Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2017, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 258,70 juta jiwa. Indonesia
memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Grup etnis ini
memiliki perbedaan budaya yang dipengaruhi oleh cara mereka berpikir dan
berperilaku.
Rosa dan Oray (2011) mendefinisikan etnokimia sebagai sebuah kegiatan
budaya pada suatu kelompok masyarakat tertentu terkait aspek kajian ilmu kimia.
Dengan kata lain, etnokimia adalah kimia yang diterapkan oleh kelompok budaya
tertentu. Etnokimia telah menjadi perhatian luas akhir-akhir ini karena pembelajaran
kimia yang terjadi terlalu bersifat formal. Pembelajaran kimia yang terjadi sangat
berbeda dengan kimia yang ditemukan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
sebab itu pembelajaran kimia sangat perlu menjembatani antara kimia dalam dunia
sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan kimia di sekolah atau perguruan
tinggi. Etnokimia akan memperkaya pengetahuan kimia yang telah ada sehingga
memungkinkan kimia dapat diajarkan dengan mengambil budaya atau kearifan lokal
setempat.
Etnokimia dapat diintegrasikan dalam pembelajaran kimia misalnya melalui
model culturally responsive teaching (CRT) (Rahmawati et al., 2017) atau untuk
mengembangkan modul pembelajaran kimia (Lia, Udaibah & Mulyatum, 2016).
Menurut Singh (2016) etnokimia dapat meningkatkan sikap siswa terhadap kimia,
terutama memotivasi siswa belajar (Marasinghe, 2016). Langkah awal yang harus
dilakukan sebelum mengembangkan perangkat pembelajaran etnokimia adalah
menginventarisasi kearifan lokal masyarakat setempat. Nursaadah et al. (2017) misalnya
telah menginventarisasi pengetahuan etnokimia masyarakat Baduy.
Aceh merupakan salah satu kelompok etnis di Indonesia dengan kekayaan
budaya yang sangat khas. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh yang khas
terdapat beberapa etnokimia yang dipraktikkan misalnya dalam proses pengolahan

1
makanan dan pengawetan. Proses globalisasi dan persilangan budaya diantara kelompok
etnik telah menciptakan identitas budaya yang kehilangan identitas budaya asli. Oleh
karena itu perlu dilakukan inventarisasi pengetahuan etnokimia yang telah dipraktikkan
masyarakat suku Aceh yang. Kajian etnokimia yang sudah digali dapat digunakan untuk
mengembangkan perkuliahan kimia agar pembelajaran kimia yang terjadi dekat dengan
kehidupan sehari-hari dan budaya masyarakat Aceh tetap terjaga.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
a. Etnokimia apa saja yang yang dipraktikkan masyarakat suku Aceh di Aceh Timur?
b. Potensi apa saja dari etnokimia dalam masyarakat suku Aceh di Aceh Timur yang
dapat dikembangkan dalam perkuliahan kimia?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang dirumuskan sesuai dengan permasalahan penelitian yaitu
untuk:
a. Memperoleh informasi dan deskripsi tentang etnokimia apa saja yang dipraktikkan
masyarakat suku Aceh di Aceh Timur.
b. Memperoleh informasi dan deskripsi tentang potensi apa saja dari etnokimia dalam
masyarakat suku Aceh di Aceh Timur yang dapat dikembangkan dalam perkuliahan
kimia.

1.4 Luaran Penelitian


Luaran dari yang ditargetkan dari penelitian ini antara lain seperti digambarkan
dalam Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 Rencana Target Luaran
Jenis luaran
No Luaran Luaran Keterangan
Kategori Sub Kategori
wajib tambahan
Internasional - -
Artikel ilmiah bereputasi
1
dimuat di jurnal Nasional Submitted -
terakreditasi
Artikel ilmiah Internasional - -
2 dimuat di terindeks
prosiding Nasional - -
3 Hak Kekayaan Paten - -

2
Jenis luaran
No Luaran Luaran Keterangan
Kategori Sub Kategori
wajib tambahan
Intelektual Paten sederhana - -
Hak cipta - -
Merek dagang - -
Rahasia dagang - -
Desain produk - -
industri
Indikasi geografis - -
Perlindungan - -
varietas tanaman
Sirkuit terpadu - -
4 Teknologi Tepat Guna - -
5 Bahan Ajar Draf -

