Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PRAKTIKUM ETIKA PROFESI

PENGAMBILAN DARAH VENA (FLEBOTOMI) DENGAN KOMPLIKASI

Disusun Oleh:

KHAFIFAH LENI ASHARY NIM 1611050005


FUAD ABDILLAH NIM 1611050015
AZZAH AIDA FADHILAH NIM 1611050036

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK D4


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
PURWOKERTO
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, taufik

serta hidayat-Nya yang sangat besar sehingga kami dapat menyelesaikan makalah praktikum

Etika Profesi tepat pada waktunya.

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pengampu yang selalu memberikan

dukungan serta bimbingannya, sehingga makalah praktikum Etika Profesi ini dapat disusun

dengan baik. Semoga makalah Praktikum Etika Profesi yang telah kami susun ini turun

memperkaya khazanah Ilmu Etika Profesi serta dapat menambah pengetahuan para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, kami juga

menyadari bahwa makalah praktikum Etika Profesi ini juga masih memiliki banyak

kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca

sekalian demi penyusun makalah praktikum Etika Profesi dengan tema yang sesuai agar

lebiih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Purwokerto, 20 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kasus ............................................................................................................ 3
a. Syncope ..................................................................................................... 3
b. Petechiae .................................................................................................. 3
c. Hematoma ................................................................................................ 4
2.2 Etika Profesi ................................................................................................. 4
a. Syncope ..................................................................................................... 5
b. Petechiae .................................................................................................. 5
c. Hematoma ................................................................................................ 6
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8

iii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Flebotomi adalah proses penusukan pada pembuluh darah dengan jarum yang
bertujuan untuk pengambilan darah. Prosedur tersebut juga dikenal sebagai
venipuncture. Seseorang yang melakukan tindakan flebotomi disebut "phlebotomist",
meskipun dokter, perawat, dan Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) dapat
melakukan bagian dari prosedur flebotomi di banyak negara salah satunya di
Indonesia (Jeon et al., 2011).
Flebotomi dilakukan untuk mengambil darah dari pasien sebagai pengujian klinis
atau medis, transfusi, donor darah, atau penelitian. Tugas seorang phlebotomist dapat
termasuk mengidentifikasi pasien dengan benar, menginterpretasi tes yang diminta
pada daftar permintaan, mengambil darah ke dalam tabung yang benar dengan zat
aditif yang tepat, menjelaskan prosedur secara akurat kepada pasien, persiapan pasien
sesuai prosedur, melakukan penusukan kulit atau vena pasien, memulihkan
hemostasis dari lokasi tusukan, menginstruksikan pasien pada perawatan pasca-
tusukan, memesan tes sesuai permintaan dokter, membubuhkan tabung dengan label
yang dicetak secara elektronik, dan mengirimkan spesimen ke laboratorium (Jeon et
al., 2011).
Setelah proses flebotomi atau pengambilan darah dan jarum dilepaskan, luka
tusukan ditutup dengan kapas untuk menghentikan pendarahan dan diperban. Tidak
jarang seorang pasien merasa pusing atau mual selama atau setelah proses flebotomi.
Pasien dapat beristirahat setelah prosedur selesai. Pasien juga dianjurkan untuk
minum banyak cairan dan makan secara teratur selama 24 jam ke depan untuk
menggantikan volume darah yang hilang. Sebagian besar pasien akan mengalami
memar kecil atau nyeri ringan di tempat tusukan selama beberapa hari. Pasien yang
mengalami pembengkakan pada luka tusukan atau perdarahan yang berlanjut setelah
proses flebotomi harus segera mendapatkan bantuan medis. (WHO, 2010).
Kode etik adalah sistem norma tentang nilai dan aturan profesional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak
baik bagi seorang profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau
salah, serta perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan
kode etik agar seorang profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai

1
jasa. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional (Amin,
2017).
Salah satu ketentuan moral dalam kode etik profesi seorang ATLM adalah dilarang
menyakiti pasiennya. Namun di dalam melakukan pelayanan, seorang ATLM tidak
bisa menghindari dampak sakit pada pasien, misalnya ketika melakukan flebotomi,
padahal menusuk vena tersebut merupakan cara untuk mengambil darah dari pasien.
Oleh karena itu seorang ATLM dapat tetap melakukan flebotomi, tidak dalam konteks
menyakiti pasien meskipun terasa sakit, tetapi melandaskan pada konsep etis di mana
sakit yang sedikit itu akan menyembuhkan dalam jangka yang lebih cepat (Amin,
2017).
Tindakan ATLM tersebut merupakan tindakan etis dan bukan tindakan moral.
Meskipun ATLM tersebut mungkin tidak memenuhi konsep moralitas tertentu, namun
dengan pertimbangan etis yang mengkaji nilai moral tersebut menghasilkan perbuatan
yang menyakitkan tetapi lebih cepat mendukung menyembuhkan pasien yang sedang
diobati dokter. Etika di dalam hal ini merupakan tinjauan praktis dan kritis untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai
referensinya (Amin, 2017).
1.2.Rumusan Masalah
a. Bagaimana etika profesi seorang ATLM terhadap pasien saat melakukan
flebotomi?
b. Bagaimana etika profesi seorang ATLM pada saat menangani kasus komplikaso
setelah melakukan flebotomi?
1.3.Tujuan
a. Untuk mengetahui etika profesi seorang ATLM terhadap pasien ketika melakukan
flebotomi.
b. Untuk mengetahui etika profesi seorang ATLM pada saat penanganan kasus
komplikasi setelah melakukan flebotomi.
1.4.Manfaat
a. Bagi Pembaca
Pembaca mendapatkan pengetahuan terkait dengan etika profesi ATLM dalam
menangani kasus komplikasi setelah melakukan flebotomi.
b. Bagi Penulis
Penulis dapat memperluas wawasan dan bisa menerapkan mengenai etika profesi
ATLM saat menangani kasus komplikasi setelah melakukan flebotomi.
2
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Kasus
Kasus komplikasi yang biasanya terjadi pada pengambilan darah vena (flebotomi), di
antaranya yaitu:
a. Syncope
Syncope adalah suatu istilah umum yang menggambarkan hilangnya kesadaran
seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat sementara. Ada beberapa sinonim untuk
syncope yaitu: benign faint, simple faint, neurogenic syncope, psychogenic syncope,
vasovagal syncope dan vasodepressor syncope (David, 2010). Sinkop merupakan
suatu gejala dengan berbagai karakteristik klinik yang kehilangan kesadaran secara
tiba-tiba dan bersifat sementara dan biasanya menyebabkan jatuh. Gejalanya dapat
berupa rasa pusing, keringat dingin, nadi cepat, pengelihatan kabur, bahkan bisa
sampai muntah. (Plum, 2007).
Sinkop atau sering disebut pingsan dapat terjadi secara tiba-tiba, biasanya hanya
beberapa detik atau menit karena otak tidak mendapatkan cukup oksigen pada bagian-
bagian otak yang merupakan bagian kesadaran. Terdapat penurunan aliran darah
(iskemia), pengisian oksigenasi cerebral, resistensi serebro vaskular yang dapat
ditunjukkan. Jika iskemia hanya berkisar beberapa menit, tidak terdapat efek pada
otak. Iskemia yang lama mengakibatkan nekrosis jaringan otak pada daerah
perbatasan dari perifer antara daerah vaskular dari arteri serebralis mayor (Robin,
2004 dan Sidharta dan Mardjono, 2006).
b. Petechiae
Petekie merupakan perdarahan di kulit atau membrane mukosa yang diameternya
kurang dari 2 mm. Petekie dapat terjadi dari berbagai mekanisme yang mengganggu
proses homeostatis tubuh. Sebagai contoh trombositopenia, fungsi platelet yang
abnormal, kerusakan faktor von Willebrand, gangguan dari integritas vascular seperti
cedera endotel juga dapat menyebabkan petekie. Pasien bisa sudah
mengalami petekie sebelum atau bisa muncul setelah dipasang tourniquet saat akan
dilakukan flebotomi. Adanya petekie tidak berarti bahwa phlebotomist telah
melakukan tindakan yang keliru. Namun perlu diperhatikan, petekie memberikan
indikasi bahwa pasien bisa mengalami perdarahan panjang setelah penusukan vena
(Zaoutis & Chiang, 2007).

3
c. Hematoma
Hematoma adalah penumpukan darah tidak normal di luar pembuluh darah.
Kondisi ini terjadi karena ada dinding pembuluh darah yang rusak (termasuk kegiatan
flebotomi) sehingga darah bocor ke jaringan lain yang tidak seharusnya. Kumpulan
darah ini bisa berukuran titik kecil, tapi bisa juga berukuran besar dan menyebabkan
pembengkakan. Cedera pembuluh darah yang mengakibatkan pengumpulan darah ini
biasanya tidak serius dan dapat ditangani. Namun, apabila pasien memiliki tekanan
darah tinggi pada salah satu arteri, darah bisa terus bocor melalui dinding pembuluh
yang rusak sehingga penumpukan darah yang terjadi akan semakin membesar. Darah
yang keluar dari pembuluh darah dapat mengiritasi jaringan sekitar dan menyebabkan
peradangan yang mengakibatkan nyeri, pembengkakan, dan kemerahan. Memar
akibat kondisi ini dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja.

2.2 Etika Profesi


Menurut Prof. dr. Rustadi Sosrosumihardjo, DMM, MS, Sp.PK (K) (2008) dalam
Amin (2017), pemeriksaan laboratorium pada dasarnya dilakukan berdasarkan indikasi
klinis pasien yang ditetapkan oleh tenaga medis. Sesuai dengan regulasi pelayanan
kesehatan di laboratorium harus atas permintaan tertulis dengan keterangan klinis yang
jelas dari tenaga medis atau bidan. Permintaan pemeriksaan laboratorium atas
permintaan sendiri oleh pasien, berarti indikasi ditetapkan bukan oleh dokter klinik atau
dokter spesialis patologi klinik. Prinsip penghormatan otonomi pasien bukan berarti
pasien berhak menentukan pemeriksaan laboratorium, kecuali suatu pemeriksaan rutin
yang sebelumnya telah ada indikasi dari tenaga medis agar pemeriksaan tetap terarah.
Informed consent merupakan suatu proses pemberian persetujuan kepada pasien
setelah dilakukan penjelasan dari pemberi pelayanan kesehatan. Pada dasarnya informed
consent diperlukan apabila terjadi pengrusakan jaringan, misalnya proses pengambilan
darah (flebotomi) yang akan terjadi adalah merusak jaringan baik melalui vena, kapiler
maupun arteri. Proses informed consent dimulai sejak pemberitahuan dokter klinik
kepada pasien untuk pemeriksaan laboratorium dan menjelaskan tujuannya, kemudian
kedatangan pasien ke laboratorium dan petugas laboratorium memberikan penjelasan
mengenai tindakan pengambilan sampel dan risiko yang mungkin terjadi, sampai dengan
kesediaan pasien untuk dilakukan pengambilan darah. Adanya kesediaan pasien itu
berarti informed consent telah ada. Informed consent dapat diberikan secara tertulis dan

4
dapat diberikan secara lisan. Untuk pengambilan darah, informed consent cukup
diberikan secara lisan (Amin, 2017).
Kegiatan komunikasi dengan pasien terjadi pada saat pemberian keterangan kepada
pasien sewaktu pengambilan darah dan pengeluaran hasil laboratorium. Tujuan dari
pemberian keterangan kepada pasien adalah memberikan kejelasan dan pemahaman
mengenai sesuatu yang sedang dialami pasien atau tindakan yang diperlakukan terhadap
dirinya tanpa ketidaknyamanan. Keterangan yang bersifat teknis atau analitis dapat
diberikan oleh ahli teknologi laboratorium medik dan keterangan medis diberikan oleh
tenaga medis atau klinisi dalam batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Agar
menimbulkan kenyamanan pada diri pasien maka keterangan harus sesuai dengan yang
diperlukan dan tidak melebihi kewenangannya (Amin, 2017).
Beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus komplikasi
akibat pengambilan darah vena di antaranya:
a. Syncope
Berikut penanganan untuk kasus sinkop akibat flebotomi:
1) Hentikan pengambilan darah.
2) Baringkan pasien di tempat tidur, kepala dimiringkan ke salah satu sisi.
3) Tungkai bawah ditinggikan (lebih tinggi dari posisi kepala).
4) Longgarkan baju yang sempit dan ikat pinggang (bila memakai).
5) Minta pasien menarik nafas panjang.
6) Pasien yang tidak sempat dibaringkan ,diminta menundukan kepala di antara kedua
kakinya dan menarik nafas panjang.
Kasus sinkop juga dapat dicegah dengan cara mengajak pasien bicara supaya
perhatiannya dapat dialihkan, pasien dianjurkan berbaring saat waktu pengambilan
darah, kursi pasien mempunyai sandaran dan tempat sandaran tangan
b. Petechiae
Pendarahan ke kulit (petekie) yang disebabkan oleh cedera ringan seharusnya dapat
sembuh tanpa perawatan. Penanganan petekie bergantung pada penyebab yang terjadi.
Apabila penyebabnya infeksi, maka atasi infeksinya. Apabila akibat kebocoran
plasma, maka hidrasi cairan atau pemberian protein albumin dapat mencegah
perdarahan lebih lanjut pada kasus demam berdarah. Umumnya bila faktor penyebab
teratasi maka dapat membaik dengan sendirinya. Beberapa penanganan di rumah yang
dapat membantu meredakan petekie yaitu memposisikan tubuh yang luka pada
posisikan yang lebih tinggi apabila memungkinkan, berikan kompres es atau air
5
dingin di daerah yang terluka terutama luka memar selama fase akut (15 menit
pertama).
c. Hematoma
Beberapa faktor penyebab hematoma terletak pada teknik flebotomi yang
kemungkinan kurang tepat seperti:
1) Jarum terlalu menukik sehingga menembus dinding vena.
2) Penusukan jarum dangkal sehingga sebagian lubang jarum berada di luar vena.
3) Gagal memasukkan jarum ke dalam vena.
4) Setelah pengambilan darah, tempat penusukan kurang ditekan atau kurang lama
ditekan.
5) Pada waktu jarum ditarik keluar dari vena, tourniquet belum dilepas.
6) Tempat penusukan jarum terlalu dekat dengan tempat tourniquet.
7) Usaha berlebihan untuk mendapatkan darah.
8) Vena terlalu kecil untuk ukuran jarum yang digunakan
Cara mengatasi hematoma yakni lepaskan tourniquet dan jarum, tekan tempat
penusukan jarum dengan kain kasa selama 2 menit, angkat lengan pasien lebih tinggi
dari kepala (15 menit), jika perlu kompres air dingin untuk mengurangi
pembengkakak dan rasa nyeri. Hindari lokasi hematoma tersebut untuk pengambilan
darah sampai hematoma menghilang. Alternatif tempat lain harus dipilih, atau bila
tidak ada pilihan lain, pengambilan darah harus dilakukan di tempat di bawah lokasi
hematoma.

6
BAB III. KESIMPULAN

Flebotomi adalah proses penusukan pada pembuluh darah dengan jarum yang bertujuan
untuk pengambilan darah. Flebotomi dilakukan untuk mengambil darah dari pasien sebagai
pengujian klinis atau medis, transfusi, donor darah, atau penelitian. Prosedur flebotomi harus
mempersiapkan tahap pre, analitik, dan post analitik yang dilakukan sesuai standar prosedur.
Sehingga dalam melakukan flebotomi sesuai dengan tujuan, fungsi, serta tanggung jawab
seorang phlebotomist profesional. Sebagai seorang ATLM hendaknya mampu menerapkan
kompetensi standar flebotomi dan kode etik profesi saat melakukan flebotomi sehingga
dalam menjalankan tugas sebagai petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang
bermutu untuk pelanggan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. 2017. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik (TLM): Etika Profesi dan Hukum
Kesehatan. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan: Jakarta.
David, B.K. 2010. Vasopressor Syncope di tempat praktek dokter gigi: Bagaimana mencegah
dan mengatasinya?. Jurnal PDGI. 59(1): 8-13.
Jeon B.R., Seo M., Lee Y.W., Shin H.B., Lee S.H., Lee Y.K. 2011. Improving the blood
collection process using the active-phlebotomist phlebotomy system. Clinical
Laboratory. 57(1–2): 21–27.
Plum and Posner's. 2007. Diagnosis of Stupor and Coma Fourth Edition. Oxford University
Press: USA.
Robin, C. & Bone, K.W. 2004. Neurology and Neurosurgery Illustrated 4th Edition. Toronta:
Churchill Livingstone.
Sidharta, P. & Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat:
Jakarta.
World Health Organization. 2010. WHO Best Practices for Injections and Related Procedures
Toolkit. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK138496
Zaoutis, L.B. & Chiang, V.W. 2007. Comprehensive Pediatric Hospital Medicine. Elsevier:
China.

Anda mungkin juga menyukai