Materilaitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang bergantung pada ukuran dan sifatnya serta jika terjadi suatu kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat pos pos laporan keuangan, baik secara sendiri sendiri maupun secara bersamaan, yang dapat mempengaruhi keputusan keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan. a.Materialitas dan rules based standard Rules based standards merupakan Standar akuntansi berbasis aturan (rule based accounting standard) adalah sebuah sistemakuntansi di mana aturan rinci menentukan bagaimana standar akuntansi harus diterapkan untuk berbagai kegiatan usaha. Prinsip akuntansi yang berlaku umum di AS (GAAP) dianggap sebagai sistem berbasis aturan. Standar ini kurang memberikan keleluasan dibandingkanstandar akuntansi berbasis prinsip. b. Kelemahan Standar Berbasis Peratutan (Rule Based standart) Beberapa kelemahan dari standar yang berbasis aturan antara lain : -Standar berbasis aturan selalu dirasa kurang lengkap. -Karena eksplesit, standar akuntasi berbasis aturan beresiko berumur pendek karena turbulensi perubahan lingkungan akuntansi. -Terasa over-regulated atau berlebihan oleh pengguna standar. -Garis Besar Haluan Standar Akuntansi (GBHSA) terbesar antara lain adalah penyusunan standar akan standar berbasis aturan (Rule based) atau standar berbasis prinsip (Principle based). -Perdebatan mengenai principal based dan rules based telah berlangsung selama lebih dari satu decade. -Proses konvergensi IASB dengan FASB terus berjalan untuk menghilangkan perbedaan mendasar dari dua standar akuntansi dunia tersebut.
2. Proses penentuan materialitas
Langkah pertama, yaitu mempelajari informasi informasi yang berkenaan dengan laporan keuangan yang akan diauditnya. Auditor mengidentifikasi risiko salah saji : pada akun mana, atau tentang pengungkapan apa, dalam laporan keuangan yang mana ( laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan seterusnya). Dalam langkah pertama ini, auditor seperti membaca peta lencana, dan berusaha melokalisasi wilayah bencana. Langkah yang kedua, auditor mengubah titik pandangnya kepada pengguna laporan keuangan, dimana mereka menggunakan laporan keuangan untuk mebuat berbagai macam keputusan ekonomis, seperti menanam modal dalam perusahaan tersebut, berbisnis dengan entitas, meminjamkan uang, dan lain lain. Langkah kedua dalam proses menetapkan besarnya materialitas besifat konseptual. Auditor tidak betul betul bertemu dengan investor dan mengajukan pertanyaan. Proses konseptual imajinatif ini bisa disebut dengan fictie. Contohnya seperti membaca analisis yang dibuat para analis pasar modal tentang prospek PT Tbk ABC dan masalah yang dihadapi. Atau, auditor mempelajari rekasi pimpinan perusahaan jika terjadi “ bencana”, seperti sanksi hukum ( tuntutan ganti rugi korban bencana lapindo), putusan pengadilan, kehilangan pemasok penting atau pelanggan besar. Langkah ketiga, menentukan besarnya materialitas. Dimana terdapat ambang batas yang disebut dengan” materialitas untuk laporan keuangan secara menyeluruh “ disingat “ overaall materiality “, dimana tidak didasarkan pada penilaan risiko audit, namun ditentukan sepenuhnya oleh pemahaman auditor mengenai reasonable user. Secara konseptual, materialitas menyeluruh sama dengan materialitas yang digunakan pengguna laporan keuangan.
3. Materilaitas dalam proses audit
Terbagi menjadi 3 tahap : a. Risk assesment ( penilaian risiko) -Menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) dan performance materiality -Merencanakan prosedur penilaian resiko yang harus dilaksanakan -Mengidentifikasi dan menilai resiko salah saji material b. Risk respone ( menanggapi risiko) -Menentukan sifat,waktu, luas prosedur audit selanjutnya -Merevisi angka material karena perubahan situasi selama audit berlangsung c. Reporting ( pelaporan) -Mengevaluasi salah satu yang belum di koreksi oleh entitas tersebut -Merumuskan pendapat auditor
4. Materialitas pada dua tingkat
Konsep materialitas pada dua tingkat -Tingkat laporan keuangan secara menyeluruh ( financial statement level) a. Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas : b. Pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit. Contoh panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik : 1. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak. 2. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½ % sampai 1 % dari total aktiva. 3. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1 % dari total pasiva. 4. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto. - Tingkat saldo akun, jenis transaksi, dan pengungkapan ( account balance, class of transactions, and disclosure level) Pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Hubungan Antara Materialitas Dengan Bukti Audit Materialitas Bukti Audit Materialitas merupakan satu diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan (kuantitas) bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah bukti yang diperlukan ( hubungan terbalik ).