DISUSUN OLEH
Rr Dinar Soelistyowati, S.Sos, MM, M.Ikom
4
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(Dr. Aan Widodo, S.I.Kom, M.I.Kom) (Rr Dinar Soelistyowati, S.Sos, MM, M.I.Kom)
NIDN. 0322038901 NIDN. 0323127802
Mengetahui, Menyetujui,
Kepala Lembaga Penelitian, Pengembangan Kepala Bagian PkMW
Kepada Masyarakat
(Dr. Irma Setyawati, S.E, M.M) (Dr. Ir. Yatti Maryati Akib, M.Si)
NIDN. 0301106601 NIP. 1706281
5
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(Adelina Suryati, S.E., M.Ak., CMA, CBV) (Rr Dinar Soelistyowati, S.Sos, MM, M.I.Kom)
NIP. 1511239 NIDN. 0323127802
Menyetujui,
Kepala Lembaga PkM Ubhara Jaya
6
RINGKASAN
Komunikasi saat ini telah menjadi hal yang bersifat wajib bagi setiap manusia, terutama
pada masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi dan yang haus akan informasi. Sesuai
dengan status barunya sebagai homo notitita conquisitor (manusia pencari informasi),
manusia berbondong-bondong mencari informasi sesuai dengan apa yang mereka butuhkan
setiap harinya. Salah satu bidang informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah politik,
dan informasi politik yang belakangan ini mendapatkan banyak perhatian masyarakat adalah
berita mengenai perkembangan hasil Pemilu 2019. Banyak orang sedang membicarakan
mengenai siapa yang akan menduduki kursi tertinggi pemerintahan Indonesia untuk 5 tahun
selanjutnya. Materi informasi ini juga tidak luput dari perhatian sejumlah narasumber politik.
Tidak hanya memberikan komentar, mereka juga saling berspekulasi mengenai hasil akhir
dari penghitungan suara Pemilu 2019. Sayangnya, spekulasi dari sejumlah narasumber ini
seringkali disertai dengan iklim komunikasi yang tidak sehat.
Oleh karena itu, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menganalisis isi pesan yang terkandung dalam komunikasi intelektual
di antara para narasumber politik terkait dengan perkembangan hasil Pemilu 2019 sehingga
dengan kemampuan itu secara umum mereka dapat memprediksi dan menindaklanjuti hasil
komunikasi tersebut dengan lebih meningkatkan tingkat penilaian dan antisipasinya terhadap
pencarian lanjutan berita topik tersebut di jejaring situs dan media sosialnya.
Luaran yang diharapkan pada penelitian ini adalah publikasi jurnal komunikasi politik
dari hasil penelitian yang telah diperoleh terkait hasil wawancara yang diberikan pada
masyarakat kritis.
7
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti sehingga mampu melaksanakan dan menyelesaikan penelitian
yang berjudul Partisipasi Warganet dalam Mengidentifikasi Komunikasi Intelektual
Narasumber Politik Terkait Perkembangan Hasil Pemilu 2019. Kegiatan penelitian
tersebut dapat terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini perkenankanlah kami menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Irjen Pol. (Purn) Dr.H. Bambang Karsono, Drs, SH, MM selaku Rektor Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya
2. Dr. Aan Widodo, S.I.Kom, M.I.Kom selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
3. Dr. Djuni Thamrin selaku Pimpinan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPkM)
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
4. Nurul Fauziah, S.Sos, M.I.Kom selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
5. Berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu
terlaksananya kegiatan PkM ini.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini masih perlu beberapa masukan dan saran
untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih maksimal. Peneliti berharap dengan
penyelenggaraan dan pelaksanaan penelitian ini dapat bermanfaat serta menambah
pengalaman dan wawasan bagi peneliti juga.
Peneliti
8
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah ................................................................... 2
1.3. Tujuan Kegiatan ................................................................................................... 3
1.4. Urgensi Kegiatan .................................................................................................. 3
1.5. Target/Inovasi Temuan ......................................................................................... 3
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 23
5.2. Saran ..................................................................................................................... 24
9
BAB I
LATAR BELAKANG
10
Melihat situasi ini tentunya seperti melihat tayangan drama yang tidak jelas
ujung ceritanya. Sebagai implementasi nyata dari latar belakang situasi tersebut,
publik yang saat ini telah berasimilasi dengan teknologi, menjadi melek informasi
dengan menjadi netizen (warganet) untuk memuaskan keingintahuannya dengan
mengakses sejumlah tautan informasi yang mungkin relevan. Namun, menjadi
warganet tidak selalu menjadikan mereka sebagai pihak yang paling melek terhadap
informasi terkini. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan wawasan yang
diperlukan untuk mengidentifikasi setiap bentuk transaksi komunikasi di antara
narasumber politik dalam membahas temuan fakta mengenai sejumlah kecurangan
yang terjadi pada proses penghitungan suara Pilpres 2019. Masalah ini juga
diperparah dengan minimnya kewaspadaan mereka dalam mengakses berita yang
dibutuhkan. Seringkali pencarian berita mereka berakhir pada berita hoaks yang justru
memprovokasi mereka kepada tindakan amoral seperti ujaran kebencian dan lain
sebagainya. Ini mengakibatkan ketidakpahaman dan menciptakan pemikiran yang
ambigu serta kesalahan pembuatan kesimpulan bagi mereka sendiri dalam memproses
makna sebenarnya yang dinyatakan oleh para narasumber politik.
11
3. Bagaimana cara menjadi masyarakat yang cerdas dan cermat terhadap keberagaman
informasi, khususnya yang beredar di dunia maya dan yang masuk ke jejaring sosial
mereka?
12
BAB II
TINJAUAN PENELITIAN
a. Demokrasi Virtual dan Perang Siber Di Media Sosial: Perspektif Netizen Indonesia/
Iswandi Syahputra/2017/ Jurnal ASPIKOM, Volume 3 No. 3, Juli 2017.
b. Pemilih Muda, Sosial Media dan Partisipasi Pemilih Pada Pemilihan Kepala Daerah
Tulungagung 2018/Luthfi Ulfa Ni’amah/Jurnal Komunikasidan Penyiaran Islam Al
– I’lam, Volume 2 No. I 2018.
c. Pengaruh Kredibilitas Narasumber Berita Politik Terhadap Internalisasi Nilai Berita
Politik pada Masyarakat/Ida Wiendijarti/2008/Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6
No. 2, Mei – Agustus 2008.
d. Televisi dan Dinamika Politik (Opini Pemerhati Talk Show Obrolan Karebosi Pasca
Pilkada Serentak 2015 Di Sulawesi Selatan)/2016/Muhtar Lutfi & M. Iqbal
Sultan/Jurnal Komunikasi KAREBA, Volume 2 No. 5, Juli – Desember 2016.
Adapun penjelasan secara rinci tampak pada Tabel 2.1 berikut ini:
13
Tabel 1. Hasil Penelitian Sebelumnya
14
Pengaruh Kredibilitas Untuk mengidentifikasi Deskriptif Kuantitatif Penelitian menunjukkan Persamaan :
Narasumber Berita Politik apakah terdapat pengaruh korelasi yang positif dan Sama-sama membahas
Terhadap Internalisasi yang signifikan antara signifikan antara mengenai Intelektualitas
Nilai Berita Politik pada kredibiltas narasumber kredibilitas narasumber Narasumber Politik
Masyarakat/Ida politik dengan politik dengan sebagai poin utama
Wiendijarti/2008/Jurnal internalisasi nilai berita internalisasi di dalam penelitian
Ilmu Komunikasi, Volume politik di dalam masyarakat. Intelektual
6 No. 2, Mei – Agustus masyarakat merupakan faktor utama Perbedaan:
3 2008. narasumber politik, Pembahasan lanjutan pada
disusul oleh birokrat dan penelitian. Peneliti pada
para elit politik. jurnal ini membahas
keterkaitan antara
kredibilitas narasumber
politik dengan
internallisasi nilai berita di
dalam masyarakat..
Televisi dan Dinamika 1. Untuk mengetahui Kualitatif/Wawancara dan Hasil penelitian Persamaan :
Politik (Opini Pemerhati opini pemerhati Talk Studi Literatur menunjukkan bahwa: Sama-sama membahas
Talk Show Obrolan Show Obrolan 1. Pemerhati Obrolan perkembangan pasca
Karebosi Pasca Pilkada Karebosi Pasca Karebosi memberikan Pemilihan Umum
Serentak 2015 Di Sulawesi Pilkada Serentak 2015 opini positif terhadap
Selatan)/2016/Muhtar di Sulawesi Selatan host, tema dan Perbedaan:
Lutfi & M. Iqbal 2. Untuk mengetahui narasumber acara Pembahasan pada
Sultan/Jurnal Komunikasi bagaimana proses tersebut, sedangkan penelitian ini difokuskan
KAREBA, Volume 2 No. terbentuknya opini untuk narasumber dari pada pembentukan opini.
4
5, Juli – Desember 2016. pemerhati terhadap kalangan politisi dan
talk show Obrolan penyelenggara
Karebosi. Pilkada, pemerhati
menunjukkan opini
negatif ditinjau dari
keberimbangan,
kesesuaian,
penguasaan materi
dan kejujuran
15
2. Opini pemerhati
Obrolan Karebosi
dibentuk oleh sikap
mereka terhadap
program, kepercayaan
serta persepsi mereka
yang terbentuk
tentang Obrolan
Karebosi.
16
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka dapat digambarkan perbedaan
antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu menggunakan teori yang sama
akan tetapi berbeda dalam objek dan situasi serta tujuan dari penelitiannya. Penelitian
ini difokuskan untuk menganalisis sikap netralitas yang dimiliki oleh stasiun
televisi dalam menyiarkan berita terkait debat pilpres 2019 (bukannya menakar
kemampuan komunikasi politik ?). Dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah
dijabarkan terdapat penelitian yang mendekati kesamaannya dengan objek penelitian
peneliti secara garis besarnya. Penelitian milik Ida Wiendijarti merupakan penelitian
yang paling banyak memiliki kesamaan dengan penelitian milik peneliti. Kesamaan ini
disebabkan oleh fokus penelitiannya pada analisis komunikasi narasumber politik
berdasarkan intelektualitasnya. Penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kredibilitas
Narasumber Berita Politik Terhadap Internalisasi Nilai Berita Politik pada Masyarakat”
yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Jurnal Ilmu Komunikasi. Penelitian tersebut
dibuat dengan tujuan menemukan untuk mengidentifikasi apakah terdapat pengaruh yang
signifikan antara kredibiltas narasumber politik dengan internalisasi nilai berita politik di
dalam masyarakat. Dalam penelitiannya, ia menggunakan metode penelitian kuantitatif
serta bersifat deskriptif. Hasil temuan dari penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang
positif dan signifikan antara kredibilitas narasumber politik dengan internalisasi di dalam
masyarakat. Intelektual merupakan faktor utama narasumber politik, disusul oleh
birokrat dan para elit politik..
Hal inilah yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan
penelitian pada anggota aparatur Desa Cilebut Barat. Peneliti membuat penelitian ini
dengan tujuan dapat menganalisis sikap masyarakat dalam menilai prinsip netralitas dari
televisi dan komunikasi intelektual yang dimiliki oleh pakar politik selaku narasumber
politik terkait dengan hasil debat pilpres 2019. .Dalam melakukan penelitiannya, peneliti
pun menggunakan metode penelitian kualitatif dengan observasi non partisipasi dan
wawancara sebagai sumber dari pengumpulan data terhadap penelitiannya. Melalui
penelitian ini, peneliti berharap hasil temuan dari penelitiannya diharapkan dapat
menjadi acuan bagi masyarakat dalam hal bagaimana menilai prinsip netralitas yang
dimiliki oleh televisi dan menakar, menanggapi, serta menyikapi komunikasi yang
dibentuk oleh para pakar politik terkait dengan hasil debat pilpres 2019.
17
2.2. Kajian Teoritis
2.2.1. Komunikasi
Secara terminologi, para ahli komunikasi memberikan pengertian
komunikasi menurut sudut pandang dan pendapat mereka masing-masing
diantaranya: Dani Vardiasnyah mengungkapkan beberapa definisi komunikasi
secara istilah yang dikemukakan para ahli:
18
bisa diartikan sebagai representasi konseptual yang arbiter. Hal ini terjadi
terutama dalam komunikasi yang menggunakan pesan-pesan verbal, misalnya
dalam penggunaan bahasa. Manusia selalu memiliki kesepakatan dalam
penggunaan kosakata tertentu, yang biasanya bersifat lokal dan unik.
Kemampuan menggunakan simbol merupakan ciri eksklusif manusia, karenanya
manusia sering juga disebut sebagai ‘animal simbolikum’ (makhluk yang selalu
menggunakan simbol) (Santoso & Setiansah, 2010).
2.2.2. Politik
Dalam kehidupan kita sehari-hari, istilah “politik” sudah tidak begitu asing
karena segala sesuatu yang dilakukan atas dasar kepentingan kelompok atau
kekuasaan sering kali diatasnamakan dengan label politik. Oleh karena itu,
definisi-definisi politik belakangan ini lebih banyak memberi tekanan pada
negara dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat seperti dibuat oleh
Kaspar Bluntschli bahwa “politics is the views which is concerned with the state,
which audience to understand and comprehend the views in its conditions, , in its
essential nature, its various forms of manifestations, its development.” Bahkan
Harold D. Lasswell lebih tegas merumuskan politik sebagai ilmu tantang
kekuasaan “when we speak of the science of politics, we mean the science of
power.”
Pandangan yang mirip dikemukakan oleh Budiharjo (2002) bahwa politik
adalah kegiatan yang dilakukan dalam suatu negara menyangkut pada
mennentukan tujuan dan melaksanakan tujuan tersebut. Untuk melaksanakan
tujuan itu diperlukan kebijakan umum (public policy) yang mengatur alokasi
sumber daya yang ada. Dan untuk melaksanakan kebijakan itu perlu ada
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai, baik untuk
membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul setip saat.
Lebih jauh Budiharjo menekankan bahwa tujuan politik bukan untuk memenuhi
kepentingan atau tujuan pribadi seseorang (personal goal), melainkan untuk
kepentingan seluruh masyarakat.
Jadi mendefinisikan “politik” bukanlah pekerjaan mudah, bukan karena
tidak adanya definisi politik yang dibuat oleh para pakar, melainkan karena
kebanyakan definisi. Begitu banyaknya definisi yang dibuat oleh pakar sehingga
hampir dalam setiap pertemuan yang membicarakan tentang definisi politik
19
berakhir dengan ketidakadaan definisi yang bisa diterima oleh semua pihak
(Cangara, 2016).
20
menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai
akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik.
Meadow dalam Nimmo (2004) juga membuat definisi bahwa “political
communication refers to any exchangee of symbols or messages that is a
significant actions have been changed by or have consequences for political
systems.” Di sini Meadow memberi tekanan bahwa simbol-simbol atau pesan
yang dissampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi
terhadap sistem politik. Tetapi Nimmo sendiri yang mengutip Meadow dalam
bukunya itu hanya memberi tekanan pada pengaturan umat manusia yang
dilakukan di bawah kondisi konflik, sebagaimana disebutkan “communication
(activity) considered political by viryue of its consequences (actual or potential)
which regulate human conduct under the condition of conflict.”
Dalam buku berjudul Introduction to Political Communication oleh McNair
(2000) dinyatakan bahwa “political communication as pure discussion about the
allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the
power to make legal, legislatif and executive decision), and official functions
(what the state reward or punishes).” Jadi komunikasi politik menurut McNair
adalah murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publikyang memiliki
nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki
kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-
undang atau aturan,apakah itu legislatif atau eksekutif, serta sanksi-sanksi, apakah
itu dalam bentuk hadiah atau denda.
Untuk menghindari kajian komunikasi politik itu tidak hanya bicara tentang
kekuasaan, maka Doris Graber mengingatkan dalam tulisannya Political
Language (1981) bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juga
mencakup simbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan
politik misalnya boikot, protes, dan unjuk rasa. Dengan demikian, pengertian
komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-
lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari
seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka
wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak
yang menjadi target politik.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan, maka komunikasi
politik dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang implikasi atau
21
konsekuensi terhadap aktivitas politik. Faktor ini pula yang membedakan dengan
disiplin komunikas lainnya seperti komunikasi pembangunan, komunikasi
pendidikan, komunikasi bisnis, komunikasi antarbudaya, komunikasi organisasi,
komunikasi keluarga, dan lain semacamnya. Perbedaan itu terletak pada isi pesan.
Artinya komunikasi politik memiliki pesan yang bermuatan politik, sementara
komunikasi pendidikan memiliki pesan yang bermuatan masalah-masalah
pendidikan. Jadi untuk membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya
dalam studi ilmu komunikasi, terletak pada sifat atau isi pesannya (Cangara,
2016).
22
menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan terus-menerus diciptakan makna-
makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-
beda melalui berbagai cara. Sementara Ruben (1992), mendefinisikan komunikasi
massa sebagai suatu proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh
organisasi untuk dikonsumsi khalayak.
Dari sejumlah pengertian di atas, komunikasi massa dapat disimpulkan
sebagai komunikasi yang menggunakan media massa. Media massa merupakan
penciri utama yang membedakan antara komunikasi massa dan sistem
komunikasi lainnya. Di samping itu, pihak penerima pesan dalam komunikasi
massa (khalayak) merujuk pada sejumlah besar orang yang tidak harus berada
dalam lokasi atau tempat yang sama. Namun, ikatan yang menyatukan mereka
adalah karena sama-sama menikmati pesan yang sama dari media massa dalam
waktu yang relatif bersamaan. Komunikasi massa merupakan jenis komunikasi
yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim
melalui media massa sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak
dan sesaat. Dengan demikian, komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara,
yakni:
23
2.2.7. Jejaring Sosial (Social Networking)
Dikutip dari jurnal IPTEK-KOM, Juditha (2011) Situs jejaring sosial yang
dalam bahasa Inggris disebut social network sites merupakan sebuah web berbasis
pelayanan yang memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat
daftar pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk
bergabung dalam situs tersebut. Tampilan dari situs jejaring sosial ini
menampilkan halaman profil pengguna, yang di dalamnya terdiri dari identitas
diri dan foto pengguna.
Secara rinci, jejaring sosial merupakan bentuk dari media sosial dan juga
merupakan jenis media massa yaitu berupa media digital. Media massa sebagai
saluran informasi bagi khalayak luas selalu hadir dengan beragam pemberitaan.
Khalayak tidak dapat menghindari akan kebutuhannya terhadap informasi, baik
dari dunia politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, teknologi, dan lainnya.
Media sosial yang dalam bahasa Inggris “Social Media” menurut tata bahasa
terdiri dari kata “social” yang memiliki arti kemasyarakatan atau sebuah
interaksi, dan “media” adalah sebuah wadah atau tempat sosial itu sendiri. Media
sosial adalah sebuah media online dengan para penggunanya bisa dengan mudah
berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki,
forum, dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media
sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia (Juditha,
2011).
1. Pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa ke
berbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet.
2. Pesan yang disampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper.
3. Pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya.
4. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi (David, 2017).
24
2.2.9. Teori Semiotika
Menurut Littlejohn yang dikutip oleh Morissan dalam bukunya yang berjudul
Teori Komunikasi Massa, semiotika mencakup mengenai bagaimana tanda
mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di
luar diri. Sedangkan konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika adalah
‘tanda’ yang diartikan sebagai sebuah stimulus yang mengacu pada sesuatu yang
bukan dirinya sendiri (1999, hal. 61). Tanda itu sendiri, menurut John Powers
(1995), merupakan dasar dari semua komunikasi. Dijelaskan seperti itu karena
tanda menunjuk atau mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri,
sedangkan makna atau arti adalah hubungan antara objek atau ide dengan tanda.
Kedua konsep tersebut menyatu dalam berbagai teori komunikasi, khususnya
teori komunikasi yang memberi perhatian pada simbol, bahasa, serta tingkah laku
nonverbal. Kelompok teori ini menjelaskan tentang bagaimana tanda
dihubungkan dengan makna dan bagaimana tanda-tanda tersebut diorganisir.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa tanda mutlak diperlukan dalam menyusun
pesan yang hendak disampaikan. Tanpa tanda, maka pesan yang disampaikan
dapat membingungkan penerima (Morissan, Wardani, & Hamid, 2013, hal. 173).
25
Dalam hal ini, terdapat sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti gagasan teori ini,
di antaranya:
26
BAB III
METODE PENELITIAN
27
BAB IV
PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1. Posisi Komunikasi Politik sebagai Bagian dari Intelektualitas Narasumber Politik
Dalam dunia yang menuntut perilaku yang dinamis dan pemikiran yang kritis, ada
beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan sebagai indikator tingkat intelektualitas
manusia. Salah satunya adalah bagaimana dia berkomunikasi sesuai dengan ilmu yang
dimiliki. Tanpa kita sadari, kita selalu menakar intelektualitas seseorang dari
bagaimana orang lain berbicara tentang suatu kejadian atau fenomena yang ada baik
yang ada di sekitar kita, di sekitar orang yang berbicara, atau bahkan keduanya.
Dalam dunia politik, tingkat intelektualitas seorang pakar politik secara umum
ditentukan setidaknya dari tiga hal, yaitu: (1) Bagaimana dia berpenampilan di hadapan
media; (2) Diksi yang digunakan ketika berdiplomasi berdasarkan pemikiran kritisnya,
dan; (3) Latar belakang pengalaman yang dimiliki. Hal ini sekilas terdengar
kontradiktif, mengingat faktor pengalaman yang merupakan indikator utama seseorang
dalam menilai intelektualitas seseorang justru harus disebutkan terakhir. Ini diakibatkan
karena hal tersebut masih bersifat samar, di mana tidak banyak orang mengetahui latar
belakang pengalaman yang dimiliki secara massal. Masyarakat cenderung menebak
tingkat intelektualitasnya dari apa yang dikenakan ketika menghadiri suatu acara berita,
sehingga tak jarang orang-orang cenderung mendapatkan hasil yang sebaliknya ketika
dia berkomunikasi. Tidak sedikit contoh di mana pakar politik tertentu berpenampilan
rapi yang berkomunikasi layaknya penyaring yang tidak memiliki saringan dan
demikian juga sebaliknya, tidak sedikit juga pakar yang berpenampilan ala kadarnya
yang berkomunikasi sejajar dengan para petinggi negara kita. Dan pada akhirnya,
secara perlahan masyarakat baru mengetahui tingkat intelektualitasnya melalui dua
tahapan, di mana (1) dia melakukan ‘sepak terjang’ di sebuah kejadian atau kasus, dan
(2) ketika media menyiarkan latar belakang, pengalaman, dan pencapaian karirnya
secara keseluruhan ke hadapan publik.
Lalu, terkait dengan diksinya, hal tersebut menjadi faktor penentu penilaian
masyarakat terhadap intelektualitas yang dimiliki narasumber politik, khususnya ketika
membahas acara politik besar seperti Pemilu 2019. Ada yang menilai bahwa seberapa
banyak atau kompleks diksinya menentukan seberapa besar ilmu yang dia miliki. Ini
berarti cara berkomunikasi seorang narasumber menjadi label harga yang utama.
Semakin banyak dan rumit kosa kata yang dapat dipahami dan diimplementasikan ke
28
dalam suatu bahasan, secara tidak langsung orang-orang akan beranggapan bahwa dia
adalah seorang narasumber yang intelek, terlepas apakah masyarakat juga memahami
dengan benar maknanya atau tidak.
4.2. Media Sosial dan Jejaring Sosial – Mediator Baru Warganet Millenial
Sejalan dengan perkembangan zaman, teknologi komunikasi pun juga berinovasi
sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagai makhluk yang turut menjadi saksi dalam setiap
fenomena perkembangan kedua elemen besar tersebut, tentunya kita mencoba,
membandingkan, dan menikmati beragam teknologi yang ada di setiap zamannya. Di
antara sekian banyak bentuk, hasil teknologi yang sampai saat ini kita gandrungi adalah
media sosial dan jejaring sosial. Seperti yang kita tahu, media sosial dan jejaring sosial
merupakan media baru yang selalu mengikuti apa yang saat ini sedang menjadi tren
atau populer di kalangan masyarakat. Kedua media tersebut juga menjadi sarana
komunikasi kita yang utama, baik itu ketika sedang berinteraksi dengan orang-orang
yang ada dalam ruang lingkup digital kita, maupun ketika kita sedang berselancar
mengarungi arus utama informasi.
Di era berpikir kritis seperti sekarang, media sosial pun juga secara tidak
langsung menambahkan fungsinya. Fungsi tersebut adalah menjadi mediator multi arah,
baik itu horizontal (antara warganet dengan para pejabat negara) atau vertikal (sesama
masyarakat awam). Secara umum, media sosial mampu menjembatani komunikasi yang
dibangun antara satu orang dengan orang yang lainnya berdasarkan pemikiran yang
menjadi hasil dari pengamatan suatu kejadian tertentu. Sedangkan secara rinci, media
sosial mampu menyediakan ruang virtual di mana orang-orang yang berpartisipasi
dalam suatu aktivitas atau kejadian yang sama secara virtual juga dapat menyalurkan
apa yang menjadi dasar dari pemikiran kritisnya.
29
perkembangan Pemilu 2019. Salah satu cara yang dapat ditempuh agar bisa menjadi
aktif dalam berpartisipasi adalah dengan menjadi masyarakat di jaringan digital. Hal ini
perlu ditempuh karena derasnya informasi yang masuk mengharuskan kita tidak hanya
untuk sekedar melihat, namun juga membandingkan antara satu narasumber dengan
narasumber lainnya, serta turut memberikan tanggapan dan respon tentang apa dan
bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh narasumber politik dalam mengomentari
setiap perkembangan yang tampak terkait dengan Pemilu 2019. Selain itu, keterlibatan
warga secara digital juga dapat menjadi cerminan revisi politik Indonesia yang
demokratis, kritis, dan independen.
30
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan yang dapat
ditarik oleh peneliti antara lain sebagai berikut:
5.2. Saran
Mengacu pada penarikan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan
oleh peneliti adalah:
1. Perlunya ruang yang dibuat secara virtual yang berguna bagi masyarakat untuk
mengamati, membahas, serta bertukar pikiran dan perspektif terhadap setiap
kejadian-kejadian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya
berita politik.
2. Perlunya pertimbangan masyarakat yang lebih mendalam mengenai keterlibatan
media sosial dan jejaring sosial sebagai mediator baru di dalam masyarakat. Hal
ini dilakukan untuk menyaring informasi-informasi yang dibutuhkan oleh
warganet dalam menganalisis bentuk komunikasi yang dikeluarkan oleh
narasumber politik terkait dengan perkembangan hasil Pemilu.
3. Pengembangan aplikasi media sosial dan jejaring sosial yang dibuat khusus untuk
memantau perkembangan politik terutama untuk berita yang bersifat sensitif
seperti Pemilu perlu dipertimbangkan secara bertahap dan khusus. Ini dilakukan
agar masyarakat mampu menyalurkan pemikiran kritisnya secara tepat guna serta
dapat menjadi pemicu sosial pemerintahan Indonesia dalam mengkaji peraturan
dan Undang-Undang yang berkenaan dengan politik di Indonesia.
31
4. Perlunya tindak lanjut pemerintah secara serius terkait dengan respon masyarakat
dalam menganalisis komunikasi yang dilakukan oleh narasumber politik ketika
membahas berita politik khususnya berita yang bersifat sensitif seperti
perkembangan hasil Pemilu 2019. Ini dapat dilakukan dengan melakukan
pendidikan dan pelatihan serta pengarahan tentang pembuatan dan penggunaan
pemikiran kritis yang tepat dalam menanggapi segala bentuk dan konten siaran
yang dikonsumsi oleh masyarakat.
32
DAFTAR PUSTAKA
APJII. (2018, March 22). Cerita di Balik Kesuksesan Pemerintah Tarif Pajak Google.
Pengguna Gen Millenial Lebih Suka Snapchat dan Instagram Ketimbang Facebook,
p. 6.
Cangara, H. (2016). Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
David, E. M. (2017). Pengaruh Konten Vlog dalam Youtube terhadap Pembentukan Sikap
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam
Ratulangi. Acta Diurna.
Juditha, C. (2011, Juni). Hubungan Penggunaan Situs jejaring Sosial Facebook terhadap
Perilaku Remaja di Kota Makassar. IPTEK-KOM, XIII(1).
Klapper, J. T. (1963). Mass Communication Research : An Old Road Resurveyed. Public
Opinion Quarterly, 515-527.
Littlejohn, S. W. (1999). Theories of Human Communication (6th ed.). Albuquerque:
Wadworth Publishing.
Littlejohn, S. W. (2005). Theories of Human Communication (8th ed.). Albuquerque:
Wadworth Publishing.
Morissan, Wardani, A. C., & Hamid, F. (2013). Teori Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia.
Nasrullah, R. (2015). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Powers, J. H. (1995). Communication Education 4 - On the Intellectual Structure of the
Human Communication Discipline.
Rubin, A. M. (1994). Media Effects : A Uses and Gratifications Perspectives.
Santoso, E., & Setiansah, M. (2010). Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryanto. (2018). Pengantar Ilmu Komunikasi Politik. Bandung: Pustaka Setia.
Suzuki, K. (2007). resume. Retrieved 08 10, 2019, from gsis.kumamoto-u.ac.jp:
www.gsis.kumamoto-u.ac.jp/ksuzuki/resume/addresses/a30727.pdf
Vardiansyah, D. (2008). Filsafat Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks.
Wiendijarti, I. (2008). Pengaruh Kredibilitas Narasumber Berita Politik terhadap Internalisasi
Nilai Berita Politik. Jurnal Ilmu Komunikasi, 33-41.
Woolley, J. K., Limperos, A. M., & Oliver, M. B. (2010). The 2008 Presidential Election, 2.0
: A Content Analysis of User-Generated Political Facebook Groups. Journal Mass
Communication and Society, XIII.
33