4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra vena yang sesuai dan adekuat kemudian
segera rujuk kelayanan sekunder.
Penatalaksanaan
1. Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka menjadi
bersih. Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang sanagat penting untuk
pengelolaan fraktur terbuka. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi
dengan NaCl 0,9% fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang
melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol keluar
sedapat mungkin dihindari memasukkan komponen tulang tersebut kembali kedalam
luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur
terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur
terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan dikombinasi
dengan golongan aminoglikosida. Untuk fraktur terbuka tipe I diberikan inisial 2 gram
golongan cephalosporin, dan dilanjutkan dengan pemberian 1 gr setiap 6 sampai 8 jam
selama 48 sampai 72 jam. Pada fraktur terbuka tipe II dan tipe III pemberian antibiotika
kombinasi sangat di anjurkan untuk dapat mencegah infeksi dari bakteri gram positif
ataupun gram negatif. Kombinasi antibiotika yang dianjurkan adalah golongan
cephalosporin (2 gr) dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida (3 – 5 mg/kg)
diberikan inisial, dilanjutkan selama 3 hari.
5. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
tetanus toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin.
Teknik Pembidaian
Pemasangan bidai dilakukan setelah dipastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan
sirkulasi korban dan luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah pergerakan
(imobilisasi) pada tulang dan sendi yang mengalami cedera. Imobilisasi ini menghindari
pergerakan yang tidak perlu, sehingga mencegah perburukan patah tulang dan cedera sendi serta
menghindari rasa nyeri. Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan perlahan
namun konsisten sehingga membantu mereposisi bagian yang cedera mendekati posisi
normalnya.
Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti kayu, penggaris, atau tongkat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan bidai, yaitu:4,5
Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati sendi yang ada di
pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera sendi: Mencapai dua tulang
yang mengapit sendi yang cedera.
Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian yang patah tulang atau
sendi yang cedera, namun tidak mengganggu sirkulasi.
Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh yang cedera bisa
diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat, misalnya dengan membalut lengan ke tubuh,
atau membalut kaki ke kaki yang sehat.
Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami deformitas, pasang
bidai apa adanya.
1. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan memeriksa keseluruhan
tubuh korban (expose) dan membuka segala jenis aksesoris yang menghalangi (apabila
tidak melukai korban lebih jauh)
2. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu. Bila terdapat tulang
yang mencuat, buatlah donat dengan menggunakan kain dan letakkan pada tulang untuk
mencegah pergerakan tulang.
3. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera masih teraba
nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih dapat merasakan
sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.
4. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera (misal sisi samping
kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan bidai sesuai dengan lokasi cedera.
5. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat bidai melalui bawah
bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat bidai melalui celah antara lekukan tubuh dan
lantai. Hindari membuat simpul di permukaan patah tulang.
6. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah berada pada satu sisi yang
sama. Lalu, pastikan bidai dapat mencegah pergerakan sisi anggota badan yang patah.
Beri bantalan/padding pada daerah tonjolan tulang yang bersentuhan dengan papan
bidai dengan menggunakan kain.
7. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera masih
teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih dapat
merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak. Bandingkan dengan keadaan saat
sebelum pemasangan bidai. Apabila terjadi perubahan kondisi yang memburuk
(seperti: nadi tidak teraba dan / atau tidak dapat merasakan sentuhan dan / atau tidak
dapat digerakkan) maka pemasangan bidai perlu dilonggarkan.
8. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau tidak.
Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:
Pucat atau kebiruan
Sakit bertambah
Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin
Ada kesemutan atau mati rasa
Kunci utama penanganan pada kasus ini adalah mengembalikan panjang os ulna yang mengalami
fraktur. Hanya dengan memastikan hal tersebut maka reduksi sempurna dari caput radii dapat
tercapai.
TINDAKAN NON OPERASI
Nyeri ditangani sedini mungkin. Jika fraktur sudah terbuka, maka imunisasi tetanus, antibiotic
intravena harus diberikan. Luka terbuka harus dirigasi dengan larutan saline steril dan ditutup
dengan kasa yang steril dan lembab. Pada fraktur monteggia, reduksi tertutup caput radii dapat
dilakukan, diikuti dengan pemasangan pelat untuk fraktur ulna. pada anak biasanya dilakukan
reudksi tertutup. Jika fraktur stabil dan hasil reduksi baik, maka tidak diperlukan tindakan
operasi lanjutan. Jika fraktur dinilai tidak stabil, dinilai dari pergeseran (displaced) dari fragmen
setelah dilakukan tindakan reduksi tertutup, maka dapat dipertimbangkan tindakan operatif.
fraktur pada anak harus dilakukan reduksi tertutup, jika diperlukan juga. Reduksi fraktur
membantu untuk mengurangi bengkak setelah fraktur, memberikan penghilang rasa sakit, dan
mengurangi kompresi pada saraf median.
TINDAKAN OPERASI
Jika caput radii tidak tereduksi atau tidak stabil maka reduksi terbuka harus dilakukan
Fraktur dari ulna harus direduksi seakurat mungkin dengan mengembalikan panjangnya ke
ukuran semula, baru setelah itu difiksasi dengan plate dan screw. Caput radii biasanya akan
tereduksi ketika os ulna telah dikoreksi.
Non Operatif
1. Reduksi
Reduksi adalah terapi fraktur dengan cara mengantungkan kaki dengan tarikan atau
traksi.5
2. Imobilisasi
Imobilisasi dengan menggunakan bidai.Bidai dapat dirubah dengan gips dalam 7-10
hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu5.
Operatif
a. Absolut
- Pemendekan
Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Fiksasi eksternal
a. Standar
Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang
hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan
luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil,
sehingga menghindari kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat
kemungkinan penyembuhan5. Di bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal
tipe standar.
Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke
metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan
sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi
pada penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan
fraktur dengan ORIF.5:
Gambar 6. ORIF
c. Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau tertutup.
Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera dan
menghindarkan trauma pada jaringan lunak. Di bawah ini adalah gambar dari
penggunaan intramedullary nailing5: