Anda di halaman 1dari 8

-

Kisah Sahabat Nabi Muhammad

Kumpulan kisah sahabat Nabi pada Zaman Keemasan Islam

 Home
 Donasi
 Hubungi Kami
 Tentang Kami
 Yufid Network
 Sumber Artikel

09
Dec
2013

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi


Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 2)
categories: Abu Ubaidah

B. Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam


1. Dari awal keislamannya hingga ke rumah Arqam dilanjutkan dengan
dakwah secara terang-terangan.

Abu Ubaidah merasa senang dengan hidayah yang diperolehnya dari Tuhannya, yang
ditunjuki oleh akalnya dan dipilih oleh hatinya, berupa pembenaran atas dakwah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bergabungnya dia bersama para pendahulu. Jiwanya
bersinar oleh sifat mulia yang diperolehnya dengan menyertai pemilik risalah untuk
mengambil tempat di barisan pertama di antara para pembela dakwah yang menyeru
kepadanya dan menebar berita gembira dengannya.

Keislamannya terjadi di masa-masa awal sebelum Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk
ke rumah Al-Arqam bin Abil Arqam. Waktu itu dakwah masih dilakukan secara sembunyi-
sembunyi, disambut oleh individu-individu dan sekelompok kecil dari orang-orang yang
memilki fitrah yang bersih. Mereka menyelinap menerima Islam secara sembunyi-sembunyi
sambil mewaspadai kaum Quraisy yang selalu mengikuti langkah mereka dan mewaspadai
setiap tarikan nafas mereka.

Abu Ubaidah dan orang-orang bersamanya bergabung ke dalam panji Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pada tahap awal dakwah. Mereka menjalani fase sembunyi-sembunyi di
bawah naungan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memperoleh pendidikan yang
semestinya dan persiapan yang sempurna untuk mengemban panji risalah dengan tekad yang
kuat serta penuh kesabaran dan keyakinan. Mereka pun memasuki lembaga pendidikan
pertama dalam Islam, yaitu rumah Al-Arqam (Darul Arqam) dibawah naungan bukit shafa
yang menghadap ke Ka’bah Al-Musyarrafah. Lemabaga pendidikan yang dipilihkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya itu menjadi sumber cahaya dakwah beliau dan
tempat terbitnya hidayah. Di sana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk dikelilingi
oleh sekelompok orang yang paling terdepan dalam menyambut datangnya hidayah dan
kebenaran, mengajarkan mereka Al-Qur’an dan hikmah serta membersihkan hati mereka dan
mendidik mereka dengan pendidikan yang dialaminya sendiri yang diperolehnya langsung
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau pun memahamkan mereka soal agama dan
menunjuki mereka ke jalan kebaikan, mengajarkan kepada mereka dengan petunjuknya,
bicara dan diamnya, tentang kunci kesabaran, pengendalian diri, keberanian hati, kesucian
batin, ketabahan menanggung bala, kemurahan hati, kelapangan hati dan sifat pemaaf,
sebagai persiapan untuk menghadapi kesulitan hidup dan kerasnya tantangan di jalan iman
dalam rangka mendakwahkan dan menyebarkannya ke seluruh alam.(Lihat Muhammad
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam [2/156-157], karya Muhammad Ash-Shadiq).

Di tangan pendidik paling sempurna dan manusia paling mulia inilah Abu Ubaidah dan
rekan-rekannya memperoleh pelajaran tentang keimanan, keikhlasan, pengorbanan, akhlak
mulia, berpegang teguh pada hal-hal mulia, berusaha untuk mencapai kemuliaan, dan
bertabiat dengan sifat-sifat yang luhur.

Di tangan pendidikan paling sempurna dan manusia paling mulia inilah Abu Ubaidah dan
rekan-rekannya memperoleh pelajaran tentang keimanan, keikhlasan, pengorbanan, akhlak
mulia, berpegang teguh pada hal-hal mulia, berusaha untuk menciptakan kemuliaan, dan
bertabiat dengan sifat-sifat yang luhur.

Di madrasah yang penuh keberkahan itu diasahlah kemampuan Abu Ubaidah, dibentuk
akhlak dan sifatnya, diarahkan cita-cita dan tujuan hidupnya, dan sempurnalah
kepribadiannya. Dia merupakan murid langsung dari Rasul paling mulia.

Dari sana Abu Ubaidah dengan jiwa mudanya dan semangat kaum mukminin, menjelma
sebagai pembela Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ikut mengemban bersama beliau panji
dakwah, member kabar gembira dengannya, dan menyingkirkan berbagai rintangan yang
menghalanginya, mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam
menempuh jalan dakwah ini, dia ditemani oleh sejumlah kaum mukminin yang segera
beriman kepada agama yang lurus ini. Mereka tidak pernah lelah untuk menyampaikan
cahaya Islam, hidayahnya, dan kebaikannya kepada manusia disekitar mereka untuk
menyelamatkan mereka dari keburukan syirik dan kejahiliyahan.

Al-Waqidi meriwayatkan dari Ibnu Mauhab dari Ya’qub bin Utbah, dia berkata, “Ketika
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya mendakwahkan Islam secara
terang-terangan dan beritanya mulai tersebar di Mekah, mereka mengajak satu sama lain.
Abu bakar, Sa’id bin Zaid, dan Utsman berdakwah secara rahasia, sedangkan Umar, Hamzah,
dan Abu Ubaidah Al-Jarrah berdakwah secara terang-terangan. Kaum Quraisy pun murka
atas perbuatan mereka itu.

2. Meningkatnya penderitaan kaum muslimin dan hijrah ke Habasyah.

Para pejuang generasi pertama semakin bertambah. Setiap hari ada saja kelompok baru yang
bergabung dengan barisan pengemban dakwah. Mereka pun jadi bahan perbincangan di
tempat perkumpulan kaum Quraisy, gaung keimanan mereka bergema di seantero Mekah.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sekelompok kaum mukmini yang kuat mulai
menyebarkan dakwah secara terang-terangan.

Para penolong kemusyrikan pun berkumpul untuk membahas persoalan Muhammad


Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para pengikutnya. Mereka lalu merencanakan untuk
menghalangi jalan dakwahnya setelah beliau melakukannya secara terang-terangan dan para
shahabatnya berani masuk ke dalam masjid dan melaksanakan sholat di Ka’bah. Mereka
yakin, dengan begitu mereka akan menghentikan langkah Rasulullah dan para pengikutnya.
Mereka pun menyiksa para shahabat Nabi yang memungkinkan untuk disiksa. Membiarkan
mereka kehausan dan kelaparan, menjemur mereka di padang pasir Mekah, menimpakan
pada mereka berbagai gangguan, untuk mengembalikan mereka pada agama nenek moyang
mereka.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meliahat apa yang dialami para shahabat beliau
berupa gangguan dan siksaan yang di luar batas kemampuan manusia untuk menahannya.
Beliau lalu menyerankan kepada mereka untuk menghindar ke sebuah negeri agar
memperoleh jaminan keamanan dan dapat menjalankan ibadah dengan leluasa serta dapat
mempertahankan akidah mereka. Beliau lalu memberitahu mereka bahwa di Habasyah ada
seorang raja yang adil.

Sekelompok shahabat lalu berhijrah ke sana, diikuti oleh kelompok kedua yang jumlahnya
lebih banyak. Abu Ubaidah ikut serta dalam kelompok yang kedua ini.
Ibnu Sa’ad berkata, “Abu Ubaidah hijrah ke Habasyah bersama kelompok yang kedua.

3. Kembali ke Mekah

Abu Ubaidah tinggal di Habasyah hanya sebentar. Jiwanya yang dipenuhi oleh keimanan dan
rasa cinta kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam serta pengorbanan dan kesabaran tidak
membuatnya rela berlama-lama di negeri itu.
Adz-Dzahabi berkata, “Meski Abu Ubaidah ikut Hijrah ke Habasyah, namun dia tidak tinggal
lama disana.”

Maka Abu Ubaidah pun segera kembali ke Mekah untuk melanjutkan hidup di bawah
naungan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mendapat pelajaran hikmah, menggali ilmu,
menambah keimanan, dan menyerap akhlak. Sehingga dia memperoleh kemuliaandan
ketenangan batin serta kekuatan iman dan lulus dengan hasil yang sangat memuaskan, yang
di perolehnya dari lembaga pendidikan terbaik di bawah asuhan pendidik paling agung.

4. Hijrah ke Madinah dan persaudaraan kaum muslimin

Abu Ubaidah senantiasa berjalan beriringan dengan dakwah Islam di Mekah Al-Mukarramah.
Semangatnya tumbuh bersama tumbuhnya dakwah dan keteguhan hatinya bertambah seiring
bertambahnya pengikut dan penolong dakwah. Setelah peristiwa bai’atul Aqabah Al-Kubra
dan kesiapan kaum Anshar untuk membuka daerah mereka, Yatsrib sebagai tempat
berlindungnya dakwah dan para pendakwah, maka dakwah pun segera beralih dari kehidupan
yang sempit menuju kehidupan yang lapang.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membertahu para shahabat beliau, “Saya telah
menemukan tempat yang tepat untuk kalian hijrah, yaitu Yatsrib. Maka siapa yang mau
silakan berangakat ke sana.” Izin untuk hijrah ini sengat sejalan dengan keinginan para
shahabat, maka mereka pun berangakat ke sana baik secara berkelompok maupun sendiri-
sendiri.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dia berkata, “Ketika Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah hijrah dari Mekah ke Madinah, dia menumpang di rumah Kultsum bin
Al-Hidm.”

Kaum Anshar menyambut saudara mereka kaum muhajirin dengan sambutan yang sangat
baik. Meeka menyambutnya dengan rasa cinta dan penghormatan, dan menadhulukan
kepentingan saudaranya sendiri dari pada mereka sendiri. Mereka pun berhak atas apa yang
digambarkan oleh Al-Qur’an, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga
darinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Harsy
[59]: 9).

Abu Ubaidah menumpang di rumah seorang shahabat Anshar yang mulia, Kultsum bin Hidm
bersama beberapa shahabat Nabi lainnya, seperti Al-Miqdad bin Amr, Khabbab bin Al-Art,
Suhail bin Baidha’, dan lainnya.

Di sana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyusun kaidah-kaidah masyarakat yang


baru dan salah satu kaidah terpenting adalah mempersaudarakan antara kaum muslimin
dalam rangka membentuk struktur masyarakat muslim yang baru. Beliau lalu
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar atas dasar cinta karena Allah. Beliau
bersabda kepada para shahabatnya, “Saling bersaudaralah karena Allah dua orang dua
orang.” Abu Ubaidah bersaudara dengan Abu Thalhah Al-Anshari.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radiyallahu Anhu, “Sesungguhnya
Rasulullah mempersaudarakan antara Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dengan Abu Thalhah.”
Dalam persaudaraan itu, kaum Anshar menunjukkan ketulusan hati mereka dalam mencintai
saudara-saudara mereka dari kaum Anshar. Seluruh rasa cinta dan penghormatan yang
mereka miliki diberikan pada saudara mereka. Bahkan mereka mendahulukan kepentingan
saudaranya dengan cara yang tidak ada bandingnya sepanjang perjalanan sejarah.

5. Berbagai perang yang diikuti Abu Ubaidah bersama Rasulullah

Abu Ubaidah senantiasa mengiringi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sepanjang masa
risalah baik di Mekah maupun di Madinah. Dia tidak pernah berpisah dengan beliau kecuali
dalam waktu yang pendek, yaitu ketika dia hijrah ke Habasyah, lalu dia segera kembali ke
Mekah untuk kembali menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Dia sangat menikmati belajar Al-Qur’an langsung dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
mendengarkan hadits-haditsnya, menyerap akhlak kenabian, dan mengikuti petunjuknya.
Setelah hijrah ke Madinah, Abu Ubaidah senantiasa ikut serta bersama Rasulullah dalam
berbagai peristiwa. Dia tidak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan yang dilakukan
oleh Rasulullah. Bahkan dia memiliki peran yang luar biasa dalam berbagai peperangan
tersebut.
6. Pada perang Badar

Pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H bertemu dua pasukan, pasukan kaum
muslimin dengan kekuatan imannya meski jumlahnya sedikit dan persiapan seadanya
menghadapi pasukan kafir yang tenggelam dalam kesesatannya dengan jumlah yang banyak
dan persiapan yang matang. Roda sejarah berhenti sejenak untuk menorehkan akhir
kehidupan yang hina bagi kemusyrikan dan para penolongnya serta semakin majunya
perjalanan kehidupan kemanusiaan yang mulia mengantarkan kepada dunia iman, petunjuk,
keadilan, rahmat, persaudaraan, dan kasih sayang.

Pada peristiwa yang merubah perjalanan sejarah itu sekelompok kaum mukminin berjuang
bersama Nabi mereka untuk mempertahankan akidah dan masyarakat iman dan tauhid. Di
barisan terdepan terdapat sahabat kita Abu Ubaidah. Dia pun memperoleh perhargaan
tertinggi sebagai Ahli Badar yang ditambahkan atas berbagai penghargaan yang diraihnya
sebelumnya, yaitu sebagai kelompok yang paling awal masuk Islam, yang bersabar di Mekah,
yang hijrah ke Habasyah lalu ke Madinah.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi, yang ikut serta dalam
perang Badar, dia berkata, “Jibril datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
bertanya, “Bagaimana kalian menganggap mereka yang ikut perang Badar?” Jawab Nabi,
“Mereka merupakan kaum muslimin paling utama.” Jibril berkata, “Begitu juga dengan
malaikat yang ikut serta dalam perang Badar.”

Berbagai kitab tafsir, kitab sejarah, dan biografi menerangkan bahwa ayah Abu Ubaidah ikut
bersama pasukan kaum musyrikin pada saat perang Badar. Maka Abu Ubaidah langsung
menghadapinya dan berhasil membunuhnya.

Al-Hakim, Abu Nu’aim, dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Dhamrah bin Rabi’ah, dari
Abdullah bin Syaudzab, dia berkata, “Ayahnya Abu Ubaidah senantiasa mengejar putranya
dalam perang Badar, namun Abu Ubaidah berusaha menghindar. Ketiak ayahnya terus
mengejar, Abu Ubaidah pun menghadapinya dan berhasil membunuhnya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini ketika Abu Ubaidah membenuh ayahnya dalam
perang Badar, “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapat suatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya.
Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan.” (QS. Al-
Mujadilah [58]: 22).

Perawi hikayat tersebut adalah Abdullah bin Syaudzab, seorang yang terpercaya, namun
sanad haditsnya terputus, sehingga riwayat tersebut di pandang lemah. Ibnu Syaudzan lahir
pada tahun 88 H, 86 tahun setelah perang Badar, dan dia tidak memiliki sanad yang
tersambung.

Muhammad bin Umar Al-Waqidi mengingkari bahwa ayah Abu Ubaidah hidup pada masa
Islam dan mengingkari pendapat penduduk Syam yang menyatakan bahwa Abu Ubaidah
menghadapi ayahnya dalam suatu peperangan dan membunuhnya. Dia berkata, “Saya
bertanya kepada beberapa orang dari Bani FIhr, diantara Zufar bin Muhammad, mereka
menjawab, “Ayah Abu Ubaidah wafat sebelum datangnya Islam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan kisah ini dalam kitab Fathul Bari dan memposisikannya
sebagai riwayat yang dhaif (lemah). Dia berkata dalam penjelasan sifat Abu Ubaidah,
“Ayahnya terbunuh dalam keadaan kafir pada perang Badar. Ada yang mengatakan bahwa
Abu Ubaidah yang membunuhnya. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan yang
lain dari jalur Abdullah bin Syaudzab secara mursal.

