Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan pada hati. Patologi
penyakit hepatitis dapat disebabkan oleh kimia atau infeksi. Hepatitis merupakan suatu
kelainan berupa peradangan organ hati yang dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain
infeksi virus, gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol, maupun parasit.
Penyebab infeksi meliputi banyak agens yang dapat menyebabkan kerusakan dan
peradangan. Kelompok virus yang diketahui sebagai virus hepatitis diberi nama secara
alfabetik dalam urusan kronologik penemuannya. Hepatitis telah menjadi masalah
global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup tidak sehat,
penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi dan pendidikan menjadi beberapa
penyebab dari penyakit ini.
Kasus penderita hepatitis tertinggi ialah di provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara
Timur (NTT). Penyakit hepatitis kronik menduduki urutan kedua berdasarkan penyebab
kematian pada golongan semua umur dari kelompok penyakit menular. Rata-rata penderita
hepatitis antara umur 15 – 44 tahun untuk area pedesaan. Penyakit hati ini menduduki urutan
pertama sebagai penyebab kematian. Sedangkan di daerah perkotaan menduduki urutan
ketiga, kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam peringatan di RS Dr
Sardjito Yogyakarta. Indonesia telah mengusulkan kepada WHO agar hepatitis menjadi isu
dunia dengan menetapkannya sebagai resolusi World Health Assembly (WHA) tentang viral
hepatitis. Usulan tersebut diterima WHO untuk dibahas dalam sidang WHA atau majelis.
Dampak dari hepatitis jika tidak mendapatkan perawatan yang baik maka akan muncul
komplikasi hepatitis adalah penyakit hati progresif yang kronis misalnya sirosis hepatis.
Komplikasi dari hepatitis A dapat menjadi gawat ketika tidak mendapatkan perawatan yang
baik. Bahaya dari hepatitis A lebih rentan jika diderita oleh para manula dan juga yang
memiliki riwayat penyakit kronis, seperti HIV, diabetes, dan penyakit hati. Perkiraan
perkembangan menjadi kanker hati hingga 10 persen dan akan muncul gejala-gejala yang
cukup jelas pada penderitanya. Hal tersebut menyebabkan turunnya berat badan, sakit

1
perut, mual disertai muntah, dan sakit kuning. Kanker hati harus diwaspadai, karena penyakit
ini menjadi pemicu kematian ketiga paling tinggi di dunia.
Pelaksanaan umum hepatitis secara medis yaitu salah satu penatalaksanaan hepatitis
dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon alfa, Pegyated interferon alfa dan
Ribavirin serta vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan serta obat-
obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah.
Peran perawat dalam perawatan pasien dengan hepatitis yaitu perlu dilakukan asuhan
keperawatan dengan tepat. Peran perawat sangat penting dalam merawat pasien hepatitis
antara lain sebagai pemberi pelayanan kesehatan, pendidik, pemberi asuhan keperawatan.
Asuhan keperawatan yang dibuat dapat dilakukan melalui pengkajian sampai dengan
evaluasi keperawatan yaitu. Pada Pengkajian dilakukannya pemeriksaan fisik, menanyakan
riwayat penyakit sekarang dan keluarga serta evaluasi diharapkan pasien dapat menunjukan
peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari
tanda-tanda mal nutrisi serta tidak terjadi peningkatan suhu.
1.2 Tujuan Penulisan
a) Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui tentang konsep penyakit hepatitis dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan penyakit hepatitis.
b) Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :
1. Pengertian dari hepatitis
2. Etiologi dari hepatitis
3. Tanda dan gejala dari hepatitis
4. Cara penularan hepatitis A,B,C,D dan E.
5. Patofisiologi serta pathway dari hepatitis
6. Pemeriksaan penunjang dari hepatitis
7. Penatalaksanaan medis dan pendidikan kesehatan pada pasien dengan
penyakit hepatitis
8. Evidence Based Practice pada pasien dengan hepatitis

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hepatitis


Hepatitis adalah peradangan pada hati (liver) yang disebabkan oleh virus. virus hepatitis
termasuk virus hepatotoprik yang dapat mengakibatkan hepatitis A /HAV, Hepatitis B
/HBV, Hepatitis C /HCV, delta Hepatitis /HDV, dan Hepatitis E /HEV (Huda & Kusuma,
2016).
 Virus Hepatitis yang ditularkan melalui Rute Fekal-Oral
1) Hepatitis A (HAV)
hepatitis A adalah Virus yang hamper selalu ditularkan melalui Rute-oral. virus
ini menimbulkan Hepatitis Akut Tanpa Keadaan Kronik atau menetap seperti
yang ditunjukan oleh virus Hepatitis darah. Diagnosa Dibuat dengan
menyingkirkan Hepatitis A, B, dan C.
2) Hepatitis E (HEV )
hepatitis E adalah infeksi virus yang menyebar melalui kontaminasi makanan dan
air melalui jalur fekal-oral. Sampai dengan saat ini, infeksi disebut sebagai
hepatitis enteric Non-A Non B.
 Virus Hepatitis yang ditularkan secara parenteral dan seksual
1) Hepatitis B ( HBV)
Hepatitis B adalah virus yang sering dipelajari karena dapat diuji, prevalensi dari
penyakit, morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan penyakit.
2) Hepatitis C (HCV)
sampai saat ini hepatitis Non -A, Non-B menunjukan gambaran virus hepatitis
yang bukan Hepatitis A, B atau agens penyebab lain. Banyak Dari Hepatitis Non-
A, Non- B ditularkan melalui parenteral. hal ini sebelumnya tidak diketahui dan
virus ini juga tidak diketahui dan sekarang teridentifikasi dan disebut Hepatitis C.
3) Hepatitis delta (HDV)
hepatitis D adalah virus yang bergantung pada virus hepatitis B yang lebih
kompleks untuk bertahan. Hepatitis D hanya merupakan resiko untuk mereka

3
yang mampunyai antigen permukaan hepatitis B positif. Hepatitis D Dicurigai
Ketika Pasien Sakit akut Dengan Gejala baru atau berulang dan sebelumnya telah
mengalami hepatitis B atau sebagai carrier hepatitis B.
Hepatitis dibagi menjadi dua tahapan :
1) Hepatitis Akut : infeksi virus sistemik yang berlangsung selama < 6 bulan.
2) Hepatitis Kronis : gangguan-gangguan yang terjadi > 6 bulan dan kelanjutan dari
hepatitis akut.
3) Hepatitis Fulminant adalah perkembangan mulai dari timbulnya hepatitis hingga
kegagalan hati dalam waktu kurang dari 4 minggu oleh karena itu hanya terjadi pada
bentuk akut. ( Amin Huda & Hardi Kusuma, 2016).
2.2 Etiologi
Klasifikasi agen penyebab hepatitis virus yaitu (Huda & Kusuma, 2016) :
1) Transmisi secara enterik terdiri dari Virus Hepatitis A (HAV) dan virus Hepatitis E
(HEV) :
- Virus tanpa selubung
- Tahan terhadap cairan empedu
- Ditemukan ditinja
- Tidak dihubungkan dengan penyakit kronik
- Tidak terjadi Viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier intestinal
2) Transmisi melalui darah terdiri atas virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HVD),
dan virus hepatitis C (HCV) :
- Virus dengan selubung (envelope)
- Rusak bila terpajan cairan empedu/detergen
- Tidak terdapat dalam tinja
Perbandingan berbagai Hepatitis
- Dihubungkan dengan penyakit hati kronik
- Dihubungkan dengan Viremia yang persisten
2.3 Tanda Dan Gejala
1. Malaise, anoreksia, mual dan muntah
2. Gejala Flu, faringitis, batuk, coryza, fotopobia, sakit kepala dan mialgia.
3. Demam ditemukan pada infeksi HAV

4
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap
5. Pruritus (biasanya ringan dan sementara)
6. Nyeri tekan pada hati
7. Splenomegali ringan
8. Limfadenopati (Huda & Kusuma, 2016)
2.4 Cara Penularan Hepatitis A,B,C,D Dan E.
1. Hepatitis A.
Cara penularan melalui makanan dan air yang tercemar. Biasanya bukan
infeksi yang berbahaya dan ada vaksin untuk mencegahnya. (Durles, Dkk, 2013).
2. Hepatitis B
Cara penularan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, hubungan
seksual dan tukar menukar jarum suntik atau peralatan medis lain yang tidak
steril. dapat juga ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke bayinya saat hamil atau
proses persalinan. Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi serius pada beberapa
orang, tetapi sudah ada vaksin untuk mencegahnya. (Durles, Dkk, 2013).
3. Hepatitis C
Cara penularannya sama seperti hepatitis B yaitu kebanyakan ditularkan
melalui darah misalnya melalui : kontak dengan darah dan produk darah yang
terinfeksi hepatitis C apabila darah tersebut belum pernah dites, memakai
peralatan suntikan narkoba secara bergantian, tato dan tindik yang tidak steril,
penggunaan alat medis yang tidak steril atau bekas misalnya jarum suntik untuk
menyuntikan obat, berhubungan seks tanpa pengaman, dari ibu ke bayinya selama
kehamilan atau saat melahirkan. (Durles, Dkk, 2013).
4. Hepatitis D
Cara penularan hepatitis D sama seperti penularan hepatitis B dan C, yakni
melalui kontak dengan cairan tubuh penderita. Beberapa cairan tubuh yang bisa
membuat seseorang tertular hepatitis D adalah darah, cairan vagina, air mani
(sperma), dan air seni. Hepatitis D juga bisa terjadi dari ibu ke anak selama proses
persalinan. Namun, meskipun telah terpapar hepatitis D, seseorang baru terinfeksi
virus hepatitis D ini jika sudah terinfeksi virus hepatitis B. (Durles, Dkk, 2013).

5
5. Hepatitis E
Hepatitis E paling banyak ditularkan melalui konsumsi air atau makanan
yang terkontaminasi feses yang mengandung virus hepatitis E (HEV). Memasak
daging setengah matang dan transfusi darah yang terinfeksi juga bisa menjadi
faktor risiko penularan hepatitis E. (Durles, Dkk, 2013).
2.5 Patofisiologi
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan
oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari
hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan
berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap
suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel
hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh
respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya,
sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan
peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran
kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di uluh hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang
belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya
kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan
billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi.
Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi
retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum
mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi
(bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam
pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena
bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan
menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. (Rizky, Dkk, 2017).

6
2.6 Pathway

Pengaruh alcohol, Virus Inflamasi pada Hepar


Hepatis, toksin

Gangguan suplai darah Peregangan Kapsula Hati


Hipertermi
normal Pd sel-sel hepar

Perasaan tidak Hepatomegali


Kerusakan Sel parenkim, sel nyaman dikuadran
hati dan duktuli empedu kanan atas
intrahepatik

Nyeri Akut Anoreksia

Ketidakseimbangan
Nutrisi kurang dari
kebutuhan

Obstruksi Kerusakan Konjugasi


Gangguan metabolisme
karbohidrat lemak dan
protein Gangguan Ekskresi Bilirubin Tidak
Empedu Sempurna
Glikogenesis menurun Dikeluarkan Melalui
Retensi Bilirubin Duktus Hepatikus
Glukoneogenesis Menurun

Regurgitasi Pd
Glikogen Dalam Bilirubin Direk
Duktuli Empedu
Hepar Berkurang Meningkat
Intra Hepatik

7
Glikogenolisis Bilirubin Direk Meningkat Ikterus
Menurun

Glukosa Dalam Darah


Berkurang Peningkatan Garam Larut Dalam Air
Empedu Dalam Darah

Resiko Ketidakstabilan
Kadar Glukosa Darah Pruritus

Cepat Lelah

Resiko tinggi kerusakan Ekskresi


Keletihan integritas kulit Kedalam Kemih

Sedikit melakukan Perubahan Kenyamanan Bilirubinuria Dan


aktivitas, merasa capek, Kemih Berwarna
dan lemah Gelap

Resiko Gangguan Fungsi


Hati
Intoleransi Aktivitas

Gambar :

Pathway dari Hepatitis (Huda & Kusuma, 2016).

8
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Enzim-Enzim serum AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH : meningkat pada kerusakan
sel hati dan pada keadaan lain terutama infark miokardium.
2. Bilirubin direk : Meningkat pada gangguan eksresi bilirubin terkonyugasi
3. Bilirubin indirek : Meningkat pada gangguan hemolitik dan sindrom gilbert.
4. Bilirubin Serum total : meningkat pada penyakit hepatoseluler
5. Protein serum total : kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati
6. Masa protrombin : meningkat pada penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan
sel hati
7. Kolesterol Serum : menurun pada kerusakan sel hati, meningkat pada obstruksi
duktus biliaris. (Huda & Kusuma, 2016).
2.8 Penatalaksanaan Medis
Jika seseorang telah didiagnosa menderita hepatitis, maka ia perlu mendapatkan
perawatan. Pengobatan harus dipercepat supaya virus tidak menyebar. Jika tindakan
penanganan lambat membuat kerusakan lebih besar pada hati dan menyebabkan kanker
(Huda & Kusuma, 2016).
1. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis A
Penderita yang menunjukan gejala hepatitis A diharapkan untuk tidak banyak
beraktivitas serta segera mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk
mendapatkan pengobatan dari gejala yang timbul. Dapat diberikan gejala
simptomatik seperti anti piretik dan analgetik serta vitamin untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dan nafsu makan serta obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan
muntah.
2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis B
Setelah diagnosa ditegakan sebagai Hepatitis B, maka ada beberapa cara pengobatan
untuk Hepatitis B, yaitu pengobatan oral dan injeksi .
a) Pengobatan Oral
- Lamivudine; dari kelompok nukleosida analog, dikenal dengan nama
3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, pemakaian
obat ini cenderung meningkatkan enzim hati (ALT) untuk itu
penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.

9
- Adefovir dipivoxil (Hepsera); pemberian secara oral akan lebih
efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh
buruk terhadap fungsi ginjal.
- Baraclude (Entecavir); obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B
kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala,
pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzim hati.
b) Pengobatan dengan infeksi
Microsphere; mengandung partikel radioaktif pemancar sinar  yang akan
menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya.
Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita
yang memiliki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit
pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat
dihilangkan dengan pemberian antipiretik.
3. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis C
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon
alfa, Pegyated interferon alfa dan Ribavirin. Pengobatan pada penderita Hepatitis C
memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak
dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.
4. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis D
Pengobatan hepatitis D perlu dilakukan sesegera mungkin, untuk mencegah
terjadinya gagal hati dan komplikasi serius lainnya. Meski hingga saat ini belum ada
pengobatan yang memuaskan untuk penyakit ini, pengobatan menggunakan
interferon pada pengidap hepatitis D dilakukan dengan penyuntikkan setiap minggu,
selama 12-18 bulan.
Kendati demikian, terkadang setelah pengobatan interferon selesai dijalani,
pengidap hepatitis D masih memiliki risiko terinfeksi virus hepatitis D kembali. Oleh
karena itu, pendekatan akhir untuk mengatasi hepatitis D adalah memberantas
hepatitis B terlebih dahulu. Jika hepatitis B masih positif, hepatitis D masih infeksius
(memungkinkan untuk menginfeksi).
Lebih lanjut lagi, pengobatan hepatitis D biasanya juga akan terfokus pada
observasi terhadap pemeriksaan fungsi hati. Bagi pengidap hepatitis D yang telah

10
mengalami kerusakan hati akibat sirosis atau fibrosis, operasi cangkok hati dapat
menjadi solusi. Operasi ini dilakukan dengan mengangkat hati pengidap yang sudah
rusak, lalu menggantinya dengan hati yang masih sehat dari pendonor.
Setelah dinyatakan sembuh, pengidap hepatitis D tetap diharuskan untuk rutin
menjalani program kontrol yang dijadwalkan oleh dokter. Program kontrol yang
dianjurkan biasanya sekitar 6 bulan sekali, untuk memantau perkembangan infeksi
hepatitis D, serta hepatitis B.
5. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis E
Setelah seseorang terdiagnosis hepatitis E, pengobatan pertama yang akan dilakukan
dokter adalah terapi imunosupresi. Cara pengobatan tersebut dilakukan untuk
mengurangi jumlah virus HEV dalam darah. Terapi ini disebut dapat mengurangi
hingga 30 persen virus dalam darah pengidap hepatitis E.
Namun, jika cara ini tidak berhasil mengurangi jumlah virus dalam darah, maka
pengobatan biasanya akan dilanjutkan dengan terapi antivirus. Cara yang digunakan
adalah dengan monoterapi ribavirin (600–1000 miligram dalam satu hari), untuk
minimal tiga bulan. Pada tahap yang lebih parah, hepatitis E biasanya harus diobati
dengan prosedur transplantasi hati.
2.9 Pendidikan Kesehatan
1. Bagi tenaga medis lakukan Hygien umum, mencuci tangan, serta membuang urine
dan feses pasien terinfeksi secara aman. Pemakaian kateter, jarum suntik, dan spuit
sekali pakai, akan menghilangkan sumber infeksi.
2. Terhadap bayi sebaiknya ibu memberikan imunisasi secara tepat waktu untuk
mencegah terjadinya hepatitis.
3. Orang tua harus memberikan perhatian khusus pada anak dalam pemilihan makanan
serta memberikan pendidikan akan pentingnya kebersihan agar tidak terkena virus
yang dapat menyebabkan penyakit hepatitis.
4. Biasakan mengonsumsi makanan yang bersih, aman dan lihat dulu jika memilih
tempat makan
5. Biasakan cuci tangan sebelum makan dan setelah aktivitas karena cuci tangan
menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi

11
6. Semua donor darah perlu disaring terhadap HAV, HBV, HCV, HDV, dan HEV
sebelum diterima menjadi panel donor.
7. Buanglah sampah pada tempatnya dan sediakan tempat sampah yang efektif
8. Banyak minum air putih
9. Olahraga secara teratur dan cukup istirahat
10. Melakukan Vaksinasi

12
BAB III
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a) Hepatitis A
Pengkajian hepatitis A terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostic. Pada pengkajian anamnesis didapatkan sesuai dengan kondisi
klinik perkembangan penyakit. Keluhan pasien pada gejala awal selama periode
prodromal meliputi demam ringan, mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan sakit
perut. anak-anak dan orang dewasa lebih mungkin untuk melaporkan nyeri dikuadran
kanan atas. Keluhan BAK lebih sering dari biasanya bisa didapatkan. Keluhan
sistemik akan berkembang pada beberapa hari sampai satu minggu, dengan timbul
gejala seperti ikterus, urine gelap, dan feses berwarna terang. Pada anak kecil
mungkin tidak didapatkan adanya keluhan ikterus. Pengkajian riwayat penyakit
dahulu disesuaikan dengan predisposisi rute fekal-oral. Perawat menanyakan pola
hidup, pola makan, pola pembuatan makanan, pola sanitasi, penggunaan NAPZA
/narkotik dan zat adiktif. (Arif & Kumala, 2011).
b) Hepatitis B
Pengkajian hepatitis B terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostic. Pada pengkajian anamnesis didapatkan kondisi bervariasi dari
kondisi fase akut (subklinis hepatitis, hepatitis ikterik), fase subakut, dan fase kronis
(asimtomatik hepatitis kronis, sirosis, dan hepatoma) . Pengkajian anamnesis fase aku
(masa inkubasi 1-6 bulan) didapatkan keluhan ikterus, tetapi justru pada sebagian
pasien tidak mengeluh adanya ikterus (pasien dengan hepatitis aniterik memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengembangkan hepatitis kronis). Pada
kondisi ikterus, pasien juga mengalami keluhan anoreksia, mual, muntah, demam,
nyeri otot cepat lelah, perubahan kemampuan sensasi bau, dan nyeri pada abdomen
kanan atas (periode prodromal). Dengan berlanjutnya proses penyakit,
pengkajianriwayat penyakit sekarang lainnya didapatkan keluhan nyeri kepala,
gangguan pola tidur, dan bisa didapatkan adanya perubahan kesadaran secara

13
progresif sebagai respon dari hepatic ensefalopati, seperti kesadaran somnolen
sampai koma (periode ini disebut dengan fase subakut). Pasien pada fase kronis
keluhan yang paling umum adalah cepat lelah dalam melakukan aktivitas. Pada
kondisi sirosis hepatis, keluhan yang paling dilaporkan adalah perut membesar
(asites), edema ekstremitas, dan adanya riwayat perdarahan (Hematemesis Dan
Melena). Penyakit riwayat penyakit dahulu disesuaikan dengan predisposisi secara
hematogen dan seksual. Perawat menanyakan pola hidup, penggunaan alkohol,
perilaku seksual, penggunaan NAPZA (narkotik dan zat adiktif). Pengkajian riwayat
penyakit dan pembedahan sebelum perlu dilakukan khususnya bila pernah mendapat
terapi tranfusi darah. Riwayat keluarga, khusunya pada ibu yang pernah menderita
penyakit hepatitis kronik. (Arif & Kumala, 2011).
c) Hepatitis C
Pengkajian hepatitis C terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostic. Pada pengkajian fase kronis didapat yang berhubungan dengan
penurunan fungsi hati. Keluhan utama cepat lelah atau malaise didapatkan pada
hampir seluruh pasien hepatitis C. Pengkajian riwayat penyakit sekarang, pasien
mengeluh adanya ikterus, cepat lelah, anoreksia, mual, muntah, kulit gatal, demam,
nyeri otot, nyeri pada abdomen kanan atas, keluhan nyeri kepala, gangguan pola tidur,
dan bisa didapatkan adanya perubahan kesadaran secara progresif sebagai respons
dari hepatic ensefalopati, seperti kesadaran somnolen sampai koma. pada kondisi
sirosis hepatitis, keluhan yang dilaporkan adalah perut membesar (asites), edema
ekstremitas, dan adanya riwayat perdarahan (hematemesis dan melena). Mual dan
muntah yang berkepanjang dapat menyebabkan dehidrasi. Pengkajian riwayat
penyakit dahulu disesuaikan dengan predisposisi secara hematogen dan seksual.
Perawat menanyakan pola hidup, penggunaan alkohol, perilaku seksual, serta
penggunaan NAPZA (narkotik dengan menggunakan jarum intravena). Pengkajian
riwayat penyakit dan pembedahan sebelumnya, khususnya pernah mendapat terapi
tranfusi darah. Riwayat keluarga, khususnya pada ibu yang pernah menderita
penyakit hepatitis kronik. Penyakit psikososial akan didapatkan peningkatan
Kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan
pengobatan. Pada survei umum terlihat lemah, tingkat kesadaran bervariasi mulai

14
composmentis sampai kesadaran menurun (Koma). TTV biasa normal atau bisa
didapatkan perubahan, terutama pada keterlibatan, hepatik ensefalopati seperti RR
meningkat, takikardi, dan peningkatan suhu tubuh. (Arif & Kumala, 2011).
d) Hepatitis D
Pada pengkajian hepatitis D secara klinis biasanya tidak jauh berbeda dengan
kondisi hepatitis virus lainnya. Pengkajian riwayat penyakit sekarang pasien
mengeluh adanya ikterus, cepat lelah, anoreksia, mual, muntah, kulit gatal, demam,
nyeri otot, nyeri pada abdomen kanan atas, keluhan nyeri kepala, gangguan pola
tidur, dan biasa didapatkan adanya perubahan kesadaran secara progresif sebagai
respons dari hepatic ensefalopati, seperti kesadaran somnolen sampai koma. Pada
kondisi sirosis hepatis, keluhan yang dilaporkan adalah perut membesar (asites),
edema ekstremitas, dan adanya riwayat perdarahan (hematemesis dan melena). mual
dan muntah yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi. Pengkajian
riwayat penyakit dahulu disesuaikan dengan predisposisi secara hematogen dan
seksual. Perawat menanyakan pola hidup, penggunaan alkohol, perilaku seksual,
penggunaan NAPZA (narkotik dengan menggunakan jarum Intravena). Pengkajian
riwayat penyakit dan pembedahan sebelumnya, khususnya pernah mendapat terapi
tranfusi darah. Riwayat keluarga, khususnya pada ibu yang pernah menderita
penyakit hepatitis kronis. Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan
kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan
pengobatan. Pada survei umum terlihat lemah, tingkat kesadaran bervariasi mulai
komposmentis sampai kesadaran menurun (koma). TTV biasa normal atau bisa
didapatkan perubahan, terutama pada keterlibatan hepatik ensefalopati (kondisi ini
jarang terjadi) seperti RR meningkat, takikardi, dan peningkatan suhu tubuh. (Arif &
Kumala, 2011).
e) Hepatitis E
pada pengkajian anamneses didapatkan sesuai dengan kondisi klinik
perkembangan penyakit. Masa inkubasi berkisar dari 15 hari sampai 60 hari.
Hepatitis E memiliki fase prodromal dan fase ikterik. Pada pengkajian riwayat
penyakit sekarang, keluhan pasien pada gejala awal selama periode prodromal
meliputi nyeri otot, nyeri sendi, demam ringan, mual, muntah, penurunan nafsu

15
makan, dan gejala dehidrasi. Pada fase ikterik, dengan timbul gejala seperti ikterik,
malaise, urine gelap, feses berwarna terang, dan pruritus (didapatkan pada 50%
pasien hepatitis E). Keluhan lainnya bisa didapatkan adanya diare, dan ruam pada
kulit (petekie) . Pengkajian riwayat dahulu disesuakian dengan predisposisis rute
fekal-oral . perawat menanyakan pola hidup, pola makan, pola pembuatan makanan,
pola sanitasi, penggunaan NAPZA (narkotik dan zat adiktif). Pengkajian psikososial
akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi
intervensi keperawatan dan pengobatan. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai
dengan manifestasi klinik. Pada suvei umum bisa terlihat sakit ringan sampai lemah.
TTV biasa normal atau bisa didapatkan perubahan, seperti takikardi. (Arif &
Kumala, 2011).
3.2 Diagnosa Keperawatan
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis (Arif &
Kumala, 2011) :
a) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak
nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan
makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena
anoreksia, mual dan muntah.
b) Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi
hati dan bendungan vena porta.
c) Hipertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder
terhadap inflamasi hepar.
d) Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
e) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus
sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu.
f) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intra abdomen,
asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi secret
g) Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus

16
3.3 Intervensi
a) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak
nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan
makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena
anoreksia, mual dan muntah. (Arif & Kumala, 2011).
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam nutrisi pasien
terpennuhi.
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai
laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
No Intervensi Rasional
1. Ajarkan dan bantu klien untuk Keletihan berlanjut menurunkan
istirahat sebelum makan keinginan untuk makan
2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori,adanya pembesaran hepar dapat
tawarkan makan sedikit tapi sering menekan saluran gastro intestinal
dan tawarkan pagi paling sering dan menurunkan kapasitasnya.
3. Pertahankan hygiene mulut yang akumulasi partikel makanan di
baik sebelum makan dan sesudah mulut dapat menambah baru dan
makan rasa tak sedap yang menurunkan
nafsu makan.
4. Anjurkan makan pada posisi duduk menurunkan rasa penuh pada
tegak abdomen dan dapat meningkatkan
pemasukan
5. Berikan diit tinggi kalori, rendah glukosa dalam karbohidrat cukup
lemak efektif untuk pemenuhan energi,
sedangkan lemak sulit untuk
diserap/dimetabolisme sehingga
akan membebani hepar.

b) Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi


hati dan bendungan vena porta.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam nyeri pasien
berkurang atau teratasi.
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak
meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya).

17
No. Intervensi Rasional
1. Kolaborasi dengan individu untuk nyeri yang berhubungan dengan
menentukan metode yang dapat hepatitis sangat tidak nyaman, oleh
digunakan untuk intensitas nyeri karena terdapat peregangan secara
kapsula hati, melalui pendekatan
kepada individu yang mengalami
perubahan kenyamanan nyeri
diharapkan lebih efektif
mengurangi nyeri.
2. Tunjukkan pada klien penerimaan klienlah yang harus mencoba
tentang respon klien terhadap nyeri meyakinkan pemberi pelayanan
kesehatan bahwa ia mengalami
nyeri
3. Berikan informasi akurat dan klien yang disiapkan untuk
jelaskan penyebab nyeri, tunjukkan mengalami nyeri melalui
berapa lama nyeri akan berakhir, bila penjelasan nyeri yang
diketahui sesungguhnya akan dirasakan
(cenderung lebih tenang dibanding
klien yang penjelasan kurang/tidak
terdapat penjelasan)
4. Bahas dengan dokter penggunaan kemungkinan nyeri sudah tak bisa
analgetik yang tak mengandung efek dibatasi dengan teknik untuk
hepatotoksi mengurangi nyeri.

c) Hipertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder


terhadap inflamasi hepar.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam suhu badan pasien
normal
Kriteria hasil : Tidak terjadi peningkatan suhu
No. Intervensi Rasional
1. Monitor tanda vital : suhu badan sebagai indikator untuk mengetahui
status hypertermi
2. Ajarkan klien pentingnya dalam kondisi demam terjadi
mempertahankan cairan yang peningkatan evaporasi yang
adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) memicu timbulnya dehidrasi
untuk mencegah dehidrasi, misalnya
sari buah 2,5-3 liter/hari.
3. Berikan kompres hangat pada lipatan menghambat pusat simpatis di

18
ketiak dan femur hipotalamus sehingga terjadi
vasodilatasi kulit dengan
merangsang kelenjar keringat
untuk mengurangi panas tubuh
melalui penguapan
4. Anjurkan klien untuk memakai kondisi kulit yang mengalami
pakaian yang menyerap keringat lembab memicu timbulnya
pertumbuhan jamur. Juga akan
mengurangi kenyamanan klien,
mencegah timbulnya ruam kulit.

d) Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis


Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam keletihan pasien
berkurang
Kriteria hasil : tidak terjadi keletihan
No. Intervensi Rasional
1. Jelaskan sebab-sebab keletihan dengan penjelasan sebab-sebab
individu keletihan maka keadaan klien
cenderung lebih tenang
2. Sarankan klien untuk tirah baring tirah baring akan meminimalkan
energi yang dikeluarkan sehingga
metabolisme dapat digunakan
untuk penyembuhan penyakit.
3. Bantu individu untuk memungkinkan klien dapat
mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, memprioritaskan kegiatan-kegiatan
kemampuan-kemampuan yang sangat penting dan
meminimalkan pengeluaran energi
untuk kegiatan yang kurang
penting
4. Analisa bersama-sama tingkat keletihan dapat segera
keletihan selama 24 jam meliputi diminimalkan dengan mengurangi
waktu puncak energi, waktu kegiatan yang dapat menimbulkan
kelelahan, aktivitas yang keletihan
berhubungan dengan keletihan
5. Bantu untuk belajar tentang untuk mengurangi keletihan baik
keterampilan koping yang efektif fisik maupun psikologis
(bersikap asertif, teknik relaksasi)

19
e) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus
sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam tidak terjadi
kerusakan intergritas kulit dan jaringan.
Kriteria hasil : Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.

No. Intervensi Rasional


1. Pertahankan kebersihan tanpa kekeringan meningkatkan
menyebabkan kulit kering sensitifitas kulit dengan merangsang
ujung syaraf

2. Cegah penghangatan yang berlebihan penghangatan yang berlebih


dengan pertahankan suhu ruangan menambah pruritus dengan
dingin dan kelembaban rendah, meningkatkan sensitivitas melalui
hindari pakaian terlalu tebal vasodilatasi
3. Anjurkan tidak menggaruk, penggantian merangsang pelepasan
instruksikan klien untuk memberikan hidtamin, menghasilkan lebih
tekanan kuat pada area pruritus untuk banyak pruritus
tujuan menggaruk
4. Pertahankan kelembaban ruangan pendinginan akan menurunkan
pada 30%-40% dan dingin vasodilatasi dan kelembaban
kekeringan

f) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen,


asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam pasien tidak
mengalami gangguan pola nafas.
Kriteria hasil : Pola nafas adekuat
No. Intervensi Rasional
1. Awasi frekwensi , kedalaman dan pernafasan dangkal/cepat
upaya pernafasan kemungkinan terdapat hipoksia atau
akumulasi cairan dalam abdomen
2. Auskultasi bunyi nafas tambahan kemungkinan menunjukkan adanya

20
akumulasi cairan
3. Berikan posisi semi fowler memudahkan pernafasan dengan
menurunkan tekanan pada
diafragma dan meminimalkan
ukuran sekret
4. Berikan latihan nafas dalam dan membantu ekspansi paru dan
batuk efektif mengeluarkan secret
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan mungkin perlu untuk mencegah
hipoksia

g) Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam tidak terjadi infeksi
pada pasien.
Kriteria hasil : Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
No. Intervensi Rasional
1. Gunakan kewaspadaan umum pencegahan tersebut dapat
terhadap substansi tubuh yang tepat memutuskan metode transmisi
untuk menangani semua cairan virus hepatitis
tubuh
a. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
semua klien atau spesimen
b. Gunakan sarung tangan
untuk kontak dengan darah
dan cairan tubuh
c. Tempatkan spuit yang telah
digunakan dengan segera
pada wadah yang tepat,
jangan menutup kembali
atau memanipulasi jarum
dengan cara apapun

2. Gunakan teknik pembuangan teknik ini membantu melindungi


sampah infeksius, linen dan cairan orang lain dari kontak dengan
tubuh dengan tepat untuk materi infeksius dan mencegah
membersihkan peralatan-peralatan transmisi penyakit

21
dan permukaan yang
terkontaminasi
3. Jelaskan pentingnya mencuci mencuci tangan menghilangkan
tangan dengan sering pada klien, organisme yang merusak rantai
keluarga dan pengunjung lain dan transmisi infeksi
petugas pelayanan kesehatan.

4. Rujuk ke petugas pengontrol rujukan tersebut perlu untuk


infeksi untuk evaluasi departemen mengidentifikasikan sumber
kesehatan yang tepat pemajanan dan kemungkinan
orang lain terinfeksi

3.4 Implementasi
1. Diagnosa 1:
a) Mengajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan Memberikan snack
atau makanan yang mengundang selera pasien
b) Mengawasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering
dan tawarkan pagi paling sering
c) Mempertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
d) Menganjurkan makan pada posisi duduk tegak
e) Memberikan diit tinggi kalori, rendah lemak
2. Diagnosa 2:
a) Menunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
b) Memberikan informasi dari penyebab nyeri
c) Membahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek
hepatotoksi
d) Berkolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan
untuk intensitas nyeri
3. Diagnosa 3 :
a) Memonitor tanda vital : suhu badan
b) Mengajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya
2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.

22
c) Memberikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
d) Menganjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
4. Diagnosa 4 :
a) Menjelaskan sebab-sebab keletihan individu
b) Menyarankan klien untuk tirah baring
c) Membantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-
kemampuan dan minat-minat
d) Menganalisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu
puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
e) Membantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap
asertif, teknik relaksasi)
5. Diagnosa 5 :
a) Mempertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
b) Mencegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan
dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
c) Menganjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan
kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
d) Mempertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
6. Diagnosa 6 :
a) Mengawasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
b) Mengauskultasi bunyi nafas tambahan
c) Memberikan posisi semi fowler
d) Memberikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
e) Memberikan oksigen sesuai kebutuhan
7. Diagnosa 7 :
a) Menggunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk
menangani semua cairan tubuh
b) Menggunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh
dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang
terkontaminasi

23
c) Menjelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan
pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
d) Merujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan
yang tepat.
3.5 Evaluasi
1. Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium
normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
2. Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis
kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
3. Tidak terjadi peningkatan suhu
4. Tidak terjadi keletihan
5. Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
6. Pola nafas adekuat
7. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

3.6 Evidence Based Practice

STRATEGI KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS PADA


KELUARGA PASIEN YANG BERESIKO TINGGI DI RSUD DR. R. SOEDJATI
PURWODADI

A. Pendahuluan
Hepatitis adalah suatu proses peradangan pada jaringan hati. Secara populer dikenal
juga dengan istilah penyakit hati, sakit liver, atau sakit kuning. Namun, istilah sakit
kuning (ikterik atau jaundice) dapat menimbulkan keracunan karena tidak semua sakit
kuning disebabkan oleh radang hati (Dalimartha, 2002). Cara penularan hepatitis secara
vertikal terjadi dari ibu yang menderita hepatitis kepada bayi yang dilahirkan. sedangkan
secara horisontal dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik
telinga, tusuk jarum, tranfusi darah, penggunaan alat cukur dan sikat gigi secara bersama-
sama, serta hubungan seksual dengan penderita. Penanganan penderita hepatitis ini yang
pertama dengan beristirahat total, dimana istirahat ini merupakan hal yang paling penting

24
untuk penderita hepatitis. Yang kedua adalah diet, penderita hepatitis tetap
diperbolehkan diet yang mengandung lemak, yang tidak boleh yaitu makan atau minum
yang mengandung alcohol jamu-jamuan yang tidak jelas zat aktifnya, merokok, dan lain-
lain.
Data tentang penyakit hepatitis menurut WHO tahun 2003 sekitar 2 milliar penduduk
dunia menderita hepatitis B 350 juta menderita hepatitis B kronik dan 1 juta orang
meninggal. Sedangkan yang menderita penyakit hepatitis C sekitar 130-170 juta, dan
sekitar 350 ribu meninggal. Di Indonesia terdapat 13 juta orang menderita hepatitis B, 7
juta orang menderita hepatitis C, dan 50% dari penderita ini bisa menjadi hepatitis kronis,
10% bisa menjadi kanker hati. Sedangkan di Jawa Tengah terdapat 1454 kasus penyakit
hepatitis (Dinkes Jateng, Juli 2011).
B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif korelational dengan pendekatan
cross-sectional (Setiadi, 2007; Hidayat, 2009). Populasi penelitian ini adalah keluarga
penderita Hepatitis yang beresiko tinggi yang dirawat di RSUD Dr. R. Soedjati
Purwodadi dengan jumlah dengan jumlah sampel adalah 16 responden. Analisa dilakukan
secara univarit dan bivariate untuk menerangkan hubungan antara dua variabel
menggunakan uji Spearman Rank untuk dua variabel dengan skala data ordinal, sehingga
rumus umum untuk pearson (r) (Notoatmodjo, 2003).
C. Pembahasan
a) Analisa Univariat
1. Pengetahuan Keluarga Tentang Hepatitis.
Pengetahuan keluarga tentang hepatitis sesuai definisi operasional variabel
penelitian merupakan pengetahuan keluarga beresiko tinggi tentang hepatitis
yang meliputi: pengertian, penyebab, tanda dan gejala penyakit hepatitis.
Pengetahuan keluarga tentang hepatitis dikategorikan menjadi baik, sedang
dan rendah. Berdasarkan hasil penelitian telah diketahui deskripsi data
pengetahuan keluarga tentang hepatitis bahwa responden dengan pengetahuan
baik ada 50% (8 responden), pengetahuan sedang ada 25% (4 responden) dan
pengetahuan rendah ada 25% (4 responden). Jadi berdasarkan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa pengetahuan keluarga tentang hepatitis sebagian

25
besar berpengetahuan baik. Secara teori pengetahuan seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor, salah satunya yaitu pendidikan. Pendidikan adalah suatu
usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari
media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat
kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan
pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan
rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga
dapat diperoleh pada pendidikan non formal.
Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek
yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan
menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek
positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif
terhadap obyek tersebut (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan teori tersebut,
meskipun karakteristik pasien hepatitis berdasarkan pendidikannya yaitu
mayoritas berpendidikan lulusan SD sebanyak 56,3% (9 responden), SMP
sebanyak 56,3% (4 responden), tidak sekolah 6,3% (1 responden), SMA 6,3%
(1 responden) dan perguruan tinggi 6,3% (1 responden), namun tingkat
pengetahuan keluarga tentang hepatitis sebagian besar telah memiliki
pengetahuan baik. Dalam hal ini
perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti
mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak
diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada
pendidikan non formal seperti penyuluhan kesehatan. Faktor lain yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang kesehatan seseorang adalah faktor

26
usia. Berdasarkan hasil penelitian usia pasien hepatitis sebagian besar
tergolong pada umur antara 46-50 tahun sebanyak 62,5% (10 responden) dan
usia antara 41-45 tahun sebanyak 37,5% (6 responden). Secara teori usia
mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada
usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan
kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya
upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan
lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan
intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir
tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya
perkembangan selama hidup (Widayatun, 2009).
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian terkait yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Pratiwi (2009) tentang hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan penyakit hepatitis dengan hasil penelitian bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan orang tua dengan
pengetahuan penyakit hepatitis dengan hasil uji rank spearman sebesar 0,587
dengan probabilitas 0,001 dan terdapat hubungan yang signifikan antara usia
dengan pengetahuan penyakit hepatitis dengan hasil uji rank spearman sebesar
0,485 dengan probabilitas 0,045.
2. Perilaku Pencegahan Terhadap Penularan Hepatitis.
Batasan perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis dalam penelitian ini
yaitu perilaku yang dilakukan keluarga pasien untuk mencegah penularan
hepatitis yang meliputi: penggunaan alat makan secara terpisah, tidak
mengkonsumsi jamu sembarangan, melakukan imunisasi hepatitis, melakukan
olah raga ringan dengan teratur. Secara teori perilaku adalah semua aktifitas
manusia manusia secara fisik berupa interaksi manusia dengan sesamanya
ataupun dengan lingkungan fisiknya, selain itu perilaku juga dinyatakan
semua kegiatan atau

27
aktifitas manusia, baik yang dapat di amati langsung maupun yang dapat di
amati oleh pihak luar (Notoatmojo, 2007). Sementara itu ilmu antropologi
menyatakan perilaku merupakan ganjaran dari tingkah laku yang tidak disukai
sehingga ancaman dari penyakit memainkan peranan penting dalam
masyarakat untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada (Anderson, 2005).
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengolahan data pada variabel
perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis telah diketahui deskripsi
data mengenai frekuensi dan persentasenya yang menunjukkan bahwa
responden dengan perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis yang
tergolong baik ada 62,5% (10 responden) dan perilaku buruk ada 37,5% (6
responden). Jadi berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar responden memiliki perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis
dalam kategori perilaku baik. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
sebagian besar responden memiliki perilaku pencegahan terhadap penularan
hepatitis dalam kategori perilaku baik karena mereka juga telah memiliki
pengetahuan yang baik pula, hal tersebut nampak dari pengetahuan keluarga
tentang hepatitis bahwa responden sebagian besar telah memiliki pengetahuan
baik sebesar 50% (8 responden). Menurut Lawrence Green (1980) dalam
Notoatmodjo (2007), perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh
dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavioral factors) dan faktor non-
perilaku (non behavioral factors). Lawrence Green menganalisis bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor utama, salah satunya yaitu faktor
predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
b) Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan terhadap satu variabel bebas dengan satu variabel
terikat. Tabel silang antara variabel pengetahuan keluarga tentang hepatitis
dengan perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien
yang berisiko dapat diketahui bahwa responden dengan pengetahuan baik ada 8
responden dengan perilaku pencegahan penularan hepatitis baik ada 87,5% (7

28
responden) dan perilaku pencegahan penularan hepatitis buruk ada 12,5% (1
responden). Responden dengan pengetahuan sedang ada 4 responden dengan
perilaku pencegahan penularan hepatitis baik ada 75% (3 responden) dan perilaku
pencegahan penularan hepatitis buruk ada 25% (1 responden).
Sedangkan responden dengan pengetahuan rendah ada 4 responden dengan
keseluruhan memiliki perilaku pencegahan penularan hepatitis buruk. Jadi
berdasarkan deskripsi data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden telah memiliki tingkat pengetahuan baik dan memiliki perilaku yang
baik dalam pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang
berisiko. Setelah data dianalisa dengan uji statitik non parametrik rank spearman,
karena jumlah data yang sedikit dan data berskala nominal dan ordinal maka hasil
nilai probabilitas dan koefisien korelasi rank spearman pada taraf signifikansi 5%
untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan
perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang
berisiko tinggi telah diketahui nilai rs = 0,669 dan nilai p = 0,005.
Nilai p yang kurang dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan perilaku pencegahan terhadap
penularan hepatitis pada keluarga pasien yang berisiko tinggi. Sedangkan kuat
lemahnya hubungan antara variabel pengetahuan keluarga tentang hepatitis
dengan perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien
yang berisiko tinggi dapat dilihat melalui interprestasi koefisien korelasinya. Nilai
koefisien korelasi rank spearman (rs) = 0,669 menunjukkan adanya hubungan
yang kuat antara pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan perilaku
pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang berisiko
tinggi karena nilai rs berada dalam rentang 0,51-0,75. Hasil penelitian tersebut
memiliki kesesuaian dengan teori yang ada yaitu menurut Notoatmodjo (2007)
faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku adalah faktor predisposisi
(pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, keyakinan, faktor pendukung
(ketersediaan sumber daya kesehatan, pemerintah politik dan hukum) dan faktor
pendorong (keluarga, teman, guru, pegawai, tokoh masyarakat, pembuat
keputusan).

29
D. Hasil
Pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan pengetahuan baik ada 50% (8
responden), perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang
berisiko yang tergolong baik ada 62,5% (10 responden) dan analisa bivariate
menunjukkan Ada hubungan antara pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan
perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis dengan (p=0,005 dan rs=0,669)
E. Simpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data penelitian, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan pengetahuan baik ada 50% (8
responden), pengetahuan sedang ada 25% (4 responden) dan pengetahuan rendah
ada 25% (4 responden).
2. Perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang
berisiko yang tergolong baik ada 62,5% (10 responden) dan perilaku buruk ada
37,5% (6 responden).
3. Ada hubungan antara pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan perilaku
pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang berisiko
tinggi (p=0,005 dan rs=0,669).

30
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hepatitis merupakan peradangan pada hati (liver) yang disebabkan oleh virus. Virus
hepatitis termasuk virus hepatotoprik yang dapat mengakibatkan hepatitis A (HAV),
Hepatitis B ( HBV), Hepatitis C (HCV), delta Hepatitis (HDV), dan Hepatitis E (HEV).
Penyakit hepatitis meliputi banyak agens yang dapat menyebabkan kerusakan dan
peradangan. Kelompok virus yang diketahui sebagai virus hepatitis diberi nama secara
alfabetik dalam urusan kronologik penemuannya. Hepatitis telah menjadi masalah
global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup tidak sehat,
penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi dan pendidikan menjadi beberapa
penyebab dari penyakit ini.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami penyakit hepatitis
Malaise, anoreksia, mual dan muntah, Gejala Flu, faringitis, batuk, coryza, fotopobia, sakit
kepala dan mialgia, Demam ditemukan pada infeksi HAV, Ikterus didahului dengan
kemunculan urin berwarna gelap, Pruritus (biasanya ringan dan sementara), Nyeri tekan
pada hati.
Penatalaksanaan medis Penderita hepatitis yang menunjukan gejala hepatitis diharapkan
untuk tidak banyak beraktivitas, serta segera mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat untuk mendapatkan pengobatan dari gejala yang timbul. Dapat diberikan gejala
simptomatik seperti anti piretik dan analgetik serta vitamin untuk meningkatkan daya tahan
tubuh dan nafsu makan serta obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah. Saat ini
pengobatan Hepatitis dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon alfa, Pegyated
interferon alfa dan Ribavirin.
Tindakan keperawatan yaitu dilakukannya diagnosa keperawatan yang mengacu pada
pasien dengan intervensi untuk penyakit hepatitis. Setelah dilakukan tindakan keperawatan,
kemudian masalah teratasi dengan evaluasi yaitu Menunjukkan peningkatan berat badan
mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi,
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan,

31
menangis intensitas dan lokasinya), Tidak terjadi peningkatan suhu, Tidak terjadi keletihan,
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus, Pola nafas adekuat, dan Tidak menunjukkan tanda-
tanda infeksi.
Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data penelitian, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan pengetahuan baik ada 50% (8
responden), pengetahuan sedang ada 25% (4 responden) dan pengetahuan rendah
ada 25% (4 responden).
2. Perilaku pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang
berisiko yang tergolong baik ada 62,5% (10 responden) dan perilaku buruk ada
37,5% (6 responden).
3. Ada hubungan antara pengetahuan keluarga tentang hepatitis dengan perilaku
pencegahan terhadap penularan hepatitis pada keluarga pasien yang berisiko
tinggi (p=0,005 dan rs=0,669).
4.2 Saran
Demikian makalah ini di buat semoga dapat di gunakan dengan sebaik-baiknya, mohon
maaf atas kekurangan dalam penulisan makalah ini. Saran kami untuk Orang tua harus
memberikan perhatian khusus pada anak dalam pemilihan makanan serta memberikan
pendidikan akan pentingnya kebersihan agar tidak terkena virus yag dapat menyebabkan
penyakit hepatitis. Pada bayi sebaiknya ibu memberikan imunisasi secara tepat waktu untuk
mencegah terjadinya penyakit hepatitis.

32
DAFTAR PUSTAKA

Durles, N. Dkk. 2013. Hepatitis C Awareness & Treatment Project Bagian 1 Infeksi
Hepatitis C. Jakarta : Purple Haze Asia.

Muttaqin, A & Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan penerapan
diagnose Nanda, Nic, Noc dalam berbagai Kasus. Jogjakarta : Mediaction Publishing.

Rizky, A.A, Dkk. 2017. Hepatitis . Banyuwangi : Akademi Kesehatan Rustida Prodi DIII
Keperawatan.

Sutiyono & Widodo, W.U. 2017. Jurnal Ilmiah Strategi Keluarga Dalam Pencegahan
Penularan Hepatitis Pada Keluarga Pasien Yang Beresiko Tinggi Di Rsud Dr. R. Soedjati
Purwodadi. Grobogan, Jawa Tengah : The Shine Cahaya Dunia S-1 Keperawatan, Vol 2 No 2

33

Anda mungkin juga menyukai