Anda di halaman 1dari 10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Dinamik
Sistem dinamik didefinisikan sebagai sebuah bidang untuk memahami
bagaimana sesuatu berubah menurut waktu (Forester, 1999 dalam Purnomo
2005). Sistem dinamik merupakan metoda yang dapat menggambarkan proses,
perilaku, dan kompleksitas dalam sistem (Hartisari, 2007). Metodologi sistem
dinamik ini telah dan sedang dikembangkan sejak diperkenalkan pertama kali oleh
Jay W. Forester pada tahun 1950-an sebagai suatu metoda pemecahan masalah-
masalah kompleks yang timbul karena ketergantungan sebab akibat dari berbagai
macam variabel di dalam sistem.
Sistem dinamik dititikberatkan pada penentuan kebijakan dan bagaimana
kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-masalah yang dapat
dimodelkan dengan menggunakan sistem dinamik. Dalam metodologi sistem
dinamik yang dimodelkan adalah struktur informasi sistem yang didalamnya
terdapat sumber informasi dan jaringan aliran informasi yang saling terhubung .
Model dinamik merupakan suatu metode pendekatan eksperimental yang
mendasari kenyataan-kenyataan yang ada dalam suatu sistem untuk mengamati
tingkah laku sistem tersebut (Richardson dan Pugh, 1986 dalam skripsi Nuroniah,
2003). Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi sebab akibat
adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang cara kerja suatu sistem.
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik adalah :
1. Identifikasi dan definisi masalah
2. Konseptualisasi sistem
3. Formulasi model
4. Simulasi model
5. Analisa kebijakan
6. Implementasi kebijakan
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan
pemahaman sistem dan permasalahanya sehingga membentuk suatu lingkaran
tertutup. Diagram pendekatan metoda sistem dinamik dapat dilihat pada gambar 1.

4
Dalam konteks sistem dinamik terdapat tiga komponen utama, yaitu :
1. Pengambilan keputusan, adalah suatu usaha untuk menyelesaikan masalah
dan melakukan sesuatu.
2. Analisis sistem umpan balik, berhubungan dengan penggunaan informasi
secara tepat untuk mengambil keputusan tersebut.
3. Simulasi, memberikan representasi kepada para pengambil keputusan
terhadap hasil dari keputusan di masa mendatang.

Implementasi
model
Pemahaman
sistem
Analisa Identifikasi
Kebijakan masalah

Identifikasi
Simulasi
variabel sistem

Formulasi
sistem

Gambar 1. Diagram pendekatan metode sistem dinamik (Widayani, 1999 dalam


Rahayu, 2006)

Dalam penyusunan suatu model dinamik terdapat tiga bentuk alternatif yang
dapat digunakan yaitu verbal, visual dan model matematis. Model verbal adalah
model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. Model visual dinyatakan
dalam bentuk diagram dan menunjukkan hubungan sebab akibat banyak variabel
secara sederhana dan jelas. Model visual juga dapat direpresentasikan ke dalam
bentuk model matematis yang merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu
sistem. Semua bentuk perhitunganya bersifat ekivalen, dimana setiap bentuk
berperan sebagai alat bantu yang dapat dimengerti.
Menurut Hartisari (2007), simulasi yang menggunakan model dinamik dapat
memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem dan prediksi

5
hasil dari berbagai skenario. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut diperoleh
solusi untuk menunjang pengambilan keputusan sehingga simulasi model dinamik
ini dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan pendugaan.

+
PAD
+
Harga -
produk
Agroindustri Pendapatan
+ masyarakat
+ + +
+
Harga Daya beli
bahan baku

- +
Jumlah bahan
baku
+

+
Kesadaran
Kualitas konsumen
produk

Gambar 2. Contoh diagram sebab-akibat untuk pembangunan agroindustri (Hartrisari,


2006)

Model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan secara numerik


dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus untuk sistem
dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo. Simile, Powersim, Vensim, I-think
dan lain-lain .Pemilihan Powersim sebagai software untuk simulasi model adalah
karena kemudahan dan ketersediaan pada saat penelitian. Pemodelan dinamik
terdiri dari variabel-variabel yang saling berhubungan. Dalam Powersim yaitu
perangkat lunak yang digunakan untuk simulasi terdapat variabel-variabel yaitu
level, rate, auxiliary dan constanta (Powersim, 1996).
Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif dimasukan dengan meng-klik
variabel-variabel yang tersedia seperti level, rate, auxiliary dan constanta.
Kemudian nilai atau formula matematika di inputkan ke dalam variabel-variabel
tersebut untuk mengkalkulasi model. Adapun definisi dari masing-masing jenis
variabel tersebut adalah sebagai berikut.

6
a. Level
Level merupakan variabel yang menyatakan akumulasi sejumlah benda,
contohnya jumlah produksi padi. Level dipengaruhi oleh variabel rate dan
dalam Powersims dinyatakan dengan simbol persegi.

Gambar 3. Simbol variabel level


b. Rate
Rate adalah penambahan atau pengurangan pada level per satuan waktu.
Dalam Powersim, rate dinyatakan dengan simbol seperti pada gambar 4.

Gambar 4. Simbol variabel rate


c. Auxiliary
Auxiliary merupakan variabel tambahan untuk menyederhanakan
hubungan informasi antara level dan rate, dengan kata lain variabel ini
dihitung dari variabel lain. Simbol variabel ini adalah sebuah lingkaran.

Gambar 5. Simbol variabel auxiliary


d. Constanta
Constanta merupakan input bagi persamaan dalam rate baik secara
langsung maupun melalui variabel auxiliary. Variabel ini menyatakan nilai
parameter dari sistem riil yang nilainya konstan selama simulasi. Simbol dari
variabel constanta adalah seperti pada gambar 6.

Gambar 6. Simbol variabel constanta

7
e. Garis penghubung
Garis penghubung menghubungkan antara satu variabel ke variabel lainya
atau antara variabel dengan konstanta. Garis penghubung ini disimbolkan
dengan panah.

Gambar 7. Simbol garis penghubung

B. Simulasi
Simulasi adalah aktifitas untuk menarik kesimpulan tentang perilaku sistem
dengan mempelajari perilaku model dalam beberapa hal yang memiliki kesamaan
dengan sistem sebenarnya (Gotfried, 1984 dalam Nuroniah, 2003). Simulasi
adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami
gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau
proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan dengan tahapan yaitu
penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi.
Keuntungan penggunaan simulasi antara lain dapat memberikan jawaban
apabila model analitik yang digunakan tidak memberikan solusi optimal. Model
disimulasi lebih realistis terhadap sistem nyata karena memerlukan asumsi yang
lebih sedikit (Siagan, 1987 dalam Nuroniah, 2003).
Analisis tingkah laku model dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi
komputer. Simulasi merupakan penyelesaian persamaan matematis secara
bertahap dari suatu sistem untuk mengetahui perubahan yang terjadi, sehingga
dapat dipelajari perilaku sistem tersebut. Metode simulasi mempunyai keunggulan
yaitu pada kemampuanya memberikan informasi secara cepat.

C. Kajian Ketahanan Pangan


Kedaulatan pangan (Food Sovereignty) adalah hak setiap orang, masyarakat
dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif serta
menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, konsumsi) pangan
sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing
(Hines 2005 dalam Darajati 2008). Bahkan presiden pertama Republik Indonesia

8
Soekarno pernah mengatakan bahwa pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu
bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan menjadi
malapetaka sehingga suatu negara harus dapat menyelesaikan masalah ketahanan
pangan agar mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Kedaulatan
pangan menuntut hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture
Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur,
permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-cuma
maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan
tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan
hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik
secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif.
Namun kenyataannya, kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas
pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Dalam
usaha mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO
memperkenalkan istilah ketahanan pangan (Food Security) dengan harapan
adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang dapat mengaksesnya dengan
bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima
secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan
kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama
secara adil kepada rakyatnya.
Konsep ketahanan pangan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah
tangga. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik
dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi
berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin
agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas
yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem
konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional
memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan

9
kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini
ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat
konsumsi < 90% dari rekomendasi 2000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan
(tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-
masing 36.85 juta dan 15.48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita
kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5.02 juta dan 5.12 juta jiwa untuk tahun
2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003 dalam Seminar et al, 2010).
Indikator ketahanan pangan menurut FAO mencakup empat aspek yang
saling terkait dan akan bermuara pada terciptanya individu yang sehat dan aktif
yaitu ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan, akses terhadap pangan, dan
pemanfaatan atau konsumsi. Terdapat keselarasan antara indikator ketahanan
pangan antara FAO dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun
1996 tentang pangan mengenai indikator-indikator ketahanan pangan. Distribusi
diartikan sebagai sistem untuk menyalurkan pangan secara efektif dan efisien
sehingga pangan sampai kepada masyarakat, mudah diakses dan terjamin
ketersediaanya baik jumlah maupun kualitasnya sepanjang wangku. Karena
walaupun distribusi pangan berjalan dengan baik, tetapi apabila mayarakat tidak
dapat mengakses pangan tersebut maka masih akan terjadi kerawanan pangan.
Indikator Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien
di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kata
kronis dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang
berlangsung dalam waktu yang lama, oleh karena itu kerawanan pangan yang
bersifat kronis memerlukan penanganan jangka panjang, sedangkan kerawanan
pangan yang bersifat transien terjadi akibat adanya bencana alam: banjir, gempa
bumi, tsunami, kekeringan, letusan gunung berapi dan tanah longsor di daerah
yang berpotensi atau rentan terhadap bencana alam, memerlukan penanganan
jangka pendek (Seminar et al, 2010).
Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian telah menghasilkan peta
kerawanan pangan Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2005 dan Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan pada tahun 2009. Food insecurity Atlas (FIA
2005) menggambarkan pemeringkatan situasi pangan pada 265 kabupaten di 30
provinsi. Atlas ini terbukti menjadi sarana penting dalam menentukan target

10
intervensi yang berhubungan dengan masalah ketahanan pangan dan gizi secara
geografis pada kabupaten yang rentan. Peluncuran FIA 2005 ternyata masih
menyebabkan kesalahpahaman mengenai pemeringkatan kabupaten. Kata
kerawanan pangan (Food Insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa
kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk
rawan pangan. Oleh karena itu peta nasional yang kedua diberi nama baru yaitu
“Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and
Vulnerability Atlas / FSVA)”. Perubahan nama FIA menjadi FSVA dilakukan
dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan
pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan
pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan
pangan saja. Pertimbangan yang kedua, FSVA juga bermaksud untuk mengetahui
berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain
kerentanan terhadap kerawanan pangan. Pembuatan FSVA tersebut mencakup 346
kabupaten di 32 provinsi di Indonesia.

D. Manajemen Krisis
Manajemen krisis merupakan pengetahuan yang relatif baru baik di
Indonesia maupun dunia. Definisi manajemen krisis pun sangat bervariasi
sehingga lebih dikenal sebagai prosedural model atau protokol. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa bilamana kejadian yang tidak diharapkan terjadi maka
manajemen krisis adalah suatu cara pengelolaan yang proaktif dari berbagai
kegiatan kelembagaan yang mengarah pada keberlanjutan fungsinya sesegera
mungkin setelah adanya gangguan tersebut (Eriyatno et al, 2010). Menurut
Seminar et al (2010) Informasi Ketahanan Pangan dan Early Warning Sistem (The
Food Security Information and Early Warning Sistem/EWS) dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan dalam rangka upaya
perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka pendek,
menengah maupun panjang. Apabila sistem monitoring berdasar informasi
(ketersediaan dan keberlangsungan data informasi) dapat berfungsi dengan baik,
maka sistem ini mempunyai kontribusi yang sangat bermanfaat dalam mengelola

11
krisis pangan. Manfaat sistem ini dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut
(FAO, 2000 dalam Seminar et al, 2010) yaitu sebagai :
Penanda awal/dini saat terdeteksi adanya resiko krisis pangan lokal atau
menyeluruh, memberikan informasi jenis atau karakter krisis yang terjadi,
kemungkinan dampak yang akan muncul dan lokasi atau luasan area dan
masyarakat yang akan terpengaruh oleh adanya krisis pangan.
Penentu tindakan yang akan diambil untuk mengatasi krisis yang terjadi,
dimana pemilihan tindakan yang tepat pada waktu yang tepat akan
mengurangi dampak negatif terhadap krisis.
Panduan untuk pemberian bantuan darurat kepada kelompok masyarakat yang
membutuhkan, mengidentifikasi kelompok yang paling tinggi terkena
dampak dan perubahan-perubahan status pangan dan gizinya.
Pengelolaan cadangan pangan (food security stock) menjadi lebih efisien.
Sistem informasi ketahanan pangan dapat memasukkan data-data lainnya
yang dibutuhkan untuk pengelolaan ketahanan pangan yang lebih baik.
Penentu metode pengadaan pangan yang efisien. Pengetahuan yang baik
terhadap pasar pangan (pokok) internasional, nasional ataupun lokal sangat
bermanfaat untuk mengorganisasi proses distribusinya dan dapat digunakan
sebagai penentu metode yang efisien untuk distribusi bantuan pangan dan
membantu pengelolaan dan monitoring distribusinya.

E. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan antara lain adalah penjadwalan
produksi dengan pendekatan metode dinamik oleh Nuroniah (2003). Model
dinamik yang dikembangkan adalah dinamika jumlah produksi pada setiap
tahapan produksi berdasarkan data series permintaan produksi. Sistem yang dibuat
bertujuan untuk menentukan alternatif terbaik dari penjadwalan produksi dengan
meminimumkan waktu proses dan kekurangan produk yang berlebih.
Selain itu Koesmaryono et al (2008) melakukan analisis dan prediksi curah
hujan untuk pendugaan produksi padi dalam rangka antisipasi kerawanan pangan,
dalam penelitian tersebut dilakukan analisis pewilayahan curah hujan dengan
metode penggerombolan fuzzy dan penyusunan model prediksi curah hujan

12
dengan teknik analisis jaringan syaraf tiruan. Hasil prediksi model curah hujan
tersebut kemudian diterapkan dalam analisis ketersediaan dan kerentanan
produksi padi. Hubungan dengan sistem isyarat dini yang telah dikembangkan
adalah mampunyai persamaan menyusun sistem peringatan dini untuk antisipasi
kerawanan pangan tetapi penelitian ini berbasis prediksi curah hujan sebagai
model prediksi dan hasilnya dapat digunakan sebagai acuan dalam sistem
peringatan dini kerawanan pangan dan perencanaan ketahanan pangan di tingkat
kabupaten hingga nasional.

Gambar 8. Model dinamik rasio konsumsi normatif yang dikembangkan oleh


Seminar et al (2010).
Seminar et al (2010) mengembangkan sistem deteksi dini untuk manajemen
krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi cerdas. Salah satu
subsistem pada sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan ini adalah
rasio konsumsi normatif. Indikator yang digunakan untuk simulasi rasio konsumsi
normatif adalah beras dengan data series yang digunakan adalah data tahun 2003-
2005. Hubungan dengan penelitian lanjutan ini adalah dilakukan penambahan
komoditas jagung pada model dinamik rasio konsumsi normatif dengan
menggunakan data simulasi hingga tahun 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai