Anda di halaman 1dari 34

KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : M. Akhyar

A. Pendahuluan

Pendidikan sebagai salah satu aset bangsa merupakan perwujudan

yang tak pernah hpadam dari dunia pengetahuan. Pendidikan dapat

dijadikan sebagai pemacu bagi tersosialisasinya kebutuhan manusia akan

nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah moral serta dimensi-dimensi lain yang

mendukung perkembangan dunia modern yang semakin kosmopolit

(mendunia). Oleh sebab itu pula, program perencanaan, pematangan, dan

pengontrolan kualitas pendidikan di negara mana pun, termasuk di

Indonesia sangat diutamakan, karena dengan kematangan (kebijakan)

pendidikan, akan dapat mengantisipasi problematika intelektual manusia

yang mendambakan solusi terbaik dalam menghadapi kehidupan global.

Dalam upaya mewujudkan cita-cita penyelenggaraan pendidikan,

sudah barang tentu perlu dirumuskan dalam kurikulum karena kurikulum

sangat penting dalam membentuk manusia-manusia yang siap pakai,

berkepribadian integral dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, di

mana di dalam penyelenggaraannya perlu pula suatu pengawasan berupa

pengontrolan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang kelak mengguncang

kekokohannya. Kurikulum sebagai basis bagi sebuah pendidikan dalam hal


2

ini mendapat tantangan berat demi kokohnya sebuah pilar penyangga bagi

kesuksesan pendidikan.

Bermunculannya ide-ide pembaharuan kurikulum dalam tataran

lembaga pendidikan, telah menimbulkan beberapa ide baru yang cemerlang

di kalangan para pakar pendidikan, sehingga muncul pula berbagai sumber

tambahan dalam suatu perumusan kurikulum, termasuk dengan mencuatnya

Program Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sedang hangat

dibicarakan. Kurikulum yang jitu, memang tidak hanya muncul sekali saja,

akan tetapi muncul secara berulang kali menyesuaikan diri dalam wacana

kontekstual sesuai dengan zamannya, baik ditinjau dari aspek kealaman

(sunnah Allah) maupun aspek-aspek religius lainnya, sesuai dengan

berbagai pendekatan yang dianggap mewakili dari berbagai lini kehidupan.

B. Kurikulum dalam Perbincangan Pakar Pendidikan

Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin curriculate yang

berarti bahan pengajaran.1 Ada pula yang mengatakan kata tersebut berasal

dari bahasa Prancis courier yang berarti berlari, yang digunakan dalam

dunia atletik.2

Oemar Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran

menyatakan bahwa kata kurikulum menjadi suatu istilah yang digunakan

1
Noah Webster, Webster New Twententh Centery Dicteonery, (Unabridge: Willian
Collins Publisher, 1980), hlm. 447
2
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung: Jemmars, 1980), hlm. 5
3

untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk

mencapai gelar atau ijazah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Crow and

Crow yang menyatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran

yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk

menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.3

Selain itu ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah

mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan

koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan.4

Dari beberapa pendapat tersebut, diketahui bahwa kurikulum pada

hakekatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu jenjang kegiatan

pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan

lulus dan berhak mendapatkan ijazah (Surat Tanda Tamat Belajar). Dengan

adanya pengakuan formal seperti ijazah, anak didik memperoleh

kesempatan yang lebih besar dalam melanjutkan pendidikan dan mencari

pekerjaan dengan lapangan kerja yang sesuai dengan keahliannya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan

dunia pendidikan, pandangan tradisional mengenai pendidikan mulai

ditinggalkan karena dianggap terlalu sempit dan terbatas. Saylor dan

3
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1990),
Edisi III, hlm. 75
4
Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory Qur’anic Out Look, (Mekkah:
Ummul Qura University, tt), hlm. 123
4

Alexander dalam bukunya Curriculum Planning menyatakan bahwa

kurikulum bukan sekedar memuat sejumlah mata pelajaran akan tetapi

termasuk pula di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan

yang diinginkan.5

Smith sebagaimana yang dikutip oleh Burhan Nurgiantoro

berpendapat bahwa kurikulum adalah Asequence of potencial experiences

it set up in the school for the porpuse of disciplining children and youth in

groups way thinking and acting.6 Dalam defenisi ini jelas tampak

penekanan Smith pada aspek sosial yakni mendidik anak menjadi anggota

masyarakat. Pengertian kurikulum yang disebut terakhir ini sejalan dengan

pendapat Hasan Langgulung yang berpendapat kurikulum adalah sejumlah

pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian baik

yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.7

Pendapat yang terakhir mengenai kurikulum berbeda dengan

pendapat yang dikemukakan sebelumnya di atas. Perbedaan tersebut terlihat

dari segi sumber pelajaran yang termuat dalam kurikulum, jika sebelumnya

kurikulum hanya terbatas pada kegiatan pengajaran yang dilakukan di

dalam kelas, maka pada pengembangan berikutnya pendidikan dapat pula

5
Saylor and Alexander, Curriculum Planning: for better Teaching and Learning,
(USA: Holt Rinehart and Winston, 1954), hlm. 4
6
Burhan Nurgiantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah
Pengantar Teoretis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPEE, 1988), hlm. 4
7
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, al-Husna, Jakarta, 1987, hlm.
483-484
5

memanfaatkan berbagai sumber pengajaran yang terdapat di luar kelas

seperti perpustakaan, museum, pameran, majalah, surat kabar, siaran

televisi, radio, dan sebagainya dengan cara seperti ini para siswa dapat terus

mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi

kebudayaan dan lain-lain yang terjadi di luar sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, mengenai kurikulum dapat ditarik

kesimpulan bahwa kurikulum bukan sekedar memuat sejumlah mata

pelajaran akan tetapi meliputi seperangkat proses atau segala usaha sekolah

untuk mencapai tujuan yang diinginkan seperti pengalaman pendidikan,

kebudayaan sekolah, sumber pengajaran baik yang berada di dalam maupun

di luar sekolah seperti perpustakaan, museum, majalah, surat kabar, televisi,

radio atau perangkat bahan pengajaran, baik keras (hardware) maupun

lunak (software) yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh sebab itu, sistem pendidikan di

sekolah maupun lembaga pendidikan lain, yang memungkinkan majunya

sebuah kurikulum tidak terlepas dari berbagai pengaruh, baik pengaruh dari

dalam (di kelas) maupun dari luar (luar kelas), dengan cara mengadopsi

berbagai pengalaman dan perangkat pengelolaan kurikulum yang terdiri

dari kemampuan dan pengalaman seseorang dalam mengaduk, meramu dan

mempola kurikulum, dibantu oleh peralatan-peralatan canggih seperti

komputer dan sarana informasi lainnya.


6

C. Wacana Pengembangan Kurikulum

a. Asas-Asas Kurikulum

Secara teoretis setiap kegiatan yang dilakukan seharusnya ada

sesuatu asas atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan tersebut, atau

dengan kata lain adanya asas yang dijadikan pertimbangan kegiatan.

Demikian pula halnya dengan penyusunan kurikulum, S. Nasution dalam

karyanya Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, menyebutkan ada 4 asas

yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum yaitu dasar

filosofis, psikologis, sosiologis dan organisatoris.8

1. Dasar Filosofis

Dasar filsafat mencakup dua masalah, yaitu filsafat negara dan

tujuan pendidikan. Filsafat suatu negara atau pandangan hidup suatu bangsa

berisi ide-ide, cita-cita, sistem nilai yang harus dipertahankan demi

kelangsungan suatu bangsa. Tentu saja setiap negara mempunyai dasar

filsafat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.9 Dalam rangka

mencapai tujuan pendidikan tentu realisasinya melalui penghayatan filsafat

negara. Tujuan tersebut pada intinya mencakup isi kandungan falsafah

8
S. Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Jemmars, tt), hlm.
10. Hal ini sejalan dengan pendapat Jabir Abdul Hamid, (Kairo: Dar al-Nahdhah,
1978), hlm. 18-23
9
Sebagai contoh misalnya orang Sparta, filsafat hidupnya untuk berbakti dan
memperkuat negara dengan kemampuan fisik sehingga dalam materi pendidikan
mereka dimasukkan berbagai macam olah raga seperti renang, lari, loncat tinggi
sehingga terbentuk orang yang kuat jasmani, orang yang mampu berkelahi dengan
singa dan harimau dianggap sebagai pahlawan dalam masyarakat Sparta. Lihat Tajab,
Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karta Aditama, 1994), hlm. 60
7

negara masing-masing. Di negara Indonesia misalnya berdasarkan

Pancasila (lima dasar) yang menjadi falsafah bangsa, yang sasarannya

adalah: ketundukan kepada Sang Pencipta (Tuhan YME), mengandalkan

kemanusiaan, persatuan, kerja sama dan permusyawaratan serta aplikasi

keadilan sosial bagi masyarakat. Beranjak dari kelima tujuan tersebut yang

notabene adalah kandungan filsafat negara itu sendiri, maka kaitannya

dengan kurikulum pendidikan di Indonesia selalu saling mempengaruhi dan

tidak bisa lepas antara satu dengan yang lain. Kurikulum pendidikan

tersebut, selanjutnya diharapkan dapat diterima dan teraplikasi melalui

sejumlah keterampilan dan proses belajar mengajar yang terencana secara

efektif.

2. Dasar Psikologis

Dasar psikologis juga merupakan asas yang penting yang harus

diperhitungkan dalam kegiatan penyusunan kurikulum. Dalam hal ini

terutama menyangkut ilmu jiwa belajar dan ilmu jiwa anak atau ilmu jiwa

perkembangan.

a. Ilmu Jiwa Belajar

Yaitu ilmu pengetahuan tentang bagaimana proses belajar itu

berlangsung dalam diri seseorang. Teori tentang proses belajar akan

mempengaruhi penyusunan dan penyajian kurikulum secara efektif.

Sekolah didirikan untuk kepentingan anak, untuk itu perlu diciptakan

situasi di mana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakat, minat serta
8

dapat memenuhi kebutuhan anak. Selama berabad-abad anak tidak

dipandang sebagai manusia yang berbeda dengan orang dewasa. Baru

setelah Rosseau melakukan penelitian ilmiah anak itu dikenal sebagai anak

yang mempunyai kebutuhan sendiri dengan perkembangannya. Sejak

permulaan abad 20, anak mendapat perhatian dan menjadi salah satu asas

dalam pengembangan kurikulum yaitu child centered curriculum sebagai

reaksi terhadap kurikulum kurang menghiraukan kebutuhan dan minat

anak.

b. Ilmu Jiwa Anak

Anak menduduki peranan sentral dalam penyusunan kurikulum,

sebab pada dasarnya sekolah dan kurikulum memang dipersiapkan untuk

kepentingan anak dalam proses menuju kedewasaan dan kematangannya.

Pengetahuan tentang anak mutlak diperlukan karena di situlah akan

diketahui minat dan kebutuhannya sesuai dengan tingkat perkembangan

jiwanya. Kurikulum yang disusun harus didasarkan pada tingkat

perkembangan minat demi kebutuhan anak tersebut.

Pendidikan adalah salah satu institusi atau lembaga yang terlibat

langsung dalam proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan

menjadi kewajiban bagi pendidikan agar senantiasa menguatkan pertalian

atau hubungan kerja dengan masyarakat dan kebudayaan tempat

pendidikan itu berlangsung, memelihara kebudayaan serta perubahan-

perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat perkembangan ilmu


9

pengetahuan dan teknologi. Untuk itu pendidikan harus meniadakan

kepincangan-kepincangan kebudayaan dengan cara menjembatani

ketimpangan kebudayaan dalam masyarakat dengan cara menarik

ketertinggalan sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara budaya

lama dan budaya baru.

3. Dasar Sosiologis

Anak dipersiapkan untuk terjun di masyarakat dengan dibekali

kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Anak perlu

dibekali dengan norma-norma nilai, kebiasaan-kebiasaan yang sesuai

dengan keadaan dan pandangan masyarakat. Masyarakat biasanya

menginginkan agar pandangan hidup, nilai-nilai yang diyakini tetap

terpelihara dengan aman. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat dalam hal

ini harus pula diperhitungkan.

Anak didik sebagai subjek pendidikan, diharapkan mampu

mencerna, menghayati sekaligus mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh

di sekolah. Selanjutnya diaplikasikan kepada masyarakat di mana ia berada.

Berdirinya sebuah sekolah di suatu tempat, tentunya para siswa sekolah

tersebut tidak jauh dari lingkungan berdirinya sekolah, oleh sebab itu

sebuah sekolah diharapkan mampu menampung aspirasi masyarakat di

sekitarnya dalam menjalankan misi, kegiatan, bahkan kepentingan atau

maslahat umum yang berguna demi kepentingan sekolah, anak didik dan

masyarakat. Hal ini bisa ditempuh dengan menampung aspirasi masyarakat


10

dan memasukkannya ke dalam muatan-muatan lokal, yang kelak setelah

para siswa tamat dari sekolah tersebut, mereka dapat mengabdikan diri

sesuai dengan kapasitas ilmu yang diperoleh.

4. Dasar Organisatoris

Seperti telah disinggung di atas, hal ini berhubungan dengan masalah

pengorganisasian kurikulum, yaitu tentang bentuk penyajian pelajaran yang

harus disampaikan kepada anak didik. Dari berbagai uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa asas filosofis berperan sebagai penentu tujuan umum

pendidikan, sedangkan asas psikologis berperan memberikan berbagai

prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya serta

cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai anak

didik sesuai dengan tahap perkembangannya, dan sosiologis berperan

memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, selanjutnya asas organisatoris berperan

memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu

disusun.

Tomy al-Syaibany dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam

menambahkan asas agama di samping asas-asas yang disebutkan di atas.10

10
Asas-asas penyusunan kurikulum menurut Syaibany meliputi: agama,
filsafat, psikologis dan kemasyarakatan. Penambahan asas tersebut untuk
membedakan antara kurikulum secara umum dengan penyusunan kurikulum
11

Hal ini dimaksudkan agar kurikulum yang disusun relevan dan tidak

bertentangan dengan ajaran agama. Asas-asas yang disebutkan di atas

merupakan bagian yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan

cermat dalam penyusunan kurikulum.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, di mana kurikulum

sebagai jantung utama dalam pencapaiannya, haruslah kurikulum berbasis

Islam mampu mewarnainya, kandungan-kandungan ajaran Islam harus

dimuat di dalamnya, seperti tafsir, hadis, fiqh, dasar-dasar akidah, ilmu

hadis, ushul fiqh, nahu, saraf, balaghah, adab, dan sebagainya.11 Jadi, harus

mengandung juga segala ilmu yang bermanfaat dalam agama dan dunia

termasuk falsafah, tarikh, ilmu alam, ilmu falak, kedokteran, matematika,

teknik, sains, fisik, dengan segala cabang-cabangnya. Islam tidak

menghalang mempelajari ilmu mana pun yang berguna, selama kajian itu

berlaku dalam rangka penyempurnaan akidah dan akhlak.

b. Approach (Pendekatan) Kurikulum

Dalam rangka pendekatan kurikulum, paling tidak ada dua sisi yang

perlu diperhatikan, yaitu pendekatan religius, dalam arti memperhatikan

ilmu-ilmu yang sifatnya naql (kewahyuan) dan pendekatan penalaran (‘aql).

Kedua sisi ini bila dipadukan akan membentuk suatu komunitas keilmuan

pendidikan Islam, Omar Muhammad al –Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-


Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 525-531
11
Ibid., hlm. 525
12

yang luar biasa. Inilah yang selama ini seolah terlupakan dalam benak para

pakar kontemporer dewasa ini.

Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang

diwahyukan (naql) terdiri dari ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu hadits, ilmu

faraidh, ilmu waris, kalam, tasawuf, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang

diperoleh melalui pengalaman, perenungan dapat digolongkan kepada

penalaran aql yang terdiri dari aritmatika, geometri, sosial budaya, politik,

fisika, biologi, kimia, kedokteran, pertanian, metafisika serta ilmu-ilmu lain

yang dihasilkan oleh penalaran manusia yang berkembang sesuai tuntutan

zaman dan tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Pengetahuan terbagi dua, pertama: pengetahuan yang diwahyukan,

yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’ân sebagai sumber utama bagi akidah

yang benar, kedua: pengetahuan yang diperoleh, bisa melalui ilmu-ilmu

alam yang ditempuh melalui pengalaman, perenungan serta penelusuran

akan keagungan Tuhan melalui alam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi adalah sahabat bagi keimanan dan lawan bagi ateisme.12

Pemilahan yang ada antara 2 (dua) klasifikasi di atas, pada dasarnya

dilaksanakan harus seiring sejalan, saling mengikat dan tak bisa dipisahkan,

karena menurut al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah.13 Sebagian

12
Muhammad al-Ghazâli, Qadhâya al- Mar’ah; Baina al-Taqâlîd al Râkidah al-
Wâfidah, Mesir: Dâr al Syurûq, 1994
13
Hal ini juga telah disepakati dalam Sidang Konferensi Internasional
tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di Universitas King Abdul Aziz Jeddah.
13

diwahyukan kepada orang yang dipilihnya, sebagian lain diperoleh manusia

dengan menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang

diwahyukan14 mempunyai kebenaran yang absolut; sedangkan pengetahuan

yang diperoleh, kebenarannya tidak mutlak (relatif).

Oleh sebab itu, konsekuensinya adalah bahwa apa pun ilmu yang

diperoleh akal melalui penelusuran/ penalaran, tentunya beranjak dari

wewenang yang diberikan wahyu (naql) kepada manusia. Sekiranya ada

ilmu-ilmu aqliyah yang kebenarannya masih diragukan, maka pasti ada

jalan lain yang akan menggantikannya suatu saat, sesuai dengan arus

perkembangan dan kemajuan ilmu dan peradaban manusia.

Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu

dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Ibn Khaldun

menyebutnya dengan istilah pengetahuan naqliyah (diwahyukan) dan

pengetahuan aqliyah (dipikirkan).15 Jadi, pemikiran al-Ghazali tampaknya

dipengaruhi oleh konsep pemikiran Ibn Khaldun, karena Muhammad al-

Ghazali dalam membagi klasifikasi ilmu di samping berdasarkan wahyu,

juga melalui jalur penalaran dan budaya yang berkembang. Ia tidak mau

menginterpretasikan ayat-ayat Allah secara kaku, namun disesuaikan

14
Al-Qur’an merupakan pegangan hidup (falsafah abadi) umat Islam, dan
menjadi kerangka pijakan berfikir dari dulu hingga masa dating. Ia merupakan tiang
utama dari seluruh prinsip kehidupan, budaya dan etika (moral). Al-Qur’an juga
menjadi landasan abadi sistem ekonomi, sosial, basis moral dan landasan pendidikan
secara universal.
15
Ibn Khaldûn, al-Muqaddimah, Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t., hlm. 340
14

dengan konteks yang ada. Ibn Khaldun juga mengatakan bahwa konstruksi

proses pendidikan adalah konstruksi sosial budaya dalam kaitan

perkembangan intelek dan watak manusia. Pendidikan dari sudut

materialnya menurut Ibn Khaldun disusun atas konsep itu, maksudnya

jumlah cabang dari setiap jenis ilmu berkembang sesuai dengan

perkembangan budaya dan peradaban manusia.16

Sekarang, tatkala pemikiran telah begitu maju, keterampilan manusia

juga semakin laju, tatkala keimanan dan pemikiran tidak sejalan lagi, maka

hubungan antara pengetahuan yang diwahyukan dengan pengetahuan yang

diperoleh terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Inilah

pandangan secular. Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik

dalam diri perseorangan maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu,

keterpisahan tersebut seharusnya diakhiri, kedua pengetahuan itu harus

disatukan lagi.

Pengintegrasian kembali kedua pengetahuan itu harus dimulai

dengan membangun kembali filsafat pengetahuan dalam Islam, dan juga

mengintegrasikan sistem pendidikan. Orang Islam harus segera menyadari

bahwa tradisi aslinya telah dikacau oleh tradisi Barat. Tradisi Barat

memang memisahkan pengetahuan yang diwahyukan dari pengetahuan

yang diperoleh. Jadi, pengetahuan dalam Islam sebenarnya hanya satu.

Pengetahuan yang diwahyukan termasuk sunnah atau hadîts nabi, sedang


16
Ibid., hlm. 340-405
15

pengetahuan yang diperoleh mencakup banyak cabang dan disiplin ilmu

pengetahuan. Pengetahuan yang diwahyukan diperoleh dengan cara

menerima, yaitu diwahyukan; jadi, ia diturunkan, diberikan begitu saja

karena kasih Tuhan. Adapun pengetahuan yang diperoleh didapat dengan

cara mencarinya; alat mencarinya ialah indera, akal dan hati. Klasifikasinya

sebagaimana telah diuraikan sebelumnya

Dengan adanya konsep keilmuan yang notabene adalah wahyu dan

akal, tentunya dalam memformulasikan pendekatan dan pengembangan

kurikulum pendidikan Islam, juga harus berakar dari konsep ilmu ini,

karena dengan aplikasi kedua sumber ilmu tadi, semua pemecahan dan

konseptualisasi wacana pengembangan kurikulum akan terlaksana dengan

baik, tersosialisasi secara universal di kalangan anak dudik, dengan syaart

adanya jalinan kerja sama antara guru, kepala sekolah, masyarakat dan

pemerintah.

c. Isi atau Materi Kurikulum Pendidikan di Sekolah

Dalam rangka penelaahan isi atau materi kurikulum pendidikan

Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah tentu akan

melibatkan pembicaraan mengenai konsep ilmu. Hal ini disebabkan karena

ilmu merupakan sub sistem yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan

Islam. Pernyataan bahwa ilmu merupakan sub sistem yang tidak

terpisahkan dari pendidikan Islam, juga tersirat dari defenisi pendidikan

secara umum, yang dikemukakan al-Attas yaitu “sebagai sesuatu yang


16

ditanamkan secara bertahap ke dalam diri manusia”,17 di mana sesuatu yang

ditanamkan ke dalam secara bertahap ke dalam pendidikan itu, tidak lain

adalah kandungan pendidikan, atau dengan kata lain, materi atau isi yang

ditanamkan. Hal ini mengacu pada ilmu itu sendiri, walau isi pendidikan

seperti yang diutarakan Hasan Langgulung, bukan hanya melibatkan ilmu,

tetapi juga keterampilan dan sikap.18 Tetapi dalam konsepsi Naquib al-Attas

“sesuatu” yang ditanamkan dalam pendidikan adalah tujuan mencarinya,

kendatipun demikian al-Attas tidak menyangkal bahwa ilmu merupakan

kandungan pendidikan itu sendiri.19

Lebih lanjut al-Attas mengatakan bahwa alam semsta sebagaimana

yang digambarkan di dalam al-Qur’an seperti sebuah buku besar yang

terbuka, dan setiap rincian di dalamnya meliputi cakrawala yang terjauh,

maupun diri kita sendiri adalah sebuah kata dalam buku besar yang

berbicara kepada manusia tentang pengarangnya.20 Al-Attas lebih lanjut

menjelaskan, “kata” dalam kenyataannya adalah suatu tanda, suatu symbol,

dan untuk mengetahui sebagaimana adanya, berarti mengetahui apa yang

diwakilinya, apa yang disimbolkan dan apa maknanya. Mempelajari kata

demi kata dan memandangnya seakan-akan memiliki hakekat

17
Syed Muhammad Naquib al- Attas, The Concept of Education in Islam; a Form
W ok for an Islamic Philosophy of Education,(Kuala Lumpur: ABIM, 1980), hlm. 13
18
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta, al-Husna, 1987),
328
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, op.cit., hlm.16
20
Ibid.
17

independennya sendiri berarti kehilangan pandangan yang sebenarnya

dalam mempelajarinya. Karena jika demikian keadaannya, kata tadi tidak

lagi berarti symbol atau lambing, sebab ia dibuat pada hakikatnya, yakni

yang sebenarnya. Demikian pula halnya dengan pengkajian alam, segala

sesuatu, setiap objek pengetahuan di dalam penciptaan, yang dicari untuk

mendapatkan pengetahuan.21

Apa yang dikemukakan al-Attas adalah ringkasan pemaparan al-

Qur’an tentang ayat yang mengacu pada “kata-kata” yakni benda-benda.

Dan itulah sebabnya, al-Attas mendefenisikan ilmu dari sudut epistimologi

sebagai sampainya makna sesuatu pada jiwa dan sampainya jiwa pada

makna sesuatu.

Dalam konsep Iskandar Wiryokusumo, kurikulum yang digambarkan

merupakan suatu cita-cita dalam bidang pendidikan. Cita-cita merupakan

harapan, karena itu apa yang direncanakan dalam kurikulum yang sifatnya

resmi, pada hakikatnya merupakan idealisasi tentang wujud hasil

pendidikan yang ingin dicapai.22

Dalam konsep Mahmud Yunus, sebagaimana Hasan Langgulung

juga sepakat, mengatakan bahwa dalam pendidikan Islam ada 3 aspek

kepribadian yang harus dibina yaitu:

1. Aspek jasmani

21
Ibid.
22
Iskandar Wiryokusumo, dan Usman Mulyadi, Dasar - dasar Pengembangan
Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 93
18

2. Aspek akal, yaitu pembinaan kecerdasan dan pemberian

pengetahuan

3. Aspek rohani (jiwa/hati), yaitu pembinaan segi keagamaan23

Aspek jasmani penting untuk dibina karena di dalam tubuh yang

sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana mungkin seseorang ingin

menyeru dan mengajak orang lain kepada kebaikan, sementara fisiknya

lemah lunglai. Bagaimana mungkin jasmani seseorang yang penuh dengan

berbagai penyakit bisa berpikir serius, melaksanakan skema pemikirannya

menerobos dunia cakrawala global. Oleh karenanya pendidikan jasmani,

dalam upaya menyegarkan dan menyehatkan tubuh bisa mendobrak

kemacetan yang ada. Dengan fisik yang kuat, kita bisa mengajak manusia

kepada kebaikan, menyeru mereka kepada pendidikan moral menuju

kehidupan yang didambakan setiap insan.

Aspek akal, perlu dibina dan dimasukkkan ke dalam isi materi

kurikulum, karena beda antara manusia dengan makhluk lainnya adalah

akal pemikiran. Manusia dengan akalnya mampu mengubah dunia,

membangun kehidupan menuju sebuah kehidupan yang hakiki.

Implementasi penggunaan akal dalam rancangan kurikulum menjadi

23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1966), hlm.
5. Selanjutnya Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam mengatakan bahwa dalam Islam
tak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Konsep tentang
agama dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba pemikiran
teologi bukanlah karakter Islam, lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi u
ntuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 167
19

penting karena semua lapangan pendidikan dan pengajaran berpatokan

kepada pola piker pendidik, di mana penggunaan pola piker ini, barang

tentu peran aktif dari akal sangat diperhitungkan. Pengarahan-pengarahan

berupa nasehat, materi pelajaran, metode pengajaran selalu dipikirkan

(digodok) terlebih dahulu secara matang sebelum melangkah ke jalur yang

salah. Akal juga harus mendapatkan pendidikan Islami yang bertujuan

untuk mengajarkannya bagaimana berpikir, melihat dan merenung sehingga

dengan itu ia sampai kepada keimanan kepada Allah SWT.

Selain aspek jasmani dan akal, implikasi aspek rohani (jiwa’ruh)

sangat dominan sekali. Ruh merupakan bagiann yang paling mulia dari

manusia, karena ruh adalah tiupan dari Allah SWT dan harus dididik

dengan tujuan untuk mempermudah jalan di hadapannya untuk berma’rifat

kepada Allah SWT dan membiasakannya serta melatihnya untuk

melaksanakan ibadah kepada-Nya.

D. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

1. KBK dan Karakteristiknya

Kurikulum Berbasis Kompetensi ialah suatu konsep kurikulum yang

menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi)

tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat

dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat

kompetensi tertentu.
20

Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara

individual maupun klasikal

b. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman

c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan

metode yang bervariasi

d. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lain

yang memenuhi unsur edukatif

e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya

penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi24

2. Keunggulan KBK

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mempunyai

beberapa keunggulan disbandingkan dengan model lainnya.

Pertama, pendekatannya bersifat alamiah (kontekstual), karena

berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk

mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-

masing. Dalam hal ini peserta didik merupakan subjek belajar, dan proses

belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami

24
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), hlm. 42
21

kemajuan berdasarkan kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan

(transfer of knowledge).

Kedua, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) boleh jadi mendasari

pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu

pengetahuan, dan keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan

memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan

aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan

standar kompetensi tertentu.

Ketiga, ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentru yang

dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi,

terutama yang berkaitan dengan keterampilan.

3. Indikator keberhasilan KBK

Keberhasilan kurikulum berbasis kompetensi yang dalam

pengembangannya memberikan kewenangan sangat besar kepada sekolah

melalui pengambilan keputusan partisipatif, sangat ditentukan oleh kepala

sekolah, guru, siswa, karyawan, orang tua, dan masyarakat. Keberhasilan

tersebut dapat dilihat dari:

a. Adanya peningkatan mutu pendidikan

b. Adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan

penggunaan sumber-sumber pendidikan


22

c. Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi warga dan

masyarakat sekitar sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan

d. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah kepada pemerintah,

orang tua, peserta didik, dan masyarakat

e. Adanya kompetisi yang sehat antar sekolah dalam peningkatan mutu

pendidikan melalui upaya-uupaya inovatif dengan dukungan orang

tua, masyarakat, dan pemerintah setempat

f. Tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di

kalangan warga sekolah, bersifat adaftif dan proaktif serta memiliki

jiwa kewirausahaan tinggi

g. Terwujudnya proses pembelajaran yang efektif

h. Terciptanya iklim sekolah yang aman, nyaman dan tertib

i. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.25

Dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi ini, diharapkan anak

didik atau pelajar mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai anak yang

mampu, berbakat, berilmu pengetahuan serta memiliki berbagai keahlian

yang bisa diandalkan, hal ini tentu akan mengakselersikan selesainya ia di

sekolah dengan menyandang predikat yang paling tinggi (the high quality)

disbanding teman-teman sebayanya. Ini merupakan cerminan tanggung

jawab sekolah dengan mengadakan berbagai kerja sama, baik antara pihak

25
Ibid., hlm. 181-182
23

sekolah dengan orang tua, sekolah dengan masyarakat, bahkan jalinan kerja

sama dengan pemerintah.

Kurikulum berbasis kompetensi juga menjadi jembatan bagi ajang

kompetisi anak didik untuk terjun dalam berbagai perlombaan keterampilan

(skill) yang mereka miliki. Dan tentunya ini menunjukkan keseriusan

pendidikan kita yang perlu dicermati dan dipertahankan kualitasnya demi

mengejar ketertinggalan mutu pendidikan kita dari berbagai negara lain.

E. Prinsip-Prinsip Kurikulum

Kurikulum pendidikan Islam memiliki beberapa prinsip yang harus

ditegakkan. Al-Syaibany dalam bukunya Falsafah al-Tarbiyah al-

Islamiyah menyebutkan 7 (tujuh) prinsip kurikulum pendidikan Islam

yaitu:

Pertama, prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk

ajaran dan nilai-nilainya. Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum,

mulai dari tujuan, kandungan, metode, mengajar, cara-cara perlakuan dan

hubungan yang berlaku dalam lembaga pendidikan harus berdasarkan

agama Islam, keutamaan cita-cita kemauan yang baik sesuai dengan ajaran

Islam.

Kedua, prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan-

kandungan kurikulum yakni mencakup tujuan membina aqidah, akal dan

jasmaninya dan lain yang bermanfaat bagi masyarakat dalam


24

perkembangan spritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik termasuk ilmu

agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, profesional, seni rupa dan lain

sebagainya.

Ketiga, prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan dan

kandungan-kandungan kurikulum. Kalau perhatian pada aspek spritual dan

ilmu syariat lebih besar, maka aspek spritual tidak boleh melampaui aspek

penting yang lain dalam kehidupan, juga tidak boleh melampaui ilmu, seni

dan kegiatan yang harus diadakan untuk individu dan masyarakat. Ini

karena agama Islam yang mendasari sumber ilham kurikulum dalam

menciptakan falsafah dan tujuannya, menekankan kepentingan dunia dan

akhirat, serta mengakui pentingnya jasmani dan jiwa. Oleh sebab itu kaum

muslimin harus memilih jalan tengah, keseimbangan dan kesederhanaan

dalam segala sesuatu.

Keempat, prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-

kemampuan dan kebutuhan belajar, begitu juga dengan alam sekitar, baik

yang bersifat fisik maupun sosial di mana pelajar itu hidup dan berinteraksi

untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman dan sikapnya.

Dengan memelihara prinsip ini, kurikulum akan lebih sesuai dengan sifat

semula, jadi pelajar lebih memenuhi kebutuhannya dan lebih sejalan dengan

suasana alam sekitar dan kebutuhan masyarakat.

Kelima, prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual antara

para pelajar dalam bakat-bakat, minat, kebutuhan-kebutuhan dan masalah


25

dan juga memelihara perbedaan-perbedaan dan kelainan-kelainan di antara

alam sekitar dan masyarakat. Pemeliharaan ini dapat menambah kesesuaian

kurikulum dengan kebutuhan pelajar dan masyarakat serta menambah

fungsi dan gunanya sebagaimana dalam menambahkan keluwesannya.

Keenam, prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai

dengan perkembangan zaman dan tempat

Ketujuh, prinsip pertautan antara berbagai mata pelajaran dengan

pengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.

Begitu juga dengan pertautan antara kandungan kurikulum dan kebutuhan

murid, kebutuhan masyarakat, tuntutan zaman tempat pelajar berada. Begitu

juga dengan perkembangan yang logis yang tidak melupakan kebutuhan,

bakat dan minat murid.26

Hilda Taba dalam bukunya Curricullum Development; Theory and

Practice, mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”27 yakni

sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak. Pada hakikatnya tiap

kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar

berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakat. Tiap

kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu mempunyai komponen tertentu,

yakni penyatuan tentang tujuan dan sasaran, seleksi dan organisasi bahan

26
Ibid., hlm. 520-523
27
Hilda Thaba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York: Harcourt,
Brace & World, 1962), hlm. 520
26

dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar mengajar serta evaluasi hasil

belajar.

E. Kurikulum sebagai Basis dan Penopang Pendidikan

Menganalisa berbagai uraian terdahulu, dapat diinterpretasikan

bahwa posisi pendidik di masyarakat modern berbeda dari posisinya yang

selama ini diketahui. Pendidik sekarang dipandang sekedar sebagai pejabat

yang memperoleh gaji dari negara atau yayasan pribadi dan mengemban

tanggung jawab tertentu dalam melaksanakan tugasnya. Kewajibannya

berakhir bersama tanggung jawabnya dan dia jarang diharapkan untuk

berbuat melebihi tugas dan tanggung jawabnya. Perubahan akibat

modernisasi atau komersialisasi telah menyebabkan adanya jarak dan

mengeliminasi ikatan-ikatan antara pendidik dengan pengajaran, yang tidak

kelihatan namun sangat nyata di semua masyarakat. Pendidik di

masyarakat, sebagaimana di dalam masyarakat Islam, lebih dari sekedar

pejabat, pendidik merupakan teladan bagi anak didik.28 Dalam

melaksanakan tanggung jawabnya dia hendaknya tidak seperti

mendisiplinkan atau menggembalakan domba atau ternak, tetapi

memperlakukan para peserta didiknya sebagai makhluk yang mudah

dipengaruhi yang karakternya bisa dibentuk dan dia dapat membimbingnya

28
Syed Sajjad Husain & Syed Ali Ashraf, Crisin in Muslim Education, terj.
Fadhlan Mudhafir, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000), hlm. 142
27

untuk mentaati kaidah moral yang dihormati masyarakatnya. Dengan alasan

ini Islam mengharuskan pendidik bukan hanya sebagai manusia terpelajar

tetapi juga orang yang arif, orang saleh yang perilakunya dapat

mempengaruhi pemikiran anak yang dididiknya, yang tentunya penopang

dari semuanya ini adalah memformulasikan kurikulum secara matang,

terarah dan tersosialisasi dengan benar sesuai asas-asas dan prinsip-prinsip

kurikulum sebagaimana uraian terdahulu.

Untuk menopang semua itu, diperlukan sekali adanya tiga peranan

kurikulum sebagaimana diutarakan oleh Iskandar Wiryokusumo, tentang

pentingnya peranan konservatif, peranan kreatif dan peranan kritis/evaluatif

terhadap kemajuan pendidikan anak didik.29

Peranan konservatif, dalam hal ini adalah tentang penekanan betapa

pentingnya kebudayaan untuk mewujudkan kepribadian tingkah laku

manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang berisi kewajiban dan

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang

dan yang diizinkan. Semua kebudayaan yang sudah membudaya itu harus

ditransmisikan kepada anak didik dengan cara memformat jenjang

kurikulum di sekolah. Hal ini sangat penting mengingat kurikulum itu

sendiri tujuannya adalah bagaimana menciptakan para generasi penerus

yang mampu berkompetensi dalam hidup serta bertindak bijaksana dalam

29
Iskandar Wiryokusumo & Usman Mulyadi, DasarDasar Pengembangan
Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 7-8-
28

mencapai tujuan hidup dan cita-citanya serta sesuai dengan tuntutan

masyarakat pada umumnya.

Peranan kreatif, bisa pula sebagai modal dasar dalam rangka

menggali pengalaman belajar yang memiliki makna tersendiri dan akan

selalu berkembang sesuai dengan zamannya yaitu bersumber dari unsur-

unsur lapisan sosial, norma-norma atau kaidah-kaidah yang sudah

melembaga di dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma yang sudah

melembaga ini dapat pula dengan memasukkan wahyu sebagai sumber

utama teoretisasi sosial, yang dirumuskan pula dengan model pendekatan

metodologis untuk menganalisis teks-teks wahyu maupun fenomena

sosial.30 Hal-hal semacam inilah yang juga diharuskan diadopsi oleh

kurikulum dalam rangka menyahuti pentingnya nilai-nilai kreatif bagi

pengembangan pendidikan ke depan.

Sedangkan peranan kritis dan evaluatif, berhubungan dengan

masyarakat yang selalu berkembang, berubah dan bertambah. Sedangkan

sekolah atau lembaga pendidikan sebagai pusat budaya sosial yang berperan

mewariskan norma-norma budaya masyarakat tidak hanya sampai di situ,

melainkan punya peran untuk memilih unsur-unsur kebudayaan, yang

selanjutnya dijadikan sebagai evaluasi dalam rangka mempersiapkan bahan-

bahan pengalaman belajar yang didesain dengan mata pelajaaran. Karena

30
Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and
Western Methods of Inquiry, (Malaysia: International Islamic University, 1993), hlm. 171
29

itu kurikulum amat berperan aktif sebagai kontrol sosial dan menekankan

pada unsur berpikir kritis di mana nilai-nilai sosial yang tidak sesuai dengan

perkembangan teknologi disisihkan dan yang sesuai ditata untuk siap

diorganisasikan menjadi bentuk pengalaman belajar yang mampu

mengembangkan sikap kritis anak ke arah pembentukan pribadi yang

terintegrasi dengan kehidupan nyata di masyarakat.

Bila kita melirik pada masyarakat masyarakat modern, komersial

hubungan antara pendidik dengan pengajaran telah bercorak komersial.

Corak hubungan yang kita anggap sebagai bahaya terbesar yang perlu

segera dihadapi. Selama pendidik tetap sebagai orang tak berwajah, sebagai

pejabat tanpa kepribadian peramah yang tidak merespon secara emosional

kebutuhan-kebutuhan para peserta didiknya, dia kurang lebih tak berguna.

Maka di samping buku teks dan jenis pendidikan yang benar, kita juga

mesti menuntut bahwa pendidik harus berkepribadian peramah sehingga

anak didik dapat memberikan respon dengan penuh semangat.

Pribadi tokoh-tokoh masa lampau yang dihormati dalam sejarah

Islam sebagai para pendidik terkemuka semuanya orang-orang peramah,

yang segera menjadi daya tarik bagi para pelajar dari lingkungan yang

sangat luas, yang lebih banyak mempelajari apa yang mereka lihat dan

dengar dari pada mereka baca bersama. Mereka banyak menerapkan

metode dan pengembangan berbagai aspek pendukung yang dapat


30

mensukseskan dakwah dan pnyebaran misi mereka, termasuk misi

pendidikan yang selalu tak lepas dari kepribadian mereka.

Sementara pada masa sekarang kenyataan ini sering dilupakan.

Pendidikan di dunia kontemporer lebih mengutamakan gedung, alat, materi,

perlengkapan dari pada watak dan kepribadian pendidik. Kita percaya inilah

persoalan yang akan dipecahkan para reformer pendidikan. Sekali kita

mempunyai orang-orang yang tepat untuk mengemban profesi pendidikan,

maka sebagian besar problem pendidikan akan segera hilang. Untuk itu

pula, dalam hal ini penting sekali kajian-kajian dari pengalaman belajar dan

mengajar yang dipadu dengan hasil pengembangan kurikulum yang ditata

terdahulu, dan kemudian dievaluasi kembali secara kritis dan

diformulasikan secara terarah dan lebih terfokus mengarah kepada

perbaikan-perbaikan masa mendatang.

Di samping itu perlu juga mengkombinasikan berbagai metode

pendidikan dalam sebuah kurikulum, termasuk pengetahuan tentang gaya

belajar murid, gaya mengajar guru serta kombinasi di antara keduanya

dalam rangka menyahuti penerapan kurikulum pendidikan yang benar-

benar bermutu, dapat diandalkan serta mampu melahirkan generasi penerus

yang berkualitas dan mampu bersaing di berbagai kompetensi.

Sejalan dengan itu, demi tegaknya kurikulum yang memiliki basis

yang kuat, KBK merupakan salah satu jembatan bagi para siswa yang

bermutu dan memiliki IQ yang lebih tinggi dari teman-teman sebayanya,


31

namun yang paling penting diingat adalah bahwa kurikulum tersebut harus

tetap mengacu kepada asas-asas, sumber dan pijakan dasar religius (wahyu)

dan aql sebagai penyangga yang tak boleh terlupakan.

F. Kesimpulan

1. Kurikulum sebagai basis pendidikan, bukan sekedar memuat sejumlah

mata pelajaran akan tetapi meliputi seperangkat proses atau segala usaha

sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan seperti pengalaman

pendidikan, kebudayaan sekolah, sumber pengajaran baik yang berada

di dalam maupun di luar sekolah seperti perpustakaan, museum,

majalah, surat kabar, televisi, radio atau perangkat bahan pengajaran,

baik keras (hardware) maupun lunak (software) yang digunakan

dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Dalam pengembangan kurikulum diperlukan berbagai kebijakan

pendidikan yang tujuannya untuk menyalurkan kemampuan anak didik,

untuk itulah KBK dipromosikan sebagai jembatan bagi anak didik yang

memiliki keunggulan lebih dari teman-temannya. Anak boleh saja

menyelesaikan pendidikannya di SLTA selama dua tahun dengan syarat

ia mampu menyelesaikan mata pelajarannya lebih banyak melebbihi

kawan sebayanya

3. Kurikulum dalam pendidikan berperan aktif sebagai kontrol sosial dan

menekankan unsur berpikir kritis, di mana nilai-nilai sosial yang tidak


32

sesuai dengan perkembangan teknologi disisihkan dan yang sesuai

ditata untuk siap diorganisasikan menjadi bentuk pengalaman belajar

yang mampu mengembangkan sikap kritis anak ke arah pembentukan

pribadi yang terintegrasi dengan kehidupan nyata di masyarakat.

4. Kurikulum sebagai jantung dari sukses dan berhasilnya proses

kependidikan Islam, tidak lepas dari dua sumber pengembangan yaitu

ilmu pengetahuan yang diwahyukan (naql) terdiri dari ilmu-ilmu al-

Qur’an, ilmu-ilmu hadits, ilmu faraidh, ilmu waris, kalam, tasawuf, dan

sebagainya. Dan juga ditopang oleh ilmu-ilmu yang diperoleh melalui

pengalaman, perenungan dapat digolongkan kepada penalaran aql yang

terdiri dari aritmatika, geometri, sosial budaya, politik, fisika, biologi,

kimia, kedokteran, pertanian, metafisika serta ilmu-ilmu lain yang

dihasilkan oleh penalaran manusia yang berkembang sesuai tuntutan

zaman.
33

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory Qur’anic Out Look,

(Mekkah: Ummul Qura University, tt)

Burhan Nurgiantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah:

Sebuah Pengantar Teoretis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPEE,

1988)

Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Edisi III, (Yogyakarta:

Rakesarasin, 1990)

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2003)

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta, al-Husna, 1987)

Hilda Thaba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York:

Harcourt, Brace & World, 1962)

Ibn Khaldûn, al-Muqaddimah, Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t.

Iskandar Wiryokusumo & Usman Mulyadi, DasarDasar Pengembangan

Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988)

Jabir Abdul Hamid, (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1978)

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,

1988)
34

Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic

and Western Methods of Inquiry, (Malaysia: International Islamic

University, 1993)

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1966)

Muhammad al-Ghazâli, Qadhâya al- Mar’ah; Baina al-Taqâlîd al

Râkidah al-Wâfidah, Mesir: Dâr al Syurûq, 1994

Noah Webster, Webster New Twententh Centery Dicteonery, (Unabridge:

Willian Collins Publisher, 1980)

Omar Muhammad al –Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-

Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)

S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung: Jemmars, 1980)

Saylor and Alexander, Curriculum Planning: for better Teaching and

Learning, (USA: Holt Rinehart and Winston, 1954)

Syed Muhammad Naquib al- Attas, The Concept of Education in Islam; a

Form W ok for an Islamic Philosophy of Education,(Kuala Lumpur:

ABIM, 1980)

Syed Sajjad Husain & Syed Ali Ashraf, Crisin in Muslim Education, terj.

Fadhlan Mudhafir, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000)

Tajab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karta Aditama, 1994)

Darma, Asmuri. "PERILAKU PROFESIONAL GURU PROGRESIF."


POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam 3, no. 2 (2018): 143-162.

Anda mungkin juga menyukai