Anda di halaman 1dari 14

MODUL 4

Gangguan Nutrisi, Metabolik, Endokrin,


serta Imunisasi pada kelompok berisiko
SKENARIO 4 :
Prihatin
Susi 1 tahun dibawa ibunya ke poli anak dengan kondisi sangat memprihatinkan.
Anak tampak lemas dan cengeng. Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan BB: 5 kg, PB:
65 cm, old man face, rambut mudah dicabut dan berwarna jagung, kulit keriput, pemeriksaan
toraks tampak iga gambang, frekuensi jantung: 100x/menit, frekuensi nafas: 30 x/menit,
pemeriksaan ekstremitas kesan baggy pants, otot atrofi serta di jumpai edema pada punggung
kaki kanan dan kiri. Riwayat kelahiran: pasien anak ke 5, secara spontan, ditolong bidan,
dengan BBL: 2500 gram, PB (?). Riwayat pemberian makan: ASI sampai usia 1 tahun,
kadang disertai pemberian air gula, nasi 2-3x sehari tetpi tidak dihabiskan. Riwayat imunisasi
(?). Selain itu pasien juga mengalami diare yang dialami selama 2 minggu terakhir, kadang di
sertai demam berulang. Selama ini Susi hanya di rawat oleh ibuny yang berstatus single
parent.
Kasus berikutnya seorang bayi yang lahir dari ibu dengan HbSAg (+), usia 1 hari,
lahir secara sectio secaria atas indikasi KPD 9 jam. Bayi lahir segera menangis, cukup bulan
dengan skore APGAR 7/8, berat badan lahir 3500 gram, PB 50 cm, frekuensi nafas 45
x/menit, frekuensi jantung 140 x/menit dan suhu 36,9◦C. Setelah dilakukan resusitasi, dan
diberikan vitamin K1, bayi dianjurkan untuk diberikan imunisasi Hepatitis B1 sebelum usia
12 jam dan pemberian immunoglogulin. Keesokan harinya saat dokter anak melakukan
pemeriksaan pada bayi tersebut, ibu bayi bertanya bagaimana untuk pemberian imunisasi
selanjutnya , apakah setiap imunisasi selalu diberikan imunoglobulin tersebut?
Bagaimana tanggapan Anda mengenai skenario di atas ?
JUMP 1
1. Old man face : wajah seperti orang tua
2. Baggy pants : daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar akibat
berkurangnya jaringan lemak subkutis
3. HbsAg : antigen permukaan yang ditemukan pada virus hepatitis B / hepatitis B
virus (HBV) yang memberikan arti adanya infeksi hepatitis B aktif
JUMP 2
1. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik dan riwayat kelahiran?
Berat Badan Normal

Norm Ide
Jenis Ideal Norm
Underweig al Ide al Overweig
Kelam Bawa al
ht Bawa al Ata ht
in h Atas
h s

8.6 9.6 10.8


L 6.9 kg 7.7 kg 12 kg 13.3 kg
kg kg kg

7.9 8.9 10.1 11.5


P 6.3 kg 7 kg 13.1 kg
kg kg kg kg

Berat badan normal anak 1 tahun berbeda antara anak laki-laki dan perempuan.
 Anak yang berada antara batas normal bawah dan batas normal atas (Laki-laki: 7.7 s/d 10.8
kg / Perempuan: 7 s/d 10.8 kg) termasuk dalam berat badan normal sesuai usianya.

 Anak yang beratnya berada di bawah batas normal bawah (Laki-laki: < 7.7 kg /
Perempuan: < 7 kg) termasuk underweight (berat badan kurang)

 Anak yang beratnya berada di bawah nilai underweight (Laki-laki: < 6.9 kg / Perempuan: <
6.3 kg) harus memperoleh penanganan dari dokter (kemungkinan besar terjadi gizi buruk)

 Anak yang beratnya berada di atas batas atas normal termasuk overweight (Laki-laki: > 12
kg / Perempuan: > 11.5 kg) (kelebihan berat badan). Lakukanlah diet untuk menurunkan
berat badan.

 Anak yang beratnya berada di atas nilai overweight (Laki-laki: > 13.3 kg / Perempuan: >
13.1 kg) harus diwaspadai sebagai gejala obesitas
Tinggi Badan

Jenis Norma Ideal Idea


Pende Idea Norma Jangkun
Kelami l Bawa l
k l l Atas g
n Bawah h Atas

68.6 73.4 75.7 78.1 80.5


L 71 cm 82.9 cm
cm cm cm cm cm

66.3 68.9 71.4 74 76.6 79.2


P 81.7 cm
cm cm cm cm cm cm

Perbedaan marasmus dan kwarshiokor


Marasmus Kwarshiokor
Umumnya menyerang bayi (dua belas Kebayakan menyerang anak dibawah lima
bulan pertama) tahun (balita)
Pertumbuhan terhamban Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama
pada punggung kaki (dorsum pedis), perut
dan tangan
Lemak dibawah kulit berkurang Muka bulat seperti bulan (moonface)

Otot-otot berkurang dan melemah Pandangan mata sayu


Tampak sangat kurus, hingga tulang Rambut menjadi lurus, kusam, halus, tipis,
terbungkus kulit kemerahan seperti warna rambut jagung,
mudah dicabut tanpa rasa sakit dan rontok
Apatis dan wajah seperti orang tua Perubahan status mental/gangguan
psikomotor, apatis, tidak gembira, tidak
ada nafsu makan dan rewel
Cengeng, rewel Hati membesar dan berlemak
Kulit keriput Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila
diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
Anak kelihatan waspada dan lapar Otot-otot berkurang dan melemah

jaringan lemak subkutis sangat sedikit Kulit mengalami depigmentasi, kering,


sampai tidak ada (pada daerah pantat bersisik, pecah-pecah dan dermatosis
tampak seperti memakai celana
longgar/baggy pants)

Perut cekung Kulit mengalami depigmentasi, kering,


bersisik, pecah-pecah dan dermatosis
Iga gambang Luka sukar sembuh

Gastroenteritis yang diikuti dehidrasi, Sering disertai : penyakit infeksi


infeksi saluran pernapasan, tuberkulosis, (umumnya akut) dan diare
cacingan berat dan penyakit kronis lain

Diare Anemia dan xeroftalmia


Marasmik-Kwashiorkor
Gabungan tanda-tanda marasmus dan kwashiorkor
· Sangat kurus
· Rambut jagung dan mudah rontok
· Perut buncit
· Punggung kaki bengkak
· Rewel

Frekuensi napas normal

UMUR FREKUENSI (X/Mnt)


Neonatus 30 – 60

1 – 6 bulan 30 – 50
6 – 12 bulan 24 – 46
1 – 4 tahun 20 – 30
4 – 6 tahun 20 – 25
6 – 12 tahun 16 – 20
Ø 12 tahun 12 - 20

Frekuensi jantung normal


UMUR FREKUENSI
≤ 1 TAHUN 110 – 60
2 – 5 TAHUN 95 – 140
5 – 12 TAHUN 80 – 120
Ø 12 Tahun 60 – 100

2. Apakah ada hubungan riwayat pemberian makan, diare serta demam berulang dengan
keluhan susi?
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk
kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi
oleh makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga
cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi akan menimbulkan
kekurangan berbagai asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis, oleh
karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat
dan sebagai asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab
kurangnya pembentukan alkomin oleh heper, sehingga kemudian timbul edema
perlemahan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga
transport lemak dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi
akumuasi lemak dalam heper
3. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan susi?
4. Pemeriksaan apa yg dapat dilakukan?
 Antropometri
Pengukuran antropometri untuk menilai ukuran dan bentuk badan dan bagian
badan khusus dapat membantu mengenai masalah nutrisi. Pengukuran ini
meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengas atas dan
lipatan kulit. Berat badan merupakan indicator untuk menilai keadaan gizi dan
tumbuh kembang anak. Tinggi badan dipakai sebagai dasar perbandingan
terhadap perubahan relatif pertumbuhan. Lingkar kepala untuk menilai
pertumbuhan otak. Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang
jaringan lemak dan otot. Lipatan kulit di daerah triseps dan sub scapula
merupakan relfkesi kulit tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit dan
mencerminkan kecukupan gizi (FKUI, 1993).
 Pemeriksaan laboratorium. Terutama mencakup pemeiksasan darah rutin
seperti kadar haemoglobn dan protein serum (albumin, globulin) serta
pemeriksasan kimia darah lain bila diperlukan dengan non esensial, kadar
lipid, kadar kolesterol (Markum dkk, 1991).
5. Tatalaksana?
PRINSIP DASAR PELAYANAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK

Pelayanan rutin yang dilakukan di puskesmas berupa 10 langkah penting yaitu:


1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5. Obati/cegah infeksi

6. Mulai pemberian makanan


7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)
8. Koreksi defisiensi nutrien mikro
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

Dalam proses pelayanan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase
transisi, dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang sesuai untuk setiap fase.

Tatalaksana ini digunakan pada pasien Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-


Kwashiorkor.

SEPULUH LANGKAH UTAMA PADA TATA LAKSANA KEP BERAT/GIZI


BURUk
 Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah rendah)
Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan KEP
berat/Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika
anak sadar dan dapat menerima makanan usahakan memberikan makanan saring/cair
2-3 jam sekali. Jika anak tidak dapat makan (tetapi masih dapat minum) berikan air
gula dengan sendok. Jika anak mengalami gangguan kesadaran, berikan infus cairan
glukosa dan segera rujuk ke RSU kabupaten.
 Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah)
Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini
anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa
lain mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga
agar anak tetap dapat bernafas.
Cara lain adalah dengan membungkus anak dengan selimut tebal, dan meletakkan
lampu didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai
menyentuh anak. Selama masa penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak
pada dubur (bukan ketiak) setiap setengah jam sekali. Jika suhu anak sudah normal
dan stabil, tetap dibungkus dengan selimut atau pakaian rangkap agar anak tidak jatuh
kembali pada keadaan hipothermia.
Tidak dibenarkan

penghangatan anak dengan menggunakan

botol berisi air panas

 Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan


Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk dengan
dehidrasi adalah :
 Ada riwayat diare sebelumnya

 Anak sangat kehausan

 Mata cekung

 Nadi lemah

 Tangan dan kaki teraba dingin

 Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.


Tindakan yang dapat dilakukan adalah :

 Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam
sekali tanpa berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan
rehidrasi oral dengan memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap
30 menit dengan sendok. Cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP disebut
ReSoMal (lampiran 4).
 Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum,
lakukankan rehidrasi intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 %
dan NaCL dengan perbandingan 1:1.

LANJUTAN TATALAKSANA ADA DI BAHAN TAMBAHAN


6. Bgm penilaian dan interpretasi fisik pada anak ke 2
- Bayi lahir segera menangis > normal
- Ckup bulan dgn skor APGAR 7/8 normal (normal 7-10)
- BB ‘: 3500 gr > normal (normal 2500-4000 gr)
- PB 50cm > normal ( 48-52cm)
- Frek napas: 45x/menit > normal (normalnya 40-60x/meenit)
- Frek jantung 140x/ menit > normal (140-160x/menit)
- Suhu 36,9 derajat > normal (36 – 37 derajat)
7. Apa indikasi resusitasi pada anak tersebut dan tujuan diberikaan Vit K,
imunisasi hepatitis B1 seta diberikan immunoglobulin ?
Pemberian vitamin k
Bayi baru lahir cenderung memiliki kadar vitamin K dan cadangan vitamin K
dalam hati yang relatif lebih rendah dibanding bayi yang lebih besar. Sementara itu
asupan vitamin K dari ASI belum mencukupi (0,5 ng/L), sedangkan vitamin K dari
makanan tambahan dan sayuran belum dimulai. Hal ini menyebabkan bayi baru
lahir cenderung mengalami defisiensi vitamin K sehingga berisiko tinggi untuk
mengalami PDVK
Selain itu, salah satu akibat defisiensi vitamin K terlihat pada kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) berupa perdarahan yang timbul sekitar 2 jam sampai 8 hari paska
imunisasi. Dari data Komnas KIPI jumlah kasus perdarahan paska imunisasi yang
diduga karena defisiensi vitamin K selama tahun 2003 sampai 2006 sebanyak 42
kasus, dimana 27 kasus (65%) diantaranya meninggal.

Pemberian imunisasi hepatitis B

Di Indonesia terdapat cukup banyak penderita maupun pengidap virus Hepatitis


B, termasuk pada ibu-ibu yang hamil/melahirkan yang tanpa gejala. Penyakit
Hepatitis B pada ibu hamil tidak menular kepada bayi yang dikandung tetapi
menular pada waktu proses melahirkan.

Untuk mencegah penyakit Hepatitis B pada bayi perlu diberikan imunisasi


Hepatitis B pada bayi yang baru lahir, walaupun masih bermanfaat sampai 7 hari
setelah lahir tetapi makin cepat (sedini mungkin) makin baik. Yang terbaik adalah
segera setelah persalinan (0 hari).

Pemberian imunisasi Hepatitis B sebaiknya ditunda pada kondisi bayi:

1. Berat badan lahir rendah (BBLR)

2. Bayi kuning

3. Tidak sehat atau lemah

Pemberian sentikan imunisasi Hepatitis B segera pada bayi baru lahir yang
keadaan umumnya baik dan berat badan lahir normal sangat besar kegunaanya
untuk melindungi bayi tesebut dari penyakit Hepatitis B dibandingkan jika
diberikan lewat dari 7 hari. Untuk itu mintalah imunisasi Hepatitis B ke tempat
pelayanan kesehatan segera setelah bayi lahir.

Ibu yang terinfeksi oleh virus hepatitis B yang ditandai dengan hasil laboratorium HbsAg +,
dapat menularkan virus hepatitis B ke bayinya. Oleh karena itu, bayi yang lahir dari ibu
dengan status HbsAg + harus segera diberikan imunisasi pasif maupun aktif untuk
mencegah tertularnya si bayi oleh virus hepatitis B. Imunisasi pasif (imunoglobulin hepatitis
B) adalah pemberian antibodi jadi (siap pakai) untuk memberikan imunitas secara langsung
terhadap virus hepatitis B tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan
tubuhnya. Imunisasi aktif (vaksin hepatitis B) adalah pemberian vaksinasi untuk merangsang
sistem kekebalan tubuh supaya secara aktif dapat membentuk sendiri antibodi terhadap virus
hepatitis B.
Pada bayi cukup bulan atau berat lahir ³ 2000 gram, dari ibu dengan status HbsAg +, harus
segera diberikan Imunoglobulin hepatitis B (HBIg) dan vaksin hepatitis B pada 12 jam
pertama usia bayi. HBIg diberikan dengan dosis 0,5 mL secara intramuskular (IM) pada paha
sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B yang pertama. Vaksin hepatitis B yang diberikan
merupakan bagian dari 3 dosis vaksin yang harus diberikan serial usia 0, 1 dan 6 bulan.

Pada bayi berat lahir < 2000 gram, dari ibu dengan status HbsAg +, HBIg diberikan dalam 12
jam pertama usia bayi, dengan dosis 0,5 mL secara IM pada paha sisi lain dari pemberian
vaksin Hepatitis B. Vaksin hepatitis B yang diberikan segera setelah lahir merupakan dosis
tambahan, tidak termasuk dalam 3 dosis serial vaksin hepatitis B pada jadwal pemberian
vaksin hepatitis B yang diwajibkan.

Setelah bayi menyelesaikan jadwal imunisasi hepatitis B yang diwajibkan, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium HbsAg dan titer antibodi anti HbsAg pada 3 bulan setelah jadwal
imunisasi selesai. Bila tidak terbentuk antibodi, maka perlu dilakukan ulangan pemberian
vaksin hepatitis B (reimunisasi) sebanyak 3 dosis dengan interval 2 bulan.

Apabila bayi berisiko diberikan imunisasi pasif dan aktif dengan baik sesuai prosedur dan
jadwal yang dianjurkan, maka dapat memberikan perlindungan yang efektif hingga 95%
dalam mencegah infeksi virus hepatitis B dari ibu ke bayinya. Namun, bila hanya diberikan
vaksin hepatitis B saja, tanpa HBIg, maka efektivitas perlindungannya sekitar 75%.

 IBU DENGAN HEPATITIS B

Indonesia masih merupakan negara endemis tinggi untuk Hepatitis B, di dalam


populasi, angka prevalensi berkisar 7-10%. Pada ibu hamil yang menderita
Hepatitis B, transmisi vertikal dari ibu ke bayinya sangat mungkin terjadi, apalagi
dengan hasil pemeriksaan darah HbsAg positif untuk jangka waktu 6 bulan, atau
tetap positif selama kehamilan dan pada saat proses persalinan, maka resiko
mendapat infeksi hepatitis kronis pada bayinya sebesar 80 sampai 95%. Perlu
adanya komunikasi aktip antara ibu, dengan dokter kandungan, dokter anak, atau
dengan bidan penolong agar memanajemen terhadap BBL dapat segera dimulai.

Definisi / Batasan Operasional (1,2,3,4,5,6)

Kriteria ibu mengidap atau menderita hepatitis B kronik :


1. Bila ibu mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan dan tetap
positif selama masa kehamilan dan melahirkan. (1,3,4)
2. Bila status HbsAg positif tidak disertai dengan peningkatan SGOT/PT maka, status
ibu adalah pengidap hepatitis B. (1,5)
3. Bila disertai dengan peningkatan SGOT/PT pada lebih dari kali pemeriksaan dengan
interval pemeriksaan @ 2-3 bulan, maka status ibu adalah penderita hepatitis B
kronik. (5)
4. Status HbsAg positif tersebut dapat disertai dengan atau tanpa HBeAg positif.(1,5)

PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU HEPATITIS B

Penanganan secara multidisipliner antara dokter spesialis penyakit dalam,


spesialis kebidanan & kandungan dan spesialis anak. Satu minggu sebelum
taksiran partus, dokter spesialis anak mengusahakan vaksin hepatitis B
rekombinan dan imunoglobulin hepatitis B. Pada saat partus, dokter spesialis anak
ikut mendampingi, apabila ibu hamil ingin persalinan diltolong bidan, hendaknya
bidan diberitahukan masalah ibu tersebut, agar bidan dapat juga memberikan
imunisasi yang diperlukan.

Ibu yang menderita hepatitis akut atau test serologis HBsAg positif, dapat
menularkan hepatitis B pada bayinya :

 Berikan dosis awal Vaksin Hepatitis B (VHB) 0,5 ml segera setelah lahir, seyogyanya
dalam 12 jam sesudah lahir disusul dosis ke-2, dan ke-3 sesuai dengan jadwal
imunisasi hepatitis.
 Bila tersedia pada saat yang sama beri Imunoglobulin Hepatitis B 200 IU IM (0,5 ml)
disuntikkan pada paha yang lainnya, dalam waktu 24 jam sesudah lahir (sebaiknya
dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir).
 Mengingat mahalnya harga immunoglobulin hepatitis B, maka bila orang tua tidak
mempunyai biaya, dilandaskan pada beberapa penelitian, pembelian HBIg tersebut
tidak dipaksakan. Dengan catatan, imunisai aktif hepatitis B tetap diberikan
secepatnya.
 Yakinkan ibu untuk tetap menyusui dengan ASI, apabila vaksin diatas sudah
diberikan (Rekomendasi CDC), tapi apabila ada luka pada puting susu dan ibu
mengalami Hepatitis Akut, sebaiknya tidak diberikan ASI.

Tatalaksana khusus sesudah periode perinatal :

a. Dilakukan pemeriksaan anti HBs dan HbaAg berkala pada usia 7 bulan (satu
bulan setelah penyuntikan vaksin hepatitis B ketiga) 1, 3, 5 tahun dan selanjutnya
setiap 1 tahun. (7,9)

1. Bila pada usia 7 bulan tersebut anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan ulang anti
HBs dan HBsAg pada usia 1, 3, 5 dan 10 tahun. (7,9)
2. Bila anti HBs dan HBsAg negatif, diberikan satu kali tambahan dosis vaksinasi dan
satu bulan kemudian diulang pemeriksaan anti HBs. Bila anti HBs positif, dilakukan
pemeriksaan yang sama pada usia 1, 3, dan 5 tahun seperti pada butir a. (8,9)
3. Bila pasca vaksinasi tambahan tersebut anti HBs dan HBsAg tetap negatif, bayi
dinyatakan sebagai non responders dan memerlukan pemeriksaan lanjutan yang tidak
akan dibahas pada makalah ini karena terlalu teknis. (10)
4. Bila pada usia 7 bulan anti HBs negatif dan HBsAg positif, dilakukan pemeriksaan
HBsAg ulangan 6 bulan kemudian. Bila masih positif, dianggap sebagai hepatitis
kronis dan dilakukan pemeriksaan SGOT/PT, USG hati, alfa feto protein, dan HBsAg,
idealnya disertai dengan pemeriksaan HBV-DNA setiap 1-2 tahun. (1,4,5)

b. Bila HBsAg positif selama 6 bulan, dilakukan pemeriksaan SGOT/PT setiap 2-


3 bulan. Bila SGOT/PT meningkat pada lebih dari 2 kali pemeriksaan dengan
interval waktu 2-3 bulan, pertimbangkan terapi anti virus.

Tatalaksana umum

Pemantauan tumbuh-kembang, gizi, serta pemberian imunisasi, dilakukan


sebagaimana halnya dengan pemantauan terhadap bayi normal lainnya. Pada HCV
sebaiknya tidak memberikan ASI karena 20 % ibu dengan Hepatitis C ditemukan
Virus dalam kolostrumnya. Pada penelitian Kumal dan Shahul, ditemukan infeksi
HCV pada bayi yang tidak mengandung HCV RNA padahal bayi-bayi tersebut
mendapat ASI eksklusif dari Ibu dengan HCV.

8. Apa pemeriksaan yg dapat dilakukan pada ank ke 2? (Baca di bahan hepatitis b


pada ibu)
9. Bagaimana pemberiaan imunisasi selanjutnya pada anak tersebut ? baca pada
bahan diatas
10. Apakah setiap pemberian imunisasi harus diberikan immunoglobulin ?
11.

Anda mungkin juga menyukai