PENGANTAR
1
teknis rancangan setiap UU diidealkan harus diselesaikan oleh DPR-RI sebagai
lembaga politik mulai dari perancangan sampai kepengesahan materiel (persetujuan
bersama antara DPR dan Pemerintah), bukan dipersiapkan oleh lembaga teknis
pemerintahan eksekutif yang justru lebih banyak menguasai data dan informasi,
tenaga ekspertise, dan dana pendukung, serta lebih memahami kapan suatu UU
diperlukan untuk dijadikan kebijakan resmi dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara.
2
mempertimbangkan terjadinya kecenderungan konvergensi antara sistem ‘common
law’ dengan sistem ‘civil law’ dalam perkembangan praktik di dunia dewasa ini.
Dewasa ini sedang terjadi eksekutivisasi system legislasi di negara-negara ‘civil law’,
dan kecenderungan legislativisasi pembentukan UU dalam praktik di negara-negara
‘common law’. Karena itu, dewasa ini, produksi UU di negara-negara ‘common law’
meningkat tajam melebihi produksi UU di negara-negara ‘civil law’ yang system
hukumnya dapat dikatakan sudah relative stabil dan ajeg. Karena itu, Negara Hukum
Indonesia sudah seharusnya mengurangi ketergantungan pada pembentukan UU
dengan lebih meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas yudisprudensi dalam
aneka penyelesaian masalah-masalah hokum dalam praktik. Bersamaan dengan itu,
timbul pula kecenderungan pengutamaan peran pengawasan oleh parlemen
dibandingkan peran legislasi, sehingga perancangan UU dapat diidealkan agar
dipersiapkan atas inisiatif pemerintah, tetapi peran pengawasan DPR dapat semakin
ditingkatkan dengan efektif, baik pengawasan dalam pembentukan UU (legislative
acts), dan pengawasan terhadap pembentukan peraturan-peraturan pelaksanaan
UU (executive acts), maupun pengawasan terhadap implementasi UU dan
pengawasan pelaksanaan program-program kerja pembangunan yang dibiayai oleh
APBN dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan (executive
actions).
3
Namun, dampak negative dari penyederhanaan demikian akan berakibat
pada banyaknya undang-undang yang tidak terpadu dan terintegrasi, sehingga
semakin memerlukan pemaduan yang bersifat menyeluruh dalam 1 naskah kitab
undang-undang. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Peradilan, Kitab Undang-Undang Hukum Bisnis, Kitab
Undang-Undang Hukum Kekeluargaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pemilu dan
Pemilihan Pejabat Publik, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut kodifikasi. Hal ini
bahkan dapat dilakukan bukan saja terhada pundang-undang, tetapi juga terhadap
pelbagai peraturan perundang-undangan pelaksana di tingkat pusat, sehingga untuk
suatu bidang hokum dapat dibukukan dalam 1 naskah yang terpadu. Hanya saja,
jikalau kodifikasi demikian dilakukan di forum politik DPR, tentu akan makin
menghambat laju produktifitas legislasi. Karena itu, saya usulkan agar kodifikasi
cukup dilakukan oleh Pemerintah dengan tetap diawasi secara formil maupun
materiel oleh DPR sebagaimana mestinya.
4
dilakukan oleh pemerintah saja dengan tetap di bawah pengawasan oleh DPR untuk
memastikan tidak ada norma baru yang dibuat dalam penjelasan UU dan dalam
naskah kodifikasi yang disusun oleh pemerintah. Kodifikasi selama ini dapat
dikatakan merupakan kodifikasi legislatif, yang saya usulkan diubah agar lebih
sederhana menjadi kodifikasi administratif oleh pemerintah dengan tetap di bawah
pengawasan DPR.
5
tentang Perjanjian Kawin dan UU yang terkait dengan permasalahan keluarga
lainnya. Perubahan UU tentang Perkapalan yang menjangkau cakupan materi
undang-undang lain yang meluas di luar substansi pokok undang-undang tentang
perkapalan itu pada mulanya menimbulkan kontroversi yang luas di Kanada, tetapi
akhirnya dapat diterima dan kemudian dikenal dengan istilah ‘omnibus law’, yaitu
undang-undang yang menjangkau banyak materi atau keseluruhan materi undang-
undang lain yang saling berkaitan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Praktik semacam ini tentu tidak lazim di dalam tradisi ‘civil law’ tetapi untuk
seterusnya dipandang baik dan terus dipraktikkan sampai sekarang dengan sebutan
sebagai “Omnibus Law” atau UU Omnibus.
6
digagas antara lain dalam rangka meningkatan kemudahan berusaha di Indonesia
yang sudah beberapa kali dibahas di kantor Kemenko Perekonomian dari periode ke
periode.
Bahkan pada tahun 2018, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN (Badan
Pembinaan Hukum Nasional) Kemenhukham telah pula melaporkan hasil
analisisnya terhadap 271 peraturan perundang-undangan dalam rangka kemudahan
berusaha atau “Ease of Doing Business” (EODB) di Indonesia. Motif memperlakukan
hokum sebagai sarana untuk mendukung kegiatan pembangunan ekonomi nasional
tentu saja bukanlah sesuatu yang salah, tetapi hendaknya hal itu hanya dilihat
sebagai salah satu tujuan saja di antara tujuan lain yang lebih mulia, yaitu untuk
menata dan mereformasi system hukum Indonesia sebagai keseluruhan sesuai
dengan tuntutan perkembangan kebutuhan zaman. Oleh sebab itu, penerapan ide
UU Omnibus (Omnibus Law) itu hendaknya tidak hanya terbatas pada persoalan
perizinan dan kemudahan berusaha saja, melainkan harus pula diipahami sebagai
upaya menyeluruh dan terpadu dalam rangka penataan system hukum dan
perundang-undangan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena
pada dasarnya, semua UU dan produk-produk hokum lainnya selalu ada saja kaitan
materiel di antara satu dengan yang lain yang – mau tidak mau – menyebabkan
ketidakterpaduan yang menyulitkan pelaksanaan dan penerapannya di lapangan.
Banyak sekali contoh yang dapat diuraikan mengenai hubungan saling kait
berkait antar 1 UU dengan UU lainnya itu dalam rangka penataan system hokum
nasional yang bersifat terpadu. Misalnya, UU tentang Pemilu, UU tentang
Penyelenggara Pemilu, UU tentang Pilkada, UU tentang Pilpres yang sekarang
sudah disatukan menjadi UU tentang Penyelenggaraan Pemilu, tetap saja masih
ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan banyak UU lain, seperti UU tentang
Parpol, UU tentang Mahkamah Konstitusi, UU tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan bahkan dengan UU tentang Ormas, dan UU tentang Pemda. Misalnya,
UU tentang Pemerintahan Aceh mengatur hal-hal yang tidak sama dengan
pemerintahan daerah provinsi lain yang diatur menurut UU tentang Pemda. Di
dalamnya juga diatur tentang pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP). Istilah yang dipakai bukan pemilihan umum
tetapi pemilihan independen. Karena itu dalam pelaksanaannya, dibentuklah KIP
(Komisi Independen Pemilihan) sebagai penyelenggara dan Panwaslih (Panitia
7
Pengawas Pemilihan) sebagai pengawas. Istilah yang dipakai bukan KPU dan
Bawaslu dengan jumlah anggotanya yang telah diatur dalam UU tentang
Penyelenggara Pemilu. Namun di lapangan, antara KPU dan KIP, dan antara
Bawaslu dan Panwaslih timbul masalah-masalah teknis yang menyulitkan, karena
tidak terpadunya materi normatif UU Pemilu dan UU tentang Pemerintahan Aceh.
Demikian pula hal-hal yang terkait, misalnya, dengan status Partai Politik
sebagai peserta pemilu yang merupakan subjek hokum perkara perselisihan tentang
hasil pemilu di MK tetapi juga merupakan subjek hokum perkara sengketa
menyangkut proses pemilu di Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
sebagai peradilan banding. Selain itu, partai politik juga merupakan subjek perkara
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi yang juga ada kaitan dengan
organisasi kemasyarakatan (Ormas). Dapat dipersoalkan apakah partai politik jika
dibubarkan, mencakup pula keharusan dilakukannya pembubaran semua ormas-
ormas yang menjadi ‘underbouw’nya atau tidak. Atau sebaliknya jika suatu
organisasi berstatus sebagai ormas, tetapi tujuan dan program kegiatannya murni di
bidang politik sebagaimana partai politik, seperti misalnya organisasi Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Apakah organisasi seperti ini tidak sebaiknya dipahami dan
diperlakukan saja sebagai partai politik, dan ikut juga diatur dalam 1 kesatuan UU
dengan UU yang mengatur tentang partai politik, karena materinya saling kait berkait
satu sama lain.
Semua ini dapat diatur secara terpadu dengan pendekatan “Omnibus Law”
atau UU Omnibus, sehingga harmonisasi dapat dilakukan secara efektif dalam satu
undang-undang yang bersifat menyeluruh dan mencakup, setidaknya dalam konteks
yang bersifat saling terkait satu sama lain untuk memudahkan penerapannya di
lapangan. Sejalan dan bahkan bersamaan dengan itu, semua UU yang ada yang
bersifat saling kait berkait itu dapat pula dikodifikasikan secara administrative
menjadi satu kesatuan Kitab Undang-Undang Hukum Pemilihan Umum.
Salah satu contoh yang perlu diproses dalam waktu dekat ialah UU yang
akan dijadikan dasar hokum keabsahan proses pemindahan ibukota negara dari DKI
Jakarta ke Penajam Kalimantan Timur yang juga sudah disampaikan secara resmi
oleh Presiden dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 16 Agustus 2019 yang
8
lalu. UU ini dapat dijadikan salah satu contoh tentang penerapan ide Omnibus Law
(UU Omnibus). Bahkan, RUU ini dapat pula dijadikan pilot proyek yang
diprioritaskan, bahkan lebih mudah untuk didahulukan dari dua RUU yang
disebutkan oleh Presiden dalam Pidatonya tanggal 20 Oktober 2019. Ada banyak
undang-undang yang terkait dengan proses pemindahan ibukota negara dari DKI
Jakarta ke Penajam Kalimantan Timur. Semua UU yang mengatur pasal yang
secara eksplisit menyebut kata ibukota negara harus diaudit dan dijadikan bahan
pertimbangan mengenai perlu tidaknya ikut dipindahkan ke Penajam atau tidak.
Jumlahnya tidak kurang dari 30 UU yang mengatur tentang pelbagai lembaga dan
komisi negara yang menyebut kata ibukota negara ini yang jika tidak diubah niscaya
semuanya harus ikut dipindahkan ke Penajam.
9
dan DPD sebagaimana mestinya. Pemindahan ibukota perlu diatur dengan UU yang
khusus untuk itu, sehingga dimulainya langkah-langkah konstitusional untuk itu
memerlukan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR-RI dalam bentuk UU
sebagaimana mestinya.
Pertanyaan lainnya yang juga mesti jelas terjawab adalah apakah semua
lembaga negara dan pemerintahan serta komisi-komisi negara yang menurut UU
ditentukan berkedudukan di ibukota negara akan atau harus ikut dipindahkan semua
atau cukup dibatasi hanya pusat-pusat pemerintahan dan lembaga-lembaga negara
tertentu saja. Prioritas pertama yang harus dipindahkan tentunya adalah Istana
Presiden dan Wakil Presiden, kantor-kantor kementerian negara, kantor MPR, DPR,
dan DPD, Mabes POLRI. Prioritas kedua ditambah dengan kantor BPK, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan
lain-lain komisi negara di bidang perekonomian. Prioritas ketiga ditambah dengan
lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial, Kejaksaan Agung, KPK, LPSK, Komnasham, Komnas Perempuan,
Komnas Anak, dan lain sebagainya. Pilihan-pilihan ini harus ditentukan tanpa
generalisasi, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan dan pertimbangan-
pertimbangan filosofis, sosiologis, dan politis lainnya. Karena itu, semua UU terkait
harus turut dibahas di DPR mengenai keharusannya untuk ikut diubah atau tidak
diubah oleh 1 UU baru, yaitu UU tentang Ibukota Negara. Karena itu, saya sarankan
RUU tentang Ibukota Negara ini dapat juga dijadikan pilot proyek yang didahulukan
dalam rangka penerapan kebijakan omnibus law yang diharapkan oleh Presiden
Joko Widodo.
10
menjadi lampiran UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
tersebut. Pedoman yang menjadi lampiran UU hanya bersifat memandu dan tidak
perlu dipahami bersifat kaku. Pedoman itu disusun hanya berdasarkan praktik yang
dilakukan selama ini, sehingga format dan proses perancangannya mengikuti
kebiasaan yang ada itu, yang dapat saja diterobos, sehingga terbentuk konvensi dan
kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional convention and constitutional
habbit) sebagai dasar hokum setara dengan undang-undang untuk praktik-praktik
berikutnya.
Yang dapat dikatakan pasti memerlukan perubahan atau revisi lebih dulu atas
UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah jika gagasan
kodifikasi administrative hendak diterapkan, setidaknya harus dipastikan lebih dulu
bahwa Pedoman Pembentukan UU yang menjadi lampiran UU tidak menentukan
status Penjelasan UU sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU. Jika
pengertian yang demikian ditiadakan, maka dengan sendirinya kebijakan kodifikasi
administrative tersebut di atas juga dapat segera direalisasikan, sehingga dapat
lebih meningkatkan secara efektif produktifitas legislasi DPR-RI di masa mendatang.
11
Lembaran Negara (TLN) yang dulunya adalah Bijblad, bukan Staatsblad. Lucunya
dalam praktik pencetakan kumpulan UU oleh Pemerintah Indonesia sampai
sekarang, tetap dibedakan antara cetakan buku Lembaran Negara berwarna merah,
sedangkan buku Tambahan Lembaran Negara dicetak dengan warna biru. Padahal
sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, setiap perancangan, pembahasan, dan
pengesahan RUU semuanya ditetapkan sebagai satu kesatuan naskah oleh DPR-
RI, tetapi aneh dan lucunya pencetakannya dalam anggaran proyek selalu
dibedakan dan dipisahkan menjadi 2 buku, yaitu buku merah untuk naskah undang-
undang dan buku biru untuk penjelasan UU. Dengan demikian, jika kebijakan
kodifikasi diubah dari kodifikasi legislative menjadi kodifikasi eksekutif atau
administratif, maka hal itu dapat dikatakan hanya menghidupkan kembali praktik
aslinya di masa lalu, yaitu bahwa kodifikasi dan penyusunan naskah Penjelasan UU
dilakukan sebagai kewenangan Pemerintah.
12
dan lembaga quasi peradilan yang jumlahnya juga sangat banyak di seluruh
Indonesia, maka informasi hukum Indonesia sangat rumit dan kompleks untuk
diharapkan bersifat terpadu dan terintegrasikan dalam satu kesatuan sistem Negara
Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Misalnya selama 1 tahun 2009 saja, jumlah produk regulasi tingkat pusat,
mulai dari UU dan peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh lembaga negara dan
pemerintahan atau pejabat tingkat Menteri tercatat sebanyak 862 peraturan yang
dimuat dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara atau Berita Negara.
Sekarang jumlah pemerintahan daerah provinsi sebanyak 34 provinsi, 415
pemerintahan daerah kabupaten, dan 93 kota yang masing-masing memproduksi
Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan Peraturan Daerah
Kota atau yang disebut dengan istilah lain, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati,
dan Peraturan Walikkota setiap tahun. Belum lagi putusan-putusan peradilan, dan
keputusan-keputusan tata usaha negara di seluruh Indonesia yang semuanya
merupakan produk hukum yang menyangkut hak dan kewajiban para subjek dalam
lalu lintas hukum, jumlahnya sangat banyak yang menyebabkan Indonesia tergolong
sebagai masyarakat yang terlalu banyak diatur (super or hyper regulated society),
apalagi jika dihitung sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan sekarang, sesudah
74 tahun Indonesia merdeka.
13
hendaknya para auditor hukum (legal auditor) lebih dulu melaksanakan tugasnya
untuk mengaudit, mengevaluasi, dan mengadakan analisis hukum yang dibutuhkan
untuk dengan spirit Ketuhanan Yang Maha Esa mengawal kebebasan, menjaga
solidaritas kebangsaan, meningkatkan kesejahteraan umum, dan mewujudkan
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya telah berkali-kali menyarankan
agar Kemenhukham, Kemeninfo, dan Bappenas dapat bekerjasama
mengembangkan system aplikasi elektronik hokum ini.
Dengan adanya system aplikasi elektronik dimaksud, setiap aturan yang ada
mengenai subjek apapun juga dapat dengan mudah ditelusuri untuk dievaluasi dan
dianalisis dengan seksama sehingga dapat merekomendasikan kebijakan baru apa
dan bagaimana untuk pembangunan dan penataan hukum yang lebih harmonis dan
terpadu. Misalnya, jika materi yang hendak diatur berkaitan dengan urusan
pertanahan, maka system aplikasi itu dapat dengan mudah membantu penelusuran
atas semua produk hukum yang ada, baik secara vertical, horizontal, dan diagonal
maupun lintas cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berkaitan
dengan pengaturan persoalan tanah dan pertanahan, sehingga dengan mudah dan
cepat dapat mengetahui peta norma aturan ada dan mengusulkan kebijakan hokum
baru yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan hokum nasional.
14