Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah wadah bagi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama, kita kenal
dengan sebutan organisasi. Dimana setiap individu tidak akan mencapai sebuah
pencapaian yang berhasil tanpa adanya kerjasama yang baik. Untuk mencapai
keberhasilan inilah diperlukan kebiasan-kebiasaan yang baik. Dimana
kebiasaan-kebiasaan yang baik ini harus ditanamkan dalam diri masing-masing
anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang sama.

Pengaruh dari pemimpin, pendiri danatau atasan sangat besar dalam


menciptakan budaya yang baik di dalam organisasi. Dimana budaya ini yang
akan dipatuhi oleh para anggotanya. Penciptaan budaya dalam organisasi ini
bersumber dari pandangan atau gagasan pendiri. Pandangan atau gagasan ini
yang akan diseleksi dan akan dimunculkan menjadi karakteristik budaya di
dalam organisasi. Dalam menentukan karakter inilah dipengaruhi oleh faktor
dari dalam maupun luar organisasi. Karakter yang terbentuk inilah yang akan
dianggap hal yang asing oleh para anggotanya dan harus dipatuhi.

Perusahaan besar yang sudah berdiri saat ini, baik di bidang teknologi
seperti microsoft, apple, alibaba group, trans tv; di bidang otomotif seperti
toyota, honda, dan perusahaan besar lainnya itu berawal dari kelas yang kecil.
Perusahaan yang kecil ini menjadi besar karena para pendirinya menerapkan
budaya perusahaan yang baik dan diikuti oleh para anggota/karyawannya.
Begitu pula sebaliknya, terjadinya sebuah kemunduran, perpecahan, bahkan
kebangkrutan perusahaan itu dimana di dalamnya adanya penerapan budaya
yang kurang sehat. Dinamika budaya inilah yang kita pelajari dalam
menciptakan organisasi yang sollid, kreatif, inovatif, dan maju.

Karena besarnya pengaruh pemimpin di dalam sebuah organisasi inilah, kita


harus mampu menjadi seorang leader yang berkarakter. Sehingga organisasi
yang kita pimpin akan menjadi besar dan berpengaruh bagi masyarakat luas.

1
Dimana pemimpin ini harus mampu mempengaruhi anggotanya, mampu
melihat kebutahan yang diinginkan masyarakat. Sehingga faktor dari dalam
maupun luar organisasi dapat menerima dan menerapkan pemikirannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada dapat dirumuskan beberapa
permasalahan. Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
(1) Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi?
(2) Bagaimana proses terbentuknya budaya organisasi?
(3) Apa pengaruh budaya internal dan eksternal terhadap budaya organisasi?
(4) Bagaimana penciptaan dan dinamika budaya organisasi?
C. Tujuan Pembahasan
(1) Mengetahui tentang budaya organisasi.
(2) Mengetahui proses terbentuknya budaya organisasi.
(3) Mengetahui pengaruh budaya internal dan eksternal terhadap budaya
organisasi.
(4) Mengetahui penciptaan dan dinamika budaya organisasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Organisasi
Budaya organisasi telah banyak didefinisikan oleh para pakar
menajemen/organisasi. Berikut ini adalah beberapa definisi tentang budaya
organisasi. Stephen P. Robbins mengemukakan, “ Organizational culture is a
common perception held by the organization’s members, a sistem of shared
meaning.” Keith Davis mengemukakan, “Organizational culture is the set of
assumptions, beliefs, valves and norms that is shared among members. “Hodge
and William P. Anthony mengemukakan, “Organizational culture is the mix of
values, beliefs, assumptions, meaning, and expections, that members of a
particular organization, group or sub group hold in common and that they use
as behavior and problemsolving guides.” Michael Amstrong mengemukakan
bahwa budaya organisasi adalah pola sikap, keyakinan, asumsi, dan harapan
yang dimiliki bersama, yang mungkin tidak dicatat, tetapi membentuk cara
bagaimana orang-orang bertindak dan berinteraksi dalam organisasi dan
mendukung bagaimana hal-hal dilakukan.
Beberapa pengertian di atas menunjukan bahwa budaya organisasi
merupakan pola nilai-nilai, kepercayaan, asumsi-asumsi, sikap-sikap, dan
kebiasaan-kebiasaan seseorang atau kelompok manusia yang memengaruhi
perilaku kerja dan cara bekerja dalam organisasi. Dalam pengertian lain, juga
dapat dikatakan bahwa budaya organisasi adalah sebuah sistem nilai,
kepercayaan, dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling
berinteraksi sehingga menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Davis
(1984) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan
nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai, dan dipraktikan organisasi
sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan
berperilaku dalam organisasi.
Budaya diyakini mempunyai pengaruh terhadap kehidupan organisasi.
Budaya dapat dipikirkan sebagai persepsi yang tidak terwujudkan secara umum
hal tersebut diterima oleh suatu kelompok tertentu. Konsep budaya organisasi

3
ini adalah sebuah persepsi bawah sadar bagi para anggota organisasi. Persepsi
ini meliputi kata, tindakan, rasa, keyakinan, dan nilai-nilai yang dapat
berpengaruh terhadap kinerja organisasi.

B. Fungsi Budaya Organisasi


Budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah (1)
memberikan identitas organisasi kepada anggotanya; (2) memudahkan
komitmen kolektif; (3) mempromosikan stabilitas sistem sosial, dan (4)
membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya.
Keempat fungsi ini dapat digambarkan pada skema berikut ini.

Identitas
Organisasi

Komitmen Membentuk
Budaya Organisasi
Kolektif Perilaku

Stabilitas
Sistem

Skema 1.1. Fungsi budaya organisasi


C. Tipe Budaya Organisasi
Noe dan Mondy (1996: 237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua
kelompok, yaitu:

(1) Open and participative culture,


(2) Closed and autocratic culture.
Open and participative culture ditandai adanya kepercayaan terhadap
bawahan, komunikasi yang terbuka, kepemimpinan yang sportif dan penuh
perhatian, penyelesaian masalah secara kelompok, adanya otonomi pekerja,
sharing informasi, serta pencapaian tujuan yang output-nya tinggi.

4
Closed and autocratic culture ditandai oleh pencapaian tujuan output yang
tinggi, namun pencapaian tersebut mungkin lebih dinyakan dan dipaksakan
pada organisasi dengan para pemimpin yang otokrasi dan kuat. Semakin besar
rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil sebuah kepatuhan yang ketat
terhadap suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula tentang
manajemen dan akuntabilitas individual daripada teamwork.
Deal dan Kennedy (1982: 330) mengunakan empat jenis budaya perusahaan
sebagai berikut.1
(1) Macho culture. Perusahaan yang menganut budaya ini anggotanya harus
berani mengambil risiko yang tinggi dan akan segera menerima umpan
dari manajemen mengenai tindakannya. Tampaknya, budaya ini
menimbulkan persaingan internal dan menganggap konflik internal
sesuatu yang wajar.
(2) Work hard play hard. Budaya perusahaan ini ditandai oleh risiko rendah
dan umpan balik yang cepat, namun budaya ini menekankan pada
“keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi pada masa kini.
(3) Bet your company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada
pada risiko tinggi, nampun umpan balik terhadap pekerjaan biasanya
relatif sama. Perusahaan minyak merupakan salah satu contoh organisasi
yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya ini menghargai
kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama, dan tahan stress.
(4) Proces culture. Budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpanbalik
lambat. Nilai-nilai yang dianut adalah protektif dan keberhati-hatian.
Perusahaan asuransi banyak mengant budaya ini.
Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983: 222) membedakan empat
orientasi budaya organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain,
yaitu:

1
Deal, T.E. dan Kennedy, A.A., Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life.
Reading (MA: Addison-Wesley, 1982).

5
(1) Orientasi kekuasaan (power orientations)
Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana
lingkungan eksternal dikuasai, ditundukan, dan dicirikan oleh norma-
norma: bersaing untuk menjaga wilayah kekuasaan dengan merugikan
orang lain, membeli, dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang
komoditi, tidak memedulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan
anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan pribadi di
antara para eksekutif organisasi.
Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, tidak adaptif terhadap lingkungan yang
perubahannya sangat dinamis dan menuntut respons yang fleksibel. Hal ini
antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tingkat top
manajemen harus disalurkan melalui hierarki organisasi untuk menjaring
informasi yang “tidak sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya
akan memperlambat respons organisasi pada perubahan lingkungan yang
sangat cepat. Dapat juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk
kepentingan pribadi.
Kedua, biasanya hanya sejumlah kecil anggota organisasi yang
agresiflah yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kariernya
ke tingkat yang paling tinggi. Ketiga, tidak memberikan peluang kepada
para anggota lainnya untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota. Keempat,
pada saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian
dari pemimpin tertinggi akan semakin sulit.
Di samping memeiliki kekurangan, budaya organisasi yang
berorientasi kekuasaan juga memiliki beberapa kelebihan. Pertama,
struktur dan proses pengambilan keputusan pada organisasi semacam ini
biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut keputusan
segera dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan
muncul pemimpin-pemimpin agresif dan dapat memimpin organisasi
dalam lingkungan yang penuh resiko dan persaingan tinggi. Kedua, jika

6
permasalahan yang muncul dapat dipecahkan oleh satu atau sekelompok
kecil orang di pucuk pimpinan, budaya yang berorientasi kekuasaan akan
berjalan lancar. Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para anggota
organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan mengutamakan
keselamatan.
(2) Orientasi peran (role orientations)
Orientasi peran. Budaya organisasi yang berorientasi peran
semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi yang merupakan
reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini
ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh
kesepakatan atau perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan
kewajiban diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada
hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan
kewenangan dan peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai
setara dengan kemampuan; respons yang benar cenderung lebih dihargai
dari pada respons yang efektif; dan prosedur untuk perubahan cenderung
tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan perubahan
lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan
kepada keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas
dasar hukum, keabsahan, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat
dipertanggungjawabkan. Implikasinya, tidak ada pilihan bagi anggota
organisasi semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini dapat
dijumpai pada organisasi-organisasi perbankan, asuransi, dan organisasi-
organisasi non-profit.
Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama,
sebagaimana halnya budaya orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran
juga dipandang tidak fleksibel dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan, kemantapan, dan
keamanan (prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam
orientasi budaya peran, lebih diandalkan sehingga secara otomatis akan
melahirkan peran-peran dan struktur yang kaku dan hubungan birokratis.

7
Akibatnya, akan terbentuk stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin
yang memiliki kekuasaan pun tidak akan berdaya untuk menghasilkan
perubahan yang dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang mampu
beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang mendadak dan meningkat
akibat terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan.
Sedangkan, kelebihannya: pertama, sangat efektif untuk organisasi yang
sudah besar dan kompleks. Kedua, memudahkan pimpinan tertinggi untuk
melakukan pengendalian secara efektif. Ketiga, memberikan pedoman
kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang memberikan
kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari
pimpinan tertinggi.
(3) Orientasi tugas (task orientation)
Orientasi tugas. Budaya organisasi berorientasi tugas semacam ini
didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian tujuan yang paling tinggi
(super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi. Oleh
karena itu, struktur organisasi, fungsi, dan kegiatan selalu dinilai
berdasarkan signifikansi terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya
paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang
boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan;
mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif
bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan
tugas dan fungsi yang dijalankan; wewenang dianggap sah hanya jika
didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat; tidak ada sifat
kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas
organisasi sangat tinggi dalam merespons perubahan-perubahan
lingkungan; dan pencapaian tujuan dan kesamaan nilai-nilai yang dianut
selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerja sama.
Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada
lingkungan yang tidak hanya kompleks dan dinamis, tetapi perubahannya
sangat cepat. Strategi yang diterapkan biasanya dengan cara membentuk
satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas para ahli yang

8
kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang
dibentuk tidak bersifat permanen, teapi bergantung kepada kebutuhan.
Karena itu, ketika satuan tugas sudah selesai menjalankan misinya,
biasanya satuan tugas tersebut dibubarkan dan para anggotanya bergabung
dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk memecahkan masalah-
masalah yang baru pula. Persoalan yang dihadapi budaya organisasi
berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan komitmen penuh dari
para anggota organisasi di semua jenjang organisasi.
Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat
fleksibel dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang
kompleks dan cepat. Kedua, menciptakan sistem pengendalian yang lentur
sehingga memudahkan peralihan dengan cepat bila sumber daya yang
berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah eksternal. Sedangkan,
kelemahannya: pertama, mengandalkan komitmen penuh dari para
anggota organisasi di semua tingkatan sehingga terkadang memerlukan
waktu yang lama untuk merespons suatu perubahan. Kedua, sulit membina
kohensi internal, akibat oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas
atau tim yang dibentuk. Sementara itu, kohensi internal memerlukan
koordinasi kegiatan dan struktur yang berkesinambungan dan stabil.
Secara umum, budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah
ditemukan pada organisasi-organisasi kecil, tempat para anggotanya
terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau tujuan bersama. Sedangkan,
pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya banyak ditemukan
pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).
(4) Orientasi person (person orientation).
Orientasi orang. Budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa
organisasi dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang tak dapat dipenuhi
jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan
motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan

9
dirinya. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam
organisasi yang orientasi budayanya pada person. Ciri budaya organisasi
yang berorientasi pada person ditandai oleh kewenangan bila diperlukan
dapat diserahkan kepada seseorang selama dinilai cakap dan ahli untuk
menjalankan kewenangannya, sebagai gantinya para anggota diharapkan
akan saling memengaruhi lewat keteladanan, sikap saling tolong menolong
dan kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam
pengambilan keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak
diharapkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan nilai
mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar kesukaan pribadi dan
kebutuhan untuk belajar dan berkembang; dan beban tugas yang tidak
memberikan imbalan dan tak menyenagkan ditanggung bersama.
Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini pada
kenyataannya sangat jarang. Kalaupun ada, ,biasanya muncul dalam
bentuk biro-biro konsultan atau bantuan yang relatif kecil dan biasanya
bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial. Kelebihan organisasi
yang berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi
terhadap dinamika perubahan mengingat struktur pada organisasi budaya
seperti ini memiliki struktur yang lentur dan jalur komunikasi serta
pengendalian yang pendek. Kedua, para anggota organisasi cenderung
mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap
organisasi. Sedangkan, kelemahannya biasanya kesulitan dalam
mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para anggotanya secara bersama-
sama untuk menghadapi risiko.

D. Karakteristik Budaya Organisasi


Susanto2 (1997: 17) mengemukakan sepuluh karakteristik budaya
organisasi sebagai berikut.

(1) Inisiatif Individu: Seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam


perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab,kebebasan, dan

2
Susanto A.B., Budaya Perusahaan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1997).

10
independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian
seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan
tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai
dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil
keputusan.
(2) Toleransi terhadap risiko: Menggambarkan seberapa jauh sumber daya
manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi
risiko dalam pekerjaannya.
(3) Pengarahan: Berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam
menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap
hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk
kuantitas,kualitas, dan waktu.
(4) Integrasi: Seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan
dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu
organisasi dengan koordinasi yang baik.
(5) Dukungan manajemen: Dalam hal ini seberapa jauh para manajer
memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap
bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
(6) Pengawasan: Meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang
digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan.
(7) Identitas: Menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal
kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan
tersebut terhadap organisasi.
(8) Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti
pengalokasian reward (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil
kerja karyawan yang telah ditentukan.
(9) Toleransi terhadap konflik: Menggambarkan sejauhmana usaha untuk
mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi.
(10) Pola komunikasi yang terbatas pada hierarki formal dari setiap
perusahaan.

11
Robbins (1999: 76-77) mengemukakan tujuan dimensi yang secara
bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi. Ketujuh
karakteristik tersebut adalah sebagai berikut,
(1) Innovation and risk taking: Sejauh mana para pegawai didorong untuk
inovatif dan mengambil risiko.
(2) Attention to detail: Sejauh mana para pegawai diharapkan
memperlihatkan presisi, analisis, dan perhatian.
(3) Outcome orientation: Sejauh mana manajemen memfokuskan diri pada
hasil bukunya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai
hasil itu.
(4) People orientation: Sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi
itu.
(5) Team orientation: Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar
tim-tim bukannya individu.
(6) Aggresiveness: Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan
bukannya santai-santai.
(7) Stability: Sejauh mana organisasi menekankan memepertahankan status
quo sebagai kontrak dari pertumbuhan.
Dimensi-dimensi organisasi tersebut dapat digsmbarkan dalam skema
berikut (Robbin, 1999: 77).3

3
Stephen P Robbins dan Mary Coulter, manajemen (Jakarta: Prenhallindo, 1999), hlm. 77.

12
Inovasi dan
Mengambil
Risiko

Perhatian Stabilitas
kerincian

Budaya
Organisasi Agresivitas
Orientasi
hasil

Orientasi Orientasi tim


manusia

Skema 1.2. Dimensi Organisasi


E. Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya organisasi hakikatnya adalah fenomena kelompok. Oleh karenanya,
terbentuknya budaya organisasi tidak dapat lepas dari dukungan kelompok dan
terbentuk dalm waktu yang lama. Pembentukann budaya organisasi juga
melibatkan leader/tokoh (top manager) yang secara ketat menerapkan visi,
misi, dan nilai-nilai organisasi kepada para bawahannya sehingga dalam waktu
tertentu menjadi kebiasaan dan dijadikan acuan oleh seluruh anggotanya untuk
bertindak dan berperilaku.

Pembentukan budaya menurut Stephen P. Robbins (1996: 302)


digambarkan dalam skema berikut.4

4
Robbins, S.P., Teori Pengembangan Organisasi, Alih Bahasa Hadyana (Jakarta: Bumi Aksara,
1996).

13
Manajemen
Puncak

Filsafat dari
Pendiri Kriteria Seleksi Budaya

Organisasi Organisasi

Sosialisasi

Skema 1.3. Terbentuknya Budaya Organisasi


Dalam skema tersebut, terlihat jelas filsafat organisasi yang pendiri
memiliki asumsi, persepsi, dan nilai-nilai yang harus diseleksi terlebih dulu.
Hasil seleksi tersebut akan dimunculkan ke permukaan yang nantinya akan
menjadi karakteristik budaya organisasi.

Siagian (2002: 28) menggambarkan proses terbentuknya budaya organisasi


sebagai berikut.

Aspek Manajerial
Kultur
1. Filosofi . Organisasi
Aspek
2. Sistem nilai Operasional
3. Tindakan
4. Visi 1. Bahasa
2. Jargon
Aspek Organisasi 3. Kebiasaan
4. Seremoni
1. Strategi 5. Tindakan
2. Struktur
3. Sistem
4. teknologi

Skema 1.4. Terbentuknya Budaya Organisasi

14
Dari skema tersebut dapat terlihat hal-hal sebagai berikut. Pertama, kultur
organisasi pada mulanya terbentuk berdasarkan filosof yang dianut oleh para
pendiri organisasi. Filosofi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
berorientasi hidupnya, latar belakang sosialnya, lingkungan tempat ia
dibesarkan, serta jenis dan tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuhnya.
Kedua,berhasil tiadaknya organisasi mempertahankan dan melanjutkan
eksistensi sangat tergantung pada tepat tidaknya strategi organisasi tersebut.
Ketiga, pada gilirannya strategi organisasi ditambah dengan pertimbangan-
pertimbangan lain, seperti besarnya organisasi, teknologi yang digunakan, sifat
lingkungan, pandangan tentang pola pengambilan keputusan dan sifat
pekerjaan. Keempat, kiranya masih relevan untuk menekankan bahwa karena
pesatnya perkembangan teknologi yang berdampak kuat terhadap berbagai
bidang kehidupan, kebijaksanaan manajemen tentang bentuk dan jenis
teknologi yang akan dimanfaatkan mempunyai arti penting dalam kultur
organisasi. Kelima, aspek manajerial dan organisasional kultur organisasi
ditumbuhkan dan dipelihara sedemikian rupa sehingga menjadi operasioanal
mekanisme untuk penumbuh suburan adalah melalui proses sosialisasi.

F. Transformasi Budaya
Tujuh langkah yang diperlukan untuk melakukan transformasi cultural,
yaitu:

1) Mengamati beberapa kecenderungan lingkungan yang akan mempunyai


dampak terbesar pada organisasi di masa depan.
2) Mempertimbangkan implikasi dari kecenderungan tersebut.
3) Meninjau kembali misi dan menyempurnakanya.
4) Meninggalkan hirarki lama, menciptakan struktur dan sistem manajemen
yang fleksibel.
5) Menantang asumsi, kebijakan, dan prosedur dan hanya menjaga yang
mencerminkan masa depan yang diinginkan.
6) Mengkomunikasiakan beberapa pesan yang memaksa memobilisasi
orang sekitar tentang misi, tujuan, dan nilai-nilai.

15
7) Membubarkan tanggungjawab kepemimpinan terhadap organisasi pada
setiap tingkatan.

G. Pengaruh Budaya Internal dan Eksternal terhadap Budaya Organisasi


1) Pengaruh Budaya Internal
a) Lingkungan Usaha; Menurut Caldwell (1970) lingkungan usaha
adalah keseluruhan yang mengitari, termasuk yang dikitari, yaitu
manusia yang bersangkutan. Lingkungan dapat berfungsi sebagai
sumber daya(SD), dapat dibedakan menjadi:
1. Lingkungan alam yang berfungsi sebagai SDA
2. Sumber daya manusia (SDM)
3. Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya
buatan(SDB)
b) Sistem Nilai; Menurut Danadjaja (1986:22) nilai adalah pengertian
yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting, apa yang
lebih baik atau kurang baik dan apa yang lebih benar atau kurang
benar. Kategori nilai yang penting, misalnya diberi skala:
1. Yang terpenting
2. Yang lebih penting
3. Yang penting
4. Yang kurang penting
5. Yang tidak penting
c) Panutan/Keteladanan; Sering dimanfaatkan untuk mengajak seluruh
sumber daya manusia mengikuti nilai-nilai budaya yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk perusahaan sebagai tokoh
panutan.
d) Upacara-Upacara; Menurut Susanto (1997: 11-12) kegiatan yang
bersifat ritual tersebut tidak harus dilakukan besar besaran, kadang
dilakukan secara sederhana saja, tetapi yang menjadi ukuran
kekuatan budaya tersebut adalah frekuensi atau rutinitas acara
tersebut dilakukan. Acara-acara ritual yang diselenggarakan oleh

16
perusahaan ini dalam rangka memberikan penghargaan pada
karyawannya.
e) Network; Elemen ini secara informal dapat dikatakan sebagai
jaringan komunikasi di dalam perusahaan yang dapat dijadikan
sebagai”pembawa atau penyebar” nilai-nilai budaya perusahaan.

2) Pengaruh Budaya Eksternal


a) Observed Behavioral Regularities When People Interact. Yaitu
bahasa yang digunakan dalam organisasi, kebiasaan, dan tradisi
yang ada, dan ritual para karyawan dalam menghadapi berbagai
macam situasi.
b) Group Norms. Yaitu nilai dan standar baku dalam organisasi.
c) Exposed Values. Yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi
yang ingin dicapai, misalnya kualitas produk, dan sebagainya.
d) Formal Philoshopy. Yaitu kebijakan dan prinsip ideologis yang
mengarahkan perilaku organisasi terhadap karyawan, pelanggan,
dan pemegang saham.
e) Rules Of The Game. Yaitu aturan-aturan dalam perusahaan (the
ropes), hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh karyawan baru
agar dapat diterima di organisasi tersebut.
f) Climate. Yaitu perasaan yang secara eksplisit dapat terasa dari
keadaan fisik organisasi dan interaksi antar karyawan, interaksi
atasan dengan bawahan, juga interaksi dengan pelanggan atau
organisasi lain.
g) Embedded Skils. Yaitu kompetisi khusus dari anggota organisasi
dalam menyelesaikan tugasnya, dan menyalurkan keahliannya
dari satu generasi ke generasi lainnya.
h) Habbits Of Thinking, Mental Models, Andlor Linguistec Paradims.
Yaitu adanya suatu kesamaam “frame” yang mengarahkan pada
persepsi (untuk dapat mengurangi adanya perbedaan persepsi,
pikiran, dan bahasa yang digunakan oleh para karyawan, dan
diajarkan pada karyawan baru pada awal proses sosialisasi.

17
i) Shared Meanings. Yaitu rasa saling pengertian yang diciptakan
sendiri oleh karyawan dari interaksi sehari-hari.
j) Root Metaphors Or Integrating Symbols. Yaitu ide-ide, perasaan,
dan citra organisasi yang dikembangkan menjadi karakteristik
organisasi yang secara sadar ataupun tidak sadar tercermin dari
bangunan, lay out ruang kerja, dan materi artifact lainnya. Hal ini
merefleksikan respon emosional dan estetika anggota organisasi,
disamping kemampuan kognitif atau kemempuan evaluatif anggota
organisasi.

H. Masukan Budaya Organisasi, Penciptaan dan


Dinamika Budaya Organisasi
1) Masukan Budaya Organisasi
Dalam pembentukan budaya organisasi harus memperhatikan
berbagai masukan dari berbagai pihak. Hal yang penting yang harus di
perhatikan itu adalah:
a) Pendiri organisasi
b) Pemilik organisasi
c) Sumber daya manusia
d) Pihak yang berkepentingan
e) Masyarakat
2) Penciptaan dan Dinamika Budaya Organisasi
Beberapa unsur budaya korporat yang terbentuk banyak ditentukan
oleh beberapa hal antara lain:
a) Lingkungan usaha
b) Nilai nilai merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi
c) Penjutan atau keteladanan
d) Upacara
e) Network
Sosialisasi budaya kepada para karyawan dapat dilaksanakan dengan
beberapa cara yang dinilai berhasil sebagaimana di atas, yaitu melalui:
a) Cerita

18
b) Ritual
c) Lambang materi
d) Bahasa

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari materi tentang “Proses Trebentuknya Budaya Organaisasi”
adalah bahwa pemimpin organisasi sangat berpengaruh dalam menciptakan
budaya yang baik. Pemindahan budaya atau kebiasaan dari para pendiri inilah
yang akan diterapkan dalam organisasi tersebut. Berhasil tidaknya budaya
tersebut diterapkan itu sebagai ukuran keberhasilan sebuah organisasi. Budaya
yang diterapkan dalam suatu organisasi besumber dari dalam diri organisasi
tersebut entah dari lingkungan sekitar, nilai yang diterapkan, para pendiri
organisasi, kebiasaan yang diterapkan sampai proses penyampaian budaya
yang ada ke para anggotanya. Unsur luar terbentuknya suatu organisasi berasal
dari norma-norma dalam organisasi tersebut, rasa saling pengertian diantara
anggota, kebijakan perusahaan terhadap karyawannya. Budaya organisasi ini
terbentuk dengan waktu yang cukup lama. Dimana para pemimpin,
lingkungan, masyarakat menjadi penciptaan budaya-budaya yang ada. Dalam
penerapannya kemungkinan akan terjadi pro dan kontra. Oleh karena itu
terbentuknya budaya dalam suatu organisasi sangat berpengaruh terhadap
keberlangsungan suatu organisasi.

B. Saran
Begitu urgennya budaya organisai untuk diterapkan di dalam sebuah
organisasi. Hal ini yang menjadi pedoman dalam kesuksesasan. Pecpitaan
budaya organisai harus bisa melihat faktor dari dalam maupun luar. Sehingga
budaya organisasi tersebut dapat diterima, dan mampu menghadapi tantangan
yang ada. Menjadi seorang leader haus mampu menhadapi segala problematika
dengan dasar pengetahuan yang mumpuni. Sehingga bisa membaca kebutuhan
yang ada dari dalam maupun luar organisasi. Kebutuhan yang ada inilah
sebagai alat untuk mendapatkan keberhasilan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kurniadin, Didin dan Machali, Imam. 2016. “Manajemen Pendidikan: Konsep dan
Prinsip Pengelolaan Pendidikan”. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Laksmini, Asri. 2011. “Budaya Organisasi”. Yogyakarta: Graha Ilmu.

21

Anda mungkin juga menyukai