Anda di halaman 1dari 3

INISIASI 4 Tannas di Era Globalisasi

Inisiasi IV Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi

Oleh

FR Wulandari, M. Si

Istilah globalisasi menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa
mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini. Globalisasi berkembang
melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi” di bidang teknologi komunikasi
atau informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T.

Pemikiran Naisbitt menyatakan menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan munculnya
berbagai paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi” akan menghilangkan negara
bangsa (nation state)? Disisi lain globalisasi haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity)
untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memperkokoh bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa
lain yang telah maju. Untuk itulah, diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa Indonesia di Era
Globalisasi.

Globalisasi merupakan suatu pengertian ekonomi. Konsep globalisasi baru masuk kajian dalam
universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh
Roland Robertson dari University of Pittsburgh.

Pada prinsipnya, proses globalisasi ada yang bertujuan intensional dan ada pula yang impersonal. Proses
globalisasi yang intensional dapat dilihat misalnya pada kegiatan perdagangan dan pemasaran,
sedangkan proses globalisasi yang impersonal dapat kita lihat, misalnya dalam gerakan fundamentalis,
agama dan kecenderungan-kecenderungan pasar yang agak sulit untuk dijelaskan sebab-musababnya,
misalnya mundurnya mobil buatan Amerika di pasaran dunia dewasa ini.

Globalisasi menyebabkan “bazar global” karena dunia sebenarnya telah merupakan pasaran bersama
dengan adanya alat-alat komunikasi serta entertainment global melalui jaringan TV, internet, film, musik
maupun majalah-majalah maka dunia dewasa ini telah merupakan suatu pasar yang besar (global
cultural bazaar). Bahwa dunia telah menjadi satu pasar, dapat kita lihat gejalanya di kota-kota besar di
Indonesia, dengan menjamurnya mal-mal yang dibanjiri produk luar negeri.

Dewasa ini kita juga melihat bahwa suatu produk tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi komponen-
komponennya telah dibuat di berbagai negara karena pertimbangan-pertimbangan bisnis yang lebih
menguntungkan. Produk Boeing, Toyota, Mitsubisi, General motor merupakan contoh desentralisasi
dalam produksinya. Sementara itu, proses produksi juga berkembang menjadi produksi massal (mass
production) yang memungkinkan penekanan harga sehingga dapat dijual lebih murah.

Pesatnya kemajuan bisnis juga didorong oleh apa yang disebut uang global (global money) yakni credit
card. James Champy penulis terkenal Reengineering The Corporation, menyatakan selera konsumen
sangat menentukan dalam transformasi global.
Menurut Champy, lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalah Pertama,
lingkungan yang merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan konsumen. Kedua,
untuk memenuhi selera pasar “konsumen”, diperlukan manusia-manusia yang menguasai ilmu dan
keterampilan tertentu serta menjalankan instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga,
masyarakat masa depan merupakan masyarakat “meritokrasi”, yaitu masyarakat yang menghormati
prestasi daripada statusnya dalam organisasi. Keempat, lingkungan yang menghormati seseorang yang
dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan kedudukannya di dalam organisasi. Inilah
transformasi perusahaan yang menggambarkan pula transformasi kebudayaan manusia.

Nilai-nilai positif dari globalisasi (kesejagatan) mempunyai dimensi-dimensi baru yang tidak dikenal
sebelumnya seperti kriminalitas internasional, pembajakan dan terorisme internasional, penyakit baru
yang dengan cepat menyebar ke seantero dunia. Transformasi ini berjalan dengan menghadapi
tantangan sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, globalisasi mengandung berbagai paradoks.

Menurut Kartasasmita (1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling
menunjang, yaitu perdagangan dan teknologi. Perdagangan akan berkembang begitu cepat dan
mengubah pola-pola kehidupan manusia. Pola-pola kehidupan itu ditanggung oleh kemajuan teknologi
yang telah mengubah bentuk-bentuk hubungan antarmanusia dengan lebih cepat, lebih intensif, dan
lebih beragam. Transformasi bukan berjalan tanpa tantangan. John Naisbitt mengatakan globalisasi
mengandung berbagai paradoks, di antaranya berikut ini.

1. Budaya global vs Budaya lokal

2. Universal vs Individual

3. Tradisional vs Modern

4. Jangka Panjang vs Jangka Pendek

5. Kompetisi vs Kesamaan kesempatan

6. Keterbatasan akal manusia vs Ledakan IPTEK

7. Spiritual vs Material

Akibat hubungan bisnis (perdagangan) yang telah menyatukan kehidupan manusia maka timbul
kesadaran yang lebih intern terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia. Sejalan dengan itu,
kehidupan demokrasi semakin marak dan manusia ingin menjauhkan diri dari berbagai bentuk
penindasan, kesengsaraan, diktator dan perang. Oleh karena itu, liberalisasi dalam bidang ekonomi ini
menuntut liberalisasi dalam bidang politik, di mana keduanya harus berjalan seiring dan saling
menunjang. Buah pikiran Kenechi Ohmae dalam “Dunia tanpa batas” dimaksudkan dalam bidang bisnis
komunikasi dan informasi memang akan menebus batas-batas nation, tetapi tidak dengan sendirinya
menghilangkan identitas suatu bangsa. Kontak budaya tidak terelakkan akibat komunikasi yang semakin
lancar. Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkretisme budaya yang
sifatnya transnasional.

Sebagai bangsa Indonesia, dengan berpijak pada budaya Pancasila, untuk menghadapi kekuatan global
tersebut, perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam segenap aspek kehidupan
(Astagatra). Kekuatan yang kita miliki dalam Astagatra (geografi, sumber kekayaan alam, demografi,
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam) yang harus dipertahankan, ditingkatkan dan
dikembangkan, sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada hendaknya dapat diatasi dan diubah
menjadi kekuatan untuk meningkatkan tannas di dalam menghadapi era globalisasi. Kunci dalam
meningkatkan tannas Indonesia adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang
menuju kepenguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dilandasi oleh iman dan takwa
(imtaq). Dalam pembangunan nasional yang kita lakukan untuk meningkatkan tannas dilandasi oleh
Wasantara. Penerapan pendekatan tannas dalam pembangunan nasional, berarti kita melihat kekuatan
dan kelemahan bangsa Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan (Astagatra) secara komprehensif
integral, membangun secara bersinergi aspek kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu, dalam
pembangunan nasional untuk mencapai tingkat tannas yang kita harapkan di dalam era globalisasi ini
diperlukan pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra.

Dalam aspek Trigatra diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan
kesejahteraan dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan, pengelolaan sumber kekayaan
alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan kelestarian. Dalam aspek pancagatra
diperlukan pemahaman penghayatan dan pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Penghayatan budaya politik Pancasila, mewujudkan perekonomian yang
efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan yang meningkat bagi
seluruh rakyat, memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan memantapkan kesadaran
bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai