Anda di halaman 1dari 43

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kepada Allah SWT, atau


limpahan rahmat dan hidayah –Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
yang berjudul“ Metode Pembelajaran SCL Study Kasus, Problem Base Learning,
Discovery Learning dan Self Directed Learning ”

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapa tmemperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
kami.

Bangkinang, 02 November 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1

BAB I ...................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN .................................................................................................. 3

A. Latar Belakang ............................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

C. Tujuan .......................................................................................................... 4

BAB II ..................................................................................................................... 5

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5

2.1 STUDY KASUS .......................................................................................... 5

2.2 PROBLEM BASED LEARNING ............................................................. 14

2.3 DISCOVERY LEARNING ....................................................................... 25

2.4 SELF DIRECTED LEARNING ................................................................ 34

BAB III ................................................................................................................. 42

PENUTUP ............................................................................................................. 42

A. Kesimpulan ................................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi kasus (case studi) merupakan penelitian tentang suatu
“kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa,
atau sekelompok individu yang terkait dengan tempat, waktu atau ikatan
tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk mengumpul
data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut.
Kasus tersebut sama sekali tidak mewakili populasi dan atau bukan sebuah
kesimpulan dari populasi.
Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris
Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan
masalah itu peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat
menyelesaikannya.
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang
mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang
belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau
seluruhnya ditemukan sendiri.
Self directed learning (SDL) didefenisikan sebagai satu proses
dimana individu berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan dari orang
lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sediri, merumuskan tujuan
belajar, mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakan, memilih
dan menerapkan strategi belajar dan mengevaluasi hasil belajarnya
(Sumarmo, 2004)

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan study kasus?
2. Apa yang dimaksud dengan problem base learning (PBL)?
3. Apa yang dimaksud dengan discovery learning?
4. Apa yang dimaksud dengan self directed learning?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi study kasus
2. Untuk mengetahui defenisi problem base learning (PBL)
3. Untuk mengetahui defenisi discovery leraning
4. Untuk mengetahui defenisi self directed learning

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 STUDY KASUS


Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian
secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat
penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Surachmad (1982)
membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Sementara
Yin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan
pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelaskan bahwa dalam
studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara
mendalam. Para peneliti berusaha menemukan sernua variabel yang penting.
Studi kasus (case studi) merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan
sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau
sekelompok individu yang terkait dengan tempat, waktu atau ikatan tertentu.
Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk mengumpul data,
mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus
tersebut sama sekali tidak mewakili populasi dan atau bukan sebuah
kesimpulan dari populasi.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus
meliputi : (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan
dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu
totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud
untuk memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.

1. Karakteristik studi kasus


Berdasarkan pendapat Yin (2003, 2009); Van Wynsberghe dan
Khan (2007); dan Creswell (2003, 2007) secara lebih terperinci,
karakteristik penelitian studi kasus dapat dijelaskan sebagai berikut :

5
a. Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus
Keunikan penelitian studi kasus adalah pada adanya cara pandang
terhadap obyek penelitiannya sebagai ’kasus’. Bahkan, secara khusus,
Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah suatu
pilihan metoda penelitian, tetapi bagaimana memilih kasus sebagai
obyek atau target penelitian. Pernyataan ini menekankan bahwa
peneliti studi kasus harus memahami bagaimana menempatkan obyek
atau target penelitiannya sebagai kasus di dalam penelitiannya.
Kasus itu sendiri adalah sesuatu yang dipandang sebagai suatu
sistem kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi oleh kerangka
konteks tertentu (Creswell, 2007). Sebuah kasus adalah isu atau
masalah yang harus dipelajari, yang akan mengungkapkan
pemahaman mendalam tentang kasus tersebut, sebagai suatu kesatuan
sistem yang dibatasi, yang melibatkan pemahaman sebuah peristiwa,
aktivitas, proses, atau satu atau lebih individu. Melalui penelitian studi
kasus, kasus yang diteliti dapat dijelaskan secara terperinci dan
komprehensif, menyangkut tidak hanya penjelasan tentang
karakteristiknya, tetapi juga bagaimana dan mengapa karakteristik dari
kasus tersebut dapat terbentuk.

b. Memandang kasus sebagai fenomena yang bersifat kontemporer\


Bersifat kontemporer, berarti kasus tersebut sedang atau telah
selesai terjadi, tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan
pada saat penelitian dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan
perbedaan dengan fenomena yang biasa terjadi. Dengan kata lain,
sebagai bounded system (sistem yang dibatasi), penelitian studi kasus
dibatasi dan hanya difokuskan pada hal-hal yang berada dalam batas
tersebut. Pembatasan dapat berupa waktu maupun ruang yang terkait
dengan kasus tersebut.

6
c. Dilakukan pada kondisi kehidupan sebenarnya
Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya,
pelaksanaan penelitian studi kasus menggunakan pendekatan
penelitian naturalistik. Dengan kata lain, penelitian studi kasus
menggunakan salah satu karakteristik pendekatan penelitian kualitatif,
yaitu meneliti obyek pada kondisi yang terkait dengan kontekstualnya.
Dengan kata lain, penelitian studi kasus meneliti kehidupan nyata,
yang dipandang sebagai kasus. Kehidupan nyata itu sendiri adalah
suatu kondisi kehidupan yang terdapat pada lingkungan hidup manusia
baik sebagai individu maupun anggota kelompok yang sebenarnya.
Penelitian studi kasus mengkaji semua hal yang terdapat
disekeliling obyek yang diteliti, baik yang terkait langsung, tidak
langsung maupun sama sakali tidak terkait dengan obyek yang diteliti
dan berupaya mengungkapkan serta menjelaskan segala sesuatu yang
berkaitan dengan obyek yang ditelitinya pada kondisi yang sebenarnya,
baik kebaikannya, keburukannya, keberhasilannya, maupun
kegagalannya secara apa adanya. Sifat yang demikian menyebabkan
munculnya pandangan bahwa penelitian studi kasus sangat tepat untuk
menjelaskan suatu kondisi alamiah yang kompleks.

d. Menggunakan berbagai sumber data


Seperti halnya strategi dan metoda penelitian kualitatif yang lain,
penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data. Seperti
telah dijelaskan pada bagian karakteristik penelitian kualitatif,
pengggunaan berbagai sumber data dimaksudkan untuk mendapatkan
data yang terperinci dan komprehensif yang menyangkut obyek yang
diteliti. untuk mencapai validitas dan realibilitas penelitian. Dengan
berbagai sumber data tersebut, peneliti dapat meyakinkan kebenaran
dan keakuratan data.
Adapun bentuk-bentuk data tersebut dapat berupa catatan hasil
wawancara, pengamatan lapangan, pengamatan artefak dan dokumen.

7
Catatan wawancara merupakan hasil yang diperoleh dari proses
wawancara, baik berupa wawancara mendalam terhadap satu orang
informan maupun terhadap kelompok orang dalam suatu diskusi.
Sedangkan catatan lapangan dan artefak merupakan hasil dari
pengamatan atau obervasi lapangan. Catatan dokumen merupakan
hasil pengumpulan berbagai dokumen yang dapat berupa data
sekunder, seperti buku laporan, dokumentasi foto dan video.

e. Menggunakan teori sebagai acuan penelitian


Pada penelitian studi kasus, teori digunakan baik untuk
menentukan arah, konteks, maupun posisi hasil penelitian. Kajian teori
dapat dilakukan dibagian depan, tengah dan belakang proses
penelitian. Pada bagian depan, teori digunakan untuk membangun
arahan dan pedoman di dalam menjalankan kegiatan penelitian. Secara
khusus, pada bagian ini, teori dapat dipergunakan untuk membangun
hipotesis, seperti halnya yang dilakukan pada paradigma deduktif atau
positivistik (VanWynsberghe dan Khan, 2007; Eckstein, 2002; Lincoln
dan Guba, 2000). Pada bagian tengah, teori dipergunakan untuk
menentukan posisi temuan-temuan penelitian terhadap teori yang ada
dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007). Sedangkan pada bagian
belakang, teori dipergunakan untuk menentukan posisi hasil
keseluruhan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang
(Creswell, 2003, 2007).
Melalui pemanfaatan teori tersebut, peneliti studi kasus dapat
membangun teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang
ditelitinya. Kesimpulan konseptual dan teoritis yang dibangun melalui
penelitian studi kasus dapat lebih bersifat alamiah, karena sifat dari
kasus yang alamiah tersebut.

8
2. Jenis-jenis Studi Kasus
Stake (2005) membagi penelitian studi kasus berdasarkan
karakteristik dan fungsi kasus di dalam penelitian. Stake sangat yakin
bahwa kasus bukanlah sekedar obyek biasa, tetapi kasus diteliti karena
karakteristiknya yang khas. Hal ini sesuai dengan penjelasannya yang
menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sekedar metoda
penelitian, tetapi adalah tentang bagaimana memilih kasus yang tepat
untuk diteliti.
Berdasarkan hal tersebut, Stake (2005) membagi penelitian studi
kasus menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
a. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan maksud untuk yang
pertama kali dan terakhir kali meneliti tentang suatu kasus yang
khusus. Hal ini dilakukan tidak dengan maksud untuk menempatkan
kasus tersebut mewakili dari kasus lain, tetapi lebih kepada
kekhususan dan keunikannya. Pada awalnya, penelitiannya mungkin
tidak bermaksud untuk membangun teori dari penelitiannya, tetapi
kelak mungkin ia akan dapat membangun teori apabila kasus tersebut
memang menjadi satu-satunya di dunia. Pada umumnya, para peneliti
studi kasus mendalam ini bermaksud untuk meneliti atau menggali hal-
hal yang mendasar yang berada dibalik kasus tersebut.

b. Penelitian studi kasus instrumental


Penelitian studi kasus intrumental (instrumental case study) adalah
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan meneliti kasus untuk
memberikan pemahaman mendalam atau menjelaskan kembali suatu
proses generalisasi. Dengan kata lain, kasus diposisikan sebagai sarana
(instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang mendalam dan
pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan.
Melalui kasus yang ditelitinya, peneliti bermaksud untuk menunjukkan

9
adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus
tersebut, yang berbeda dari penjelasan yang diperoleh dari obyek-
obyek lainnya.

c. Penelitian studi kasus jamak


Penelitian studi kasus jamak (collective or mutiple case study)
adalah penelitian studi kasus yang menggunakan jumlah kasus yang
banyak. Penelitian studi kasus ini adalah pengembangan dari penelitian
studi kasus instrumental, dengan menggunakan kasus yang banyak.
Asumsi dari penggunaan kasus yang banyak adalah bahwa kasus-kasus
yang digunakan di dalam penelitian studi kasus jamak mungkin secara
individual tidak dapat menggambarkan karakteristik umumnya.
Masing-masing kasus mungkin menunjukkan sesuatu yang sama atau
berbeda-beda. Tetapi apabila dikaji secara bersama-sama atau secara
kolektif, dapat menjelaskan adanya benang merah di antara mereka,
untuk menjelaskan karakteristik umumnya.
Kasus-kasus di dalam penelitian studi kasus jamak dipilih karena
dipandang bahwa dengan memahami mereka secara kolektif, dapat
meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu, dan bahkan dapat
memperbaiki suatu teori dengan menunjukkan fakta dan bukti yang
lebih banyak. Stake (2005) menunjukkan contoh-contoh penelitian
studi kasus kolektif adalah dengan menunjuk pada buku-buku
kumpulan dari artikel-artikel yang membahas suatu isu yang sama.

Secara umum studi kasus dapat dibagi menjadi :


1. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada
perhatian organisasi tertentu dan dalam kurun waktu tertentu,
dengan rnenelusuri perkembangan organisasinya. Studi ini sering
kurang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya
kurang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.

10
2. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan
datanya melalui observasi peran-serta atau pelibatan (participant
observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi
tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya
antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu
kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
3. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu
orang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan
kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hidup biasanya
mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir
hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan
topik tertentu lainnya.
4. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus
kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu
lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas),
bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus
organisasi dan studi kasus observasi.
5. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba
menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu.
Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka
haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait,
mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala
sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
6. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada
unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang
kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada
anak-anak yang sedang belajar menggambar.

3. Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus


a. Pemilihan kasus : dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara
bertujuan (purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih

11
oleh peneliti dengan menjadikan objek orang, lingkungan, program,
proses, dan masvarakat atau unit sosial. Ukuran dan kompleksitas
objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga dapat diselesaikan
dengan batas waktu dan sumber-sumber yang tersedia;
b. Pengumpulan data : terdapat beberapa teknik dalam pengumpulan data,
tetapi yang lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi,
wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrumen
penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan
masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data
yang berbeda secara serentak;
c. Analisis data : setelah data terkumpul peneliti dapat mulai
mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-
unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi
hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum
data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau
dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di
lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data
terkumpul atau setelah selesai dan lapangan;
d. Perbaikan (refinement) : meskipun semua data telah terkumpul, dalam
pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan penvempurnaan atau
penguatan (reinforcement) data baru terhadap yang telah ditemukan.
Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke
lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak
bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada;
e. Penulisan laporan : laporan hendaknya ditulis secara komunikatif,
rnudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial
secara jelas, sehingga rnernudahkan pembaca untuk memahami
seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa
pembaca kedalam situasi kasus kehidupan seseorang atau kelompok.

12
4. Kelebihan dan Kekurangan
1) Kelebihan Studi Kasus
a. Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan
hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi
yang lain. Studi kasus mampu mengungkap makna di balik
fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b. Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga
memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang
berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak
dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif yang sangat ketat.

2) Kelemahan Studi Kasus


Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari
segi validitas, realiabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang
sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang
digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang bertujuan untuk mencari
generalisasi.

5. Contoh Studi Kasus


Seorang dokter atau psikolog melakukan penelitian untuk
mengetahui mengapa remaja yang terlibat penyalahgunaan narkoba
banyak dialami oleh anak bungsu. Dalam penelitian ini yang diteliti hanya
satu subjek yaitu penyalahgunaan narkoba oleh anak bungsu, tapi
penelitian dilakukan lebih mendalam berfokus pada karakteristik dari anak
bungsu. Faktor yang diteliti misalnya latar belakang keluarga, lingkungan
sosial, sifat khusus anak bungsu dan perlakuan dalam keluarga.
Penelitian yang dilakukan terhadap sebuah perguruan tinggi yang
tadinya mahasiswanya banyak, namun setelah seiring penggantian
pimpinan, terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang bisa berakibat
ditutupnya perguruan tinggi tersebut.

13
2.2 PROBLEM BASED LEARNING
(Problem-Based Learning) adalah suatu pembelajaran yang di awali
dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah. Problem based Learning
atau dalam Bahasa Indonesia adalah Pembelajaran Berbasis Masalah yang
berarti suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan
suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu peserta didik
memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya.
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning/PBL)
adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan
pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan
(bersangkut-paut) bagi peserta didik, dan memungkinkan peserta didik
memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik (nyata).
Bern dan Erickson (2001:5) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis
masalah merupakan strategi pembelajaran siswa dalam memecahkan masalah
dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai
disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan dan menyatukan informasi,
mempresentasikan penemuan.
Pembelajaran berbasis masalah melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar
mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan
karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini.
Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja
kelompok antar peserta didik. peserta didik menyelidiki sendiri, menemukan
permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya dibawah petunjuk
fasilitator (guru).
Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada peserta didik untuk
mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan.
Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada peserta didik
untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk
membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru

14
sementara pada pembelajaran tradisional, peserta didik lebih diperlakukan
sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang
guru.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran
inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik.
PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga
peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan
masalah.
Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan
pendekatan pembelajaran berbasis masalah perlu dirancang dengan baik mulai
dari penyiapan masalah yang yang sesuai dengan kurikulum yang akan
dikembangkan di kelas, memunculkan masalah dari peserta didik, peralatan
yang mungkin diperlukan, dan penilaian yang digunakan. Pengajar yang
menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman
mengelola di kelasnya, melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal
yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan
yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini
membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam
benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan
sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar
maupun kompleks.

a. Karakteristik Problem Based Learning


Karakterisktik pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran menjadi strating point
2. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia
3. Permasalahan membutuhkan persepektif ganda (multiple perspective),

15
4. Permasalahan akan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa,
sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhakn identifikasi
kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar,
5. Permasalahan akan mengembangan ketrampilan inquiry dan
pemecahan masalah sehingga solusi dari masalah tersebut dapat
diketahui.

b. Ciri-ciri Problem Based Learning


Ciri-ciri utama Problem-Based Learning adalah sebagai berikut :
1. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran. Maksudnya adalah dalam pembelajaran ini tidak hanya
mengharapkan peserta didik mendengarkan, mencatat, kemudian
menghafal materi pelajaran, tetapi melalui strategi pembelajaran
berbasis masalah ini peserta didik harus aktif berpikir, berkomunikasi,
mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkannya.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah.
Strategi pembelajaran berbasis masalah mempunyai kata kunci
“masalah”. Artinya, tanpa masalah tidak mungkin ada proses
pembelajaran.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
berpikir secara ilmiah. Berpikir disini sama halnya dengan
menggunakan metode ilmiah, yaitu proses berpikir deduktif dan
induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris,
sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan
tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah
didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

c. Tujuan Problem Based Learning


Tujuan Problem Based Learning adalah :
1. Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan
keterampilan pemecahan masalah.

16
2. Menjadikan siswa berusaha berpikir kritis dan mampu
mengembangkan kemampuan analisisnya serta menjadi pembelajar
yang mandiri.
3. Memberikan dorongan kepada peserta didik untuk tidak hanya sekedar
berpikir sesuai yang bersifat konkret tetapi lebih dari itu berpikir
terhadap ide-ide yang abstrak dan kompleks.

d. Unsur-unsur Problem Based Learning


Unsur-unsur yang mendasari Problem Based Learning adalah :
1. Integrated Learning. Pembelajaran yang mengintegrasikan seluruh
bidang pelajaran dengan bersifat menyeluruh serta melibatkan aspek-
aspek perkembangan anak.
2. Contextual Learning, yaitu anak belajar sesuatu yang nyata, terjadi,
dan dialami dalam kehidupannya. Sehingga, anak merasakan langsung
manfaat belajar.
3. Constructivist Learning, yaitu anak membangun pemikirannya melalui
pengalaman langsung (hand on experience).
4. Active Learning, yaitu anak sebagai subyek belajar yang aktif
menentukan, melakukan dan mengevaluasi.
5. Learning Interesting, yaitu bahwa pembelajaran lebih menarik dan
menyenangkan bagi anak karena anak terlibat langsung dalam
menentukan masalah.

e. Teori Belajar yang mendukung Problem Based Learning


Teori belajar yang mendukung Problem Based Learning adalah :
1. Teori Belajar Bermakna dari David Ausubel
Ausubel (Rusman,2010) membedakan antara belajar bermakna
(meaningfull learning) dengan belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki
seseorang yang sedang belajar. Belajar menghafal diperlukan bila

17
seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama
sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya. Kaitannya
dengan Problem Based Learning dalam hal mengaitkan informasi baru
dengan stuktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.

2. Teori Belajar Vigostsky


Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan
dengan pengalaman baru dan menentang serta ketika berusaha untuk
memecahkan masalah yang berikan. Dalam upaya menempatkan
pemahaman, individu berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya kemuadian membangun
pengetahuan baru. Rusman (2006:244) Vigostsky meyakini bahwa
interaksi sosial dengan teman lain memacuh terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual siswa. Kaitannya dengan
Problem Based Learning dalam hal mengaitkan informasi baru dengan
stuktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui kegiatan belajar
dalam interaksi sosial dengan teman lain.

3. Teori belajar jerome S. Brunner


Metode penemuan merupakan metode dimana siswa menemukan
kembali, bukan menemukan yang sama sekali yang benar-benar baru.
Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif
oleh manusia dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih kuat,
berusaha sendiri memberikan hasil yang lebih baik, berusaha sendiri
mencari pemecahan masalah serta disukung oleh pengetahuan yang
menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna.

f. Konsep dasar Problem Based Learning


Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang
menekankan pada proses penyelesaian masalah. Dalam implementasi

18
model pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih bahan pelajaran
yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Model pembelajaran
berbasis masalah ini dapat diterapkan dalam kelas jika :
1. Guru bertujuan agar peserta didik tidak hanya mengetahui dan hafal
materi pelajaran saja, tetapi juga mengerti dan memahaminya.
2. Guru mengiginkan agar peserta didik memecahkan masalah dan
membuat kemampuan intelektual siswa bertambah.
3. Guru menginginkan agar peserta didik dapat bertanggung jawab dalam
belajarnya.
4. Guru menginginkan agar peserta didik dapat menghubungkan antara
teori yang dipelajari di dalam kelas dan kenyataan yang dihadapinya di
luar kelas.
5. Guru bermaksud mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan, mengenal antara fakta
dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat
tugas secara objektif.

g. Model Langkah-Langkah Problem Based Learning


Ada beberapa pilihan dalam model ini, model-model tersebut diantaranya
yaitu:
1. Model Pannen dkk.
Menurut Pannen dkk. (2001) proses pembelajaran PBL biasanya
mengikuti tahapan-tahapannya seperti roda.

19
2. John Dewey
Seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika memaparkan 6
langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ini :
a. Merumuskan masalah. Guru membimbing peserta didik untuk
menentukan masalah yang akan dipecahkan dalam proses
pembelajaran, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan
masalah tersebut.
b. Menganalisis masalah. Langkah peserta didik meninjau masalah
secara kritis dari berbagai sudut pandang.
c. Merumuskan hipotesis. Langkah peserta didik merumuskan
berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan
yang dimiliki.
d. Mengumpulkan data. Langkah peserta didik mencari dan
menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk
memecahkan masalah.
e. Pengujian hipotesis. Langkah peserta didik dalam merumuskan dan
mengambil kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan
hipotesis yang diajukan
f. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah. Langkah peserta
didik menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai
rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

3. David Johnson & Johnson, memaparkan 5 langkah melalui kegiatan


kelompok
a. Mendefinisikan masalah. Merumuskan masalah dari peristiwa
tertentu yang mengandung konflik hingga peserta didik jelas
dengan masalah yang dikaji. Dalam hal ini guru meminta pendapat
peserta didik tentang masalah yang sedang dikaji.
b. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya
masalah.

20
c. Merumuskan alternatif strategi. Menguji setiap tindakan yang telah
dirumuskan melalui diskusi kelas.
d. Menentukan & menerapkan strategi pilihan. Pengambilan
keputusan tentang strategi mana yang dilakukan.
e. Melakukan evaluasi. Baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil.

h. Sintaks Problem Based Learning


Sintaks atau langkah-langkah pada Problem-Based Learning dapat
dilihat pada tabel 1. berikut.
Fase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
Fase 1
Orientasi siswa Guru mrnyampaikan tujuan Siswa mendengarkan
terhadap masalah belajar, menjelaskan logistik tujuan belajar yang
autentik yang diperlukan, dan disampaikan oleh guru
memotivasi menggunakan dan mempersiapkan
kemampuannya memecahkan logistik yang diperlukan.
masalah.

Fase 2
Mengorganisasi Guru membantu siswa Siswa mendefinisikan
siswa dalam mendefinisikan dan dan mengorganisasikan
belajar mengorganisasikan tugas tugas belajar yang di
belajar yang diangkat. angkat.
Fase 3
Membantu siswa Guru mendorong siswa untuk Siswa mengumpulkan
secara individual mengumpulkan informasi informasi yang sesuai,
atau kelompok yang sesuai, melaksanakan melaksanakan
dalam eksperimen, untuk eksperimen, dan
melaksanakan memperoleh jawaban yang berusaha menemukan
penelitian sesuai atas masalah. jawaban atas masalah

21
yang di angkat.
Fase 4
Mengembangkan Guru membantu siswa dalam Siswa merencanakan dan
dan menyajikan merencanakan dan menyiapkan karya,video,
hasil karya menyiapkan karya seperti dan menyampaikannya
laporan, video, model-model pada teman lain.
dan membantunya untuk
menyampaikan kepada teman
lain.

Fase 5
Analisis dan Guru membantu siswa Siswa melakukan refleksi
evaluasi proses melakukan refleksi kegiatan kegiatan penyelidikannya
pemecahan penyelidikannya dan proses dan proses yang
masalah. yang telah dilakukan dilakukan.

i. Peranan guru dalam Problem Based Learning


1. Menyiapkan Perangkat Berpikir Siswa
Beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk menyiapkan siswa
dalam PBL adalah:
a) membantu siswa mengubah cara berpikir
b) menjelaskan apakah PBL itu? Pola apa yang dialami oleh siswa?
c) memberi siswa ikhtisar siklus PBL, struktur, dan batasan waktu
d) mengomunikasikan tujuan, hasil dan harapan
e) menyiapkan siswa untuk pembaruan dan kesulitan yang akan
menghadang
f) membantu siswa merasa memiliki masalah.

22
2. Menekankan Belajar Kooperatif
PBL menyediakan cara untuk inqury yang bersifat kolaborasi dan
belajar Bray,dkk dalam Rusman (2011;235) mengambarkan inquiry
kolaboratif sebagai proses di mana orang melakukan refleksi dan
kegiatan secara berulang-ulang, mereka bekerja dalam tim untuk
menjawab pertanyaan penting. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa pada Pembelajaran Berbasis Masalah lebih menekankan
pembelajaran inquiry kolaboratif yang di kerjakan dengan tim secara
berkelompok.

3. Memfasilitasi Pembelajaran Kelompok Kecil dalam Pembelajaran


Berbasis Masalah
Belajar dalam kelompok kecil lebih mudah dilakukan apabila
anggota berkisar antara 1 sampai 10 siswa atau bahkan lebih sedikit
dengan satu orang guru. Guru dapat menggunakan berbagai teknik
belajar kooperatif untuk mengabungkan kelompok-kelompok tersebut
dalam langkah-langkah yang beragam dalam siklus PBM untuk
menyatukan ide, berbagai hasil belajar, dan penyajian ide.

4. Melaksanakan Pembelajaran Berbasis Masalah


Guru mengatur lingkungan belajar untuk mendorong penyatuan
dan pelibatan siswa dalam masalah. Guru juga memaikan peran aktif
dalam memfasilitasi inquiry kolaboratif dan proses belajar siswa.

j. Penilaian dan Evaluasi Problem Based Learning


Prosedur-prosedur penilaian harus disesuaikan dengan tujuan
pengajaran yang ingin dicapai dan hal yang paling utama bagi guru adalah
mendapatkan informasi penilaian yang reliabel dan valid.
Prosedur evaluasi pada model pembelajaran berbasis masalah ini
tidak hanya cukup dengan mengadakan tes tertulis saja, tetapi juga
dilakukan dalam bentuk checklist, reating scales, dan performance. Untuk

23
evaluasi dalam bentuk performance atau kemampuan ini dapat digunakan
untuk mengukur potensi peserta didik untuk mengatasi masalah maupun
untuk mengukur kerja kelompok. Evaluasi harus menghasilkan definisi
tentang masalah baru, mendiagnosanya, dan mulai lagi proses
penyelesaian baru.

k. Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning


Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran berbasis
masalah memiliki beberapa keunggulan, diantaranya :
1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih
memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta
memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi
peserta didik.
3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran
peserta didik.
4. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana
mentrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam
kehidupan nyata.
5. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam
pembelajaran yang mereka lakukan.
6. Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan
disukai peserta didik.
7. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk
menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
8. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia
nyata.

24
9. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk
secara terus menerus belajar.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran


berbasis masalah harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang
harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada
kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau
lingkungan sosial. Kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik,
pada tahapan ini adalah peserta didik dapat menentukan atau menangkap
kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada.

Disamping keunggulannya, model ini juga mempunyai kelemahan,


yaitu :
1. Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai
kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan,
maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa
yang mereka ingin pelajari.

2.3 DISCOVERY LEARNING


Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini
menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap
suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses
pembelajaran.
Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan
siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka

25
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa
untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode
belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik
kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang
menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu
Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu
dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk
akhir.
Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia
hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan
informasi sedemikian sehingga ie menemukan informasi baru. Dalam belajar
penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu
hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau
proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi.
Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang
digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran
penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar
mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka
sendiri.
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang
mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang
belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya
ditemukan sendiri.
Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan
jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan

26
pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang
ditemukan, jalan, atau proses semata – mata ditemukan oleh siswa sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar
siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah
dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir
analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan
ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.

a. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning


Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran
dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
1. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara
aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi
banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan
digunakan.
2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan
pola dalam situasi konkrit mauun abstrak, juga siswa banyak
meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu
dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang
bermanfaat dalam menemukan.
4. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara
kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta
mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.
5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-
keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari
melalui penemuan lebih bermakna.

27
6. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam
beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan
diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.

b. Macam-macam (Discovery)
Model penemuan atau pengajaran penemuan dibagi 3 jenis :
1. Penemuan Murni
Pada pembelajaran dengan penemuan murni pembelajaran terpusat
pada siswa dan tidak terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan
tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan, guru hanya memberi
masalah dan situasi belajar kepada siswa.
Siswa mengkaji fakta atau relasi yang terdapat pada masalah itu
dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa temukan.
Kegiatan penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru.
Penemuan murni biasanya dilakukan pada kelas yang pandai.

2. Penemuan Terbimbing
Pada pengajaran dengan penemuan terbimbing guru mengarahkan
tentang materi pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat
berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau dialog, sehingga diharapkan
siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan
rancangan guru.
Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa
harus dirancang secara jelas oleh guru. Pada pengajaran dengan
metode penemuan, siswa harus benar-benar aktif belajar menemukan
sendiri bahan yang dipelajarinya.

3. Penemuan Laboratory
Penemuan laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek
langsung (media konkrit) dengan cara mengkaji, menganalisis, dan
menemukan secara induktif, merumuskan dan membuat kesimpulan.

28
Penemuan laboratory dapat diberikan kepada siswa secara
individual atau kelompok.Penemuan laboratory dapat meningkatkan
keinginan belajar siswa, karena belajar melalui berbuat menyenangkan
bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain.

c. Strategi-strategi dalam Discovery Learning


Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi,
strategi-strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Strategi Induktif
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh
khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus
tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju
kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan
menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah
kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang
ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan
perkataan “barangkali” atau “mungkin”.
2. Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting
dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif
yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan
penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang
bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat
diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia
ketahui sebelumnya.

d. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning


Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran
dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
1. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu
terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.

29
2. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para
siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran
itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar
penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang
berlawanan.
3. Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik,
dan simbolik.
4. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis,
guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor.
Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau
aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-
saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan
umpan balik pada waktu yang tepat.
5. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar
penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah
mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-
generalisasi itu.

e. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Discovery Learning


1. Kelebihan discovery learning
a) Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah (problem solving)
b) Dapat meningkatkan motivasi
c) Mendorong keterlibatan keaktifan siswa
d) Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab ia berpikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
e) Menimbulakan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat
belajarnya meningkat
f) Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya keberbagai konteks.
g) Melatih siswa belajar mandiri

30
2. Kekurangan discovery learning
a) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalah
fahaman antara guru dengan siswa
b) Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan
mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi
fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk
seorang guru ini bukan pekerjaan yang mudah karena itu guru
memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa
belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan
membimbing siswa belajar dengan baik.
c) Menyita pekerjaan guru.
d) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan
e) Tidak berlaku untuk semua topik.

f. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas


1. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning
Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery
learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini
tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu:
a) Menentukan tujuan pembelajaran.
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,
minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c) Memilih materi pelajaran.
d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi).
e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks,
dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai
ke simbolik.

31
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati &
Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50).

2. Prosedur aplikasi discovery learning


Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model
Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus
dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah
sebagai berikut:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada
sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan
untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk
menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198).
Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan,
atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian
yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi
untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada
kondisi internal yang mendorong eksplorasi.

b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).


Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah
guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah) (Syah 2004:244).

32
c) Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi
untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak
hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan,
membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah,
2002:22).

d) Data processing (pengolahan data).


Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan
kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para
siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan.
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/
kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis.

e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).

33
f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalitation menarik kesimpulan adalah proses
menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum
dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan
memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap
dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar
menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah,
2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).

2.4 SELF DIRECTED LEARNING


Self directed learning (SDL) didefenisikan sebagai satu proses dimana
individu berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan dari orang lain,
mendiagnosa kebutuhan belajarnya sediri, merumuskan tujuan belajar,
mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakan, memilih dan
menerapkan strategi belajar dan mengevaluasi hasil belajarnya (Sumarmo,
2004)
Menurut Knowles 2014 dalam (Chakkaravarthy, Ibrahim, Mahmud, &
Venkatasalu, 2018)SDL adalah, melakukan tanggung jawab individu untuk
mengidentifikasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, merancang tujuan
pembelajaran individu dan mencari sember belajar untuk terlibat dalam
kegiatan belajar mandiri dan terus mengevaluasi diri dalam proses
pembelajaran. Study melaporkan bahwa pendekatan pembelajaran seumur
hidup berbasis SDL membantu perawat dan bidan dalam mengembangkan
kompetensi. Yang dan Jiang, 2014 dalam (Chakkaravarthy et al.,
2018)melaporkan bahwa SDL adalah metode pembelajaran seumur hidup
yang efektif untuk dikembangkan dan dipromosikan dan dipercaya dalam
praktik klinis, yang bergantung pada kesiapan individu terhadap SDL.

34
a. Penelitian yang terkait SDL
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang seberapa efektif
model pembelajaran Self Directed Learning (SDL) dalam penerapannya
pada mahasiswa kesehatan.
Penelitian ini dilakukan oleh (Kastenmeier et al., 2018) meneliti
tentang “Individual learning plans foster self-directed learning skills and
contribute to improved educational outcomes in the surgery clerkship”
dimana siswa dinilai dengan membandingkan nilai sebelum dan sesudah
menggunakan ILP (individual learning plan) hasil penelitiannya adalah
dengan menggunakan ILP (Individual Learning Plan) memiliki
peningkatan hasil belajar yang baik. Skor rata-rata untuk hasil surgery
subject exam (SSE) meningkat secara signifikan setelah pelaksaan metode
pembelajaran SDL dalam bentuk ILP dimana didapatkan peningkatan hasil
yaitu (74.9 vs 76.6; p= ,042; d = 0.21) dan siswa melaporkan hasil yang
baik dengan menggunakan pendekatan SDL tersebut. Didapatkan
kesimpulan bahwa penggunaan ILP sebagai cara untuk melaksanakan self
directed learning mampu meningkatkan pengetahuan medis, keterampilan
dalam merawat pasien, dan kesiapan untuk melakukan ujian yang
dilaksanakan oleh institusi dan pelaksanaan ILP ini secara keseluruhan
dapat berkontribusi pada peningkatan hasil pembelajaran dan
meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan SDL.
Penelitian lain dilakukan oleh (Murad & MD, MPH, Prathibha
Varkey, MBBS, 2008)dengan judul “The effectiveness of self-directed
learning in health professions education: a systematic review”dalam
laporan systematic review yang dilakukan oleh dengan menggunakan 59
penelitian disimpulkan bahwaSDL yang dibandingkan dengan model
pembelajaran tradisonal, hasil menunjukkan SDL lebih efektif dalam
domain pengetahuan dan cenderung sama efektifnya pada domain
keterampilan dan sikap dan SDL ini cocok untuk pelajar tingkat lanjut.
Selain itu SDL tampaknya lebih efektif ketika peserta didik terlibat dalam
mengidentifikasi sumber belajar mereka. Knowles menyarankan bahwa

35
dalam penerapan model SDL ini siswa harus berkonsultasi kepada
pendidik dan menentukan metode dan sumberdaya yang paling sesuai
dengan gaya belajar dan tujuan kurikulum misalnya tujuan kognitif bisa
tercapai.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh (Tao, Li, Xu, & Jiang,
2015) Dengan judul penelitian “Development of a nursing education
program for improving Chinese undergraduates' self-directed learning: A
mixed-method study” penelitian ini dilakukan dengan sampel 156
mahasiswa keperawatan yang kemudian dibagi kedalam dua kelompok
yaitu kelompok eksperimen (n= 32) dan kontrol (n = 133) pra dan pasca
tes dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas program yang dilakukan
dengan menggunakan skala belajar mandiri dan wawancara dilakukan
untuk mengetahui wawasan mereka tentang program self directed learning.
Dari penelitian ini didapatkan hasil baik analisis kuantitatif dan
kualitatif didapatkan hasil bahwa program SDL (Self directed learning)
berkontribusi pada mahasiswa keperawatan. Dalam kelompok eksperimen
skor post tes menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan skor pretes
(p < 0.05) setelah dilakukan pelatihan selama 18 bulan. Sementara tidak
ada perubahan yang terjadi pada mereka sebelum program ini. Hasil
kualitatif dari pengalaman 9 siswa yang dilakukan wawancara dirumuskan
3 katagori tematik utama yaitu pengaruh pada kesadaran, pengaruh pada
kegiatan pembelajaran, dan pengaruh pada lingkungan belajar dan hal
tersebut didaptkan dalam program ini sehingga disimpulkan dalam
penelitian ini bahwa Self directed learning sangat menguntungkan dalam
program yang dilakukan dan SDL yang dirancang sebagai metode
pembelajaran tambahan dalam kelas mampu memberikan kontribusi yang
baik dalam meningkatkan hasil belajar pada siswa.
Dalam jurnal (M Hassan Murad et al, 2008) menjelaskan bahwa
komponen kunci dari pembelajaran self directed learning adalah sebagai
berikut:
1) Pendidik yang berperan sebagai fasilitator,

36
Seorang pelajar membutuhkan seorang pengajar/ ahli untuk
memperkenalkan mereka tentang dasar-dasar dari SDL, termaksud
penilaian kebutuhan dalam proses pembelajaran dan pengembangan
tujuan pembelajaran. Peran pengajar dalam SDL sebagai sumber
keterampilan dalam melakukan SDL bukan sumber konten dimana
pengajar berperan sebagai fasilitatator untuk pelajar.
2) Mengidentifikasi kebutuhan belajar yang sesuai
Kebutuhan belajar berbeda dengan kompetensi saat ini dan tingkat
kompetensi yang dibutuhkan. Mengidentifikasi kebutuhan belajar
merupakan komponen integral dari self directed learning.
3) Mengembangkan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran adalah hasil pembelajaran yang diinginkan
dan berasal dari kumpulan kebutuhan yang dihasilkan oleh peserta
didik.
4) Mengidentifikasi sumber daya yang tepat
Peserta didikdalam berkonsultasi dengan ahli/ pengajar harus
memilih sumberdaya yang tepat berdasrkan metode pembelajaran
pilihan mereka dan jenis tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
5) Implementasi proses
Fasilitator dalam hal ini pengajar harus menjadwalkan pertemuan
pada peserta didik. Pertemuan itu menekankan tentang kemitraan
antara pelajar dan pendidik bukan ketergantungan siswa dengan
pendidik.
6) Komitmen dengan kontrak pembelajaran yang telah disepakati
Kontrak pembelajaran adalah, dokumen formal yang disiapkan
oleh siswa dalam berkonsultasi dengan pengajar yang bertujuan untuk
menunjukkan apa-apa yang harus dipelajari, bagaimana hal itu
dipelajari, dan bagaimana pembelajaran akan diverivikasi.
7) Evalusi hasil dari proses pembelajaran
SDL telah direkomendasikan untuk profesi professional seperti
perawat yang telah menunjukkan perolehan pengetahuan,

37
keterampilan, sikap dan prestasi yang meningkat setelah SDL ini
diterapkan.Peran fasilitator atau guru dalam SDL ini salah satunya
adalah mengevaluasi hasil dari belajar yang dilakukan oleh siswa.

Meskipun self directed learning baik untuk diterapkan untuk


pendidik, akan tetapi studi masa depan harus memperhatikan kurikulum
yang dibuat karena akan menentukan keefektifan komponen-komponen
dalam pelaksanaan pembelajaran.Untuk membangun hubungan dan iklim
pelaksanaan yang baik dalam program self directed learning fasilitator
dalam hal ini pengajar harus mengatur pertemuan dengan peserta didik,
pertemuan ini menekankan hubungan antra siswa dan pengajar tetapi
bukan ketergantungan siswa dengan pengajar dan evaluasi proses
pembelajaran sangat penting untuk melihat atau menunjukkan perolehan
peningkatan pengetahuan, keterapilan, sikap dan prestasi yang telah
dirumuskan diawal pelaksanaan pembelajaran (Murad & MD, MPH,
Prathibha Varkey, MBBS, 2008)
Dalam jurnal(Gisela H. Van Rensburg, 2015)dijelaskan bahwa
keberhasilan dalam pembelajaran seumur hidup/ SDL adalah kemampuan
untuk terlibat dalam pembelajaran mandiri yang membutuhkan
keterbukaan terhadap kesempatan belajar, konsep diri yang baik,
mengambil inisiatif dan mengilustrasikan kemandirian dalam belajar.
Dalam profesi keperawatan sudah menunjukkan bahwa
pembelajaran mandiri (self directed learning) memiliki hubungan
lansung kearah pengembangan pendekatan pembelajaran semuumr hidup
yang sangat sesuai dengan yang dibutuhkan oleh seorang perawat.
Dengan mendukung siswa menjadi pembeljar yang mandiri disepanjang
kehidupan professional mereka akan berdampak lansung pada kualitas
praktek keperawatan peserta didik.
SDL dapat digunakan untuk membantu pembelajaran siswa dengan
dipinpin oleh pengajar. Perkembangan SDL membutuhkan perubahan
penekanan dan pandangan pendidik tentang peran mereka dalam SDL

38
dan hal ini harus dieksplorasi lebih dalam lagi. Strategi yang jelas untuk
memperkenalkan SDL kedalam kurikulum keperawatan sangat
diperlukan. Salah satu strategi pelaksanaan SDL dengan menggunakan
prangkat mobile misalnya menggunakan pasien virtual yang bisa diakses
oleh mahasiswa dengan mandiri seperti yang diteliti oleh (Benedict et al.,
2013) yang menemukan pembelajaran self directed learning dengan
menggunakan pasien virtual yang dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak pasien virtual yang didasarkan pada model pengambilan
keputusan naratif dan membuat simulasi kasus pasien yang kompleks
untuk menggantikan instruksi berbasis ceramah.
Penelitian tersebut membandingkan metode pembelajaran SDL dan
metode kuliah kelas (konvensional) pada siswa angkatan 2011 dan 2012
dengan melihat pengetahuan siswa tentang pemahaman terhadap mual
muntah pada pasien pasca oprasi, didapatkan hasil ditemukan bahwa
siswa bisa diatur dalam pelaksanaan simulasi sebesar 90%,
menyenangkan 82 %, menantang intelektual 97% dan 91% meningkatkan
pengetahuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kasus
pasien berbasis pasien virtual memunkinkan penggunakan kelas yang
lebih baik. Penelitian ini membuktikan bahwa SDL lebih efektif dari
pembelajaran konvensional.
Self directed learning adalah, sebuah kebutuhan untuk belajar
seumur hidup, dan merupakan komponen penting untuk berpikir kritis.
SDL ini diakui oleh banyak kurikulum menjadi keharusan untuk
pengembangan siswa. Keterampilan belajar mandiri adalah, kebutuhan
untuk pelajar seumur hidup, komponen vital untuk berpikir kritis, penting
bagi penyelenggara pendidikan untuk menerapkan metode pembelajaran
ini dan memfasilitasinya dan menanamkan pada siswa rasa
professionalisme, kritis berpikir, dan belajar sesuai dengan proses
pembelajaran dewasa(Benedict et al., 2013)
Self directed learning berkembang ketika siswa mengambil
inisiatfi untuk pembelajaran mereka, mengenali kebutuhan, merumuskan

39
tujuan, mengidentifikasi sumber daya dan menerapkan strategi yang tepat
dan mengevaluasi hasil belajar.
Dilevel internasional berbagai instrumen telah digunakan untuk
mengukur kemampuan self directed learning salah satu contohnya adalah
(SRSSDL-ita) merupakan instrumen yang mampu menawarkan umpan
balik berkenaan dengan kemampuan SDL yang dilakukan oleh siswa
fungsinya yaitu :a) mempromosikan dan meningkatkan kesadaran
dikalangan siswa mengenai kemampuan mereka dengan SDL dan
tanggung jawab dan otonomi mereka dalam proses belajar, b)
mengidentifikasi kemampuan siswa dalam melakukan SDL c)
mendorong siswa untuk memikirkan sendiri metode dan strategi
pembelajaran yang dibutuhkan d) mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan belajar, menerapkan strategi untuk meningkatkan kemampuan
dalam melakukan SDL dan memamtau evaluasi dari efektivitasnya e)
mendukung pendidik dalam mengembangkan dan mengevaluasi program
SDL dan dalam merancang kurikulum untuk program serjana dan pasca
sarjana.

b. Kelebihan dan kekurangan Self directed Learning


Berdasarkan hasil analisis literarut yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran self directed learning ini memilik
kelebihan dan kekurangan yaitu :
1. Kelebihannya adalah:
a) Siswa bebas untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka
sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan
arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan
majemuk yang mereka miliki.
b) Menekankan sumber belajar secara lebih luas baik dari guru
maupun sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukasi.
c) Mengembangkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan
seseorang secara menyeluruh.

40
d) Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar
biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan
mereka dan memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan
positif tentang bagaimana mereka akan memecahkan masalah yang
dihadapi sehari-hari.
e) Pembelajaran mandiri memiliki kelebihan berupa kebebasan bagi
siswa untuk memilih materi yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan.Di samping itu,cara belajar yang dilakukan sendiri juga
lebih menyenangkan.

2. Kekurangannya adalah:
Kekurangan dari SDL adalah bagi siswa yang malas maka self
directed ini sulit membuat mereka mampu untuk mengembangkan
kemampuan dan pengetahuannya dan kemampuan siswa dalam
memilih metode atau sumber belajar berbeda-beda sehingga siswa
yang sulit dalam memilih metode apa yang tepat akan kesulitan dalam
menerapkan model pembelajaran self directed learning ini.

41
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Studi kasus (case studi) merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan
sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau
sekelompok individu yang terkait dengan tempat, waktu atau ikatan
tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk mengumpul
data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut.
(Problem-Based Learning) adalah suatu pembelajaran yang di awali
dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah. Problem based Learning
atau dalam Bahasa Indonesia adalah Pembelajaran Berbasis Masalah yang
berarti suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan
menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu
peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat
menyelesaikannya.
Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini
menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap
suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran.
Self directed learning (SDL) didefenisikan sebagai satu proses
dimana individu berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan dari orang
lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sediri, merumuskan tujuan
belajar, mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakan, memilih
dan menerapkan strategi belajar dan mengevaluasi hasil belajarnya
(Sumarmo, 2004)

42
DAFTAR PUSTAKA

Maulani dan Cahyana. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung.


Ghani dan Almansur.2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung.
Dr.Rusman,M.PD. 2010. Model-Model Pembelajaran Problem-Based Learning.
Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada
Sudarman. 2007. Problem Based Learning : Suatu Model Pembelajaran Untuk
Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah.
Jurnal Pendidikan Inovatif. Vol. 2 no. 2. PP. 68-73
Roestiyah. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta, Rineka Cipta
Nosalmathedu,2012. Model pembelajaran discovery learning.
Benedict, N., Schonder, K., & McGee, J. (2013). Promotion of self-directed
learning using virtual patient cases. American Journal of Pharmaceutical
Education, 77(7).
Cadorin, L., Cheng, S. F., & Palese, A. (2016). Concurrent validity of self-rating
scale of self-directed learning and self-directed learning instrument among
Italian nursing students. BMC Nursing, 15(1).
Chakkaravarthy, K., Ibrahim, N., Mahmud, M., & Venkatasalu, M. R. (2018).
Predictors for nurses and midwives’ readiness towards self-directed
learning: An integrated review. Nurse Education Today, 69, 60–66.
Gisela H. Van Rensburg, Y. B. (2015). Bridging the gap between self-directed
learning of nurse educators and effective student support. Acme, 13(4),
497–507.

43

Anda mungkin juga menyukai