (Cheerva, 2013). Individu
yang terkena pada dasarnya asimtomatik dengan anemia mikrositik
ringan (Sayani, et al., tt).

3) Silent carrier (-α/αα)


Orang yang mewarisi tiga gen globin α normal (-α/αα) secara
klinis disebut sebagai silent carrier. Nama lain untuk kondisi ini adalah α
Thalassemia minima, α thalassemia 2 trait dan heterosigositas untuk
talasemia α+ minor. Individu yang mengalami kondisi ini tidak
menunjukkan kelainan klinis dan mungkin hematologically normal atau
memiliki penurunan ringan pada sel darah merah, Mean Corpuscular
Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH). Tetapi,
sering mengalami anemia ringan dan terjadi penurunan MCV dan MCH.
Jumlah sel darah merah biasanya meningkat melebihi 5,5 × 1012 / L
(Cheerva, 2013).

2. Talasemia beta (β)


Talasemia beta merupakan jenis thalasemia melibatkan 2 gen (1 gen dari
ibu dan 1 gen dari ayah) (Familydoctor.org, 2014). Talassemia beta disebabkan
oleh mutasi gen pada kromosom 11 HBB, juga mewarisi dalam mode resesif
autosomal. Rantai globin β dikodekan oleh gen tunggal pada kromosom 11. Jadi
pada orang normal dengan dua salinan dari setiap kromosom, ada dua lokus rantai
β pengkodean (Newsmedical.net, 2011). Gen HBB mempunyai fungsi
memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut beta-globin. Beta-
globin adalah komponen (subunit) dari hemoglobin. (genetic home reference,
2009).

Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan menyebabkan beta
thalasemia. Sebagian besar mutasi melibatkan perubahan dalam sebuah blok DNA
tunggal (nukleotida) dalam atau di dekat gen HBB. Mutasi lainnya menyisipkan
atau menghapus sejumlah kecil nukleotida pada gen HBB (genetic home
reference, 2009).
Tingkat keparahan penyakit tergantung pada sifat mutasi
(Newsmedical.net, 2011). Berdasarkan gambaran klinik atau tingkat keparahan
penyakit dikenal dengan 3 macam thalasemia yaitu:

a. Talasemia mayor (o β)
Jika penderita mendapatkan 2 gen bermutasi akan memiliki
moderat untuk gejala parah yang biasanya berkembang dalam 2 tahun
pertama kehidupan (Thalasemia Mayor) (Familydoctor.org).
Mutasi terjadi pada gen HBB kromosom 11 dicirikan
sebagai (o β), hal ini terjadi jika mutasi mencegah pembentukan rantai β
(yang merupakan bentuk yang paling parah Thalasemia beta), sehingga
tidak ada globin β yang terbentuk (Newsmedical.net).
Tanpa jumlah yang tepat dari beta-globin, hemoglobin yang
cukup tidak dapat terbentuk. Kurangnya hemoglobin mengganggu
perkembangan normal dari sel-sel darah merah. Kekurangan sel darah
merah yang matang mencegah sel-sel ini dari mengandung dan
melahirkan cukup oksigen untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh.
Kurangnya oksigen dalam jaringan tubuh dapat menyebabkan
pertumbuhan yang buruk, kerusakan organ, dan masalah kesehatan
lainnya yang terkait dengan beta thalassemia (genetic home reference,
2009).
Efek mutasi pada thalasemia mayor (pada kedua gen β) penderita
memerlukanan transfusi darah secara berkala, terdapat pembesaran
limpa yang makin lama makin besar sehingga memerlukan tindakan
pengangkatan limpa yang disebut splenektomi. Selain itu, penderita
mengalami penumpukan zat besi di dalam tubuh akibat transfuse
berkurang dan penyerapan besi yang berlebihan sehingga diperlukan
pengobatan pengeluaran besi dari tubuh yang disebut kelasi
(Thalasemia.org, 2014).

b. Talasemia minor (β +)
Jika penderita hanya mewariskan 1 gen bermutasi akan memiliki
tanda-tanda atau gejala thalassemia ringan (Thalasemia minor)
(Familydoctor.org, 2014). Pada kasus thalasemia minor, mutasi gen
HBB membuat rantai/globin β yang dihasilkan menurun atau kurang
dari jumlah yang seharusnya dihasilkan. Kondisi ini biasa disebut beta
plus (β +). Dalam kedua kasus (minor dan mayor) ada kelebihan relatif
dari rantai α, tetapi tidak membentuk tetramers (Newsmedical.net,
2011).

Kurangnya beta-globin menyebabkan berkurangnya jumlah


hemoglobin fungsional. Tanpa hemoglobin yang cukup, sel-sel darah
merah tidak berkembang secara normal, menyebabkan kekurangan sel
darah merah yang matang. Rendahnya jumlah sel darah merah yang
matang menyebabkan anemia dan masalah kesehatan yang terkait
lainnya pada orang dengan talasemia beta. (genetic home reference,
2009). Efek mutasi dari thalasemia minor (salah satu dari 2 gen β) dapat
menyebabkan anemia ringan namun pasien tidak menunjukkan gejala
klinik.

c. Talasemia intermediet
Talasemia intermediet adalah keparahan akibat kelainan gen yang
terjadi antara talasemia mayor dan talasemia minor. Pada penderita
dengan thalasemia intermediet menunjukkan kelainan antara thalasemia
mayor atau minor. Umumnya, penderita dapat hidup normal tetapi
dalah keadaan tertentu seperti infeksi berat atau kehamilan memerlukan
tindakan trasfusi darah (Thalasemia.org, 2014).

E. Kelompok Berisiko Talasemia (Population at Risk)

Thalasemia merupakan penyakit autosomal yang melibatkan kromosom tubuh sehingga


dapat menyerang laki-laki maupun perempuan. Kelompok etnis tertentu memiliki risiko
lebih besar (Familydoctor.org, 2014):
 Pada kasus thalasemia alpha paling banyak terjadi atau paling sering mempengaruhi
orang-orang dari Asia Tenggara, India, Cina, atau keturunan Filipina.
 Pada kasus thalasemia beta paling banyak terjadi atau paling sering mempengaruhi
orang-orang dari mediterania (Yunani, Italia dan Timur Tengah), Asia, atau keturunan
Afrika.

F. Simpulan
1) Talasemia merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan dalam
memproduksi hemoglobin
2) Prevalensi dari Talasemia α dan β paling tinggi terjadi di daerah endemik malaria
3) Berdasarkan kelainan rantai globin yang dihasilkan, talasemia dibagi menjadi yaitu
talasemia alpha dan talasemia beta
4) Talasemia alpha terjadi akibat berkurangnya atau tidak adanya produksi rantai globin α.
Jika rantai globin α tidak diproduksi sama sekali biasa di simbolkan sebagai Talasemia
α0. Gangguan yang dihasilkan disebut sebagai hydrops fetalis, talasemia α mayor atau
hemoglobin Bart. Individu dengan gangguan ini tidak dapat menghasilkan globin α yang
fungsional dan dengan demikian tidak dapat membentuk hemoglobin A, F atau A2 yang
fungsional. Hydrops fetalis tidak kompatibel dengan kehidupan ekstrauterin. Janin
dengan kondisi ini akan meninggal baik di dalam rahim atau segera setelah lahir karena
anemia intrauterine berat. Jenis talasemia alpa yang menghasilkan globin alpha namun
dalam jumlah dibawah normal (kurang dari normal) biasa disimbolkan α+. Kelainan/ efek
mutasi yang ditimbulkan tergantung seberapa banyak pengurangan globin α yang terjadi.
5) Beta thalassemia disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom 11 HBB. Mutasi
menyebabkan globin β tidak terbentuk sama sekali (β0) yang biasa disebut dengan
talasemia beta mayor atau globin β terbentuk namun jumlahnya kurang (β+) biasanya
disebut talasemia beta minor. Pada talasemia mayor efek yang ditimbulkan sangat parah
menyebabkan penderita harus transfuse darah rutin. Pada talasemia minor biasanya hanya
berefek anemia ringan dan tidak menimbulkan gejala.
6) Thalasemia merupakan penyakit autosomal yang melibatkan kromosom tubuh sehingga
dapat menyerang laki-laki maupun perempuan.
G. Daftar Pustaka

Ahmad, Rahimah. et al. 2013. Distribution of Alpha Thalassemia Gene Variants in Diverse
Ethnic Population in Malaysia: Data from the Institute for Medical Research. Int. J.
Med. Sci. h. 18599-18614

Cheerva, Alexandra C. 2013. Alpha Thalassemia. Diakses pada 26 Oktober 2014 dari
http://emedicine.medscape.com/article/955496-overview#a0104

Familidoctor.org. Thalasemia. Diakses pada 25 Oktober 2014 dari


http://familydoctor.org/familydoctor/en/diseases-conditions/thalassemia/causes-risk-
factors.html

Gatot, Djajadiman dkk. 2007. Pendekatan Mutakhir Kelasi Besi pada Thalassemia. Sari
Pediatri, Vol. 8, No. 4. h. 78-84

genetic home reference, 2009. Beta Thalassemia. Diakses pada 26 Oktober 2014 dari
http://ghr.nlm.nih.gov/condition/beta-thalassemia

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia

Indanah, dkk. 2013. Dukungan Sosial Meningkatkan “Selfcare Behavior” Anak. Jurnal
Keperawatan Anak, Vol. 1, No. 2. h. 113-119

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pencegahan Thalassemia (Hasil Kajian HTA Tahun
2009). Dirjen Bina Pelayanan Medik

Medical.net. 2011. Thalassemia Pathophysiology. Diakses pada 25 Oktober 2014 dari


http://www.news-medical.net/health/Thalassemia-Pathophysiology-(Indonesian).aspx

Ratih, Dewi, dkk. 2011. Pengaruh Deferasirox terhadap Kadar T4 dan TSH pada β-
Thalassemia Mayor dengan Kadar Feritin Tinggi. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 6. h. 433-
439

Sayani, Farzana et al. tt. Guidelines for the Clinical Care of Patients with Thalassemia in
Canada. Canada: Anemia Institute for Research & Education; Thalassemia Foundation
of Canada
Thalasemia.org. Thalasemia Beta. Diakses pada 25 Oktober 2014 dari http://thalasemia.org/

Vanichsetakul, Preeda. 2011. Thalassemia: Detection. Management, Prevention & Curative


Treatment. The Bangkok Medical Journal. h. 113-118

Vichinsky, Elliott P. 2009. Alpha Thalassemia Major-New Mutations, Intrauterine


Management and Outcomes. American Society of Hematology

WHO. 2014. Monogenic Diseases. Diakses pada 25 Oktober 2014 dari


http://www.who.int/genomics/public/geneticdiseases/en/index2.html

Yunanda, Yuki. 2008. Thalasemia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. USU e-
Repository.

Anda mungkin juga menyukai