Anda di halaman 1dari 13

-

Kisah Sahabat Nabi Muhammad

Kumpulan kisah sahabat Nabi pada Zaman Keemasan Islam

 Home
 Donasi
 Hubungi Kami
 Tentang Kami
 Yufid Network
 Sumber Artikel

12
Dec
2013

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi


Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 3)
categories: Abu Ubaidah

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi


Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 3)
7. Pada perang Uhud

Pasukan Quraisy keluar untuk menuntut balas bagi anggota mereka yang terbunuh di perang
Badar, yaitu pada perang Uhud yang berlangsung pada pertengahan Syawal tahun 3 H.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat pun menghadapi pasuka Quraisy.
Beliau memakai beberapa perlengkapan perang seperti dua baju besi, baju besi berantai, dan
topi baja. Beliau menjadikan gunung Uhud dibelakangnya dan menempatkan pasukan
pemanah di gunung Ainain (Disebut juga Jabal Rumah yang terletak disamping gunung
Uhud) sebanyak 50 orang di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair dan berpesan kepada
mereka agar waspada dan member tahu jika ada bahaya. Beliau juga berpesan kepada
mereka,

“Tetaplah di tempat kalian ini jagalah bagian belakang kami. Jika kalian lihat kami menang,
jangan bergabung bersama kami. Jika kalian lihat kami kalah, tidak perlu kalian tolong
kami.”

Dalam kitab Shahih Bukhari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian
melihat kami disambar burung, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini hingga
aku mengirim utusan untuk member tahu. Dan jika kalian melihat kami mengalahkan musuh
dan meluluh lantakkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian hingga
aku mengirim utusan.”
Perang pun berkecamuk, kaum muslimin hampir memenangkan pertempuran dan pasukan
kafir berhasil dipukul mundur. Melihat hal tersebut pasukan pemanah meresa yakin bahwa
kaum musyrikin telah kalah. Mereka pun berselisih, apakah mereka terus bertahan di tempat
mereka sebagaimana diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau menuruni
bukit untuk bergabung bersama pasukan kaum muslimin dan mengumpulkan harta rampasan
perang? Kebanyakan mereka memilih unutk turun dari bukit. Maka mereka melanggar
perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan membangkang terhadap pemimpin mereka
Abdullah bin Jubair yang bertahan di tempatnya dan berusaha mengingatkan mereka tentang
perintah dan wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Akan tetapi mereka
membantahnya dan merubah maksud perintah Rasulullah seraya mengatakan, “Rasulullah
tidak bermaksud begitu. Kaum musyrikin telah kalah, apa gunanya kita tetap bertahan di
sini?” Mereka pun turun ke gelanggang untuk ikut serta mengumpulkan harta rampasan
perang.

Melihat arah belakang kaum muslimin terbuka, Khalid bin Walid segera memanfaatkan
kesempatan tersebut. Dia segera membawa pasukan berkuda memutari bukit dan menyerang
kaum muslimin dari arah yang tidak diduga oleh kaum muslimin. Timbangan pertempuran
pun berbalik.

Pelanggaran pasukan pemanah atas perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi
sebab tercerai berainya barisan kaum muslimin. Mereka mulai dipukul mundur dan mencium
aroma kekalahan setelah sebelumnya hampir memperoleh kemenangan. Kondisi mereka
manjadi kacau karena di serang dari arah depan dan belakang. Mereka terjebak dalam situasi
yang amat sulit dan sebagian besar dari mereka melarikan diri.

Sementara Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terus bertahan dan tidak beranjak dari
posisinya. Beliau melempari musuh dengan bebatuan setelah busurnya patah. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Miqdad bin Amr, dia berkata, “Demi Dzat yang
mengutusnya dengan kebenaran, kakinya tidak beranjak sedikitpun. Beliau berhadapan
langsung dengan musuh. Terkadang sekelompok shahabat datang melindungi beliau, pada
kesempatan lain mereka berpisah dari beliau. Seringkali saya meliaht beliau melempari
mereka dengan busurnya, lalu melempari mereka dengan batu hingga mereka menyingkir
dari beliau.”

Beberapa shahabat tetap bertahan bersama beliau, melindungi beliau dengan diri mereka dan
berperang dengan gagah berani. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah, Hubab bin Mundzir, Abu Dujanah, Ashim bin Tsabit, Al-Harits bin Ash-
Shimmah, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Mu’adz, dan Muhammad bin Maslamah.

Dalam seranga tersebut kaum musyrikin berhasil mendekati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sehingga mereka terkena serangan mereka. Wajahnya terluka, empat gigi depannya
patah, topi bajanya pecah, dan dua buah mata rantai baju besi penutup kepalanya menancap
ke kedua pipinya.

Dalam situasi sulit tersebut kiata dapati Abu Ubaidah terus bertempur melawan musuh,
sementara ujung matanya tidak lepas dari posisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
senantiasa mengawasi beliau seperti mata elang. Ketika melihat ada yang akan
membahayakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dia segera melompat menerkam
musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang lalu melindunngi Rasulullah
sebelum mereka sempat mencelakakannya. Tiba-tiba di dapatinya darah beliau yang suci
mengalir dari mukanya dan dilihatnya Rasulullah Al-Amin menghapus darah dengan tangan
kanannya sambil bersabda “Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang melukai wajah
Nabi mereka padahal ia menyuru mereka kepada Tuahn mereka.” Abu Ubaidah melihat dua
buah mata rantai besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu
Ubaidah tak dapat menahan hatinya lagi untuk segera mencabut mata rantai itu dengan
giginya. Semua itu didorong oleh keberaniannya dan rasa cintanya terhadap pemilik risalah.

Baiklah kita serahkan kepada saksi mata untuk menggambarkan situasi tersebut, yaitu Abu
Bakar Ash-Shiddiq., “saya termasuk yang bertahan.

Ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Asakir, dan yang
lain, dari Ishaq bin Yahya bin Thalhah, dari Isa bin Thalhah, dari Aisyah Radiyallahu anha.
Dia berkata, “Apabila Abu Bakar bercerita tentang perang Uhud, dia berkata, “Hari itu milik
Thalhah. Lalu dia bercerita, “Saya termasuk yang bertahan bersama Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pada perang Uhud. Saya melihat seseorang berperang melindungi
Rasulullah. Saya kira dia adalah Thalhah. Saya lebih suka jika orang tersebut berasal dari
kaum saya (Abu Bakar Dan Thalhah sama-sama berasal dari Bani Taim). Di antara saya dan
Rasulullah ada seseorang yang tidak saya kenali, posisi saya lebih dekat kepada Rasulullah
dari padanya. Lalu dia melompat ke arah Rasulullah dengan cepat, ternyata dia adalah Abu
Ubaidah Al-Jarrah. Saya pun sampai ke tempat Rasulullah. Saya dapati gigi depan beliau
telah patah, wajahnya terluka, dua mata rantai penutup kepalanya menancap di pipinya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Tolonglah saudara kalian!” maksudnya
Thalhah, dia telah berlumuran darah maka kami tinggalkan dia. Saya bermaksud ingin
mencabut mata rantai yang menancap di wajah Rasulullah, namun Abu Ubaidah berkata,
“Saya bersumpah, biar saya yang melakukannya.” Maka saya pun membiarkannya
melakukannya. Abu Ubaidah tidak mau mencabutnya dengan tangan khawatir akan
menyakiti Rasulullah. Maka dia pun menggigit mata rantai dan berhasil mencabutnya, seiring
dengan itu gigi serinya pun lepas. Saya ingin melakukan hal yang sama, namun Abu Ubaidah
kembali berkata, “Saya bersumpah, biar saya saja yang melakukannya.” Dia kembali
melakukan hal yang sama, hingga terlepas satu gigi seri lagi.

Abu Ubaidah adalah orang yang paling baik dalam hal kehilangan gigi seri. Kami pun segera
merawat luka Rasulullah. Kemudian kami mendatangi Thalhah, ternyata di tubuhnya terdapat
tujuh puluh lebih luka akibat tusukan tombak, pukulan pedang, dan tancapan anak panah, dan
salah satu jarinya putus. Maka kami segera merawatnya.”

Dalam riwayat Ibnu Asakir disebutkan, “Abu Ubaidah menelungkup di atas Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu dia mencabut mata rantai yang menancap di wajah beliau.
Dia tidak mau menggoyang-goyangkan mata rantai itu khawatir Rasulullah akan merasa
sakit, maka dia menggigitnya lalu mencabutnya. Giginya lalu bergeser dan langsung
dicabutnya.”

Demikianlah hendaknya rasa cinta itu, begitulah hendaknya sebuah pengorbanan. Sejarah
tidak pernah mencatat situasi luar biasa seperti itu kecuali yang terjadi pada para shahabat
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak ada yang menyamai kecintaan mereka
terhadap beliau. Mereka tidak mendahulukan kecintaan terhadap diri, anak, keluarga, dan
harta mereka di atas kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

8. Pada perang Dzatus Salasil


Pada bulan Jumadil Akhir tahun 8 Hijriyah sampai berita kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bahwa gabungan pasukan Qudha’ah berkumpul di pemukiman mereka untuk
menyerang Madinah. Maka beliau mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 300 orang
pilihan dari kaum muslimin dan menyerahkan panji kepada Amr bin Ash serta
mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan. Beliau memerintahkan kepada Amr bin Ash
untuk membeli pelajaran kepada kabilah-kabilah tersebut. Sesampainya di sana, Amr
mendapati jumlah pasukan musuh sangat banyak, maka dia meminta tambahan pasukan
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau pun mengirim tambahan pasukan di bawah
pimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan memerintahkan kepadanya untuk bergabung
dengan Amr dan tidak bergerak secara terpisah.

Musa bin Uqbah, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Sampai berita kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa gabungan pasukan dari Qudha’ah telah
berkumpul untuk melakukan penyerangan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Maka beliau memanggil Amr bin Ash dan menyerahkan kepdanya panji berwarna putih, lalu
mengikutsertakan benderah berwarna hitam. Beliau mengutusnya bersama 300 pasukan
pejalan kaki dari kaum Muhajirin dan Anshar, ikut bersama mereka 30 pasukan berkuda.
Beliau juga memerintahkannya untuk meminta bantuan kepada kabilah yang dilewati
pasukan, yaitu dari kabilah Bali, Udzrah, dan Balqain. Pasukan ini bergerak pada malam hari
dan beristirahat pada siang hari. Ketika pasukan hamper sampai ke tempat musuh, di ketahui
jumlah pasukan musuh sangat banyak. Maka Amr mengutus Rafi’ bin Makits Al-Juhani
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta tambahan pasukan. Maka beliau
mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan menyerahkan kepadanya panji, ikut bersamanya
200 pasukan pejalan kaki dari kaum Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Abu Bakar
dan Umar. Beliau memerintahkannya untuk menyusul Amr dan hendaknya mereka
bergabung menjadi satu pasukan dan tidak berselisih. Pasukan Abu Ubaidah pun berhasil
menyusul pasukan Amr. Suatu saat Abu Ubaidah hendak mengimami shalat, lalu Amr
berkata padanya, “Engkau dikirim ke sini sebagai bantuan pasukan, sedangkan saya
pemimpin pasukan secara keseluruhan.” Maka Abu Ubaidah mentaati Amr dan sejak itu Amr
yang menjadi imam Sholat. Pasukan kaum muslimin melanjutkan perjalanan hingga
memasuki negeri Bali dan menundukkannya, hingga mereka sampai ke ujung negeri dan
memasuki negeri Udzrah dan Balqain. Terakhir mereka menghadapi pasukan gabungan,
maka pasukan kaum muslimin pun menyerbu mereka hingga mereka lari dan tercerai-berai.
Perang pun usai dan pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah. Amr segera mengutus
Auf bin Malik Al-Asyja’I untuk mengirim berita kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam memberitahu beliau bahwa mereka dalam perjalanan pulang dengan selamat serta
menginformasikan tentang pertempuran yang terjadi.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika Abu Ubaidah meliahat adanya perselisihan,
sementara Abu Ubaidah adalah sosok yang lembut dan menganggap rendah segala urusan
dunia, dia segera ingat akan pesan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka dia berkata
kepada Amr, “Wahai Amr, ketahuilah bahwa pesan terakhir yang disampaikan oleh
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadaku saat akan berangkat adalah, “Jika engkau
bertemu dengan shahabatmu, bersatulah dan jangan berselisih.” Demi Allah, jika engkau
menolak untuk taat kepadaku maka saya akan tetap taat kepadamu!” Maka Abu Ubaidah pun
mematuhi Amr, lalu Amr menjadi imam shalat. Amr berkata, “Saya pemimpinmu dan
engakau hanyalah pasuka tambahan untuk membantuku.” Abu Ubaidah menjawab,
“Silakan.”
Dengan sikapnya itu Abu Ubaidah menjadi contoh teladan bagi pemimpin dan anggota
pasukan dalam hal mentaati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menjaga persatuan
kaum muslimin agar mereka tetap berada dalam satu barisan yang kuat dalam menghadapi
musuh. Dia tidak berkeras hati menganggap dirinya sebagai pemimpin pasukan yang di
antaranya terdapat Abu Bakar dan Umar. Jiwanya lebih terpaut pada tujuan yang lebih mulia
yaitu jihad fi sabilillah. Di hatinya tersimpan niat yang ikhlas tanpa dicampuri oleh keinginan
hawa nafsu atau bisikan setan.

Akhlak seperti ini dimiliki oleh Abu Ubaidah, lalu semakin tumbuh dan berkembang saat dia
hidup dalam naungan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengikuti petunjuk beliau.
Sikap Abu Ubaidah ini akan terulang saat dia menjadi pemimpin pada berbagai penaklukan
selanjutnya.

9. Pada Fathul Makkah

Memasuki bulan Ramadhan tahun 8 Hijriah, berangkatlah pasukan kebaikan di abwah


pimpinan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menuju Mekah untuk penaklukannya dan
mengenyahkan berhala-berhala dari lingkungan Ka’bah. Dikibarkanlah panji tauhid melalui
lisan muadzin Rasul, Bilal bin Rabah yang meneriakkan kalimat, “Allahu Akbar, La ilaha
illallah, Muhammadur Rasulullah.”

Tidak mungkin Abu Ubaidah absen dari peristiwa besar ini, sementara dia tidak pernah
ketinggalan dalam berbagai peristiwa yang lebih kecil dari itu. Bagaimana mungkin dia
melewatkan kesempatan untuk menyaksikan kemenangan besar? Bagaimana mungkin dia
tidak ikut serta berangkat bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menaklukkan
Mekah di mana dia pernah terusir dari sana. Kota tempat dia dilahirkan dan melewati masa
kecilnya, tempat tinggal keluarganya, tempat dia meletakkan kakinya untuk pertama kali di
jalan kebenaran saat menyatakan keislamannya! Dia pun sempat hidup di sana selama 13
tahun di bawah naungan kenabian. Bahkan tempat itu selalu menjadi tambatan hatinya dan
kiblat shalatnya.

Abu Ubaidah tidak akan melewatkan semua itu dalam catatan kenangan. Telah terbuka
kesempatan untuk mengulangi kembali saat-saat indah, lalu menyambung cerita masa lalu
dengan masa sekarang di atas jempatan kehidupan yang mulia dan keimanan yang tulus di
kota Iman, Madinah Munawwarah.

Memang benar, Abu Ubaidah ikut berangkat di bawah panji Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan kepemimpinannya yang bijaksana. Dia bukanlah seorang tentara biasa, akan
tetapi kedudukannya berada di kalangan shahabat terkemuka sejak masa awal dakwah. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat mengetahui kedudukan para shahabatnya dan sangat
baik terhadap mereka serta sangat menghargai kedudukan mereka. Maka beliau
mengedepankan Abu Ubaidah dan menjadikannya salah satu pemimpin pasukan besar ini.

Ath-Thayalisi, Ahmad, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan yang lain meriwayatkan dari
Tsabit Al-Bunani, dia berkata, “Abdullah bin Rabah Al-Ansharimenceritakan kepada kami,
Abu Hurairah berkata, “Tidakkah saya beritahukan kepada kalian tentang suatu hadits dari
hadits kalian wahai jamaah Anshar?” Maka Abu Hurairah menyebut Fathu Makkah. Dia
berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang dan memasuki kota Mekah. Beliau
mengutus Zubair sebagai pemimpin salah satu dari dua sayap pasukan dan mengutus Khalid
sebagai pemimpin sayap pasukan lainnya. Lalu beliau mengutus Abu Ubaidah sebagai
pemimpin pasukan yang tidak menggenakan baju besi, sementara Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam memimpin pasukan berkuda.

Pada kesempatan itu dia menyaksikan satu momen terindah sepanjang hidupnya, yaitu ketika
menyaksikan Mekah membentangkan lengan menyambut kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam dan para sahabatnya lalu menyaksikan gerakan pembersih Ka’bah dari kotoran
berhala. Kenikmatan yang diperolehnya semakin sempurna dengan terbukanya kesempatan
untuk melakukan thawaf, sa’I, dan shalat di maqam Ibrahim.

10. Pemimpin pasukan Ke Dzil Qashshah

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak merasa cukup dengan pengerahan pasukan
dan keikutsertaan beliau bersama para shahabat dalam berbagai peperangan dalam rangka
menegakkan panji jihad fi sabilillah, menyampaikan risalah, dan member pelajaran bagi para
musuh, serta menyingkirkan berbagai halangan yang merintangi jalan dakwah ke seluruh
alam. Akan tetapi beliau kerap mengirim pasukan bersenjata menyusuri padang pasir di
sekitar Madinah untuk memperlihatkan kepada kaum musyrikin jazirah Arab, orang Yahudi,
kaum munafik, serat Arab badui yang menetap di sekitarnya bahwa kaum muslimin telah
menjelma sebagai pasukan yang kuat dan tidak lemah lagi seperti dahulu. Di samping itu agar
menimbulkan rasa takut pada mereka yang memendam keinginan untuk memberontak
terhadap pusat pemerintahan Negara Islam atau menyerang wilayah-wilayah di
perbatasannya atau menimbulkan kekacauan di sana (Lihat: Fiqh As-Sirah karya Syaikh
Muhammad Al-Ghazali, hlm.213-214). Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “Kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
tetapi Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal [8]: 60).

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memepersiapkan panji untuk pasukan dalam
jumlah kecil maupun besar dan mengangkat pemimpin untuk pasukan tersebut dari orang-
orang terpilih diantara para shahabat beliau yang memilki kapasitas dan keahlian dalam hal
perang dan sifat yang luhur sebagai pemimpin. Abu Ubaidah adalah salah satu yang dipilih
oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan jihad. Maka beliau mengutusnya pada tahun ke
enam Hijriyah memimpin 40 orang ke Dzail Qashshah.

Ibnu Sa’ad menceritakan bahwa pasukan ini berangkat pada bulan Rabiul Akhir tahun
keenam Hijriyah. Penyebabnya adalah Bani Muharib, Tsa’labah, dan Anmar bergabung
untuk menyerang peternakan Madinah yang digembalakan di Buhaifa’, sebuah tempat yang
berjarak 7 mil dari Madinah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah bersama 40 orang kaum muslimin. Mereka berangkat selepas Maghrib
dan sampai ke Dzaul Qashshah menjelang Subuh. Maka mereka menyerbu para penyerang
hingga melemahkan mereka dan melarikan diri ke pegunungan. Kaum muslimin berhasil
menangkap salah seorang dari penyerang, lalu orang itu masuk Islam maka dilepaskan. Abu
Ubaidah lalu mengambil ternak para penyerang dan yang tertinggal dari harta benda mereka
untuk di bawah ke Madinah. Maka Rasulullah mengambil seperlima dan membagikan
sisanya kepada pasukan tersebut.

11. Pemimpin pasukan Al-Khabath (Pasukan Siful Bahr)

Begitu juga, Rasulullah menetapkan Abu Ubaidah sebagai pemimpin pasukan yang
berjumlah 300 orang dari kalangan shahabat untuk mengintai kafilah dagang kaum Quraisy
dan diberangkatkan ke Siful Bahr, daerah pesisir laut merah dari arah Yanbu’ berjarak 180
Km dari Madinah Munawwarah.

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radiyallahu Anhuma,
dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengirim kami dengan Abu
Ubaidah sebagai komandannya, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Kami hanya
dibekali dengan sekarung kurma, dan tidak ada lagi selain itu. Karena itu, Abu Ubaidah
membagi-bagikannya kepada kami sebuah demi sebuah.” Abu Az-Zubair berkata, “Lantas
saya berkata, “ Apa yang dapat kalian perbuat dengan sebuah kurma itu” Jubair menjawab,
“Kami menghisap-hisapnya seperti bayi. Kemudian kami meminum air. Hal itu sudah cukup
bagi kami untuk sehari sampai malam. Pernah juga kami menumbuk dedaunan dengan
tongkat, kemudian kami siram dengan air lalu kami memakannya. Setelah itu kami samapai
di pantai, kami dihadapkan dengan suatu pemandangan yang tampaknya seperti gundukan
pasir, ketika kami hampiri ternyata itu adalah hewan laut yang disebut anbar (Ikan Paus).”

Jabir berkata, “Lalu Abu Ubaidah berkata, “Itu adalah bangkai.” Kemudian dia melanjutkan,
“Namun tidak mengapa, kita adalah utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
mengemban tugas fi sabilillah dan kalian dalam keadaan terpaksa, karena itu kalian boleh
memakannya.” Jabir berkata, “Kami menetap di tempat itu selama sebulan, dan jumlah kami
semuanya ada tiga ratus orang, dan kami menjadi gemuk semuanya (karena makan daging
itu).” Jabir melanjutkan, “Sungguh kami telah mengetahui, saat itu kami mengambil
minyaknya dari rongga matanya dan menampungnya dengan tempayan besar. Kemudian
kami potong-potong dagingnya seperti memotong seekor lembu. Kemudian Abu Ubaidah
memanggil tiga belas prajurit untuk masuk ke rongga mata ikan, lalu mereka mengambil
kerangkanya dan menegakkannya, kemudian unta kami yang paling besar dituntun berjalan
di bawah kerangka ikan tersebut. Lalu kami mengambil daging ikan itu sebagai perbekalan
kami untuk kami masak. Setelah itu kami tiba di Madinah, kami menemuhi Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memberi tahukan hal itu kepada beliau, maka beliau
bersabda, “Iitu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kalian, apakah kalian membawa
sedikit dagingnya untuk kami makan?” Jabir berkata, “Lantas kami kirimkan daging tersebut
kepada Rasulullah dan beliau memakannya.”

Dalam riwayat lain Jabir berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirim
pasukan kea rah pantai dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai pemimpinnya. Jumlah mereka
300 orang. Maka kami berangkat dan di tengah perjalanan perbekalan habis. Abu Ubaidah
memerintahkan untuk mengumpulkan yang tersisah dari bekal seluruh pasukan.
Terkumpullah dua kantung kurma. Abu Ubaidah mengatur pembagian bekal sedikit demi
sedikit sampai habis. Masing-masing kami hanya mendapatkan satu biji kurma. Saya
bertanya, “Apakah cukup bagi kalian satu biji kurma?” Dia menjawab, “Kami mendapatkan
ganti ketika perbekalan itu habis.”

Begitulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendidik para shahabat beliau sesuai dengan
hati beliau yang mulia dan kehidupan beliau yang luhur, tentang keyakinan kepada Allah dan
kepasrahan terhadap ketinggian hikmah, dekatnya jalan keluar dan keluasaan nikmat yang
disertai dengan kesabaran dan kezuhudan. Semua itu nampak dalam kepercayaan penuh pada
diri mereka bahwa kemenangan itu harsu disertai dengan kesabaran, bahwa ada jalan keluar
bagi setiap kesempitan dan bersama kesulitan terdapat kemudahan.

Mungkin mudah bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengumpulkan bekal
yang cukup bagi mereka dalam melakukan perjalanan jihad, betapa banyak shahabat yang
kaya dan dermawan! Atau bias saja beliau berdoa kepada Allah agar bumi menumbuhkan
tanaman untuk mereka, atau laut yang mereka tuju mengeluarkan makanan yang baik untuk
mereka konsumsi, atau jejak kaki kuda salah seorang dari mereka memancarkan air tawr yang
melimpah untuk mereka. Semua itu sangat memungkinkan bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam, karena langit terbuka untuk doa beliau yang penuh berkah. Akan tetapi, beliau
tidak ingin membuat mereka berpangku tangan terhadap semua itu, beliau ingin menanamkan
pada diri mereka akhlak terbaik dan ingin menghidupkan dalam hati mereka cahaya iman
serta menanam di hati mereka sumber-sumber keyakinan. Sehingga setiap mereka menjelma
sebagai sosok yang mampu mengatasi berbagai bentuk kesulitan untuk menggapai tujuan
yang luhur. Pemilihan Abu Ubaidah sang pemberani dan terpercaya sebagai pemimpin
merupakan keputusan yang mendapat taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pasukan tersebut terus berjalan menempuh jarak yang sangat jauh. Masing-masing dari
mereka berbekal sejumlah kurma. Ketika perbekalan menipis, masing-masing hanya
memiliki satu buah kurma yang hanya diisap-isap seperti seorang bayi mengisap susu ibunya.
Pada hal mereka dalam perjalanan dan kesulitan karena mengarungi padang pasir. Ketika
kurma itu habis, mereka beralih pada pepohonan, memetik daun-daunnya, lalu membukanya
dan memakannya. Mereka terus berjalan tanpa mempedulikan rasa lapar dan kesulitan
perbekalan.

Situasi tersebut tidak berlangsung lama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan
mereka dengan rizki yang luar biasa. Maka seorang mukmin itu jika bergantung kepada
Allah, ikhlas kepada-Nya, hanya mengharapkan ridha-Nya, dan mengerahkan segala sesuatu
untuk melayani agama-Nya, dunia akan mendatanginya. Maka laut itu ditundukkan untuk
mereka dan melayani mereka untuk menghilangkan rasa lapar mereka dengan izin Allah.
Laut itu lalu mendamparkan untuk mereka daging yang layak dimakan. Mereka
memakannya, mengambil minyaknya, dan berbekal dengannya hingga kembali ke Madinah.
Kemuliaan yang diberika Allah untuk mereka semakin bertambah ketika Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa ikan tersebut bukanlah bangkai
akan tetapi rizki yang halal dan baik. Bahkan beliau ikut makan daging ikan tersebut untuk
menyenangkan hati mereka.

12. Sikap Nabi yang mengangkat kedudukan Abu Ubaidah dan perolehan
julukan “Kepercayaan Umat”

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam paling mengenal para shahabatnya. Beliau telah mendidik
mereka secara langsung dengan ayat-ayat wahyu yang turun secara berturut-turut kepada
beliau, juga dengan hikmah yang dikeluarkan oleh Allah dari hatinya yang bercahaya menuju
lisannya yang mulia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala member beliau kekhususan berupa
kemampuan untuk melihat hakikat seseorang dan menimbang mereka dengan sifat-sifat
mereka secara jelas seperti judul sebuah buku. Tidak ada orang dengan penglihatan yang
dapat menembus hijab. Dengan kemampuan tersebut beliau kerap member kepada beberapa
shahabat belaiu julukan yang indah. Lalu berbagai peristiwa membuktikan bahwa julukan itu
memang tepat disandangkan padanya. Seperti saat beliau menjuluki Abu Bakar sebagai orang
yang paling penyayang kepada umat Islam, Utsman sebagai sosok pemalu, Khalid sebagai
pedang Allah, dan Abu Ubaidah sebagai kepercayaan umat.

Utusan penduduk Najran pernah datang ke Madinah Munawwarah dan pemimpin mereka
meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengutus bersama mereka
seorang shahabat beliau yang terpercaya. Maka beliau mengambil tangan kanan Abu Ubaidah
dan memberinya sebuah julukan di depan khalayak ramai, sebuah julukan yang kemudian
hari menjadi cirri tersendiri baginya dan senantiasa menempel erat dengan dirinya sepanjang
hidupnya dan selalu disebut-sebut bersama namanya dalam catatan sejarah. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Ini adalah kepercayaan umat ini.”

Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Ibnu Sa’ad, dan yang lain meriwayatkan dari
Hudzaifah bin Yaman Radiyallahu Anhuma, dia berkata, “Seorang tuan dan budak dari
Najran mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan hendak melaknat beliau.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan lakukan, demi Allah jika dia benar seorang Nabi
lalu dia melaknat kita, kita tidak akan beruntung, tidak juga orang yang datang setelah kita!”
Lalu keduanya berkata, “Sesungguhnya kami akan member apa yang engkau minta kepada
kami. Utuslah bersama kami seorang laki-laki terpercaya. Jangan engkau utus kecuali orang
terpercaya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Sungguh saya akan mengutus
bersama kalian seorang laki-laki terpercaya, sangat terpercaya.” Para shahabat berharap
mendapat kehormatan tersebut, lalu beliau berkata, “Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin Al-
Jarrah!” Ketika Abu Ubaidah berdiri, beliau berkata, “Orang ini adalah kepercayaan umat
ini.”

Dalam riwayat Ibnu Sa’ad disebutkan, “Mereka berkata, “Utuslah bersama kami seorang
laki-laki terpercaya.” Beliau berkata, “Sungguh saya akan mengutus bersama kalian seorang
laki-laki terpercaya, sangat terpercaya,sangat terpercaya, sangat terpercaya.” Beliau
menyebutkannya sampai tiga kali. Para shahabat Rasulullah berharap memperoleh
kehormatan tersebut, lalu beliau mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Abu Ubaidah adalah seorang terpercaya dan memiliki sifat amanah yang sebenar-benarnya.
Dia orang yang memegang anamah agamanya, penyampaian risalahnya, amanah terhadap
prinsip-prinsipnya, amanah dalam menjaga berbagai arahan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, amanah terhadap semua orang yang dipimpinnya baik dari kalangan yang kuat
maupun yang lemah sehingga dia bersikap adil kepada mereka semua, amanah dalam
memperlakukan musuhnya meskipun berbeda agama, amanah dalam menjaga persatuan
kaum muslimin, amanah dalam menjaga harta milik umat, dan amanah dalam banyak hal
lainnya. “Seorang terpercaya yang sangat terpercaya” sebagaimana dikatakan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Mengingat sifat tersebut sanagt mulia dan diberikan oleh sosok yang tidak berbicara dari
hawa nafsunya, para shahabat yang lain pun berharap untuk memperoleh kemuliaan tersebut.
Karena mereka melihat dalam sifat tersebut berbagai keutamaan dan kemuliaan. Maka
mereka sangat menginginkan julukan kehormatan itu, bukan karena mereka menyukai
penjulukannya, tapi karena mereka ingin agar mereka pun dapat menjaga amanah dalam diri
mereka.

Tidak berarti bahwa Abu Ubaidah Radiyallahu Anhu sendiri yang memiliki sifat ini diantara
para shahabat, tidak berarti pula bahwa dia melampaui dua sosok terbaik, Abu Bakar dan
Umar atau melampaui Utsman dan sejumlah pemuka shahabat dengan sifat tersebut, hanya
saja waktu itu Abu Ubaidah adalah orang yang paling tepat untuk utusan itu. Dialah yang
cocok dengan situasi dakwah dan kondisi objek dakwah. Maka dia pun beruntung
memperoleh sifat yang sangat mahal tersebut. Sebagaimana halnya Ali yang beruntung
memperoleh kesempatan melakukan pengorbanan pada saat hijrah Nabi, Abu Bakar
beruntung memperoleh kesempatan menyertai beliau di dalam gua, kemudian dalam
perjalanan hijrah beliau, Umar mendapat jelar Al-Faruq (Sang pembeda antara yang hak dan
batil), Utsman mendapat kehormatan sebagai utusan pada peristiwa Hudaibiyah, Hudzaifah
disebut sebagai penjaga rahasia, Khalid sebagai pedang Allah, Zubair sebagai penolong Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Dzar sebagai orang yang paling benar logatnya, Mu’adz
sebagai orang yang paling mengerti persoalan halal dan haram, Ubay sebagai orang yang
paling baik bacaan Al-Qur’annya, dan berbagai julukan lain yang disematkan oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada sosok tertentu dari shahabatnya.

Abu Ubaidah pergi bersama utusan tersebut untuk mengambil jizyah(upeti) yang telah
disepakati. Maka berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Kami akan
memberikan kepadamu apa yang engkau minta kepada kami” seperti tertera dalam riwayat
shahih Al-Bukhari. Yunus bin Bukair menyebutkan dalam riwayatnya di dalam kitab “Al-
Maghazi”, Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat kesepakatan
damai dengan mereka dengan bayaran jizyah berupa 2000 senjata. Seribu diserahkan bulan
Rajab dan seribu lagi pada bulan Shafar. Bersama setiap senjata dilengkapi dengan tameng.
Maka Abu Ubaidah pergi mengambil harta kesepakatan damai itu dan kembali pulang.”

Penduduk Yaman pernah datang menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan meminta
beliau untuk mengutus bersama mereka seorang yang dapat mengajarkan mereka Islam, Al-
Qur’an, dan As-Sunnah. Beliau memenuhi permintaan mereka dan memuliakan mereka. Lalu
untuk kedua kalinya Abu Ubaidah mendapat kehormatan yang agung ini.

Imam Muslim, Ibnu Sa’ad, Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi, Al-Hakim, dan yang lainnya
meriwayatkan dari Anas bin Malik Radiyallahu Anhu, “Sesungguhnya penduduk Yaman
datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata kepada beliau,
“Utuslah bersama kami seseorang yang dapat mengajarkan kami As-Sunnah dan Islam.”
Maka beliau mengambil tangan Abu Ubaidah seraya berkata, “Orang ini adalah kepercayaan
umat ini.”