Imam Al-Baihaqi menyebutkan berita ini dan diujungnya dia menyatakan, “Hadits ini
terputus.” Dengan demikian, berita tersebut tidak shahih dari segi sanadnya.

Berita ini pun tidak shahih dari segi matannya. Menurut Al-Waqidi, ayah Abu Ubaidah telah
wafat sebelum diutusnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, berdasarkan berita sebagian
bani Fihr. Mereka tentu lebih mengetahui hal itu. Di samping itu, perawi berita tersebut,
Abdullah bin Syaudzab adalah orang Syam dan berita itu tersebar di Syam, padahal
kejadiannya di Hijaz dan orang-orang Hijaz tidak tahu mengenai hal itu. Jika memang
peristiwa itu terjadi, pasti mereka telah meriwayatkannya dan para perawi berita setelah
mereka pasti akan menuliskannya.

Pena salah seorang sastrawan (Sastrawan yang dimaksud adalah Abdurrahman Ra’fat Al-
Basys, di dalam kitabnya “Syurah Min Hayah Ash-Shahabah”) terlalu berlebihan ketika
menggambarkan sebuah situasi bergaya sastra terkait hikayat tersebut, sehingga dia
menyatakan, “Sesungguhnya Abu Ubaidah hanya berjarak satu hasta dari ayahnya, maka dia
memukul kepala ayahnya dengan pedangnya hingga kepala tersebut terbelah menjadi dua,
lalu sang ayah tersungkur di hadapannya.”

Bagaimana kita memposisikan cerita tersebut dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak
mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau mentaati keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik?” (QS. Luqman [31]: 15) Ayat ini menggambarkan tentang
seorang ayah yang musyrik dan berusaha untuk mengeluarkan anaknya dari agamanya dan
menjadikannya musyrik juga, meski demikian, ayah tersebut menyuruh sang anak untuk
berprilaku baik terhadap si ayah bahkan hendaknya mempersembahkan kebaikan padanya.
Bagaimana menyelaraskan hal ini dengan apa yang disangka oleh kisah-kisah tersebut?
Apakah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendidik para shahabatnya untuk bersikap kasar
terhadap orang tua mereka yang musyrik? Bukankah beliau melarang shahabat Abdullah bin
Abdullah bin Ubay untuk membunuh ayahnya yang merupakan pemimpin kaum munafik?
Bukankah beliau menasihati istrinya Ummu Habibah binti Abu Sufyan untuk bersikap baik
kepada ayahnya pada saat Ummu Habibah melipat kasur yang akan diduduki Abu Sufyan
ketika datang untuk meminta maaf atas pelanggaran Quraisy terhadap perjanjian damai
Hudaibiyah?

Tidak ada keutamaan bagi Abu Ubaidah dalam hikayat tersebut hingga kita memasukkannya
dalam biografinya dan memujinya karenanya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Related posts:
1. Biografi Sahabat Nabi Ali Bin Abi Thalib : Kedudukannya di sisi Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam (Seri 4)
2. Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab : Kecintaan Terhadap Nabi Shallallahu
Alahi wa Sallam (Seri 2)

 Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 2), Biografi
Sahabat Nabi
 0 comment

 « Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Ciri Fisik & Nasabnya (Seri 1)
 Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
(Seri 3) »

Leave a Reply

Buku Islam 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga


Kategori

 Abdurrahman bin Auf


 Abu Bakar
 Abu Ubaidah
 Ali Bin Abi Thalib
 Sa'id Bin Zaid
 Thalhah Bin Ubaidillah
 Umar Bin Khaththab
 Utsman Bin Affan
 Zubair bin Awwam

Like Kisah Sahabat Nabi

© Copyright Kisah Sahabat Nabi Muhammad 2015. Powered by WordPress. Designed by


BluChic

Anda mungkin juga menyukai