Anda di halaman 1dari 6

Tugas Individu Studi Hukum Islam

Nama : Muhammad Chamdani


Nim : 1794074016
Kelas : Karyawan
Prodi : Teknik Mesin
Semester : 5 (Lima)

A. Pengertian Qiyas
Qiyas secara etimologis berasal dari bahasa arab, yang artinya mengukur dan
menyamakan antara dua hal, baik yang konkrik, seperti benda-benda yang dapat dipegang,
diukir dan sebagainya, maupun yang abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian dan
sebagainya. Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak
terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya
persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu. Beberapa contoh
tentang qiyas sebagai berikut :
1. Dalam surah Al-maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum khamar. Khamar
minuman keras yang dibuat dari anggur. Mengapa dilarang ? dan bagaimana bila
minuman keras itu dibuat dari bahan lainnya, seperti dari beras kentan, ketela dan
sebagainya ? Dalam hal ini, kita perlu meneliti illat hukumnya (sebab adanya larangan
keras minuman itu) ialah karena bisa memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal.
Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat di semua minuman keras. Karena itu, dengan
qiyas, semua jenis minuman keras diharamkan.
2. Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang mewariskan hartanya itu
gugur hak warisnya. Illat hukumnya (sebabnya), bahwa pembunuhannya di maksud kan
untuk mempercepat hak warisnya. Tetapi justru hak warisnya gugur, sebagai hukuman
atas kejahatannya. Demikian pula pembunuh orang orang yang memberi wasiat, gugur
hak wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang mewariskan hartanya, karena
ada permasalahanan illatnya.
3. Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu sudah
dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa mengelahkan sholatnya.
Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan haram, tetapi makruh. Demikian pula
semua kegiatan bisnis dan nonbisnis diqiyaskan hukumnya dengan jual beli, karena
sama-sama bisa melengahkan sholat.
Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul fiqih, karena
menyamakan suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah yang telah ada
nash hukumnya berdasarkan persamaan illat hukumnya (motif hukumnya) yakni :
1. Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur yang sama, ialah
memabukkan dan merusak saraf otak/akal.
2. Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang sama, ialah
mempercepat waktu untuk menerima warisan.
3. Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat jum'at dapat
melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang wajib itu.
B. Pengertian Ijma’
Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya
dapatlah dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa
setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelahsahabat), dan
tabi’uttabiin (setelahtabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telahberpencar dan
jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa
semua ulama telah bersepakat.
Berikut contoh kasus ijma’ Pertama :
Bahwa para sahabat telah Ijma’ dan mereka tidak pernah berselisih dalam menetapkan
sifat-sifat Allah AzzawaJalla yang Allah Azza wa Jalla telah disebutkan dalam Al-Qur`ân
dan disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada di antara mereka
yang bermadzhab dengan madzhab tahrîf (merubah makna yang hak kepada makna yang
bathil). Contoh, kalimat “wajah” dalam firman Allah AzzawaJalla :
ِ ْ ‫َويَ ْبقَ ٰى َوجْ هُ َر ِبِّكَ ذُو ْال َج ََل ِل َو‬
‫اْل ْك َر ِام‬
Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. [ar-
Rahmân/55:27].
Kata “wajah” dalam ayat di atas ditafsirkan dengan dzat. Sebuah penakwilan bathil
yang pada hakikatnya adalah tahrîf (merubah), jika “wajah” diartikan dengan Dzat Allah.
Para sahabat menetapkan wajah adalah wajah. Demikian juga dengan tangan, nuzulnya
Allah Azza wa Jalla pada setiap sepertiga malam yang terakhir, sebagaimana hal ini terdapat
dalam hadits shahîh, muttafaq ‘alaih.
Allah Azza wa Jalla “bersemayam”, maksudnya bersemayam secara hakiki sesuai
dengan keagungan dan dzat-Nya. Para sahabat, orang Arab asli mengetahui makna ini dan
tidak merubah. Tetapi ahlibid’ah, dari dulu dan sekarang telah merubah makna yang haqiqi
ke yang bathil.

C. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa Arab, artinya menganggap sesuatu baik, menurut istilah Ushul
Fiqih, meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang
samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk berpegangan dengan
hukum pengecualian, karena ada dalil yang memperkuat sikapnya itu.
Contoh dari istihsan ialah bahwa menurut ulama Hanafi, orang yang mewakafkan
sebidang tanah pertanian, maka yang bisa dimanfaatkan bukan hanya hasil pertanian saja,
melainkan orang juga berhak minum airnya, mengalirkan air, dan berjalan lewat tanah
pertanian wakaf itu, sekalipun tidak disebut si waqif hak-hak tersebut di atas. Padahal
menurut qiyasnya, hak-hak itu (lewat minum, dan membuat saluran air melalui tanah wakaf)
tidak tercakup di dalamnya,kecuali dengan pernyataan pada waktu wakaf. Namun, hal-hal
tersebut diperbolehkan, berdasarkan Istihsan.

D. Pengertian Maslahah Mursalah


Maslahah mursalah menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan manfaat, baik dari
segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa definisi Maslahah yang di
kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang
sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil
manfaat dan menolak kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Contoh maslahah mursalah
1. Abu Bakar mengumpulkan berkas mushaf yang tercecer menjadi satu tulisan al-qur’an
untuk menjaga ke utuhan al-qur’an, kemudian beliau mengangkat Umar bin Khotob
sebagai gantinya. Begitu juga yang dilakukan oleh Umar bin Khotob. Hal itu tujuannya
untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat islam.
2. Umar bin khotob tidak memberikan zakat kepada al-muallafati qulubuhum (orang orang
yang dijinakkan hatinya) yang sudah kuat imannya, menetapkan kewajiban pajak,
menyusun administrasi dan membuat penjara. Semuanya itu tujuannya untuk menjaga
kemaslahatan yang dipandang oleh sahabat Umar.
3. Usman bin Affan mengirimkan seseorang untuk menyebarkan satu mushaf ke seluruh
kota karena khawatir terjadinya perbedaan diantara manusia dalam mushaf alqur’an
dengan adanya sebab banyak nya qiro’ah al ma’rufah .
4. Kelompok ulama’ Malikiyah memperbolehkan menahan orang yang dituduh bersalah dan
menderanya untuk mendapatkan pengakuan nya .
5. Kelompok ulama’ Syafi’iyyah mewajibkan qishos atas pembunuhan oleh orang banyak
kepada satu orang .

E. Pengertian ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan
antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang
melanggarnya.
Berikut adalah praktek-praktek’Urf dalam masing-masing mahzab:
1. Fiqh Hanafi
a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi :
bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena’urf.
c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta
bagian
d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan
para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
2. Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan’urf jika terjadi
perselisihan
3. Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
4. Fiqh Hambali
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan’Urf, yaitu
a. Konsep Aqilah dalam asuransi
b. Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
c. Dalam sewa menyewa rumah.
Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik
rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
F. Pengertian Istishab
Pengertian Istishab menurut bahasa adalah menetapi dan menuntut kebersamaan.
Dikatakan : ‫ إستصحابه‬Pengertiannya : Seseorang menuntut dan mengaku bersama dengan dia,
dan menjadikannya bersama dengannya.
Pengertian Istishab menurut istilah adalah menjadikan hukum yang sudah ada
sebelumnya tetap menjadi hukum hingga sekarang sampai ada dalil yang menunjukkan
adanya perubahan.
Contohnya seperti hak kepemilikan yang sudah tetap dengan adanya akad jual beli
sebelumnya, Maka hak kepemilikan itu tetap sampai sekarang, sampai ada dalil yang
menunjukkan adanya perubahan, hukum suci yang sudah ada sebelumnya, maka tetap
menjadi hukum hingga sekarang, sampai ada dalil yang menunjukkan atas hilangnya hukum
suci tersebut, dan seterusnya.
G. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫ياَا َ ُّي َها الَّذِينَ أ َ َمنُوا ُك ِت‬
ِّ ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
َ ‫ص َيا ُم كَما َ ُك ِت‬
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa
macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi
menjadi tiga, yaitu:
1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci.
Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.

Anda mungkin juga menyukai