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan menjadi referensi dalam mengenal etnokimia yang
telah dipraktekkan masyarakat Aceh sehingga dapat diimplementasikan dalam
pengembangan perkuliahan kimia sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
perkuliahan kimia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnokimia
Etnokimia merupakan cabang dari etnosains. Etnosains adalah pengetahuan
yang merupakan adat dengan bahasa dan budaya tertentu. Fungsinya adalah
memperkirakan atau mencerminkan pemikiran adat sendiri tentang bagaimana dunia
fisik mereka harus diklasifikasikan (Nursaadah et al., 2017). Etnosains berhubungan
dengan keterampilan lokal, praktek, keterampilan dan ide-ide dan kosmologi yang
mendasarinya dalam konteks pembangunan sosial ekonomi.
Etnokimia merupakan kajian terbaru dalam ilmu kimia yang dikaitkan dengan
kajian antropologi budaya. Etnokimia sebagai salah satu cabang dari etnosains
memfokuskan kajian dalam bidang ilmu pengetahuan alam, praktek, teknik dan
teknologi tertentu yang digunakan dalam suatu kelompok etnis tertentu. Etnokimia
bertujuan untuk menganalisis ilmu pengetahuan, praktek, teknik dan teknologi
mengenai manfaat dan transformasi materi berdasarkan perbedaan budaya, dengan
implikasi metodologi dan epistomologi untuk perkembangan pendidikan kimia dan guru
kimia.
Rosa dan Oray (2011) menjelaskan definisi etnokimia sebagai sebuah kegiatan
budaya pada suatu kelompok masyarakat tertentu terkait aspek kajian ilmu kimia. Istilah
etno menunjukkan kajian terkait konteks sosial budaya, bahasa, perilaku, mitos dan
simbol-simbol pada suatu etnik. Sehingga lingkup kajian etnokimia adalah segala
bentuk aktivitas budaya suatu etnik yang dapat dikaji dengan aplikasi ilmu kimia. Selain
kajian tentang etnokimia, dikenal pula kajian etno lainnya seperti etnobotani,
etnomedicine, etnomatematika, dan lain-lain.
Etnokimia adalah berbagai praktik budaya masyarakat yang terkait kimia. Ini
menggambarkan praktik kimia dari kelompok budaya yang dapat diidentifikasi dan
dapat dianggap sebagai studi tentang gagasan kimia yang ditemukan di budaya apapun.
D'Ambrosio (Rosa & Orey, 2011) menyatakan etno sebagai istilah yang sangat luas
yang mengacu pada konteks sosial budaya dan oleh karena itu mencakup bahasa,
jargon, dan kode perilaku, mitos, dan simbol. Dengan kata lain, etno mengacu pada
anggota kelompok dalam budaya lingkungan yang diidentifikasi oleh tradisi budaya,

4
kode, simbol, mitos, dan cara-cara tertentu yang digunakan untuk beralasan dan untuk
menyimpulkan (Rosa & Orey, 2011).

2.2 Kearifan Lokal


Thesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan sejajar dengan kebajikan,
kebijakan, kebijaksanaan dan kecendikiaan. Sedangkan kata arif memilki kesetaraan
makna dengan: akil, bajik, bakir, bestari, bijak, bijaksana, cendekia, cerdas, cerdik,
cengas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar. Kearifan lokal adalah pandangan
hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
(local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat
(local genious).
Menurut Rahyono (Fajarini, 2014), kearifan lokal merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Artinya kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui
pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Ilmuwan
antropologi, seperti Spradley dan Taylor (Koentjaraningrat, 2009) telah
mengkategorisasikan kebudayaan manusia yang menjadi wadah kearifan lokal itu
kepada ide, aktivitas sosial, dan artifak.
Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat
yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa (1) Tata aturan yang menyangkut
hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu
maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirearki dalam pemerintahan dan adat, aturan
perkawinan, tata karma dalam kehidupn sehari-hari; (2) Tata aturan menyangkut
hubungan manusia dengan alam, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya
konservasi alam; Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib,
misalnya Tuhan dan roh-roh gaib (Putra, Hariadi & Harsoyo, 2012).

5
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Aceh Kabupaten Aceh Timur dan Kota
Langsa. Subjek penelitian ini terdiri dari guru, dosen, pengurus Majelis Adat Aceh
(MAA) serta tokoh masyarakat asal Aceh Timur yang mengenal betul praktik etnokimia
di masyarakat.

3.2 Variabel dan Data yang Diamati


Variabel dan data yang diamati meliputi pengetahuan etnokimia yang
dipraktikkan oleh masyarakat suku Aceh yang dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan perkuliahan kimia.

3.3 Model Penelitian


Model penelitian yang digunakan adalah model penelitian kualitatif deskriptif
dengan metode etnografi. Tujuan dari penggunaan studi kualitatif deskriptif adalah
untuk memperoleh informasi dari data penelitian secara menyeluruh, luas dan
mendalam (Sugiyono, 2013).

3.4 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian etnografi seperti dalam
Gambar 3.1.

Identifikasi praktik etnokimia di masyarakat


Identifikasi Subjek
Perumusan masalah

Pengembangan Hipotesis

Pengumpulan Data
(Observasi, Wawancara,
Dokumentasi: Triangulasi)

Analisis

Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian

6
3.5 Tahapan Penelitian
Penelitian ini di lakukan dengan dua tahapan yaitu: 1) tahap kajian teori yang
meliputi studi literasi tentang etnografi masyarakat suku Aceh dan terapan ilmu kimia.
Hasil tahapan kajian teori digunakan dalam pengembangan instrumen penelitian, dan 2)
tahap kajian empirik atau pengumpulan data untuk menginventarisasi pengetahuan
etnokimia yang dipraktikkan masyarakat Aceh.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yakni:
pengamatan, studi dokumenter, dan wawancara. Instrumen penelitian yang digunakan
meliputi lembar observasi, dokumentasi dan pedoman wawancara. Pengamatan
dilakukan untuk mencermati secara langsung adat istiadat dan benda budaya (artefak)
yang dikembangkan masyarakat Aceh. Dalam pengumpulan data melalui pengamatan
maka peneliti adalah sebagai instrumen sehingga valid atau tidaknya data sangat
tergantung pada kredibilitas dan komitmen peneliti bersangkutan.

Studi dokumenter digunakan untuk mendokumentasikan data benda budaya


berbasis etnokimia di masyarakat. Selain itu, kegiatan masyarakat yang mengandung
nilai etnokimia didokumentasikan melalui foto atau perekaman dengan recorder.
Pedoman wawancara dibuat untuk melakukan konfirmasi atas temuan-temuan yang
didapatkan baik secara kajian teori maupun temuan di lapangan. Selain itu wawancara
juga diperlukan dalam menggali secara mendalam informasi yang lebih spesifik tentang
praktik etnokimia yang dapat dikembangkan dalam perkuliahan. Wawancara direkam
kemudian ditranskrip. Dengan demikian dilakukan triangulasi guna menguji kesahihan
informasi yang diperoleh.

3.7 Teknik Analisis Data


Analisis data penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Data yang
diperoleh dari wawancara, pengamatan, dan dokumentasi dilakukan analisis secara
simultan dengan terlebih dahulu melakukan pemilahan data yang sejenis (kategorisasi)
selanjutnya dilakukan reduksi data, penyajian, dan kesimpulan serta verifikasi.

7
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Etnokimia Suku Aceh di Aceh Timur


Hasil inventarisasi etnokimia masyarakat suku Aceh di Aceh Timur
dikelompokkan menjadi bahan alam yang dijadikan obat-obatan; bahan alam yang
dijadikan pengawet, pewarna, dan perasa makanan; bahan alam yang dijadikan alat dan
bahan kecantikan serta pembersih; teknologi tepat guna; dan pengolahan makanan.

a. Bahan Alam yang Dijadikan Obat-obatan


Tabel 4.1 menyajikan pengetahuan etnokimia masyarakat suku Aceh di Aceh
Timur tentang tanaman/bahan alam yang sering digunakan sebagai obat-obatan
tradisional secara turun-temurun.

Tabel 4.1 Bahan Alam yang Dijadikan Obat-obatan


No Tanaman/Bahan Alam Fungsi/Kegunaan Cara Penggunaan
1 Daun gapah itek/ Obat luka Digiling, dioleskan
Kopasanda
(Chromolaena odorata)
2 Pohon iboh/ Obat luka Pelepah daunnya
Gebang (Corypha utan) dimemarkan, disaring airnya,
diteteskan
3 Buah mane/ Obat bisul Dikonsumsi
Laban (Vitex pinnata L.)
4 Jeruk purut Obat kudis Diambil airnya, dioleskan
(Citrus hystrix)
5 Daun pepaya Obat eksim Dihaluskan, dicampur kapur
(Carica papaya) sirih, dioleskan
6 Minyak simplah Obat demam Dioleskan
7 Daun melur Obat demam Diremas, dioleskan/ diminum
(Dacrydium spp) airnya
8 Daun kedondong pagar Obat demam Diremas, disaring, diminum
(Lannea nigritana) airnya
9 Daun kapas Obat batuk dan Diremas, disaring, diminum
(Gossypium herbaceum) demam airnya
10 Daun bunga tahi ayam Obat sakit perut Diremas, diambil airnya,
(Lantana camara) dioleskan
11 Getah jarak Obat sakit perut Dicampur gambir, dioleskan
(Ricinus communis)
12 Kunyit (Curcuma longa) Obat luka dalam Dihaluskan, diminum airnya.
13 Mengkudu Obat darah tinggi Dikonsumsi
(Morinda citrifolia)

8
b. Bahan Alam yang Dijadikan Pengawet, Pewarna, dan Perasa Makanan
Tabel 4.2 menyajikan pengetahuan etnokimia masyarakat suku Aceh di Aceh
Timur tentang tanaman/bahan alam yang sering digunakan sebagai pengawet, pewarna,
dan perasa makanan tradisional secara turun-temurun.

Tabel 4.2 Bahan Alam yang Dijadikan Pengawet, Pewarna dan Perasa Makanan
No Tanaman/Bahan Alam Fungsi/Kegunaan Cara Penggunaan
1 Asam sunti Pengawet ikan dan daging Dihancurkan,
dicampurkan.
2 Asap pembakaran kayu Pengawet ikan Pengasapan
3 Abu dapur Pengawet pada keumamah Dibalurkan dan
dijemur
4 Kunyit Pewarna kuning makanan Dihancurkan,
(Curcuma longa) ditambah air,
disaring airnya
5 Daun pandan Pewarna hijau makanan Dihaluskan,
(Pandanus disaring airnya
amaryllifolius)
6 Daun temuru/ Penyedap masakan
daun kari/ daun salam
koja (Murraya koenigii),
Bunga lawang
kling/pekak
(Illicium verum),
Kulit manis
(Cinnamomum verum)

c. Bahan Alam yang Dijadikan Alat dan Bahan Kecantikan serta Pembersih
Tabel 4.3 menyajikan pengetahuan etnokimia masyarakat suku Aceh di Aceh
Timur tentang bahan alam yang sering digunakan sebagai alat dan bahan kecantikan
serta pembersih tradisional secara turun-temurun.

Tabel 4.3 Bahan Alam yang Dijadikan Alat dan Bahan Kecantikan serta Pembersih
No Tanaman/Bahan Alam Fungsi/Kegunaan Cara Penggunaan
1 Arang kayu/batok Pembersih gigi Digosokan
kelapa
2 Beras Pembersih muka Direndam, dihaluskan, dijadikan
masker.
3 Daun inai/ Pewarna kuku Dihancurkan dan ditempelkan
Pacar kuku
(Lawsonia inermis)
4 Jeruk purut Sebagai shampo Diambil airnya, digosokkan
(Citrus hystrix) merata ke rambut

9
d. Teknologi Tepat Guna
Tabel 4.4 menyajikan pengetahuan etnokimia tentang teknologi tepat guna yang
diterapkan secara secara turun-temurun oleh masyarakat suku Aceh di Aceh Timur.

Tabel 4.4 Teknologi Tepat Guna


No Teknologi Tepat Guna Bentuk Teknologi
1 Pengawetan kayu Diolesi atau dicat menggunakan oli bekas/residu
minyak

e. Pengolahan Makanan
Tabel 4.5 menyajikan pengetahuan etnokimia masyarakat suku Aceh di Aceh
Timur tentang pengolahan makanan khas Aceh yang melibatkan proses-proses kimiawi.

Tabel 4.5 Pengolahan Makanan Khas Aceh


No Produk Proses Kimia Proses Pengolahan
1 Pliek U Pembusukan Kelapa diperam beberapa hari, diparut, diperas
minyaknya, dan dijemur sampai kering
2 Asam Sunti Dehidrasi Belimbing wuluh direndam, dijemur, digarami
dan dijemur kembali secara berulang-ulang
sampai kering
3 Keumamah Dehidrasi Ikan tongkol dibersihkan, direbus, ditiriskan,
dipotong-potong, dibalurkan dengan abu
dapur/tepung sagu, dan dijemur sampai keras

4.2 Potensi Etnokimia Suku Aceh untuk Dikembangkan dalam Perkuliahan Kimia
Berdasarkan hasil analisis terhadap daftar inventarisasi etnokimia masyarakat
suku Aceh di Aceh Timur yang telah dikemukakan sebelumnya, potensi etnokimia yang
dapat dikembangkan dalam perkuliahan kimia disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Kajian Etnokimia


No Kajian Etnokimia
1 Analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan obat-obatan
2 Analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan pengawet, pewarna, dan
perasa makanan
3 Analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan alat dan bahan
kecantikan serta pembersih
4 Analisis kajian kimia tentang teknologi tepat guna suku Aceh
5 Analisis proses-proses kimiawi yang terlibat dalam pengolahan makanan khas
Aceh

10
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengetahuan etnokimia suku Aceh di Aceh Timur meliputi: bahan alam yang
dijadikan obat-obatan; bahan alam yang dijadikan pengawet, pewarna, dan
perasa makanan; bahan alam yang dijadikan alat dan bahan kecantikan serta
pembersih; teknologi tepat guna; dan pengolahan makanan
2. Kajian etnokimia yang dapat dikembangkan dalam perkuliahan kimia terdiri
atas: analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan obat-obatan;
analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan pengawet, pewarna, dan
perasa makanan; analisis kajian kimia tentang bahan alam yang dijadikan alat
dan bahan kecantikan serta pembersih; analisis kajian kimia tentang teknologi
tepat guna suku Aceh; dan analisis proses-proses kimiawi yang terlibat dalam
pengolahan makanan khas Aceh.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran
sebagai berikut:
1. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk meneliti secara mendalam
pengetahuan etnokimia suku Aceh yang belum terungkap dalam penelitian ini.
2. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan perkuliahan
kimia berdasarkan potensi kajian etnokimia yang terungkap dalam penelitian ini.
3. Mata kuliah yang dapat dikembangkan berdasarkan temuan hasil penelitian ini
diantaranya: etnokimia, kimia organik bahan alam, kimia pangan, dan kimia
obat-obatan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Fajarini, U. (2014). Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter. Sosio Didaktika
Vol. 1 No. 2, hal. 123-130.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lia, R.M., Udaibah, M., dan Mulyatum. (2016). Pengembangan modul pembelajaran
kimia berorientasi etnosains demgan mengangkat budaya lokal Batik Pekalongan.
Unnes Science Education Journal Vol 5 No. 3, hal. 1418-1423.
Marasinghe, B. (2016). Ethnochemistry and Ethnomedicine of ancient Papua New
Guineans and their use in motivating Secondary School Children and Universities
undergraduates in PNG. Universal Journal of Educational Research Vol. 4 No. 7,
hal. 1724-1726.
Norolayn, K. dan Ador, S. (2017). Ethnochemistry of Maguindanaons on the usage of
household chemicals. Journal of Social Sciences (COES&RJ-JSS) Vol. 6 No. 2.
Nursaadah, et al. (2017). Inventarisasi pengetahuan etnokimia masyarakat Baduy untuk
pembelajaran kimia, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA
2017 (25-32). Serang: FKIP UNTIRTA.
Putra, A.W.S., Hariadi, S.S., dan Harsoyo. (2012). Pengaruh peran penyuluh dan
kerifan lokal tehadap adopsi inovasi padi sawah di Kecamatan Montasik
Kabupaten Aceh Besar. KANAL Vol. 1 No. 1, hal 85-101.
Rahmawati, Y., Ridwan, A., dan Nurbaity. (2017). Should we learn culture in
Chemistry Classroom? Integration ethnochemistry in culturally responsive
teaching, Proceedings in 4th International Conference on Research,
Implementation, and Education Mathematics and Science. AIP Publishing.
Rosa, M. dan Orey., D.C. (2011). Ethnomathematics: the cultural aspects of
mathematics. RevistaLatinoamericana de Etnomatematica Vol. 4 No. 2, hal. 32-
54.
Singh, I.S. (2016). Effect of ethnochemistry practices on secondary school students’
attitude toward chemistry. Journal of Education and Practice Vol. 7 No. 17, hal.
44-56.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.

12

Anda mungkin juga menyukai