Anda di halaman 1dari 13

BAB II

HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

II.1 Defenisi
Hiperplasia endometrium merupakan diagnosis histologi, yang ditandai dengan
proliferasi kelenjar endometrium sehingga rasio kelenjar-stroma lebih besar dibanding
endometrium yang normal.5,8
Proliferasi kelenjar tersebut sangat bervariasi baik ukuran maupun bentuk dan dapat
berupa hiperplasia atipik yang bisa berkembang menjadi atau timbul bersamaan
dengan kanker endometrium.5,8

II.2 Etiologi
Pemaparan estrogen yang terus menerus tanpa diikuti pemaparan progesteron
terhadap endometrium, dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium. Efek
pemaparan estrogen tersebut pada sebagian kasus tergantung dari waktu dan dosis
pemaparan, tetapi tidak semua kasus berlaku demikian. Pada kasus lainnya juga
dipengaruhi oleh faktor individual dan hormon endogen maupun eksogen.5,8

II.3 Klasifikasi 2,5,8,9


Klasifikasi hiperplasia endometrium menurut World Health Organization ditentukan
berdasarkan dua faktor :
1. corak arsitektur kelenjar/stroma, bisa simple atau complex.
2. Ada atau tidaknya nuclear atypia.

Berdasarkan kedua hal tersebut diatas WHO membuat klasifikasi Hiperplasia


Endometrium sebagai berikut :
• Simple hyperplasia : peningkatan jumlah kelenjar dengan arsitektur yang regular.
• Complex hyperplasia : kelenjar iregular yang padat.
• Simple hyperplasia with atypia : hiperplasia simpel dengan adanya sitologi atipik.

Universitas Sumatera Utara


• Complex hyperplasia with atypia: hiperplasia kompleks dengan sitologi atipik.

Resiko hiperplasia endometrium berlanjut menjadi kanker endometrium tipe


endometrioid terutama berhubungan dengan ada tidaknya sitologi atipia dan
kepadatan corak arsitektur hiperplasia endometrium.10

Penelitian Kurman dkk. menemukan lesi hiperplasia pada endometrium dengan


berbagai tingkat kompleksitas keberadaan sel-sel atipik, jika tidak mendapat terapi
dapat berkembang menjadi adenokarsinoma endometrium. Untuk simple
hyperplasia dijumpai sekitar 1% berkembang menjadi kanker, untuk complex
hyperplasia sekitar 3%, untuk simple atypical hyperplasia sekitar 8%, dan complex
atypical hyperplasia sekitar 29% ( dikutip dari Chiang ).5

Penelitian Horn dkk.( 2004 )10 menunjukkan bahwa pada kasus-kasus complex
hyperplasia sebanyak 2% akan berkembang menjadi kanker endometrium,
sedangkan pada kasus-kasus atypical hyperplasia akan berkembang menjadi
kanker endometrium sebanyak 52%.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Simple hyperplasia. Kelenjar dan stroma keduanya aktif, distribusi kelenjar iregular, dan
11
beberapa diantaranya mengalami dilatasi kistik.Pembuluh darah stroma terdistribusi seragam.

Gambar 2. Complex hyperplasia. Kelenjar padat dengan arsitektur iregular.11

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Atypical complex hyperplasia. Kelenjar atipik dengan sel dispolar mengandung
sitoplasma eosinofilik dan membesar, nukleus yang bulat dengan nukleoli yang menonjol.11

Gambar 4. Atypical simple hyperplasia. Epitel dengan kelenjar atipik ( kiri ) hiperplasia dengan
sedikit kelenjar atipik ( kanan ).11

Universitas Sumatera Utara


Meskipun klasifikasi hiperplasia endometrium oleh WHO tahun 1994 tersebut diatas
telah digunakan secara luas, namun klasifikasi tersebut gagal dalam hal membedakan
kasus-kasus berdasarkan gambaran histopatologi dan resiko untuk terjadinya kanker
secara optimal. Pembedaan kasus-kasus tersebut penting untuk menentukan terapi
yang tepat.12 Pada penelitian molekular belakangan ini menyatakan bahwa istilah
hiperplasia sesuai untuk beberapa lesi namun tidak untuk semuanya. Sehingga
digunakan istilah hiperplasia jinak untuk kasus akibat pengaruh unopposed estrogen
dan istilah endometrial intraepithelial neoplasia ( EIN ) untuk kasus lesi pra kanker.12

