Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TUJUAN PEMIDANAAN DAN MAQĀṢID AS-SYARĪ’AH

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Secara bahasa tindak pidana terdiri dari dua kata, yakni tindak dan

pidana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tindak berarti langkah

atau perbuatan1. Sedangkan Pidana diartikan hukuman kejahatan

(tertentu seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya).2

Dengan demikian, berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, tindak

pidana merupakan perbuatan kejahatan.

Tindak pidana atau Delik merupakan terjemahan dari strafbaar feit atau

delict (bahasa Belanda) atau criminal act (bahasa Inggris), di dalam

KUHP tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit itu sendiri. Dalam menterjemahkan istilah tersebut ke

dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah

oleh para cerdik pandai bangsa Indonesia. Peristilahan yang sering

dipakai dalam hukum pidana adalah “tindak pidana”. Istilah ini

dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu

Delict atau Strafbaar feit.

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1195.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), hlm. 360.

21
22

Disamping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah

dipakai beberapa istilah lain yaitu: 3

a. Peristiwa pidana

b. Perbuatan pidana

c. Pelanggaran pidana Perbuatan yang dapat dihukum,

d. Perbuatan yang boleh dihukum

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delik diartikan sebagai perbuatan

yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana.4

Tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi)

berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melangar larangan

tersebut.5

Menurut Wirjono Prodjodikoro Tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelakunya ini

dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.6

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (delik)

manakala perbuatan itu memenuhi unsur-unsur obyektif dan unsur-

3
M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karta, 1984), hlm. 1.
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hlm. 219.
5
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), hlm. 54.
6
Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1981), hlm.
50.
23

unsur subyektif. Adapun yang dimaksud dengan Unsur subyektif adalah

unsur yang melekat pada diri si pelaku, termasuk di dalamnya adalah

segala sesuatu yang terkandung di hatinya. Sedangkan unsur obyektif

adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam

keadaan mana tindakan si pelaku itu harus dilakukan, meliputi

kemampuan bertanggungjawab pelaku dan kesalahan.7

Unsur-unsur obyektif dari tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan dalam undang-

undang.

b. Kausalitas (hubungan antara sebab dan akibat).

c. Bersifat melawan hukum (wederrechtelijk)

Menurut Vos dan Moeljatno memberikan definisi melawan

hukum artinya, bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh

hukum atau anggapan masyarakat, atau yang benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut

dilakukan.8

Sedang unsur-unsur subyektif meliputi:

a. Adanya kesalahan (schuld), meliputi kesengajaan (dolus/opzet)

dan kelalaian (culpa).

b. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.

7
Lamitang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1997),
hlm. 33.
8
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 53.
24

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana itu.

KUHP mengadakan pembagian kedalam dua jenis tindak pidana yaitu

sebagai berikut:

a. Kejahatan

b. Pelanggaran

Pembagian tindak pidana dalam jenis kejahatan dan pelanggaran

dianggap penting karena membawa akibat-akibat tertentu sebagai

berikut:9

a. Dalam sanksi. Umumnya sanksi untuk kejahatan lebih besar

daripada pelanggaran.

b. Dalam lembaga. “percobaan” yakni bila seseorang melakukan

perbuatan yang merupakan permulaan dari pelaksanaan tindak

pidana tetapi karena suatu hal tidak terlaksana. Dalam hal ini

maka percobaan untuk melakukan kejahatan sadar yang dapat

dipidana, percabaan untuk pelanggaran tidak dipidana.

c. Dalam lembaga. “membantu” yakni bila seseorang dengan

sengaja membantu orang lain untuk melakukan tindak pidana.

Hanya dalam kejahatan saja membantu itu dapat dipidana, tidak

pada pelanggaran.

9
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 151.
25

d. Dalam gabungan tindak pidana, maka sistem pemidanaannya

berbeda. Dalam hal kejahatan pidana itu satu saja, yaitu yang

terberat. Sebaliknya dalam hal pelanggaran, semua pidana itu

dijatuhkan pada satu putusan.

e. Unsur salah. Pada umumnya dalam kejahatan, tiap-tiap

kejahatan mensyaratkan unsur kesalahan itu, baik sengaja

maupun kelalaian. Sebaliknya dalam pelanggaran umumnya

tidak pernah ada penegasan.

f. Kemungkinan penebusan pidana hanya terbuka bagi

pelanggaran.

B. Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.10

Mengetahui tujuan diadakannya pidana menjadi dasar penting untuk

membenarkan adanya pidana itu sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh

Poernomo bahwa tujuan diadakannya pidana (strafrechttheorieen) itu

diperlukan karena manusia harus mengetahui sifat dari pidana (straffen) dan

dasar hukum dari pidana (de rechtsgrond van de straf).11

10
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 2.
11
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 595-
596.
26

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa tujuan dari kebijakan

pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik

kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui

tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori tentang

pemidanaan yang ada12

Walaupun negara atau penguasa berwenang menjatuhkan hukuman

kepada seseorang, hak ini tidak dapat dijalankan secara sewenang-wenang.

Penguasa tetap harus mempunyai dasar dijatuh-kannya hukuman tersebut,

adapun dasar atau alasan dijatuhkan hukuman pidana dapat digolongkan

menjadi tiga yaitu:

1. Teori absolut (pembalasan)

Teori pembalasan disebut juga dengan teori absolut membenarkan

pemidanaan atas diri seseorang yang telah melakukan suatu tindak

pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan

pembalasan yang berupa penjatuhan hukuman atau pidana.

Teori ini tidak pernah mempersoalkan akibat dari pemidanaan bagi

terpidana. Pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau; atau

masa terjadinya tindak pidana itu.

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah memberikan

pendapat sebagai berikut:13

12
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 2008), hlm.149
13
Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.
(Bandung: Bina Cipta,1992)
27

“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan


untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu
sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana.
Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah
perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.”

Para ahli membagi teori pembalasan ini sebagai berikut:14

a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika (filosofi

moral)

Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan merupakan tuntutan

mutlak dari kesusilaan atau etika terhadap seorang penjahat.

Immanuel Kant mengatakan: “walaupun besok dunia akan

kiamat, penjahat terakhir harus menjalankan pidananya”

b. Teori pembalasan bersambut (dialektika)

Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang mengatakan bahwa

hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan

kejahatan merupakan perlawanan atau pertentangan kapada

hukum dan keadilan. Oleh karena itu menurut penganut teori ini

mempertahankan hukum merupakan perwujudan dari

kemerdekaan dan keadilan. Kejahatan mutlak harus dilenyapkan

dengan memberikan pidana kepada penjahat.

c. Pembalasan demi keindahan atau kepuasan

Penganut teori ini mengatakan agar ketidakpuasan dalam

masyarakat (yang diakibatkan oleh ulah penjahat) dapat

14
Apong Herlina, “Restorative Justica”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3, No. III
(September 2004), hlm. 22-23.
28

terimbangi atau rasa keindahan masyarakat dapat terpulihkan

kembali, maka penjahat mutlak harus dihukum atau dipidana.

d. Pembalasan sesuai ajaran Tuhan

Menurut teori ini, kejahatan merupakan pelanggaran terhadap

perikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Demi terpeliharanya

perikeadilan Tuhan tersebut, maka para penjahat mutlak harus

diberikan penderitaan.

e. Pembalasan sebagai kehendak manusia

Para penganut teori ini menganggap bahwa dalam wacana

pembentukan negara, warga negara telah menyerahkan sebagian

dari haknya kepada negara. Sebagai imbalannya, maka warga

negara tersebut memperoleh perlindungan hukum atas

kepentingannya. Jika kepentingan hukum warga ini terganggu

akibat perbuatan seseorang, maka penjahat tersebut mutlak harus

diberikan pembalasan berupa hukuman atau pidana.

2. Teori relative (tujuan)

Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan

bukan untuk pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu. Jadi teori

ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu,

artinya teori ini mencari manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini

dikenal juga dengan nama teori nisbi yang menjadikan dasar penjatuhan

hukuman pada maksud dan tujuan hukuman sehingga ditemukan

manfaat dari suatu penghukuman. Teori ini berprinsip guna


29

penyelenggaraan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk suatu

prevensi kejahatan. Andi Hamzah menegaskan, bahwa:15

Teori ini dibedakan menjadi prevensi umum dan prevensi khusus.


Prevensi umum, menghendaki agar orang-orang pada umumnya
tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan
pemidanaan ditujukan kepada pribadi pelaku tindak pidana agar
tidak lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.”

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat melalui teori ini, maka

pidana memiliki empat macam sifat yaitu:16

a. Pencegahan

Untuk menakut-nakuti agar orang tidak melakukan kejahatan

maka dibuatlah ancaman hukuman dan penjatuhan hukuman

yang berat bagi si penjahat atau pelanggar.

b. Perbaikan atau pendidikan

Kepada penjahat diberikan pendidikan berupa pidana, agar dia

kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan

mental yang lebih baik.

c. Menyingkirkan penjahat dari masyarakat

Kepada penjahat yang kebal terhadap ancaman pidana maupun

penjatuhan pidana, agar diberikan pidana berupa perampasan

kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan

hukuman mati. Dengan tersingkirnya penjahat dari lingkungan

15
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
(Pradnya Paramita, 1986), hlm. 34.
16
Apong Herlina, “Restorative Justica”, hlm. 23.
30

pergaulan masyarakat, diharapkan kehidupan di masyarakat

akan tenang kembali dan harmonis lagi.

d. Menjamin ketertiban umum

Kepada pelanggar norma hukum ini, negara menjatuhkan

pidana, sebagai peringatan dan agar pelanggar menjadi takut.

Tujuan pemidanaan ini lebih kepada pencegahan terhadap

terjadinya kejahatan.

Teori relatif dengan teori absolut memiliki perbedaan yang mendasar

dimana teori ini menitikberatkan pada bagaimana merubah atau

memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk berubah dan

bertujuan untuk merubah pelaku tindak pidana agar dapat kembali

kepada kehidupan sosial seperti semula. Berbeda dengan teori absolut

yang menitikberatkan pada penghukuman yang setimpal kepada

pelaku. Teori ini berfokus bagaimana hukuman dapat memperbaiki

keadaan sosial dimasa yang akan datang.17

3. Teori gabungan

Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan terletak pada

kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di

samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan

dari pada hukum. Satochid Kartanegara menyatakan:18

Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah

17
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 15
18
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
1998), hlm. 56.
31

terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan,


akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan
itu adalah tujuan dari pada hukum.”

Penganut teori ini menggabungkan kedua teori tersebut di atas,

dengan mengatakan bahwa dasar pemidanaan bukan saja

mempertimbangkan masa lalu (teori pembalasan) tapi juga harus

mempertimbangkan masa datang (teori tujuan). Dengan demikian,

penjatuhan pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi

masyarakat, penjahat dan hakim itu sendiri, harus ada keseimbangan

antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

C. Maqāşid as-Syarī’ah

1. Pengertian Maqāşid as-Syarī’ah

Secara bahasa Maqāşid as-Syarī’ah terdiri dari dua kata, yakni Maqāşid

dan Syarī’ah. Maqāşid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqāşid

merupakan bentuk jama’ dari Maqşud yang berasal dari suku kata

Qaşada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqāşid berarti

hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.19

Syari’ah secara bahasa berarti ‫الماء‬ ‫ المواضع تحدر الى‬artinya jalan


menuju sumber air.20 Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan

sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan.21

19
Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab Jilid I, (Kairo: Darul Ma’arif, t.t.), hlm. 3642
20
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14, (Surabaya:
Penerbit Pustaka Progressif, 1997), hal. 712.
21
Fazlurrahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm.
140.
32

Secara Istilah menurut as-Syatibi Maqāşid as-Syarī’ah adalah syariat itu

ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan

manusia di dunia dan akhirat.22

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, Maqāşid as-Syarī’ah berarti nilai-nilai

dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari

hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang

sebagai tujuan dan rahasia syariah yang ditetapkan oleh as-syar’i dalam

setiap ketentuan hukum.23

Menurut Akhmad ar-Raisuni sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman

Djamil, Maqāşid as-Syarī’ah berarti maksud atau tujuan disyari’atkan

hukum Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya

adalah mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya suatu hukum.24

Kandungan Maqāşid as-Syarī’ah atau tujuan hukum Allah adalah untuk

kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat.25 Kemaslahatan itu,

melalui analisis Maqāşid as-Syarī’ah tidak hanya dilihat dalam arti

teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan

hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari

hukum-hukum yang disyari’atkan tuhan terhadap manusia.26 Dengan

22
Abu Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi usul al-Syari’ah, Kairo: Mustafa Muhammad,
t.t.), hlm. 3.
23
Wahbah Az–Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1986), hlm.
1017.
24
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
123.
25
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 64.
26
Ibid., hlm. 65.
33

demikian Maqāşid as-Syarī’ah dapat dimaknai dengan tujuan Allah dan

Rasul-Nya dalam merumuskan syari’at Islam yang tiada lain selain

untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudharatan

manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Dasar dari Maqāşid as-Syarī’ah terdapat dalam QS. Al-Jasiyah (45),

ayat 18:

‫ثم جعناك على شرعية من األمر فا تبع أهواء الذين ال‬

27
‫يعلمون‬
Dalam QS. Al-Syura (42), ayat 13 juga ditegaskan:

‫شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أو حينا إليك‬

‫وما والصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين‬

‫التتفرقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم إليه هللا يجتبي‬

28
‫من يشاء ويهدي إليه من ينيب‬
Ayat di atas menjelaskan tentang sebuah makna syari’ah yang

mempunyai pengertian secara gelobal yaitu peraturan-peraturan yang

ditetapakan oleh Allah SWT yang harus dikiuti.29

27
Al-Jasiyah (45): 18.
28
As-Syura (42): 13.
29
Yayan Sopyan, Tarikh Tasryi Pemebentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.3.
34

Hal ini juga dikemukakan oleh al-Syathbi, ia menegasakan semua

kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan

hamba. Tak satupun hukum Allah yang diciptakan tidak mempunyai

tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan Taklīf

Mā Lā Yuṭāq (memebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat itulah,

maka para ulama ushul fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut

dalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melastarikan dan

menjamin terwujudnya kemaslahatan. Kelima misi tersebut disebut

Maqāşid as-Syarī’ah yang mencangkup memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta.30 Imam Al-Ghazali berpendapat sebagaimana

dikutip oleh Nasrun Haroen, bahwa maslahat pada dasarnya adalah

ungkapan dari memperoleh manfaat dan menolak mudarat.31 Ungkapan

tersebut dikatagorikan dalam sebuah kaidah yang paling luas ruang

lingkupnya dan cakupannya. Dalam kaidah sebagai berikut:

32
‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

2. Bagian-bagian Maqāşid as-Syarī’ah

30
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah Menurut al- Syatibi, hlm. 71.
31
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.114.
32
Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN Malik Press, 2010), hlm.
76.
35

Wahbah al-Zuhaili menetapkan syarat-syarat Maqāşid as-Syari'ah.

Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai Maqāşid as-

Syari'ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu:33

a. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang

dimaksudkan itu harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati

kepastian.

b. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak berbeda dalam

penetapan makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara

keturunan yang merupakan tujuan disyariatkannya perkawinan.

c. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran

atau batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti

menjaga akal yang merupakan tujuan pengharaman khamr dan

ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.

d. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena

perbedaan waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan

kemampuan untuk memberikan nafkah sebagai persyaratan

kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.

Lebih lanjut, al-Syathibi dalam uraiannya tentang Maqāşid al-syari'ah

membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok,

yaitu tujuan syari'at menurut perumusnya (syari') dan tujuan syari'at

33
Wahbah az-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm. 1019.
36

menurut pelakunya (mukallaf). Maqāşid al-syari'ah dalam konteks

Maqāşid al-syari' meliputi empat hal, yaitu:34

a. Tujuan utama syari’at adalah untuk kemaslahatan manusia di

dunia dan di akhirat

b. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami

c. Syari’at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan

d. Tujuan syari’at membawa manusia selalu di bawah naungan

hukum.

Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah

sebagai pembuat syari'at (syāri'). Allah tidak mungkin menetapkan

syari'at-Nya kecuali dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya,

baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan ini akan terwujud bila

ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat dilaksanakan apabila

sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh karena itu

semua tujuan akan tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari

selalu ada di jalur hukum dan tidak berbuat sesuatu menurut hawa

nafsunya sendiri.

Maslahat sebagai substansi dari Maqāşid as-Syarī’ah dapat dibagi

sesuai dengan tinjauannya. Bila dilihat dari aspek pengaruhnya dalam

kehidupan manusia, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:

34
Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, Majalah Ilmiah
Sultang Agung, Vol.44, No.118, Th. 2009, hlm. 123
37

a. Maqāşid aḍ-Ḍarūriyyah, yaitu maslahat yang bersifat primer, di

mana kehidupan manusia sangat tergantung padanya, baik aspek

diniyah (agama) maupun aspek duniawi. Maka ini merupakan

sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan manusia.

Imam Juwayniy telah mengemukakan, yang kemudian

dikembangkan oleh Al-Ghazali dan asy-Syatibi untuk memelihara

al-Umūr aḍ-Ḍarūriyyah dalam kehidupan manusia, yaitu hal-hal

yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada

kemaslahatan pada mereka. Yaitu semua syariat yang tercakup

dalam lima hal, al-kulliyyat al-khams.35

Hukum-hukum untuk memelihara al-Umūr aḍ-Ḍarūriyyah Yaitu:

1) Hifẓ ad-Dīn (memelihara agama)

Memelihara agama berdasarkan tingkat kebutuhannya dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu:

a) Memelihara agama dalam peringkat Ḍarūriyyah, yaitu

memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang

termasuk peringkat primer. Seperti melaksanakan shalat

fardu di tempat yang suci, karena tempat yang suci

merupakan kebutuhan primer ketika melaksanakan shalat.

b) Memelihara agama dalam peringkat Hājiyah yaitu

melaksanakan ketentuan keagamaan dengan maksud

menghindari kesulitan seperti melaksana shalat fardu di

35
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqasid Syariah menurut Imam Al-Syahibi, hlm. 61-62
38

tempat yang tertutup. Ini merupakan kebutuhan sekunder

karena mekipun shalat tidak dilaksanakan di tempat yang

tertutup, pada dasarnya shalat tetap sah.

c) Memelihara agama dalam peringkat Taḥsīniyyah yaitu

menikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat

manusia, sekaligus melengkapi pelaksanakannya kepada

Tuhan. Seperti melaksanakan shalat di tempat yang ber-AC,

hal ini merupakan kebutuhan tersier karena sebagai

penunjang kenyamanan dalam menjalankan shalat dan tidak

mengancam eksistensi agama, sekaligus tidak mempersulit.

2) Hifẓ an-Nafs (memelihara jiwa)

Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kebutuhannya dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu:

a) Memelihara jiwa pada peringkat Ḍarūriyyah, seperti

memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan dan minuman

untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Hal ini

menjadi primer karena jika tidak terpenuhi maka eksistensi

jiwa manusia akan terancam.

b) Memelihara jiwa pada peringkat Hājiyah, seperti dianjurkan

untuk memperoleh makanan yang halal dan bergizi, jika hal

tidak mengancam eksistensi manusia, melainkan dapat

mepersulit hidupannya jika diabaikan.


39

c) Memelihara jiwa pada peringkat Taḥsīniyyah, seperti

diaturnya tata cara makan dan minum. Hal ini hanya

berhubungan dengan dengan kesopanan atau etika dan tidak

mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.

3) Hifẓ al-‘Aql (memelihara akal)

Memelihara akal dilihat dari kebutuhannya dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat, yaitu:

a) Memelihara akal pada peringkat Ḍarūriyyah, seperi

diharamkan mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya.

Hal ini menjadi primer karena mengkonsumsi minuman

keras dapat merusak akal manusia.

b) Memlihara akal pada peringkat Hājiyah, seperti dianjurkan

untuk menuntut ilmu pengetahuan, hal ini merupakan

kebutuhan sekunder karena jika diabaikan tidak akan

merusak eksistensi akal, melainkan akan mempersulit

seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan

dan akhirnya berimbas pada kesulitan dalam hidupnya.

c) Memelihara akal pada peringkat Taḥsīniyyah seperti

menghindarkan diri dengan kegiatan menghayal,

mendengarkan atau melihat hal-hal yang tidak bermanfaat.

Hal ini berkaitan dengan etika dan tidak mengancam

eksistensi akal secara langsung.


40

4) Hifẓ al-Māl (memelihara harta benda)

Dilihat dari kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga

peringkat, yaitu:

a) Memelihara harta pada peringkat Ḍarūriyyah, Memelihara

harta pada peringkat Ḍarūriyyah, Islam mensyariatkan

perdagangan, seperti berdagang mi ayam, hal ini dilakukan

untuk mempertahankan keberlangsungan harta.

b) Memelihara harta pada peringkat Hājiyah, dalam hal ini

kreatifitas dan inovasi dibutuhkan untuk menunjang

kebutuhan Ḍarūriyyah di atas. Seperti membuat warna mi

ayam yang bermacam-macam warna (hijau, merah, hitam

dan lain-lain) yang terbuat dari bahan sayuran. Jika hal

tersebut tidak dilakukan bisa saja dikarenakan bahan sayur

mahal atau alasan lain, maka pedagangpun masih tetap bisa

melakukan aktifitasnya berjualan. Karena pada dasarnya

kreatifitas tersebut hanya bersifat Hājiyah/sekunder.

c) Memelihara harta pada peringkat Taḥsīniyyah, mengikuti

petunjuk perdagangan dalam Islam dalam melengkapi

pelaksanaan perdagangan. Seperti menjual mi ayam dengan

mangkuk yang memiliki bentuk bermacam-macam seperti

bulat, segitiga, kotak dan lain-lain. Jika tidak menggunakan

bentuk yang bermacam-macam juga tidak merusak


41

Ḍarūriyyah/primer yaitu berdagang. Karena hal ini hanya

sebagai penujang untuk menambah daya tarik konsumen.

5) Hifẓ an-Nasl wa al-‘Ird (perlindungan terhadap kehormatan dan

keturunan)

Ditinjau dari tingkat kebutuhannya dapat dibedakan menjadi

tiga peringkat, yaitu:

a) Memelihara keturunan pada peringkat Ḍarūriyyah, seperti

anjuran untuk melakukan pernikahan dan larangan

perzinaan. Hal ini merupakan kebutuhan primer karena jika

di abaikan akan mengancam eksistensi keturunan dan harga

diri manusia.

b) Memelihara keturunan pada peringkat Hājiyah, seperti

disyariatkannya talak sebagai penyelesaian ikatan suami

istri. Apabila hal ini tidak boleh dilakukan maka akan

mempersulit rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan

lagi.

c) Memelihara keturunan pada peringkat Taḥsīniyyah, seperti

disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah

(resepsi) dalam perkawinan. Hal ini dilakukan untuk

melengkapi acara perayaan perkawinan. Jika hal ini tidak

dilakukan tidak pula mengancam eksistensi eturunan atau

harga diri manusia dan tidak pula mempersulit

kehidupannya.
42

Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara

yaitu:36

1) Dari segi adanya (Min Nahiyyati al-Wujud) yaitu dengan cara manjaga

dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya

2) Dari segi tidak ada (Min Nahiyyati al- ‘Adam) yaitu dengan cara

mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.

b. Maqāşid al-Hājiyah Untuk memenuhi dalam kehidupan manusia

untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan.

Sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai

kepentingan-kepentingan jika tidak ada akan terjadi ketidak

sempurnaan. Dengan kata lain adalah kebutuhan sekunder. Prinsip

utama dalam mewujudkan hal-hal yang Hājiyah ini adalah untuk

menghilangkan kesulitan, meringankan beban dan memudahkan

manusia bermuamalat dan tukar menukar manfaat.

Contoh dalam bidang ibadat, Islam memberikan rukhsah dan

keringanan bila menjalankan kewajiban. Misalnya di bolehkan

seseorang tidak puasa pada bulan ramadhan, karena ia sakit atau

dalam perjalanan; diperbolehkan mengqasar sholat yang empat

rakaat bagi orang yang sedang dalam perjalanan; diperbolehkan

tayamum bagi orang yang tidak mendapatkan air atau tidak dapat

menggunakannya, dibolehkan shalat sambil duduk bagi orang yang

36
Abdurrahman Kasdi, “Maqasyid Syari’ah Perspektif Pemikiran Imam Syatibi dalam
Kitab al-Muwafaqat,” Yudisia, Vol. 5, No. 1, (Juni, 2004), hlm. 57.
43

tidak sanggup melaksanakannya sambil berdiri, serta

diperbolehkannya mengeluarkan pendapat atas kejadian yang

menimpanya demi kebaikan semua orang dan lain sebagainya.

c. Maqāşid at- Taḥsīniyyah yaitu tindakan dan sifat yang harus dijahui

oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan

dihajati oleh kepribadian yang kuat. Ini diperlukan sebagai

kebutuhan tersier untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Taḥsīniyyah merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan itu

dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada,

maka tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan

manusia.37

37
Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, hlm. 124.

Anda mungkin juga menyukai