Anda di halaman 1dari 5

Air yang manis, banyak jumlahnya, dan sejuk.

Salah satunya kami sebut dengan buah

palem, bentuk lain dari Zaitun, hingga hari ini, karena itu bukan diantara dua pohon, tetapi

diantara dua air mancur, yang mana Dewi Leto dibebaskan dari anak-anaknya.

(Plutarch (meninggal setelah 119))

Segala jenis variasi Hellenistik dan Latin terkait dengan mitos asli tentang Leto yang

melahirkan Apollo dengan sebuah pohon palem, mencerminkan pengalihan dan adaptasi dari

kelompok yang membentuknya kembali untuk keperluan dan objektivitas mereka sendiri.

Alokasi dari mitos kuno adalah hal biasa di dalam dunia kuno, dan umat Kristen permulaan

tanpa kecuali. Cerita tentang pohom palem yang ditemukan di dalam surah Maryam adalah

reka ulang dari persalinan Leto. Cerita itu adalah tentang wanita hamil yang tertekan

(Leto/Maria) yang mencari tempat persembunyian (Delos/ tempat terpencil), duduk di

sebelah pohon palem di sebelah aliran sungai (Inopos/sebuah anak sungai), dan melahirkan

seorang anak suci (Apollo/Jesus).

Namun demikian tidak mungkin bahwa mitos Leto adalah sumber langsung dari Surah

Maryam. Seperti yang disebutkan di atas, versi ringkas ditemukan di dalam bagian akhir;

Proses Persalinan dan Melahirkan dari Maria. Karena itu kemudian kita boleh menduga bahwa

ada sebuah bagian ketika mitos Leto dipinjam dan diterapkan kepada Maria. Ini dapat

mencerminkan sebuah percobaan dari Umat Kristen, yang boleh jadi mengubah sesembahan

sebelumnya yaitu Leto dan Apollo, mereka memodifikasi cerita dengan menggantikan Leto

dan Apollo dengan Maria dan Yesus. Setelah itu, cerita yang sesuai telah ditambahkan dengan

sebuah keajaiban dari Yesus: Pohon palem menyediakan buah dan air untuk Maria. Memang,

kemungkinan Umat Kristen diantaranya beranggapan bahwa cerita seperti itu telah beredar

diantara komunitas mereka di Najran, di Arab Bagian Barat, yang berdasarkan kepada Ibnu

Ishaq dan Al Tabari, digunakan untuk menyembah sebuah pohon palem sebelum mengubah

kekristenannya. Jika itu masalahnya, lalu penyesuaian mitos Leto terhadap Maria akan dapat

diizinkan kepada mereka untuk menjaga kepercayaan mereka, karena itu adalah samaran

Kristen.
Pelarian Diri Maria dan Yesus

Cerita Al-Qur’an tentang pelarian diri Maria dan Yesus untuk keluar dari dari apa yang

dideskripsikan dalam injil sebagai Pembantaian Orang yang Tidak Berdosa (Matthew 2:13-

18), meninggalkan jejak yang tidak jelas dari tempat mereka melarikan diri (Q. 23:50).

Kami menciptakan anak dari Maria dan ibunya sebagai tanda untuk umat manusia,

dan memberikan mereka sebuah wadah dalam sebuah rebwatin dhati qararin wa-ma’Inin

(sisi bukit yang tenang dan disirami oleh mata air yang segar).

Ayat 23:50 tidak secara spesifik menyebutkan lokasi dari rabwa, dan hanya beberapa

sejarah muslim yang telah menghubungkan bagian ini dengan pelarian ke Mesir. Sebagai

contoh, al-Tabari mengatakan di dalam Tarikhnya bahwa rubwa berlokasi di Mesir, dan

disebutkan dalam Ayat Al-Qur’an sebagai bukti dari sejarah pelarian diri. Hampir mirip

dengan hal tersebut, al Maqrizi (meninggal 845/1442) mengatakan bahwa rubwa berlokasi di

salah satu kota di Mesir yaitu Bahnasa, karena menurutnya, Copts (raja pada masa itu)

mengatakan demikian.

Mayoritas dari sejarah muslim dan penafsir, bagaimanapun, menempatkan rabwa di

Syiria (Bilad as Sham). Muqatil b. Sulayman (meninggal 150/767) menyatakan di dalam

Tafsirnya bahwa rabwa berada di Ghuta, sebuah lahan pertanian yang subur di timur dan

selatan Kota Damaskus. Al Tabari, di dalam komentar Qur’annya, mengutip beberapa tradisi

yang diketahuinya dari sebuah nomor penafsir awal tentang interpretasi dari ayat ini, seakan

bertentangan dengan apa yang ia katakan di dalam Tarikhnya. Berdasarkan perbedaan-

perbedaan tradisi ini, rubwa ditunjukkan berada di daerah Ramla, Jerusalam, atau Damaskus.

Penafsir berikutnya, seperti Al-Tha’labi, al Mawardi (meninggal 450/1058), Ibnu Atiyya al

Andalusi (meninggal 543/1147), dan al Suyuti (meninggal 911/1505), menghasilkan kembali

masing-masing tafsir mereka dengan berbagai pilihan yang salah satunya ditemukan di dalam

Al Tabari. Ibnu Atiyya walaupun menambahkan satu lokasi lagi yaitu Bethlehem, membenarkan

dengan dasar bahwa Yesus lahir di sana, dan al Suyuti menambahkan Alexandria.
Dari dua kandidat paling populer diantara penafsir muslim pertengahan mengatakan

kemungkinan lokasi berada di Ramla dan Damaskus. Pada kasus di Damaskus, terlihat jelas

karena Ghuta nya: Jikalah ada tempat dimanapun di bumi yang dapat dideskripsikan sebagai

dhatiqararin wa ma’in, harusnya tempat itu adalah Damaskus, dengan kesuburannya dan

suburnya Ghuta. Sedangkan untuk Ramla, ia populer diantara beberapa orang terpelajar

karena sebuah hadits, walaupun ia sangat meragukan, dikutip oleh Ibnu Asakir. Ibnu Katsir

(meninggal 774/1373), al-Suyuti, dan lain-lain menyatakan dimana nabi Muhammad pergi

untuk memeriksa seorang teman yang sakit bernama Al-Aqra b Shaffy al Ikki. Al Aqra

khawatir bahwa ia bisa mati karena penyakitnya, dan nabi memastikan kepadanya bahwa dia

tidak akan mati, dan bahwa dia akan tinggal dan pindah ke Syiria dimana dia akan mati di

rubwa yang disebutkan di dalam Qur’an. Al Aqra akhirnya meninggal di Ramla; karena itu

Rabwa harusnya adalah Ramla.

Beberapa penafsir, bagaimanapun keberatan untuk menginterpretasikan bahwa Rabwa

berada di Ramla. Mereka mempertahankan bahwa tempat yang disebutkan di dalam Qur’an

yang memiliki karakteristik sebagai “qurar” dan “ma’in”, tidak seperti Ramla. Al Tabari

memberikan contoh berdasarkan pengalamannya yang tinggal di Ramla untuk waktu yang

singkat sewaktu perjalanannya ke Mesir, mengatakan bahwa Qur’an berbicara tentang sebuah

tempat tinggi yang datar dengan air yang mengalir, dimana tidak bisa dideskripsikan sebagai

Ramla karena kota tersebut tidak memiliki air yang mengalir dimanapun di sekelilingnya. Mesir

juga ditolak sebagai tempat yang disebut sebagai Rubwa oleh Ibnu Atiyya. Baginya, Ghuta

dari Damaskus adalah tempat yang sempurna yang dideskripsikan sebagai dhati qararin wa

ma’in, dan tidak ada cerita yang menyebutkan bahwa Maria dan Yesus pergi ke Mesir.

Tapi, interpretasi paling aneh dari lokasi rabwa tidak diragukan lagi tercantum di

dalam komentar-komentar kaum syi’ah. Sebagai contoh, penafsir kedua syi’ah yang kedua

belas Al Tabrisi mengutip di dalam tafsir tradisionalnya dengan dikaitkan kepada imam syi’ah

Muhammad Al Baqir (meninggal 117/735) dan Ja’far al Sadiq (meninggal 148/765)

mengidentifikasi bahwa rabwa sesuai dengan kota Hira dekat Kufa, Iraq. Al Tabrisi, yang

kenal baik dengan komentar Qur’an sebelumnya, tentu saja diantaranya Tafsir Al Tabari,
menambahkan bahwa “qarar” ditujukan untuk masjid di Kufa dan “ma’in” kepada Sungai

Eufrat. Ibnu Asakir, dimana lokasi yang dia sukai sebagai rubwa adalah di kota tinggalnya

Damaskus, juga menyebutkan lokasi-lokasi lain; salah satunya, yang mana dia kaitkan kepada

Ja’far al Sadiq, mengidentifikasi bahwa rubwa ada di kota Najaf, dekat Kufa. Semua itu

sangat jelas bahwa hubungan rabwa dengan daerah Kufa adalah terkait dengan propaganda

dari Syi’ah tentang ciri khas agama Kufa dan sekitarnya. Setelah itu, Kufa menjadi ibukota

dari Ali, dan di dekatnya adalah kota Najar, dimana dia dikuburkan, dan tempat suci Karbala,

dimana anaknya Husen dibunuh pada tahun 61/680.

Sebuah kasus serupa dapat dibuat untuk mengidentifikasi sisi lain dari rabwa.

Kebanyakan para penafsir, khususnya al Tabari dan Ibnu Asakir, menentukan rantai

periwayatan (isnad) yang melalui setiap laporan dari dugaan informan awal ke mereka. Tradisi

menemukan rabwa di dalam Ramla termasuk informan-informan Syiria, beberapa yang tinggal

di Ramla atau di sekitarnya; yang paling penting dari hal ini adalah bahwa tradisionalis dari

Abu ‘Utba ‘Abbad b. Abbad al Khawwas al Ramli (meninggal 185/801). Tradisi yang

mengidentifikasinya itu dengan Mesir termasuk informan Mesir, seperti tradisionalis

Abdallah b. Lahi’a al Misri (meninggal 174/790) dan al Layth b. Sa’d al Misri (meninggal

175/792). Identifikasi dengan situs suci syi’ah di Iraq termasuk seperti yang dilihat lebih

awal, Informan syi’ah. Karena informan yang menghubungkan rabwa dengan salah satu dari

Jerusalem atau Damaskus tidak selalu memiliki batas afiliasi regional dengan Syiria, karena

merupakan gabungan berdasarkan kesucian kota – dalam kasus Jerusalem – atau Ketenaran

Ghuta (dalam kasus Damaskus). Bahkan hadits-hadits yang ditempa di dalam tempat pertama

untuk mendorong kesucian dari kota di atas lainnya menjadi dasar untuk banyak penafsir dan

ahli sejarah di kemudian hari untuk menetapkan lokasi rabwa. Apa yang kita lihat di sini adalah

kompetisi antara cendekiawan muslim pertengahan untuk mendorong kesucian (fada’il) dari

sebagian wilayah atau kota dengan menghubungkan hal tersebut dengan tokoh-tokoh utama

agama seperti Maria dan Yesus, yang akhirnya menjadi komponen penting bagi persepsi umat

muslim di kemudian hari tentang sejarah tempat itu.


Kecuali Mesir, tradisi tentang lokasi rabwa tidak memiliki dasar sejarah. Khususnya,

tidak dapat dibantah bahwa dahulunya di sana Umat Kristen di Arab yang berlokasi di

Jerusalem, Damaskus, Ramla, Bethlehem, Kufa, atau Najaf, dan pada waktu yang sama

digunakan kitab suci mereka yaitu Injil Lukas atau Diatessaron, Protevangelium James, dan

Injil Pseudo Matthew, yang semuanya secara jelas berhubungan dengan pelarian diri dari

Maria dan Yesus dengan Mesir.

Lebih dimungkinkan bahwa cendekiawan muslim lebih cenderung berkontradiksi

sumber yang berasal dari Umat Kristen, khususnya dengan kepercayaan fanatik yang

diberikan, dipropagandakan di dalam polemik anti Kristen-muslim seperti al Jahiz hujaj al

nubuwwa dan al radd ala al nasara, bahwa umat Kristen marah terhadap naskah injil dan

perubahan pesan dan kehidupan Yesus. Karena itulah, mereka dengan mudah dapat

menyarankan pilihan-pilihan terhadap tradisi Umat Kristen, yang mana tidak akan mengganggu

kredibilitas mereka. Dalam kasus rubwa, pilihan-pilihan terlihat telah didikte terutama oleh

kepentingan daerah – walaupun dalam beberapa kasus mereka terlihat seperti berspekulasi

secara murni. Variasi dari berbgai identifikasi dari lokasi tersebut disesuaikan kepada klaim

regional tertentu, baik itu dari politik maupun agama, antara kota-kota saingan dan wilayah

selama masa islam pertengahan.

Anda mungkin juga menyukai