Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologis Sistem Hematologik

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologis Sistem Hematologik

Sumber: Syaifuddin,(2016:293).

Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat didalam pembuluh

darah yang warnanya merah. Warna merah itu keadaannya tidak tetap

bergantung darah yang banyaknya oksigen dan karbon dioksida didalamnya.

Darah yang banyak mengandung karbon dioksida warnanya merah tua.

Adanya oksigen dalam darah diambil dengan jalan bernapas, dan zat ini sangat

berguna pada peristiwa pembakaran atau metabolisme di dalam tubuh.

Viskositas/kekentalan darah lebih kental dari pada air yang mempunyai BJ

1,041-1,067, temperatur 38 ºC dan pH 7,37-7,45. Darah selamanya beredar

didalam tubuh oleh karena adanya kerja atau pompa jantung. Selama darah
berada didalam pembuluh darah, darah akan tetap encer, tetapi kalau ia

keluar dari pembuluh darah maka ia akan menjadi beku. Pembekuan ini dapat

dicegah dengan jalan mencampurkan ke dalam darah tersebut sedikit demi

sedikit obat anti pembekuan/sitras natrikus, dan keadaan ini sangat berguna

apabila darah tersebut diperlukan untuk transfusi darah.

Pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapart darah sebanyak

kira-kira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4-5 liter. Keadaan jumlah tersebut

pada tiap-tiap orang tidak sama, bergantung pada umur, pekerjaan, keadaan

jantung dan pembuluh darah. Jika darah dilihat begitu saja maka ia merupakan

zat cair yang warnanya merah, tetapi apabila dilihat dibawah mikroskop maka

nyatalah bahwa dalam darah terdapat benda-benda kecil bundar yang disebut

sel-sel darah. Sedangkan cairan berwarna kekuningan disebut plasma

(Syaifuddin,2011:68).Menurut Syaifuddin (2011:68) menerangankan bahwa

darah terdiri dari dua bagian yaitu :

1. Sel-sel darah

a. Eritrosit (Sel darah merah)

Bentuk sel darah merah seperti cakram/bikonkef, tidak mempunyai

inti, ukurannya 0,007mm3, tidak bergerak, banyaknya kira-kira 4,5-5

juta mm3, warnanya kuning kemerah- merahan, sifatnya kental

sehingga dapat berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah yang

dilalui (Syaifuddin, 2011:293).

b. Leukosit (Sel darah putih)

Bentuk dan sifat sel darah putih berbeda dengan eritrosit. Bentuk nya

bening, tidak berwarna, lebih besar dari eritrosit inti sel, banyak antara

6000-9000/mm3 (Syaifuddin, 2011:301).


c. Trombosit (sel pembeku darah)

Pembekuan darah merupakan benda-benda kecil yang bentuk dan

ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong,

warnanya putih. Trombosit bukan berupa sel melainkan berbentuk

keping-kepingan yang merupakan bagian-bagian dari sel besar

(Syaifuddin, 2011:304).

B. Pengertian Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue (arbovirus) yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk

aedes aegypti (Suriadi, 2008:57).

DHF merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang

termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina.

(Alimul, 2011:119).

Demam berdarah dengue atau haemorragic fever adalah penyakit

infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue (albovirus) dan ditukarkan

oleh nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus (Wijayaningsih,

2013:233).

DHF (dengue haemorrhagic fever) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan

atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,

trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma

yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit) atau

penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock


syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok

(Nurarif& Kusuma, 2013:108).

DHF is a severe from of dengue infection that is accompanied by

haemorrhagic diathesis and a tendency to develop fatal shock as consequence

of plasma leakage selectively into pleural and peritoneal cavities (Manson,

2009:757).

Dengue haemorrhagic fever is a severe, potentially deadly infection

spread by some mosquitos. The mosquito Aedes aegypti is the main species

that spreads this disease. With early and aggressive care, most people recover

from dengue haemorrhagic fever. However, half of untreated patients who go

into shock do not survive (Medlineplus, 2015).

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

demam berdarah dengue adalah suatu infeksi virus pada individu atau

seseorang yang disebabkan oleh virus arbovirus dan ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti dan menimbulkan demam tinggi pada individu yang terinfeksi.

C. Etiologi

Virus dengue sejenenis arbovirus, termasuk genus flavivirus, keluarga

flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.

Keempatnya ditemukan diIndonesia dengan DEN-3 serotype terbanyak.

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang

bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat

kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai

terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal didaerah endemis


dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat

serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia

(Suriadi&Yullianni,2006:57).

D. Patofisiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami

keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri

otot, pegal seluruh tubuh, hyperemia ditenggorokan, timbulnya ruam dan

kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti

pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa.

Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan

berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,

hipoprofeinemia, efusi dan renjatan (Shock). Sebagai akibat dari pelepasan zat

anafilatoxin, histamine dan serotonin serta aktivitas sistem kalikrein yang

mengakibatkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.

Peningkatan permeabilitas dinding kapiler juga berakibat pembesaran

kapiler yang kemudian bisa terjadi perdarahan berupa petekie, epitaksis,

haemtemesis dan melena, yang dalam hal ini berisiko terjadinya shock

hipovelmik.

Menurut Wijayaningsih (2013:235) berpendapat bahwa

homokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukan adanya

kebocoran plasma, sehingga nilai hematokrit sangat penting untuk patokan

pemberian cairan intavena.

Menurut Wijayaningsih (2013:235) setelah pemberian cairan

intravena, peningkatan jumlah eritrosit menunjukkan kebocoran plasta telah


teratasi segera, penyakit DHF diuraikan dalam skema penjelasan sebagai

berikut.

E. Manifestasi Klinis

1. Kriteria klinis deferensial.

a. Suhu badan yang tiba-tiba tinggi.

b. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari.

c. Kurva demam menyurupai pelana kuda.

d. Nyeri tekan terutama pada otot dan persendian (Wijayaningsih,

2013:234).

2. Demam berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD

ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi:

a. Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat

bifasik.

b. Manifestasi perdarahan biasanya.

1) Uji tourniquet positif.

2) Petekie, ekimosis, atau purpura.

3) Perdarahan mukosa (epitaksis, perdarahan gusi), saluran cerna,

tempat bekas suntikan.

4) Hematemesis atau melena.

c. Trombositopenia < 100.00/ul.

d. Kebocoran plasma dengan ditandai.

1) Peningkatan nilai hematrokrit >20 % dari nilai baku secara umur

dan jenis kelamin.


2) Penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang

adekuat.

e. Tanda kebocoran plasma seperti : hipoproteinemi, asietas, efusi pleura

(Nurarif & Kusuma, 2013:109).

F. Klasifikasi

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013:108) klasifikasi derajat DBD terbagi

menjadi derajat 1, derajat 2, derajat 3, dan derajat 4, yaitu:

1. Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manisfestasi

perdarahan adalah uji tornoquet positif.

2. Derajat satu disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.

3. 3. Di temukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lembut, tekanan nadi menurun (<20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit

dingin, lembab, dan klien menjadi gelisah.

4. Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

G. Epidemiologi

Penyebaran virus dengue yang semakin luas, Asia menempati urutan

pertama dalam jumlah penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Sementara

itu terhitung sejak tahun 1995 hingga tahun 2013, World Health Organization

(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus demam

berdarah dengue tertinggi di Asia Tenggara (Andarmoyo, 2013). Di Indonesia

pada tahun 2013 dengan jumlah penderita DHF sebanyak 112.511 orang dan 2

jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita, dan di tahun 2014 sebanyak
71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia (Departemen Kesehatan,

2015).

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat

penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641

diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511

orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Departemen

Kesehatan, 2015).

Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016

sebanyak 13.219 orang penderita DBD dengan jumlah kematian 137 orang.

Proporsi penderita terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia ada pada

golongan anak-anak usia 5-14 tahun, mencapai 42,72% dan yang kedua pada

rentang usia 15-44 tahun, mencapai 34,49% (Departemen Kesehatan, 2016).

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kalsel sepanjang

tahun 2013 jumlah klien penderita DBD di Kalimantan Selatan yaitu sebanyak

1080 orang, dimana yang meninggal 11 orang. Pada tahun 2014 jumlah klien

penderita DBD di Kalimantan Selatan sebanyak 767, Pada tahun 2015 jumlah

klien penderita DBD di Kalimantan Selatan sebanyak 3668 dimana yang

meninggal sebanyak 40 orang, Pada tahun 2016 jumlah klien penderita DBD

di Kalimantan Selatan dari bulan Januari hingga bulan April jumlah kasus

penderita DBD telah mencapai 3628 kasus dan yang meninggal 23 orang

(Dinkes Provinsi Kalimantan Selatan, 2016).

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah ; Leukopenia terjadi pada hari ke 2 atau 3, karena berkuarangnya

limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali. Trombositopenia dan

hemokonsentrasi. Uji tourniquet positif merupakan pemeriksaan yang

penting. Masa pembekuan normal tapi masa perdarahan memanjang.

2. Urine ; Mungkin ditemukan albuminuria ringan

3. Sum – sum tulang ; Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian

menjadi hiperseluler pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi.

4. Serologi ; Dengan mengukur titer antibodi dengan cara haemaglutination

inhibition test ( HI Test ) atau dengan uji pengikatan komplemen untuk

mengetahui tipe virus yang mungkin timbul kembali dari 4 serotipe yang

ada.

I. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan untuk kasus DHF adalah:

a. Tirah baring: untuk beristirahat

b. makanan lunak: untuk memenuhi nutrisi

c. Minum 1,5 – 2 liter/24 jam: untuk memenuhi cairan yang hilang

d. Pemberian medikamentosa yang bersifat simtomatis.

e. Antibiotik diberikan apabila terdapat risiko infeksi sekunder.

f. Pemberian cairan intravena (Wijayaningsih, 2013:240).

2. Penatalaksanaan untuk kasus DHF adalah:

a. DHF tanpa rejatan

Pada klien dengan demam tinggi, anoreksia dan sering muntah

menyebabkan klien dehidrasi dan haus, beri klien minum 1,5 sampai

2 liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susu dan bila
mau lebih baik diberikan oralit. Apabila hiperpireksia diberikan obat

anti piretik dan kompres air biasa. Jika terjadi kejang, beri luminal

atau anti konvulsan lainnya. Luminal diberikan dengan dosis anak

umur kurang dari 1 tahun 50 mg/ IM, anak lebih dari 1 tahun 75 mg.

Jika 15 menit kejang belum berhenti luminal diberikan lagi dengan

dosis 3mg / kg BB. Anak diatas satu tahun diberikan 50 mg dan

dibawah satu tahun diberikan 30 mg, dengan memperhatikan adanya

depresi fungsi vital. Infus diberikan pada klien tanpa ranjatan apabila

klien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga

mengancam terjadinya dehidrasi dan hematokrit yang cenderung

meningkat.

b. DHF dengan renjatan

Klien yang mengalami rajatan(syok) harus segera dipasang

infus sebagai pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma.

Cairan yang diberikan biasanya Ringer Laktat. Jika pemberian cairan

tersebut tidak ada respon maka dapat diberikan plasma atau plasma

akspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kg BB.

Pada klien rajatan berat pemberian infus diguyur dengan cara

membuka klem infus tetapi biasanya vena-vena telah kolaps sehingga

kecepatan tetesan tidak mencapai yang diharapkan, maka untuk

mengatasinya dimasukkan cairan secara paksa dengan spuit

dimasukkan cairan sebanyak 200 ml, lalu diguyur.

Tindakan Medis yang bertujuan untuk pengobatan keadaan

dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah.

Jenis minuman yang diajurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu,
serta larutan oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat dipertahankan

maka cairan IV perlu diberikan. Jumlah cairan yang diberikan

tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan

cairan dextrose 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat

asidosis dianjurkan pemberian NaCl 0,9 % +dextrose ¾ bagian

natrium bikarbonat.

Kebutuhan cairan diberikan 200 ml/kg BB, diberikan secepat

mungkin dalam waktu 1-2 jam dan pada jam berikutnya harus sesuai

dengan tanda vital, jadar hematokrit, dan jumlah volume urine. Untuk

menurunkan suhu tubuh menjadi kurang dari 39°C perlu diberikan

anti piretik seperti paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari.

Apabila klien tampak gelisah, dapat diberkan sedative untuk

menenangkan klien seperti kloral hidrat yang diberikan peroral/

perektal dengan dosis 12,5-50 mg/kg BB (tidak melebihi 1 gram).

Pemberian antibiotic yang berguna dalam mencegah infeksi seperti

Kalmoxcilin, Ampisilin, sesuai dengan dosis yang ditemukan.

Terapi O2 2 liter /menit harus diberikan pada semua klien syok.

Tranfusi darah dapat diberikan pada penderita yang mempunyai

keadaan perdarahan nyata, dimaksudkan untuk menaikkan

konsentrasi sel darah merah. Hal yang diperlukan yaitu memantau

tanda-tanda vital yang harus dicatat selama 15 sampai 30 menit atau

lebih sering dan disertai pencatatan jumlah dan frekuensi diuresis

(Nursalam, 2008:159).
BAB III

TINJAUAN TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan klien, sehingga

menjadi alasan klien dibawa ke Rumah Sakit. Adapaun alasan atau

keluhan yang menonjol pada klien dengan DHF untuk datang ke RS

yaitu panas tinggi dan lemah.

c. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan kronologis dari penyakit yang diderita saat ini mulai awal

hingga di bawa ke RS secara lengkap. Pada klien dengan DHF

didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil

dan saat demam kesadaran compos mentis. Turunnya terjadi antara

hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai

batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau

konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan

pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi

perdarahan pada kulit, gusi, melena atau hematemesis.

d. Riwayat penyakit dahulu


Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, seseorang bisa

mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.

e. Riwayat tumbuh kembang, penyakit yang pernah diderita, apakah


pernah dirawat sebelumnya.
f. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam,
apakah ada riwayat penyakit keturunan, kardiovaskuler, metabolik, dan
sebagainya.
g. Riwayat Imunisasi

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF,
keadaan fisik pasien sebagai berikut:
a. Grade I: kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, ada
perdarahan spontan ptekie, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi
lemah, tanda-tanda vital dan nadi lemah.
b. Grade II: kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, ada
perdarahan spontan ptekie, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi
lemah, kecil, dan tidak teratur.
c. Grade III: kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi
lemah dan kecil, dan tidak teratur, serta tensi menurun
d. Grade IV: kesadaran koma, tanda-tanda vital: nadi tidak teraba, tensi
tidak terukur, pernapasan tidak teratur, ekstremitas dingin, berkeringat,
dan kulit tampak biru.
- Sistem pernafasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernafasan dangkal, epistaksis,
pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar
ronchi krakles.
- Sistem persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta
pada grade IV dapat terjadi dengue shock syndrome.
- Sistem kardiovaskuler
Pada grade 1 dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,
trombositopenia, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi
cepat, lemah, hipotensi, sianosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari,
pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
- Sistem pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik,
pembesaran limpa, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesisi, melena.
- Sistem perkemihan
Produksi urin menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan
mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah.
- Sistem integument
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat
positif pada uji tourniquet, terjadi petekie, pada grade III dapat terjadi
perdarahan spontan pada kulit.

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
Pada kasus DHF yang dijadikann pemeriksaan penunjang yaitu
menggunakan darah atau disebut lab serial yang terdiri dari hemoglobin,
PCV, dan trombosit. Pemeriksaan menunjukkan adanya tropositopenia
(100.000 / ml atau kurang) dan hemotoksit sebanyak 20% atau lebih
dibandingkan dengan nilai hematoksit pada masa konvaselen.
a. Hematokrit meningkat > 20 %, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti
pada DHF dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
serologi hemaglutnasi (Brasier dkk 2012).
b. Leukosit menurun pada hari kedua atau ketiga
c. Hemoglobin meningkat lebih dari 20 %
d. Protein rendah
e. Natrium rendah (hiponatremi)
f. SGOT/SGPT bisa meningkat
g. Asidosis metabolic
h. Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
2. Urine
Kadar albumin urine positif (albuminuria) (Vasanwala, 2012) Sumsum
tulang pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi
hiperseluler pada hari ke 5 dengan gangguan maturasi dan pada hari ke 10
sudah kembali normal untuk semua system
3. Foto Thorax
Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.

4. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai dan dijadikan pertimbangan
karena tidak menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat diperiksa
sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura
pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat menentukan
diagnosa penyakit yang mungkin muncul lebih berat misalnya dengan
melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas.
5. Diagnosis Serologis
a. Uji Hemaglutinasi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis, sifatnya
sensitif namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Antibodi HI bertahan dalam tubuh lama sekali
(<48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi
epidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x
lipat dari titer serum akut atau tinggi (>1280) baik pada serum akut
atau konvalesen dianggap sebagai pesumtif (+) atau diduga keras
positif infeksi dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk. 2012).
b. Uji komplemen Fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit
dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
c. Uji Neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue.
Dan biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test
(PNRT) (Vasanwala dkk. 2012)
d. IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negatif maka uji harus diulang. Apabila sakit ke-6 IgM masih negatif
maka dilaporkan sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah
sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi (Vasanwala dkk. 2012)
e. Identifikasi Virus
Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitif dan spesifik terhadap
serotype tertentu, hasil cepat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini
dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari darah,
jaringan tubuh manusia, dan nyamuk (Vasanwala dkk. 2012).

C. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan pasien
dehidrasi dan haus. Pasien diberi banyak minum yaitu 1,5 – 2 liter
dalam 24 jam. Keadaan hiperpireksia diatasi dengan obat antipiretik.
Jika terjadi kejang diberikan antikonvulsan. Luminal diberikan dengan
dosis : anak umur < 12 bulan 50 mg IM, anak umur > 1tahun 75 mg.
Jika kejang lebih dari 15 menit belum berhenti luminal diberikan lagi
dengan dosis 3 mg/kgBB. Infus diberikan pada pasien DHF tanpa
renjatan apabila pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan
minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi dan hematokrit yang
cenderung meningkat .
b. Pasien mengalami syok segera segera dipasang infus sebagai pengganti
cairan hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan biasanya
RL, jika pemberian cairan tersebut tidak ada respon diberikan plasma
atau plasma ekspander banyaknya 20 – 30 mL/kg BB. Pada pasien
dengan renjatan berat pemberian infus harus diguyur. Apabila syok
telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, amplitude nadi sudah cukup
besar, maka tetesan infus dikurangi menjadi 10 mL/kg BB/jam
(Ngastiyah 2005)
c. Cairan (Rekomendasi WHO, 2007)
1) Kristaloid
- Larutan Ringer Laktat (RL) atau Dextrose 5% dalam larutan
Ringer Laktat (D5/RL).
- Larutan Ringer Asetat (RA) atau Dextrose 5% dalam larutan
Ringer Asetat (D5/RA).
- Larutan Nacl 0,9% (Garal Faali + GF) atau Dextrose 5% dalam
larutan Faali (d5/GF).
2) Koloid
Jenis cairan koloid contohnya seperti : Dextran, albumin, Ka-en1B,
Ka-en3A&3B

2. Keperawatan
a. Derajat I
Pasien istirahat, observasi tanda-tanda vital setiap 3 jam, periksa Ht,
Hb dan trombosit tiap 4 jam sekali. Berikan minum 1,5 – 2 liter dalam
24 jam dan kompres hangat.
b. Derajat II
Segera dipasang infus, bila keadaan pasien sangat lemah sering
dipasang pada 2 tempat karena dalam keadaan renjatan walaupun klem
dibuka tetesan infus tetap tidak lancar maka jika 2 tempat akan
membantu memperlancar. Kadang-kadang 1 infus untuk memberikan
plasma darah dan yang lain cairan biasa.
c. Derajat III dan IV
- Penggantian plasma yang keluar dan memberikan cairan elektrolit
(RL) dengan cara diguyur kecepatan 20 ml/kgBB/jam.
- Dibaringkan dengan posisi semi fowler dan diberikan O2.
- Pengawasan tanda – tanda vital dilakukan setiap 15 menit.
- Pemeriksaan Ht, Hb dan Trombosit dilakukan secara periodik.
- Bila pasien muntah bercampur darah perlu diukur untuk tindakan
secepatnya baik obat – obatan maupun darah yang diperlukan.
- Makanan dan minuman dihentikan, bila mengalami perdarahan
gastrointestinal biasanya dipasang NGT untuk membantu
pengeluaran darah dari lambung. NGT bisa dicabut apabila
perdarahan telah berhenti. Jika kesadaran telah membaik sudah boleh
diberikan makanan cair.
D. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kebocoran
plasma darah.
3. Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis (penekanan intra
abdomen)
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan
intravaskuler ke ekstravaskuler.
5. Resiko syok (hipovolemik) perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan
intravaskuler ke ekstravaskuler
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan
yang menurun.
7. Resiko perdarahan

E. Rencana Tindakan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Intervensi


Hasil
1 Hipertermi berhubungan Tujuan : setelah a. monitor suhu tubuh
dengan proses infeksi virus dilakukan tindakan pasien
dengue keperawatan Rasional :
diharapkan masalah mengetahui
hipertermi dapat peningkatan suhu
diatasi tubuh,
Kriteria hasil : memudahkan
- Suhu tubuh antara intervensi
36 – 37°C b. monitor warna dan
- Nadi dan respirasi suhu kulit
dalam rentang c. Rasional :
normal mengetahui
- status hidrasi keadaan umum
adekuat pasien
d. Anjurkan pasien
untuk
menggunakan
pakaian yang tipis
dan mudah
menyerap keringat
Rasional :
Memberikan rasa
nyaman dan
pakaian yang tipis
mudah menyerap
keringat dan tidak
merangsang
peningkatan suhu
tubuh.
e. Observasi intake
dan output, tanda
vital (suhu, nadi,
tekanan darah) tiap
3 jam sekali atau
sesuai indikasi
Rasional :
Mendeteksi dini
kekurangan cairan
serta mengetahui
keseimbangan
cairan dan elektrolit
dalam tubuh. Tanda
vital merupakan
acuan untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien.
f. Kolaborasi :
pemberian cairan
intravena dan
pemberian obat
antipiretik sesuai
program.
Rasional :
Pemberian cairan
sangat penting bagi
pasien anak dengan
suhu tubuh yang
tinggi. Obat
antipiretik untuk
menurunkan panas
tubuh pasien.

2 Defisit volume Cairan Tujuan : Mandiri:


berhubungan dengan Setelah dilakukan ₋ Pantau tanda-tanda
asuhan keperawatan
peningkatan permeabilitas vital tiap 3 jam
pada klien hidrasi
kapiler, hipertermi adekuat. R : Tanda-tanda
vital membantu
Kriteria Hasil : menidentifikasi
- Intake dan output fluktuasi cairan
seimbang intravaskuler
₋ Berikan kompres
- Tekanan darah
hangat
dalam batas
R : Kompres
normal (120/80
hangat akan terjadi
mmHg)
perpindahan
- Tidak ada tanda- konduksi
tanda syok ₋ Pantau intake dan
output, catat
- Akral hangat warna, kepekatan
R : Penurunan
- Capilarry refill <
haluaran urine
3 detik
pekat diduga
dehidrasi
₋ Observasi kulit
kering berlebihan
dan membrane
mukosa turgor
kulit dan pengisian
kapiler.
R : Menunjukan
kehilangan cairan
berlebih atau
dehidrasi

Kolaborasi
- Kolaborasi untuk
pemberian cairan
intravena /
parenteral.
R:Dapat
meningkatkan
jumlah cairan
tubuh, untuk
mencegah
terjadinya
hypovolemic syok.

- Kolaborasi
pemberian anti
emetic,
paracetamol
3 Resiko Syok Hipovolemik Tujuan : Mandiri
berhubungan dengan Setelah dilakukan - Monitor keadaan
perdarahan berlebihan asuhan keperawatan umum klien
kepada klien resiko R: melihat keadaan
syok hipovolemik umum pasien
tidak terjadi - Observasi tanda-
Kriteria hasil: tanda vital
- Tekanan darah R: melihat tanda-
dalam batas tanda syok
normal - Jelaskan pada
pasien dan
keluarga tanda
perdarahan, dan
segera laporkan
jika terjadi
perdarahan
R: Dengan
melibatkan pasien
dan keluarga maka
tanda-tanda
perdarahan dapat
segera diketahui
dan tindakan yang
cepat dan tepat
dapat segera
diberikan.

Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian cairan
intravena
R: Cairan
intravena
diperlukan untuk
mengatasi
kehilangan cairan
tubuh secara hebat
- Kolaborasi
pemeriksaan
HB,PCV,trombo
R: Untuk
mengetahui tingkat
kebocoran
pembuluh darah
yang dialami
pasien dan untuk
acuan melakukan
tindakan lebih
lanjut.
4 Resiko nutrisi kurang dari Tujuan : Mandiri
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan - Kaji riwayat
berhubungan dengan intake asuhan keperawatan nutrisi
nutrisi tidak adekuat kepada klien resiko R/melihat riwayat
kurang nutrisi tidak asupan nutrisi
terjadi - Observasi dan
catat makanan
Kriteria hasil: klien yang masuk
- Tidak ada tanda- R/observasi intake
tanda malnutrisi makanan yang
masuk
- Menunjukkan
- Timbang berat
berat badan yang
badan
seimbang
R: Mengawasi
penurunan BB
- Berikan dan bantu
oral hygiene yang
baik
R: Meningkatkan
nafsu makan dan
masukan peroral
- Hindari makanan
yang dapat
merangsang dan
mengandung gas
R: Menurunkan
distensi dan iritasi
gaster

Kolaborasi
₋ Kolaborasi
pemberian cairan
intravena
₋ Kolaborasi
pemberian
antiemetik
DAFTAR PUSTAKA

Desmawati. 2013. Sistem Hematologi dan Imunologi. Jakarta: Penerbit In Media

Nurarif Huda A & Kusuma Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta:
Mediaction Publishing

Sudoyo. Et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta :
Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai