PEMBAHASAN
Oleh karena itu, maka jika seseorang yang ingin menjadi calon presiden
haruslah yang telah memenuhi kriteria yang ditentukan di dalam Quran dan Hadits.
Banyak ilmuwan politik islam dari masa klasik sampai kontemporer yang merumuskan
kriteria atau syarat untuk menjadi presiden. Mujar Ibnu Syarif memetakannya menjadi
delapan dimensi kriteria : (1) dimensi agama, (2) dimensi teknis atau kompetensi
manajerial, (3) dimensi kepribadian, (4) dimensi kesehatan, (5) dimensi keilmuan, (6)
dimensi gender, (7) dimensi asal-usul, dan (8) dimensi kewarganegaraan.
Dimensi kesehatan menjadi salah satu syarat utama seseorang yang ingin
menjadi calon presiden. Dengan kesehatan fisik yang prima, seorang presiden dapat
melakukan pekerjaannya secara efektif tanpa hambatan yang berarti. Namun terdapat
juga pendapat sebagian ulama yang tidak mempedulikan syarat sehat fisik bagi calon
presiden, yakni dikemukakan oleh Ibnu Hazm dan al-Khathtabi. Selanjutnya akan kami
uraikan dengan jelas di bawah ini.
II.I Kelompok yang Mendukung Syarat Sehat Fisik bagi Calon Presiden
Dari beberapa pandangan ulama bidang kepemimpinan dan negara, seperti Ibnu
Taimiyah (1262-1328 M) dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyyah, Imam al-Mawardi
(975-1059 M) dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyhah wa a-Wilayat al-Diniyah, Abu Ya’la
(1059-1131 M) dalam al-Ahkm al-Sulthaniyyah, Imam al-Haramayn (1028-1087 M)
dalam Ghiyath al-Umam fi al-Tiyath al-Zulam, Hasan Isma’il al-Hudaybi (1891-1973
M) dalam kitab Du’at la Qudat, al-Maududi (1903-1979 M) al-Shari’ah wa al-Qanun,
Abu Faris (1940 M) dalam al-Qadi Abu Ya’la al-Farra wa Kitabuh al-Ahkam al-
Sulthaniyyah dan al-Rayyis (1912-1977 M) dalam al-Nazariyat al-Siyasiyyah al-
Islamiyyah didapati bahwa mayoritas ulama fikih berpendapat syarat sehat fisik bagi
calon presiden merupakan salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh calon presiden.
Oleh yang demikian, maka para ulama telah memberikan beberapa persyaratan
antaranya ialah syarat sehat fisik. Maksud sehat fisik menurut para ulama adalah “sehat
panca indera” dan “sempurna anggota badan” dari kecacatan yang kemungkinan dapat
menimbulkan suatu atau banyak dampak terhadap cara berpikir dan bekerja. Selain itu
juga dapat mengakibatkan hilang keupayaan dan kurang kewibawaan menurut
pandangan rakyat.
Ulama lain yang mendukung adanya ketentuan syarat sehat secara fisik adalah
Abdul Wahab Khallaf, ia mengkategorikan syarat sehat fisik sebagai salah satu dari al-
syurūṭ al-muttafāq ‘alayhā atau syarat-syarat yang telah disepakati. Mujar Ibnu Syarif
mengartikan pendapatnya bahwa syarat tersebut harus ada atau harus dipenuhi seorang
calon presiden. Bila syarat yang dimaksud terpenuhi maka pemilihan seseorang sebagai
presiden dapat dipandang sah. Sebaliknya, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka
pemilihannya sebagai presiden dapat dianggap tidak sah.
Selain Imam al-Khallaf, Al-Mawardi juga berpendapat yang sama bahwa sehat
panca indera dan sehat anggota badan merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh calon
presiden. Hal tersebut dibuktikan dengan pengklasifikasiannya terhadap penyakit yang
kemungkinan dapat diderita oleh seseorang yang tidak dapat mengantarkannya menjadi
calon presiden. Adapun pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
1. Penyakit yang penderitanya sama sekali tidak dapat diterima sebagai calon presiden
dikarenakan penyakit tersebut sudah dipastikan dapat mengganggu kelancaran
tugasnya sebagai presiden. Yang masuk dalam kategori ini ada tiga macam
penyakit, yaitu:
Sakit atau cacat mental berupa penyakit gila permanen yang penderitanya sama
sekali sudah tidak lagi memiliki harapan untuk sembuh.
Sakit hilang penglihatan atau mengalami kebutaan total pada kedua bola mata.
Cacat organ tubuh yang dapat mempengaruhi kecekatan dalam bekerja, seperti
hilangnya kedua tangan, atau mengurangi kelincahan bergerak, seperti hilangnya
kedua kaki.
2. Penyakit yang penderitanya masih dapat diterima menjadi calon presiden
dikarenakan penyakit tersebut diyakini tidak akan terlalu mengganggu kelancaran
pelaksanaan tugas seseorang sebagai presiden. Di antara penyakit yang termasuk
dalam kategori ini ada tujuh macam penyakit, yakni:
Penyakit gila temporal yang masih ada harapan untuk sembuh.
Penyakit rabun senja yang mengakibatkan penderitanya tidak dapat melihat
ketika hari sudah mulai senja.
Sakit lemah penglihatan yang penderitanya masih dapat mengenali dengan baik
wajah setiap orang.
Cacat hidung yang berimplikasi pada hilangnya indera pencium, sehingga
penderitanya tidak mampu lagi mencium bau atau aroma sesuatu.
Cacat lidah yang mengakibatkan penderitanya kehilangan indera perasa
sehingga ia tidak mampu lagi membedakan rasa makanan.
Cacat berupa hilangnya organ tubuh yang tidak sampai memengaruhi tugas
seseorang sebagai presiden, seperti terpotongnya alat vital, menderita impotensi
atau kemandulan yang hanya mempengaruhi kemampuan reproduksi tetapi tidak
mengganggu pola pikir dan kecerdasan. Argumentasinya, Nabi Yahya Ibnu
Zakaria yang menderita impotensi tidak terkendala untuk dipilih sebagai Nabi.
Jika orang yang menderita impotensi dapat menjadi Nabi maka menjadi presiden
yang levelnya tidak semulia jabatan seorang Nabi tentu lebih dapat diizinkan.
Cacat ringan berupa terpotongnya kedua belah daun telinga.
Selain kedua jenis penyakit ini, al-Mawardi juga menggolongkan penyakit yang
masih diperdebatkan adalah, yakni kelainan fisik yang tidak mengganggu kecekatan
bekerja dan kelincahan bergerak seperti terpotongnya ujung batang hidung atau
tercukilnya salah satu bola mata (buruk rupa). Pendapat pertama mengenai ini
menyebutkan penderita kelainan fisik semacam itu masih memiliki kesempatan untuk
menjadi calon presiden, karena hal tersebut kurang berdampak serius terhadap
pelaksanaan tugasnya sebagai presiden. Pendapat kedua sebaliknya menyatakan
penderita kelainan fisik seperti itu tidak boleh menjadi calon presiden karena hal
tersebut dapat menyebabkan dirinya menjadi bahan hinaan atau ejekan dan dapat pula
mengurangi wibawanya di hadapan masyarakat, sehingga pada gilirannya nanti ada
kemungkinan masyarakat tidak mau lagi taat kepadanya.
II.II Kelompok yang Tidak Mendukung Syarat Kesehatan Fisik bagi Calon
Presiden
Mengenai ketentuan syarat sehat fisik bagi calon presiden, terdapat ulama yang
tidak mendukung atau menolak adanya ketentuan syarat tersebut, diantaraya adalah
Muhammad Ibn Hazm dan al-Khaththabi.
Menurut Ibn Hazm yang paling urgen adalah seorang presiden yang berakal
sehat. Selama seseorang itu berakal sehat, seseorang yang buta, bisu, tuli, berhidung
tidak sempurna, busung perut, tidak bertangan atau tidak berkaki sekalipun dapat
menjadi presiden. Senada dengan Ibn Hazm, al-Khaththabi menyatakan bahwa memilih
seseorang yang buta untuk menjadi adalah sama sekali tidak dimakruhkan alias tidak
dilarang dalam islam.
II.III Dalil-dalil Quran dan Hadits
Perbedaan pendapat ulama mengenai pembahasan ini tak lepas dari argumentasi
dalil-dalil baik firman Allah maupun sabda Nabi yang oleh kedua kelompok diatas
dijadikan pijakan. Adapun firman Allah dan sabda Nabi saw tersebut, berikut
uraiannya:
Pertama, bagi kelompok yang mendukung syarat sehat fisik bagi calon presiden
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
3. Sedangkan hadis yang dimaksud adalah sabda Nabi Muhammad Saw yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi sebagai berikut:
عن ابي ذر قال قلت يا رسول هللا اال تستعملني قال فضرب بيده علي منكبي ثم قال يا ابا ذر انك ضعيف وانها
)امانة (رواه مسلم
“Dari Abu Dzar berkata saya bertanya kepada Rasulullah “mengapa engkau tidak
minta saya memegang jabatan?” Abu Dzar berkata lagi “lalu Rasulullah menepuk
punggung saya dengan tangannya seraya berkata “Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya
kamu seorang yang lemah padahal jabatan itu sesungguhnya adalah amanat yang
berat untuk ditunaikan”. (HR. Muslim)
Kedua, bagi kelompok yang tidak mendukung syarat sehat fisik bagi calon presiden
“Dari Anas sesungguhnya Nabi (Muhammad Saw) pernah meminta (Abdullāh) Ibn
Ummi Maktum sebagai pengganti beliau dalam memimpin Madinah sebanyak dua
kali”. (H.R. Abu Daud).
Menurut al-Alusi berdasarkan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abd al-Barr,
permintan Nabi kepada Abdullah Ummi Maktum untuk menjadi pelaksana tugas
pemerintahan di Madinah, terutama sebagai imam shalat berjama’ah bukan hanya
terjadi sebanyak dua kali saja tetapi lebih dari itu, yakni sebanyak tiga belas kali.
Riwayat Ibnu Abd al-Barr yang dimaksud adalah riwayat yang tercantum dalam kitab
al-Isabah fii tamyiz al-sahabah karya Ibnu Hajar al-Asqolani yang berbunyi sebagai
berikut :
“Al-Hafizh Ibn Abd al-Barr berkata, “Sekelompok ulama yang menekuni disiplin ilmu
geografi dan sejarah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah meminta Ibn
Ummi Maktum untuk menggantikan tugas beliau sewaktu beliau sedang dinas di luar
sebagai panglima perang sebanyak tiga belas kali. Di antaranya adalah perang al-
Abwa’, perang Buwath, perang Dzu al-’Asyiraha dan ketika beliau keluar menuju
wilayah Juhainah dalam rangka mencari Kurz Ibn Jabir, perang al-Sawiq, perang
Ghathafan, perang Uhud, perang Hamra’ al-Asad, perang Najran, perang Dzatu
Riqa’, dan beliau juga pernah meminta Abdullah Ibn Ummi Maktum untuk
menggantikan beliau sebagai (imam shalat) sewaktu beliau pergi ke medan perang
Badar”.
“Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu”.
Calon presiden yang harus sehat secara fisik dalam ayat 26 surat al-Qashash
yang dikutip di atas, disebut dengan istilah “al-qawiyyul amin” yang mana dalam
gramatika bahasa Arab, lafaz tersebut lebih urgen pada kesehatan fisik. Dan dengan
lafaz al-qawiyy seseorang dinilai secara lahiriyahnya. Contohnya, misalkan ketika kita
menyuruh seseorang untuk bekerja sebagai kuli bangunan, maka yang pertama d
ilihat dari seseorang tersebut yaitu kekuatan fisik yang ia miliki, dan ini selaras
dengan kalimat sebelumya yaitu من استأجرتyang mempunyai arti “dipekerjakan”.
Kemudian lafaz “al-amin” lebih condong pada penilaian bathiniyah atau sikap
seseorang. Maka untuk mengetahui bahwa seseorang memiliki “al-amin” atau tidak,
maka perlu usaha penilaian secara mendalam. Sehingga dalam masalah pekerjaan, yang
lebih dikedepankan adalah “al-qawiyy” dibandingkan dari pada “al-amin”.
2. Dalil yang Tidak Mendukung Syarat Sehat Fisik bagi Calon Presiden
Permintaan Nabi saw kepada seorang buta, Abdullah Ibnu Ummi Maktum, untuk
menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Madinah untuk menjadi pelaksana tugas
pemerintahan di Madinah waktu beliau sedang dinas ke luar, terutama ketika beliau
sedang menjadi panglima perang paling sedikit didasarkan kepada dua pertimbangan.
Pertama, karena dalam perspektif keislaman, sejak zaman Nabi, telah diatur dalam
kitab suci al-Quran tentang bagaimana seharusnya Nabi saw dan kaum Muslimin
memperlakukan secara proporsional seseorang yang punya kekurangan pada
dimensi fisik. Melaluinya, Allah swt mengajarkan kepada kaum muslimin supaya
dapat bersikap egaliter atau non-diskriminatif kepada mereka yang kurang sehat
secara fisik.
Kedua, karena seluruh manusia memiliki kedudukan yang setara di sisi Allah swt
dan yang paling mulia di sisi-Nya pun bukanlah yang paling sehat fisiknya, tetapi
yang paling bertakwa kepada-Nya. Hal ini relevan dengan firman Allah surat al-
Hujurat ayat 13 yang sudah dikutip di atas.
Karena hal itu, Allah memberikan teguran kepada Nabi saw dalam surat Abasa
supaya Nabi saw dapat bersikap egaliter dalam menyampaikan dakwah Islam kepada
semua orang tanpa memandang tinggi maupun rendah status seseorang. Kejadian itu
bermula ketika nabi bersikap acuh tak acuh terhadap Abdullah Ibn Ummi Maktum pada
saat Nabi saw sedang berbincang serius dengan 5 tokoh Quraisy yang jika mereka
memeluk Islam maka akan sangat berpengaruh banyak pengikutnya masuk agama
Islam juga. Di hadapan Nabi saw, ia terus meminta dan memohon agar dibacakan dan
diajarkan apa yang telah Allah ajarkan pada Nabi saw dan ia sama sekali tidak
menghiraukan kesibukan Nabi melayani para tokoh tersebut. Hingga Nabi saw
memintanya untuk segera diam, selanjutnya Nabi pun berpaling dari hadapannya.
Setelah turunya surat Abasa, Nabi kemudian selalu memberi penghormatan yang agung
untuknya seperti selalu menggelar sorbannya sebagai alas duduknya.
Selain sering dikaitkan dengan kisah Abdullah Ibn Ummi Maktum, argumentasi
mengenai kebolehan memilih seseorang yang kurang sehat secara fisik sebagai calon
presiden sering pula dikaitkan dengan Nabi Ayyub a.s yang pernah menderita penyakit
parah. Dengan mengikuti logika al-Mawardi yang telah kita sebutkan di atas, jika Nabi
Ayyub a.s yang menderita penyakit parah saja menjadi Nabi, maka tentu seseorang
yang kurang sehat secara fisik lebih dimungkinkan lagi dipilih sebagai presiden,
mengingat tingkat jabatan seorang presiden jauh berada di bawah tingkat jabatan
seorang Nabiyullah. Begitu kiranya kesimpulan yang dinukil oleh Mujar Ibnu Syarif.
Hal tersebut sejalan dengan Mujar Ibnu Syarif bahwa meskipun setuju pada
pendapat yang mendukung syarat sehat fisik calon presiden, diperlukan peninjauan
ulang terhadap cacat fisik atau penyakit tertentu yang sekalipun diderita seorang calon
presiden dan secara medis dapat digaransi bahwa cacat dan atau penyakit fisik yang
dideritanya itu tidak akan secara serius mengganggu tugas-tugasnya sebagai presiden
nanti. Akan tetapi, bila analisis medis sebaliknya dapat menduga kuat, cacat dan atau
penyakit fisik yang diderita seseorang akan sangat mengganggu tugas-tugasnya bila
nanti terpilih sebagai presiden maka seseorang tersebut sebaiknya didiskualifikasi saja
dari daftar pencalonan presiden.
Dan pada saat ini, terdapat beberapa negara yang mensyaratkan sehat secara
fisik bagi calon presiden, misalnya adalah Tanzania, Somalia, Malaysia, Filipina, dan
negara kita NKRI.