Hiperplasia endometrium yang jinak tidak hanya memiliki satu gambaran histopatologi,
namun menunjukkan gambaran yang dapat berubah – ubah dalam bentuk kombinasi
dan keparahannya yang mencerminkan durasi dan kuantitas pemaparan terhadap
unopposed estrogen. Gambaran histologinya memiliki karakteristik berupa remodelling
kelenjar yang iregular, dapat dijumpai trombi vaskular, peluruhan stroma ( stromal
breakdown ) dan perubahan sitologi yang menyebar acak. 12

Endometrial Intraepithelial Neoplasia ( EIN ) merupakan gambaran histopatologi dimana


terjadi proliferasi klonal secara arsitektur dan sitologi yang mengubah kelenjar
endometrium premalignan menjadi lebih mudah mengalami transformasi menjadi
adenokarsinoma endometrium tipe I ( endometrioid ). Lesi EIN dapat berubah menjadi
neoplasma secara genetik yang muncul secara fokal. Kriteria diagnostik EIN ditegakkan
berdasarkan hubungan histopatologi dengan gambaran klinis, perubahan molekular dan
pemeriksaan histomorfometri. Lesi ini memiliki angka kecendrungan menjadi kanker
sebesar 26%. 12

Tabel 1. Terminologi Diagnostik Endometrium 12


Nomenklatur Topografi Kategori Terapi
Fungsional

Universitas Sumatera Utara


Hiperplasia Difus Pengaruh Terapi hormonal,
endometrium estrogen yang simptomatik
berkepanjangan
Endometrial Fokal yang dapat Pre kanker Hormonal atau
Epithelial progres menjadi operasi
Neoplasia (EIN) difus
Adenokarsinoma Fokal yang dapat Kanker Surgical staging
Endometrium progres menjadi
tipe difus
endometrioid,
diferensiasi baik

II.4 Diagnostik
Hiperplasia endometrium merupakan diagnosis histologi oleh karena itu diperlukan
sampel jaringan endometrium untuk menegakkan diagnosanya. Dianjurkan dilakukan
biopsi endometrium untuk pada kasus-kasus :
1. Perdarahan uterus abnormal
Biopsi endometrium harus dilakukan pada setiap wanita dengan perdarahan uterus
abnormal yang dicurigai hiperplasia endometrium atau kanker endometrium.5,8

2. Adanya sel glandular atipik


Ditemukannya sel glandular atipik pada sitologi serviks harus dilakukan biopsi
endometrium untuk menentukan apakah ditemukan hiperplasia atau kanker
endometrium sebagai penyebabnya.8

3. Adanya sel endometrial


Wanita dengan gambaran sel endometrial dari hasil sitologi serviks yang
asimptomatik harus dilakukan biopsi endometrium jika wanita-wanita tersebut
beresiko tinggi menderita kanker endometrium ( misal : usia lebih dari 40 tahun;

Universitas Sumatera Utara


riwayat penyakit terdahulu dan keluarga menderita kanker ovarium, kanker
payudara, kanker kolon atau kanker endometrium; pemakaian tamoxifen; anovulasi
kronik; obesitas; terapi estrogen dan riwayat hiperplasia endometrium ). 8

Gambar 5. Kateter suction endometrial. (A) Ujung kateter diinsersikan ke dalam fundus uteri. (B)
Saat kateter berada dalam kavum uteri, piston ditarik keluar. (C)Sambil diputer 3600, kateter ditarik
keluar dari fundus uteri dan OUI.13

Pada kasus-kasus berikut ini perlu dilakukan evaluasi diagnostik lebih lanjut untuk
memastikan ada atau tidaknya kanker endometrium :

1. Hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik


Jika dijumpai hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik dari hasil sampel biopsi
endometrium , diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkirkan koeksistensi
adenokarsinoma endometrium, yang dapat ditemukan pada sekitar 25% pasien-pasien
tersebut. Untuk menyingkirkan kanker endometrium, dapat dilakukan dilatasi dan kuretase

Universitas Sumatera Utara


dan atau biopsi dengan histeroskopi. Adanya resiko sebesar 35% hingga 43% untuk
menjadi kanker endometrium pada pasien ini, tindakan histerektomi dapat
dipertimbangkan terutama pada pasien-pasien yang sudah menopause atau tidak
menginginkan anak lagi.8

2. Perdarahan uterus yang persisten


Ada atau tidaknya hiperplasia maupun kanker endometrium harus disingkirkan jika
ditemukan perdarahan uterus yang persisten setelah adanya hasil biopsi
endometrium yang jinak atau setelah dilakukan terapi atas indikasi patologi pada
endometrium. Adapun yang termasuk hasil histologi endometrium yang jinak adalah
: endometrium atropi ( akibat tidak adanya pengaruh hormonal ), endometrium
proliferasi ( akibat pengaruh estrogen ), endometrium fase sekresi ( akibat pengaruh
progesteron ), endometrium yang terganggu atau tidak sinkron ( gambaran
endometrium yang iregular sekunder akibat unopposed estrogen ) , dan
endometritis. Pada kasus-kasus ini dapat dilakukan ultrasonografi transvaginal
dengan atau tanpa biopsi dengan histeroskopi untuk mengetahui penyebab
perdarahan uterus yang persisten.8

3. Wanita postmenopause
Jika dijumpai hiperplasia endometrium pada wanita postmenopause yang tidak
obesitas dan atau tidak menggunakan terapi hormon pengganti, perlu dilakukan
pemeriksaan hormon estradiol dan estron dalam serum untuk menyingkirkan ada
tidaknya tumor ovarium yang memproduksi estrogen. Apabila kadar hormon
estrogen tersebut meningkat dapat dilakukan USG, CT scan atau MRI untuk menilai
kelenjar adrenal dan ovarium.8

Universitas Sumatera Utara


II.5 Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi pada pasien dengan simple atau complex hyperplasia
tanpa sel-sel atipik adalah untuk mengatasi perdarahan uterus yang abnormal dan
mencegah agar tidak berkembang menjadi kanker endometrium, walaupun
resikonya sangat rendah (< 1% - 3% ) dan hal ini pun masih kontroversi. Hiperplasia
endometrium dengan sel-sel atipik perlu diterapi, oleh karena tingginya resiko
menjadi kanker endometrium (17% - 53% ), dimana tindakan pembedahan berupa
histerektomi merupakan salah satu terapinya.5,8 Untuk Endometrial Intraepithelial
Neoplasia ( EIN ) pada dasarnya tindakan pengobatannya serupa dengan
12
hiperplasia endometrium dengan sel – sel atipik.

Pada wanita premenopause


• Tanpa sel-sel atipik
Pada wanita premenopause dengan hiperplasia endometrium tanpa sel-sel atipik
dapat diberikan medroxyprogesterone acetate ( MPA) 10 mg per hari selama 12
hingga 14 hari setiap bulan selama tiga sampai enam bulan. Dapat pula
dilakukan induksi ovulasi pada wanita muda yang menginginkan anak.
Pemakaian kontrasepsi intrauterin yang mengandung levonorgestrel juga efektif,
terutama pada wanita yang menginginkan kontrasepsi jenis tersebut. 5,8

Setelah pemberian terapi, jika siklus menstruasi belum kembali normal, dapat
diberikan terapi pencegahan seperti MPA 5 -10 mg perhari selama 12 sampai 14
hari setiap bulan. Dan apabila dijumpai perdarahan uterus yang abnormal ,
dilakukan biopsi ulang.5

• Dengan sel-sel atipik


Pada hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik, perlu evaluasi lebih lanjut
yaitu dengan dilakukannya dilatasi dan kuretase. Bila diagnosa telah
dikonfirmasi dan tidak dijumpai koeksistensi dengan adenokarsinoma, dapat
diberikan megestrol acetate oral secara kontinu dengan dosis 40 mg dua kali
sehari pada wanita yang masih menginginkan anak, dan dosis tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara


ditingkatkan hingga empat kali sehari. Selain itu dapat pula diterapi dengan
pemakaian kontrasepsi intrauterin yang mengandung levonorgestrel atau dapat
pula diberikan MPA 600 mg per hari dengan aspirin dosis rendah.5,8

Setelah pemberian terapi selama tiga bulan, harus dilakukan biopsi endometrium
ulang. Apabila pada pemeriksaan histopatologi hasil kuret keadaan tersebut
menetap selama tujuh hingga sembilan bulan, dapat dikatakan bahwa terapi
tersebut gagal, dan dianjurkan dilakukan tindakan histerektomi.5

Bila terjadi regresi pada endometrium setelah biopsi ulang, pemberian terapi
tergantung pada keinginan pasien tentang fungsi reproduksinya. Jika belum
menginginkan anak, dapat diberikan terapi progestin seperti megestrol acetate,
MPA, pil kontrasepsi oral, depot medroxyprogesterone acetate, atau kontrasepsi
intrauterin yang mengandung progestin. 5

Dianjurkan dilakukan biopsi endometrium ulang setiap enam hingga dua belas
bulan.5

Tindakan histerektomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak


menginginkan anak lagi atau pada pasien yang tidak dapat mematuhi terapi
medikal dan tidak dapat melakukan follow up sampling endometrium.5

Pada wanita postmenopause


• Tanpa sel-sel atipik
Pada wanita postmenopause dengan hiperplasia atipik harus disingkirkan
kemungkinan adanya tumor ovarium/adrenal atau pemakaian terapi hormon
pengganti terlebih dahulu. Jika kedua faktor diatas tidak dijumpai, pasien dapat
diberi medroxyprogesterone acetate ( MPA ) 10 mg per hari selama 3 bulan.
Setelah 3 bulan, dilakukan biopsi endometrium ulang. Jika telah terjadi regresi
pada endometrium, terapi dapat dihentikan, dengan catatan dilakukan evaluasi

Universitas Sumatera Utara


diagnostik ulang bila terjadi perdarahan lagi. Jika hiperplasia menetap setelah
pemberian terapi selama 3 bulan, dan perdarahan tetap berlangsung, dapat
dianjurkan histerektomi atau terapi dapat dilanjutkan dengan evaluasi tiap 6
hingga 12 bulan lagi. 5

Apabila pada saat ditegakkan diagnosa hiperplasia endometrium pasien sedang


menggunakan terapi hormon, maka terapi hormon tersebut harus dihentikan
terlebih dahulu dan pasien diberi terapi dengan MPA. Jika terapi MPA berhasil,
dan wanita tersebut tetap menginginkan terapi hormon pengganti, maka dapat
diberikan bersama-sama dengan progestin dosis tinggi dan jangka panjang , dan
dilakukan evaluasi dengan melakukan biopsi endometrium ulangan dalam 3
hingga 6 bulan.5

Wanita postmenopause dengan hiperplasia endometrium yang tidak


berhubungan dengan tumor ovarium/adrenal maupun terapi hormon pengganti,
biasanya ditandai dengan adanya obesitas, karena itu terhadap wanita tersebut
dapat dianjurkan menurunkan berat badannya dan tetap diberi terapi MPA
seperti tersebut diatas.5

• Dengan sel-sel atipik


Hiperplasia endometrium atipik diduga merupakan kondisi premalignan, karena
itu sebaiknya diterapi dengan histerektomi. 5,8

Jika pasien menolak dilakukan histerektomi, dapat diberikan terapi dengan


megestrol acetate oral secara kontinu dengan dosis 40 mg dua hingga empat
kali sehari atau MPA 10 mg per hari. Terapi tersebut boleh diberikan jika
koeksistensi kanker endometrium telah dapat disingkirkan melalui biopsi dengan
histeroskopi. Selanjutnya harus dilakukan biopsi endometrium ulang setelah tiga
bulan pemberian terapi. Jika terjadi regresi pada endometrium, terapi dapat
dilanjutkan, dengan tetap melakukan follow up biopsi endometrium tiap 6 sampai
12 bulan. Apabila hiperplasia menetap, dianjurkan untuk dilakukan histerektomi.5

Universitas Sumatera Utara


Adapun penatalaksanaan hiperplasia endometrium menurut Hacker adalah seperti
skema di bawah ini :

Dilakukan dilatasi & kuretase (D&C)

untuk menyingkirkan kanker

endometrium pada pasien-pasien

Ingin Tidak ingin

mempertahankan mempertahankan

Ulangi biopsi Histerektomi

endometrium

Hiperplasia menetap
Normal atau

Provera 10-20 mg/ hari selama

10-14 hari sebulan jika Lanjutkan Provera 5 mg/hari

premenopause, atau Provera selam 10 hari tiap bulan selama 12

bulan

Lakukan biopsi endometrium tiap

Universitas Sumatera Utara


Dapat dicoba progestin

dosis tinggi ( misal Provera

Hiperplasia

menetap

Histerektomi

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai