Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FARMAKOLOGI II

ANALISI KERACUNAN MORFIN

DOSEN PEMBIMBING : ISNENIA, APT, M.Sc

DIDUDUN OLEH :

1. LIA NURHAYATI (1748401033)


2. FITRIA LUFTI AZHANA (1748401011)
3. REYNALDI PRAMUDIA (1748401045)
4. NI PUTU SUCI DAMAYANTI (1648401047)

D3 FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “ Keracunan Morfin” ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bandar Lampung, 8 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................ii


DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................2
1.3 Tujuan ....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kasus………………………………………………………………… 3
2.2 pembahasan Kasus ................................................................................4
2.3 Jenis Terapi ............................................................................................5
2.4 Fase – fase Intoksifikasi ........................................................................7
2.5 Farmakokinetik ......................................................................................8
2.6 Mekanisme Kerja ..................................................................................8
2.7 Jenis dan Nilai Parameter Laboratorium ...............................................9

BAB III PENUTUP


3.1Kesimpulan ...........................................................................................10
3.2 Saran ....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Morfin adalah komponen utama dari opium atau candu yang diperoleh dari tumbuhan
Papaver Somniferum. Secarakimia, morfina dalah alkaloid yang termasuk derivate fenantren.
Dalam farmakologi morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa
(analgetik). Selagi pemakaian morfindi bawah pengawasan yang ketat, tidak akan terjadi efek
samping yang bahaya. Tetapi, sudah umum diketahui telah terjadi penyalahgunaan morfin yang
sangatluas di dunia saatini, yang berakibat timbulnya efek samping yang serius yang disebabkan
Karena keracuna nmorfin.

Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan akut biasanya
terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat
pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme"
tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan kronis. Adiksimorfin ditandai dengan adanya
habituasi, ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasasakit, iritabilitas,
tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, demam, pernafasan
cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis,
asidosis, kolaps kardiovaskuler yang bisa berakhir dengan kematian.

Morfin dapat diabsorpsi oleh usus, tetapi efek analgetik yang tinggi diperoleh melalui
parenteral. Dari satu dosis morfin, sebanyak 10 % tidak diketahui nasibnya, sebagian mengalami
konjugasi dengan asamg lukoronat di hepar dan sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Urine mengandung bentuk bebas dan bentuk konjugasi.
Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan identifikasi morfin dalam urine dari penderita yang diduga
keracunan morfin. Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang
serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang
penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morfin, heroin, obat-
obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang
zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan

1
narkotika. Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan
opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiate adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah
jeni sobat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada
penderita kanker. Sementara, kini, peredaran illegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan
narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu decade terakhir di
negeri ini telah ditemukan ratusanribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan
narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna
merasa „melayang‟, tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma
hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia
setiap tahunnya karena over dosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok
besar opioid dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas,
yaituUndang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika. Dalam UU Narkotika,
yang tergolong narkotika adalah ganja,kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis
opiate adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi
untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran illegal
narkotika semakin marak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cerita kasus keracunan morfin bada bayi usia 6 bulan tersebut?

2. Apa saja terapi yang diberikan, mekanisme kerja dan fase-fase intoksikasi?

3. Apa saja jenis dan nilai parameter laboratorium sebagai penanda terjadinya keracunan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui agaimana cerita kasus keracunan morfin bada bayi usia 6 bulan

2. Mengetahuiapa saja terapi yang diberikan, mekanisme kerja dan fase-fase intoksikasi

3. Mengetahui apa saja jenis dan nilai parameter laboratorium sebagai penanda terjadinya
keracunan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus

Ibu dari seorang bayi berusia 6 minggu yang disusui menghubungi layanan gawat darurat
sekunder karena anaknya tidak responsif. Bayi itu dinyatakan meninggal pada saat kedatangan
tenaga medis ketempat kejadian, dan sang ibu melaporkan mengambil banyak obat termasuk
morfin sulfat. Otopsi bayi menunjukkan tingkat morfin yang mematikan dalam sampel
jaringannya. Petugas pemeriksa mayat mengungkapkan bahwa sang ibu menyusui anak sekitar
jam 11 malam sebelumnya. Ayah bayi terbangun pada jam 5 pagi keesokan harinya dan
mendapati sang bayi itu kedinginan dan tidak responsive dengan pupil mata yang tetap. Sang ibu
menyatakan bahwa dia menyusui anak terakhir sekitar pukul 2 pagi. Sang ibu juga melaporkan
bahwa beberapa hari sebelumnya, anak itu tidur lebih dari biasanya dan lesu dengan nafsu makan
berkurang. Dua hari sebelum kematian, orang tua memanggil dokter anak tentang kemacetan dan
gejala "dingin". Karena anak itu tidak demam, mereka tidak mengunjungi kantor tetapi
diinstruksikan untuk menggosok dada dan alat penguap. Sang ibu juga melaporkan bahwa dia
memberikan 0,8 mL 150 mg / 5 mL acetaminophen kepada anak itu malam sebelumnya. Dia
mengatakan dia mengganti acetaminophen dengan ibuprofen, tetapi dosis tepat ibuprofen yang
diberikan. Selama wawancara dengan petugas koroner, ibu ditanyai tentang obat yang sedang
diapakai, dan dia melaporkan bahwa dia saat ini diresepkan levetiracetam, baclofen, amlodipine,
desvenlafaxine, clonazepam dan hydrocodone / ibuprofen. Ternyata setelah ditelusuri di rumah
kediaman ibu tersebut ditemukan obat lain seperti gabapentin, morfin sulfat, dan tablet kafein,
ropirinole HCl, carisoprodol dan milnacipran. Obat yang paling berkaitan dengan kasus ini
adalah pelepasan morfin sulfat.

Dalam 24 jam setelah kematian, dilakukan otopsi pada bayi dan sampel jaringan
termasuk darah jantung, hati, dan otak diambil. Jantung diambil untuk analisis toksikologis.
Sampel jaringan disiapkan sebagai homogenat sebelum dianalisis. Dan hasil dari otopsi
menunjukkan bahwa kadar morfin dalam darah 0,52mg/L dalam otak 0,64 mg/kg dan dalam hati
0,56mg/kg yang mengakibatkan kematian.

3
2.2 Pembahasan Kasus

Morfin adalah komponen utama dari opium atau candu yang diperoleh dari tumbuhan
Papaver Somniferum. Secarakimia, morfina dalah alkaloid yang termasuk derivate fenantren.

Factor yang mempengaruhi pengangkutan obat ke dalam ASI yaitu molekul dengan berat
lebih rendah akan lebih mudah bertransformasi ke dalam ASI . Air susu ibu mengandung sekitar
4% lemak, yang secara signifikan lebih tinggi dari konsentrasi lemak darah (<1%) . Karena
konsentrasi lemak yang lebih besar dalam susu, obat yang larut dalam lemak dapat berdifusi dan
menjadi terperangkap sehingga memungkinkan untuk rasio susu-ke-plasma yang lebih tinggi.
Pengikatan protein memiliki mekanisme dua kali lipat. Obat-obatan dengan ikatan protein ibu
tinggi akan terakumulasi dalam plasma ibu dan kecil kemungkinannya untuk ditransfer ke ASI .
Atau obat-obatan dengan ikatan protein ibu rendah dapat lebih mudah berdifusi ke dalam ASI
dan mengikat protein susu sehingga terakumulasi dalam ASI. Susu manusia memiliki pH (7)
lebih rendah dari serum (7.35-7.45). Karena pH ASI yang lebih rendah, penjebakan ion dapat
terjadi dengan hases yang lemah memungkinkan konsentrasi yang lebih tinggi dalam ASI.

Penyerapan pada bayi umumnya lebih lambat dibandingkan dengan orang dewasa.
Variabel seperti pH lambung dan flora usus bertanggung jawab atas perubahan penyerapan.
Seiring dengan variabel fisik, bioavailabilitas obat yang diberikan akan memainkan peran
penting dalam penyerapannya. Komposisi tubuh mempengaruhi distribusi obat, dan ketika
membandingkan bayi baru lahir, bayi, dan orang dewasa mereka semua memiliki komposisi
lemak yang sangat berbeda. Ketika penuaan terjadi, persentase lemak dalam komposisi total
tubuh meningkat. Pemberian obat yang larut dalam lemak. seperti morfin, untuk individu dengan
konsentrasi lemak yang lebih rendah akan meningkatkan akumulasi di otak sekunder untuk
peningkatan penetrasi sawar darah-otak. Properti ini berpotensi menyebabkan efek SSP yang
merugikan. Enzim hati seperti UGT2B7, yang bertanggung jawab untuk metabolisme morfin,
tidaksepenuhnya aktif sampai usia beberapa bulan. Tingkat filtrasi glomerulus pada bayi baru
lahir cukup bulan adalah sekitar 25% dari itu pada orang dewasa tidak mencapai potensi penuh
sampai usia 3-5 bulan. Karena penurunan metabolisme hati dan ekskresi ginjal, obat-obatan
seperti morfin yang membentuk glukuronida dikenakan waktu paruh lebih lama pada bayi (3-14
jam) daripada rekan dewasa mereka (2-3 jam).

4
2.3 Jenis Terapi

Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika atau disebut
opiate antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau heroin adalah nalorphine,
levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan
cepat kalau diberikan dalam bentuk suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl
(Narcan, Nokoba) yang dimulai dengan dosis 0,4 mg/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan
pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh darah balik atau intravena. Setelah
disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum membaik, setelah diobservasi dalam
3–5 menit dapat diulangi lagi ditambah satu ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons
perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil.

Mekanisme kerja Nalokson kemungkinan berperan dalam antagonis kompetitif pada


reseptoropiat, K, dan S pada system sarafpusat, diperkirakan nalokson mempunyai afinitas
tertinggi terhadap reseptor.

2.4 Fase-Fase Intoksikasi

Tahap 1 (tahap eksitasi) berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada
tahap 1, terdiri dari :
 Kelihatan tenang dan senang, tetapi tidak dapat istirahat.
 Halusinasi.
 Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
 Dapat menjadi maniak.
Tahap 2 (tahap stupor) dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam
(gejala ini selalu ada), terdiri dari :
 Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.
 Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
 Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
 Pulse dan respirasi normal.
Tahap 3 (tahap koma) tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :
 Tidak ada reaksinyeri, reflex menghilang, otot-ototrelaksasi.
 Proses sekresi.

5
 Pupil pinpoint, reflex cahaya negatif. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini
merupakan tanda akhir.
 Respirasi cheyne stokes.
 Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.

Intoksikasi morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Intoksikasi akut biasanya
terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Pasien akan tidur, sopor atau
koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali/menit, pernapasan mungkin
berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan.
Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk,
dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils),
kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urine sangat berkurang karena terjadi
pelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot
rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada
bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.3

Intoksikasi kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering terjadi.
Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan kronis. Pada
dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut:

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak
berfungsi lagi tanpa morfin.
3. Adanya toleransi.

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek eksitasi,
miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon,
metopon, kodein, dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya
toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara teratur.

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah gejala putus
obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut merasa sakit,
gelisah, dan iritabel, kemudian tidur nyenyak. Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati
dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat,

6
menguap, bersin, mual, midriasis, demam, dan napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai
timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meniingkat.
Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis,
dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskular yang bisa
berakhir dengan kematian.

2.5 Farmakokinetik

Absorpsi : Kebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian


subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan absorpsi dari permukaan mukosa hidung
atau mulut dan saluran cerna. Selain itu, absorpsi transdermal fentanil menjadi cara pemberian
yang penting. Akan tetapi, walaupun absorpsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan
hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena
metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena itu diperlukan
dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi daripada dosis yang diperlukan
bila digunakan cara pemberian parenteral. Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons
pada reaksi ini sangat bervariasi pada individu – individu yang berlainan, maka dosis oral yang
efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio
potensi oral : parenteral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada
gugusan hidroksil aromatik.

Distribusi : ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi
faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein – protein plasma dengan
berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan
terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan – jaringan yang perfusinya tinggi seperti di
paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah,
jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar.
Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian
dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti pada fentanil. Kadar
opioid – opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan – organ tubuh lain
karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh
senyawa – senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan

7
kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa – senyawa
amfoter (misalnya obat – obat yang mempunyai sifat – sifat asam dan basa) seperti morfin. sawar
ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid untuk analgesia obstetri
dapat menimbulkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir.

Metabolisme : sebagian besar opioid – opioid dikonversi menjadi metaboit – metabolit


polar, sehingga mudah disekresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas
seperti morfin dan levorfanol dengan mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Senyawa –
senyawa bentuk ester (seperti meperidin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh esterase yang
umum terdapat dalam jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya jadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronat. Metabolit yang
dikonjugasi dengan glukoronat ini bersifat polar diperkirakan tidak aktif, tetapi penemuan
terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat – sifat analgesik yang yang
mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada
pasien – pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya
meskipun yang masuk ke SSP tebatas. Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini
hanya sebagian kecil saja. Akumulasi metabolit meperidin, normeperidin, dapat ditemukan pada
pasien – pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang menerima obat dalam dosis yang
jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang
terutama pada anak.

Ekskresi : Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
opioid diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam
empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.

2.6 Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus
striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai
pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor tempat terikatnya

8
opioid disel otak disebut reseptor opioid (keterangan tentang reseptor opioit telah dijelaskan
sebelumnya).
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas
yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. Opioid mempunyai
persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor, karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh
juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga
kinetik obat yang bersangkutan.

2.7 Jenis dan Nilai Parameter


 Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.
 Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.
 Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.
Metode yang digunakan :
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid
Chromatography). Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral:
barangbuktidihidrolisir terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin akan
dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati.
Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari
morfin bebas, yang mana untuk mencari beberap amorfin yang telah digunakan, hasil
pemeriksaan ini kurang pasti.
2. Nalorfine Test. Penafsiranhasiltest : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%,
berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kada rmorfin
atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%,
berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban
memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolik
kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolik narkotika tadi
berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau
hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat
dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa (analgetik). Keracunan
morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan akut biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian
berulang-ulang. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan
keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan
toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iritabilitas, tremor, lakrimasi, berkeringat,
menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, demam, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik,
diare dan pada akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovaskuler
yang bisa berakhir dengan kematian.

3.2 Saran
Kami menyadari masih banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini oleh karena itu
jika ada masukan ataupun saran akan diterima guna memperbaiki kesalahan yang ada.

10
DAFTAR PUSTAKA

 https://www.scribd.com/presentation/357393874/ppt-keracunan-morfin-pptx
 https://www.scribd.com/doc/189885172/Refrat-Keracunan-Morfin

11

Anda mungkin juga menyukai