Anda di halaman 1dari 25

KARYA TULIS ILMIAH

“FILARIASIS DAN PENYAKIT CACINGAN”

Dosen Pengampu:

Herawanto, S.km.,M.Kes

OLEH

KELOMPOK 7:

Ristita Anggriani Mochtar P 101 17 040

Nurhazanah P 101 17 118

Andriani Siradjudin P 101 17 226

Moh.Ridwan S Hanafi P 101 17 292

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Tadulako

Palu

2019
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyusun karya tulis ilmiah
yang membahas mengenai “Filariasis dan Penyakit Cacingan” dengan
lancar.
Adapun maksud penyusunan karya tulis ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Penyakit Tropis”. Harapan penulis bahwa karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penyakit tropis khususnya Penyakit Filariasis dan
Penyakit Cacingan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna
dengan keterbatasan yang penulis miliki. Tegur sapa dari pembaca akan
penulis terima dengan tangan terbuka demi perbaikan dan
penyempurnaan karya tulis ini.

Palu, 17 November 2019

Kelompok 7
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyebaran penyakit di negara berkembang saat ini mengalami
perubahan, namun penyakit menular masih berperan sebagai
penyebab utama kesakitan, kecacatan bahkan kematian. Filariasis atau
penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit menular, adalah
suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria yang hidup dalam
kelenjar getah bening (limfa) dan darah manusia yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk (vector borne disease). Penyakit ini tidak
mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan
seumur hidup. Kecatacatan berupa pembesaran kaki, lengan dan alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki, sehingga menimbulkan
stigma sosial, hambatan psikososial serta menurunkan produktivitas
kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar (Suryo Sularno, Nurjazuli, 2017)
Penyakit Kaki Gajah (filariasis) merupakan penyakit yang
menyebabkan kecacatan menetap dan dalam waktu lama
menyebabkan kecacatan mental, kerugian ekonomis, serta mempunyai
dampak psikologis terhadap penderita kronis karena diasingkan oleh
keluarga dan masyarakat, bersifat endemis di lebih dari 80 negara di
dunia. Berdasarkan Rapid Mapping filariasis pada tahun 2000, angka
kesakitan penyakit kaki gajah di Indonesia masih tinggi dan tersebar
luas hampir di seluruh kabupaten/kota. Jumlah penderita kaki gajah
yang dilaporkan dari 231 kabupaten/kota sebanyak 6233 orang telah
terinfeksi, tersebar di 674 Puskesmas dan 1153 Desa. Data ini belum
mencakup seluruh wilayah, karena tidak semua kabupaten/kota
melaporkannya yaitu hanya 42,16 %. (Dwi, 2016)
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah
merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini
dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan,
kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005)
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Filariasis
1. Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki
gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa
pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria
hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria
dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI,
2005)
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit rnenular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan dituiarkan oleh
nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut
hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik
akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran
kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki,lengan,payudaradan alat kelamin
(Chin, 2006).
2. Epidemiologi Filariasis
Penyakit ini diperkirakan seperiima penduduk dunia atau 1.1
milyar penduduk beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan
beberapa daerah subtropis. Penyakit ini dapat menyebabkan
kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososisal, dan penurunan
produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan demikian
penderita menjadibeban keluarga dan negara. Sejak tahun 2000
hingga 2009 di Iaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914
kasus yang tersebar di 401 kabupaten/ kota. Penyakit filariasis
terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah
di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di
daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. DiIndonesiafilariasis tersebar
luas, daerah endemis terdapat terdapat di banyak pulau di seluruh
nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya (Masrizal, 2013)
3. Etiologi
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi
sumber infeksi bagi orang lain yang rentan. Biasanya pendatang
ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih
menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih
banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan
untuk mendapat infeksi {exposure). Juga gejala penyakit lebih
nyata pada laki-laki,karena pekerjaanfisik yang lebih berat
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di
saluran dan kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut
mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam
darah tepi pada malam hari. Menurut (Gandahusada, S., 1998),
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria
yaitu:
a. Wuchereria bancrofti
b. Brugia malayi
c. Brugia timori
4. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor
filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang
terdapat di daerah perkotaan di tularkan oleh Cx.quinquefasciatur
yang tempat perindukannyaair kotor dan tercemar. W.bancrofti di
daerah pedesaan dapat dituiarkan olehbermacamspesies nyamuk.
Di Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan terutama oleh An.farauti yang
dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat
perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vektor :
An.Koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.Kochi,
W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain,
seperti An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex,
Aides pernah juga ditemukansebagai vector (Tim Editor Fakultas
Kedokteran UI, 2009)
B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya
dituiarkan oleh berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis,
Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak di
daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain.
B.malayi yang periodik dituiarkan oleh An.Barbirostris yang
memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah
Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan di Indonesia sejak
1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-
Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di
daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di darah pedalaman
(Tim Editor Fakultas Kedokteran UI, 2009)
5. Hospes
a. Manusia
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat
tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung
larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat
menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel).
Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih
rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada
penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi
karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi
(exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena
pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, S., 1998)
b. Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber
penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe
sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada
lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan
kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005)
6. Lingkungan
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan
geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat
kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh
terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis.
Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan
beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya
hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap
penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodic
(Masrizal, 2013)
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan
filariasis. Misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat
pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia
malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai
atau badan air yang ditumbuhi tanaman air (Masrizal, 2013)
c. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah
lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara
manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan,
dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada
malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur
berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Insiden filariasis
pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena
umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat
bekerja (Masrizal, 2013)
7. Cara Penularan
Rantai Penularan Penularan dapat terjadi apabiia ada 5 unsur
yaitu sumber penular (manusia dan hewan), parasit, vektor, manusia
yang rentan, iingkungan (fisik, biologik dan sosial-ekonomi-budaya).
Seseorartg dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabiia
orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang
mengandung larva stadium III (L3). Kemudian memasuki periode
laten atau prepaten. Periode laten adalah waktu yang diperlukan
antara seseorang mendapatkan infeksi sampai dtemukannya
rnikrofilaria di dalam darahnya. Waktu ini sesuai dengan
pertumbuhan cacing hingga dewasa sampai melahirkan
rnikrofilariakedalamdarah danjaringan. (Masrizal, 2013)
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang
mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam
lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian
menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami
perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm dengan ekor runcing seperti
cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2)
disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300µm x 15-30µm
dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II
larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh
menjadi larva stadium (L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva
stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan
yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada
spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva
infektif (Masrizal, 2013)
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka
orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif
menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan
tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju
sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi
cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria
bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan
8. Pola Penyebaran
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing
filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.
Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta,
Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria
bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak
terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti
tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang
berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria
bancrofti tipe pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai
spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes (Gandahusada, S.,
1998)
Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
beberapa pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna,
mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk
penularnya adalah Anopheles barbirostis pada daerah persawahan.
Brugia malayi tipe subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan lebih
banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk penularnya
adalah Mansonia sp pada daerah rawa (Gandahusada, S., 1998)
Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor,
dan Sumba. Brugia timorii tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan
dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk
penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan
rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan
dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah
Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur
dan Maluku Tenggara (Gandahusada, S., 1998).
9. Gejala
Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi
gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut)
ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan
selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa
panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di
badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah
dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah
ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis) ditandai dengan
pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan
alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap
(Depkes RI, 2005)
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai dari yang asimtomatis
sampai yang berat. Hal ini tergantung pada daerah geografi, spesies
parasit, respons imun penderita dan intensitas infeksi. Gejala
biasanya tampak setelah 3 bulan infeksi,tapi umumnya masa
tunasnya antara 8-12 bulan. Pada fase akut terjadi gejala radang
saluran getah bening, sedang pada fase kronis terjadi obstruksi.
Fase akut ditandai dengan demam atau serangkaian serangan
demam selama beberapa minggu. Demam biasanya tidak terlalu
tinggi meskipunkadang - kadang tinggi sampai 40,6°C, disertai
menggigil dan berkeringat, nyeri kepala,mual,muntah,dan nyeri otot.
Jika yang terkena saluran getah bening abdominal yang terkena
terjadi gejala "acute abdomen"(Depkes RI, 2005)
10. Tindakan Pencegahan dan pemberantasan Filariasis
Menurut (Depkes RI, 2005)tindakan pencegahan dan
pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:
a. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan
pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara.
b. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada
malam hari oleh petugas kesehatan.
c. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
d. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari
nyamuk penular.
e. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan
kelambu pada saat tidur.
11. Pengobatan Filariasis
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat
(DEC). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa
pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan
satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan
per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang
dianjurkan adalah 5 mg/kgberat badan per hari selam 10 hari.
Efek samping dari DEC ini adalah demam, mengigil, artralgia,
sakit kepala, mual, hingga muntah. Pada pengobatan filariasis
brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu
pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Obat lain yang
juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik
semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas
terhadap nematode dan ektoparasit. Obat inihanya
membunuhmikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan
disbanding DEC (Masrizal, 2013)
12. Kebijakan Program dan Strategi pemberantasan Filariasis
Menyusul kesepakatan global pada tahun 1997, WHA yang
menetapkan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat dan
diperkuat dengan keputusan WHO pada tahun 2000 untuk
mengeliminasi fiariasis pada tahun 2020, Indonesia sepakat untuk
melakukan program eliminasi filariasis yang dimulai pada tahun 2002
Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan nomor
612/MENKES/VI/2004 maka kepada Gubernur dan Bupati/Walikota
di seluruh Indonesia melaksanakan pemetaan eliminasi filariasis
gobal, pengobatan massal daerah endemis filariasis, dan tata
laksana penderita filariasis di semua daerah.
Program pelaksaan kasus filariasis ditetapkan sebagai salah
satu wewenang wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan RI nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota.
Menurut (Depkes RI, 2005), Kebijakan yang ditetapkan dalam
program pemberantasan filariasis adalah:
a. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional dalam
program pemberantasan penyakit menular.
b. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan
menerapkan program eliminasi filariasis limfatik global dari WHO
yaitu memutuskan rantai penularan filariasis dan mencegah serta
membatasi kecacatan.
c. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi
filariasis adalah Kabupaten/Kota.
d. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dan
negara.
Strategi yang dilakukan dalam mendukung kebijakan dalam
program pemeberantasan filariasis adalah
a. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan
massal di daerah endemis filariasis.
b. Mencegah dan membatasasi kecacatan melalui penatalaksanaan
kasus klinis filariasis.
c. Pengendalian vektor secara terpadu.
d. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.
e. Memperkuat survailans dan mengembangkan penelitian.
B. Cacing
1. Pengertian
WHO menjelaskan bahwa cacingan adalah infeksi cacing
parasit usus dari golongan Nematoda usus yang ditularkan melalui
tanah, atau disebut Soil Transmitted Helminths (STH). STH yang
sering ditemukan pada manusia adalah Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura dan
Strongiloides stercoralis.(Hanif, Yunus, & Gayatri, 2017).
Prevalensi penyakit kecacingan sangat tinggi terutama di
daerah tropis dan subtropis, beriklim basah dimana higiene dan
sanitasinya buruk. Jumlah kasus infeksi STHs (Soil Transmitted
Helminths) terbanyak dilaporkan di kawasan Sub-Sahara Afrika,
Benua Amerika, Cina dan Asia Timur. Infeksi terjadi oleh karena
tertelan telur cacing dari tanah yang terkontaminasi atau dari
penetrasi aktif melalui kulit oleh larva di tanah (Anwar, Irawati, &
Masri, 2016).
2. Faktor Resiko Penyakit Cacingan
Menurut (Hanif et al., 2017) faktor resiko penyakit cacingan, yaitu :
a. Sanitasi Lingkungan
Kasus penyebaran penyakit cacingan oleh kotoran manusia
dapat terjadi jika didukung oleh buruknya sanitasi lingkungan,
seperti tidak tersedianya fasilitas jamban atau WC. Perilaku BAB
tidak di jamban serta kurangnya ketersediaan sumber air bersih
adalah beberapa kondisi sebagai faktor risiko terjadinya penyakit
cacingan. Sehingga perilaku BAB di sungai dan kebun dapat
memperburuk kondisi sanitasi lingkungan, dengan memungkinkan
tersebarnya telur cacing yang terkontaminasi pada kotoran.
b. Sanitasi Makanan Dan Minuman
Penyakit cacingan dapat terjadi ketika seseorang
mengkonsumsi sayur dan buah tanpa melalui proses dikupas,
dicuci, dan dimasak dengan baik. Karena sayur yang hanya dicuci
sebelum dikonsumsi, memungkinkan masih adanya telur atau
larva cacing pada bagian dalam sayur, yang hanya bisa dimatikan
melalui proses pemasakan.
WHO (2011) mengatakan bahwa kebiasaan menggunakan
pupuk dari kotoran hewan pada lahan pertanian sayur, akan
menyebabkan infeksi cacingan jika sayur tersebut tidak direbus
(dimasak).
c. Perilaku Kebersihan Diri
Umar (2008) mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar
adalah usia paling rentan terkena penyakit cacingan. Anak usia
sekolah dasar memiliki aktifitas tinggi, sehingga memiliki waktu
istirahat yang lebih sedikit. Kurangnya waktu istirahat tersebut
bukanlah menjadi faktor risiko penyakit cacingan pada anak,
namun lebih kepada aktifitas fisik (bermain) anak yang tinggi dan
cenderung untuk melakukan kontak dengan tanah. Jika anak
memiliki perilaku kebersihan diri yang kurang baik, maka hal
tersebut menjadikan anak dapat terinfeksi penyakit cacingan.
Perilaku mencuci tangan merupakan faktor risiko dari
penyakit cacingan. Kontak dengan tanah yang terkontaminasi
dengan telur cacing, tanpa disertai perilaku mencuci tangan
sebelum makan, setelah BAB, dan setelah bermain diluar rumah
sering menjadi cara penularan penyakit cacingan.
WHO (2014) memberikan instruksi agar mencuci tangan
sebelum makan dan setelah keluar rumah (bermain di luar rumah)
untuk pencegahan terhadap infeksi cacingan diutamakan
menggunakan sabun.
Faktor risiko lainnya selain mencuci tangan adalah melalui
perilaku menjaga kebersihan kuku. Anak memiliki kecenderungan
kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan telur cacing
memungkinkan adanya telur dan larva cacing pada kuku tersebut.
Anak-anak memiliki kecenderungan untuk bermain diluar
rumah pada lingkungan tanah terbuka tanpa menggunakan alas
kaki, sehingga rentan terinfeksi STH. DEPKES RI (2008)
memaparkan bahwa cacing yang hidupnya di tanah dapat
menembus kulit anak-anak.
d. Iklim dan Cuaca
Penyakit cacingan tidak mudah menular di seluruh dunia
dan hanya mudah menular pada negara dengan iklim tropis,
karena cacing penyebab infeksi cacingan lebih banyak ditemukan
di daerah lembab dan panas, atau beriklim tropis seperti Indonesia
dan negara tropis lainnya. Pada negara yang tidak memiliki iklim
tropis, telur dan larva cacing akan sulit berkembang biak.
Peningkatan angka prevalensi kejadian penyakit cacingan
terjadi saat musim hujan, dimana curah hujan yang tinggi diikuti
oleh kenaikan suhu udara dan tanah, sehingga mempercepat
proses perkembangbiakan cacing parasit.
3. Gejalan dan Tanda Penyakit Cacingan
a. Gejala Penyakit Cacingan
Anak yang menderita helminthiasis biasanya lesu, tidak
bergairah, dan kurang konsentrasi belajar. Hal tersebut
dikarenakan penderita penyakit cacingan mengalami anemia atau
kondisi kekurangan darah. Anemia yang terjadi dikarenakan
cacing dalam usus menghisap darah penderitanya, sehingga
dalam kondisi yang parah menyebabkan kekurangan darah.
Jika dilihat dari dampak jangka panjangnya, infeksi
cacingan menimbulkan kerugian yang besar bagi penderita dan
keluarga, seperti keadaan lemah dan lesu. Helminthiasis
merupakan penyakit yang diakibatkan oleh cacing dengan
prevalensi tinggi, tidak mematikan tetapi menggerogoti kesehatan
tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi, dan
paling banyak menyerang anak-anak usia sekolah dasar. Pada
kondisi yang lanjut, infeksi cacingan menyebabkan suatu kondisi
berupa kekurangan gizi, berupa protein dan karbohidrat.
b. Tanda Penyakit Cacingan
Larva cacing di paru-paru dapat menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring dan merangsang penderita
mengalami batuk yang berlangsung lama. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Umar (2008) bahwa gejala infeksi
cacingan adalah batuk yang berlangsung lama.
cacing ini menghisap darah penderitanya, sehingga dapat
menyebabkan anemia. Infeksi cacingan dapat menyebabkan
kehilangan darah secara perlahan akibatnya pederita mengalami
kondisi kekurangan darah merah atau anemia (DEPKES RI,
2004). Kondisi tersebut menyebabkan anak yang menderita
helminthiasis biasanya lesu, tidak bergairah, dan kurang
konsentrasi belajar.
Infeksi faring menyebabkan batuk berlangsung lama dan
infeksi usus akibat cacing menghisap darah pada dinding usus
penderita, menyebabkan anak mengalami suhu tubuh yang
meningkat. Sehingga pada anak yang menderita penyakit
cacingan lanjut, akan mengalami suhu tubuh yang panas.
4. Penyebab Penyakit Cacingan
Penyebab penyakit cacingan adalah infeksi cacing parasit
usus dari golongan Nematoda usus. Cacing parasit usus tersebut
diantaranya adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides/
roundworm), cacing tambang (Necator americanus, Ancylostoma
duodenale/hookworm), dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).
Binatang seperti tikus, lalat, dan kecoa merupakan hewan hewan
yang dapat menjadi vektor penyakit cacingan. Ketiga binatang
tersebut dapat membawa telur infektif cacing. Binatang-binatang
pembawa telur infektif cacing tersebut biasanya memiliki perilaku
yang cenderung untuk melakukan kontak dengan kotoran manusia
dan hewan.
Hewan seperti tikus dan kecoa adalah hewan dengan perilaku
dan habitat dekat dengan lingkungan dimana terdapat kotoran
manusia dan hewan, sehingga dapat menjadi vektor penyebaran
penyebab penyakit cacingan. Kedua hewan tersebut juga hidup
dekat dengan lingkungan manusia dan tidak jarang melakukan
kontak langsung dengan makanan dan minuman manusia (Hanif,
2017).
5. Cara Penularan Penyakit Cacingan
Cara penularan cacingan antara lain melalui makanan, kaki
yang langsung berhubungan dengan tanah yang mengandung vektor
cacing, karena tidak mengenakan alas kaki. Selain itu, kebiasaan
buang air besar (BAB) di sembarang tempat juga bisa menularkan
cacing. Sehingga ada berapa faktor yang berhubungan dengan
kecacingan pada anak yaitu kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan
memakai alas kaki, kebersihan kuku, kebiasaan bermain di tanah,
kepemilikan jamban, lantai rumah, dan ketersediaan air bersih
(Syahrir and Aswadi, 2016).
Menurut (Hanif, 2017) bahwa cacing yang menembus kulit
akan masuk ke aliran darah, lalu menuju jantung kanan, kemudian
ke paru-paru, dan berkembang biak di paru-paru lalu menuju usus
halus saat dewasa. Setelah telur menetas di dalam paru-paru, larva
cacing akan naik untuk berimigrasi kembali ke usus halus, dimana
pada kondisi ini penderita akan mengalami batuk disertai dahak yang
berdarah dan kadang berisi larva cacing yang dapat hidup hingga 8
hari pada kondisi lembab. Infeksi cacingan dapat menghisap darah
penderitanya sehingga menyebabkan kehilangan darah secara
perlahan akibatnya penderita mengalami kondisi kekurangan darah
merah atau anemia.
6. Pencegahan dan Penanggulangan
Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2018) dalam
penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan kegiatan:
a. Promosi kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi
advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan, yang
ditujukan untuk:
a) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda dan
gejala Cacingan serta cara penularan dan pencegahannya.
b) Meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat guna
memelihara kesehatan dengan cara:
1) Cuci tangan pakai sabun
2) Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga
3) Menjaga kebersihan dan keamanan makanan
4) Menggunakan jamban sehat
5) Mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat
c) Meningkatkan perilaku mengkonsumsi obat cacing secara rutin
terutama bagi anak balita dan anak usia sekolah
d) Meningkatkan koordinasi institusi dan lembaga serta sumber
daya untuk terselenggaranya reduksi Cacingan
b. Surveilans Cacingan
c. Pengendalian faktor risiko
Pengendalian faktor risiko dilakukan melalui kegiatan:
1) Menjaga kebersihan perorangan
2) Menjaga kebersihan lingkungan.
d. Penanganan Penderita
Penanganan Penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan, melalui:
1) Pengobatan Penderita
2) Penanganan komplikasi Cacingan
3) Konseling kepada Penderita dan keluarga.
e. POPM Cacingan
POPM Cacingan ditujukan untuk menurunkan prevalensi
Cacingan pada daerah kabupaten/kota. POPM Cacingan dapat
dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan:
1) Bulan vitamin A
2) Pemberian makanan tambahan anak balita, anak usia pra
sekolah, dan anak usia sekolah
3) Usaha kesehatan sekolah
4) Program kesehatan lain.
f. Pengobatan
Pengobatan penyakit cacingan dapat berbeda-beda
tergantung jenis cacing yang menyebabkan penyakit. Untuk Obat
berupa Mebendazol, Pirantel Pamoat, Levamisol, dan Piperazin yang
diperuntukkan obat cacing secara umum dapat dibeli di apotek pada
berbagai macam merk dagang, namun pada kasus cacing pita
memerlukan terapi dengan golongan obat keras yang hanya dapat
diperoleh dengan resep dokter.
BAB III PENTUP
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, R. Y., Irawati, N., & Masri, M. (2016). Hubungan antara Higiene
Perorangan dengan Infeksi Cacing Usus ( Soil Transmitted Helminths
) pada Siswa SDN 25 dan 28 Kelurahan Purus , Kota Padang ,
Sumatera Barat Tahun 2013. Http://Jurnal.Fk.Unand.Ac.Id, 5(3), 600–
607.
Chin, J. (2006). Pemberantasan Penyakit Menular (I Nyoman Kandun,
ed.). Jakarta: CV. Infomedika.
Depkes RI. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun
2005 Tentang Kesehatan. Jakarta: Fisioterapi Indonesia.
Dwi, N. (2016). Dinamika Penularan dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis
di kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2014.
Filariasis, Dinamika Penularan, Faktor Resiko., 18(1), 1–8.
Gandahusada, S., H. D. I. W. P. (1998). Parasitiologi Kedokteran. Jakarta:
FKUI.
Hanif, Yunus, & Gayatri. (2017). Gambaran Pengetahuan Penyakit
Cacingan. Jurnal Preventia, 2–11. https://doi.org/10.1016/0006-
8993(94)91579-2
Masrizal. (2013). Penyakit filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1),
32–38.
Suryo Sularno, Nurjazuli, M. R. (2017). faktor-faktor yang berhubungan
dengan Kejadian Filariasis Di Kecamatan Buaran Kabupaten
Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 16(2909), 22–
28.
Tim Editor Fakultas Kedokteran UI. (2009). Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hanif, D. I. (2017) ‘Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan
(Helminthiasis) Pada Wali Murid SDN 1, 2, 3, dan 4 Mulyoagung,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur’, PREVENTIA,
2(2).
Kementerian Kesehatan RI (2018) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2017’, Kementerian Kesehatan.
Syahrir, S. and Aswadi, A. (2016) ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Kecacingan Pada Siswa SDN Inpres No. 1 Wora
Kecamatan Wera Kabupaten Bima’, HIGIENE: Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 2(1), pp. 41–48.
CONTOH SOAL

Anda mungkin juga menyukai