Namun Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari berpendapat
bahwa kedua hadits tersebut terkait dengan satu peristiwa yaitu peristiwa penduduk Najran
dan perawi hadits melebihkan ketika menyambut penduduk Najran dengan penduduk Yaman.
Namun kami lebih memilih pendapat bahwa kedua hadits tersebut menerangkan dua
peristiwa yang berbeda. Pada hadits pertama disebutkan bahwa Abu Ubaidah pergi bersama
utusan untuk mengambil jizyah, karena mereka belum masuk Islam. Sedangkan pada hadits
kedua secara jelas disebutkan bahwa mereka yang datang telah masuk Islam dan meminta
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengutus bersama mereka orang yang dapat
mengajarkan mereka Islam, Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam mengutus Abu Ubaidah.

Berikut ini adalah situasi lain yang memperlihatkan sisi yang baru dari pengertian amanah
pada sosok Abu Ubaidah. Di sebuah desa yang berada di abwah pemerintahan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, datang penduduknya kepada Nabi mengadukan pemimpin
mereka. Maka beliau mengabulkan permohonan mereka agar tidak terbuka kesempatan bagi
setan untuk menimbulkan fitnah dikalangan mereka dan untuk meletakkan sebuah aturan
yang harus dipedomani oleh siapa pun yang memerintah setelahnya untuk mengingatkan para
pemimpin agar bersikap adil terhadap rakyatnya. Maka beliau mengutus Abu Ubaidah
sebagai pengganti pemimpin mereka untuk mengobati luka yang mereka keluhkan dengan
obat amanah dan kelembutan akhlak.
Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Salim bin
Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Umar berkata, “Saya tidak pernah
mengajukan diri untuk menjadi pemimpin kecuali satu kali di mana saya sanagt ingin
diangkat sebagai pemimpinnya. Sekelompok orang datang menemui Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam mengeluhkan pemimpin mereka. Maka beliau berkata, “Sungguh saya akan
mengutus kepada kalian seorang terpercaya, sangat terpercaya.” Umar berkata, “Maka saya
menawarkan diri agar saya memperoleh doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun
beliau mengangkat Abu Ubaidah dan meninggalkan saya.”

Penduduk Bahrain (Mayoritas penduduk Bahrain di kala itu memeluk agama Majusi) pun
mengajukan kesepakatan damai kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau
mengutus orang kepercayaannya, Abu Ubaidah kepada mereka untuk mengambil jizyah.

Imam Ahmad, Al-Bukahri, Muslim, An-Nasa’I, dan yang lainnya meriwayatkan dari Amr bin
Auf Radiyallahu Anhu, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Bahrain untuk mengambil jizyah. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menerima kesepakatan damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat
Ala’ bin Hadhrami sebagai gubernur di sana. Datanglah Abu Ubaidah membawa harta dari
Bahrain dan kaum Anshar mendengar kabar kedatangan Abu Ubaidah tersebut. Kejadian itu
bertepatan denagn waktu shalat Subuh bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Setelah selesai mengimami shalat Subuh, Nabi langsung pergi. Mereka pun mendatangi Nabi.
Melihat kedatangan mereka beliau tersenyum dan berkata, “Saya kira kalian telah mendenagr
bahwa Abu Ubaidah datang membawa sesuatu.” Mereka menjawab, “Benar wahai
Rasulullah.” Beliau berkata, “Maka gembiralah dan berharaplah sesuatu yang menyenangkan
kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi seya takut
kalian memperoleh kesenangan dunia seperti orang-orang sebelum kalian, lalu kalian
berlomba-lomba seperti halnya mereka berlomba-lomba mendapatkannya, lalu dunia itu
membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.”

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Related posts:

1. Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
(Seri 2)
2. Biografi Sahabat Nabi Ali Bin Abi Thalib : Kedudukannya di sisi Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam (Seri 4)
3. Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab : Kecintaan Terhadap Nabi Shallallahu
Alahi wa Sallam (Seri 2)

 Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 3), Biografi
Sahabat Nabi
 0 comment

 « Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa


Sallam (Seri 2)
 Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Perjalanan Hidup Abu Ubaidah, Sifat, Dan
Ilmunya (Seri 4) »

Leave a Reply

Buku Islam 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga


Kategori

 Abdurrahman bin Auf


 Abu Bakar
 Abu Ubaidah
 Ali Bin Abi Thalib
 Sa'id Bin Zaid
 Thalhah Bin Ubaidillah
 Umar Bin Khaththab
 Utsman Bin Affan
 Zubair bin Awwam

Like Kisah Sahabat Nabi

© Copyright Kisah Sahabat Nabi Muhammad 2015. Powered by WordPress. Designed by


BluChic

Anda mungkin juga menyukai