Anda di halaman 1dari 19

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN
Chronic Myeloid Leukimia
RUANG SERUNI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA

DISUSUN OLEH :
NAMA : SITI HATIMAH
NIM : P1908136

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS


WIYATA HUSADA SAMARINDA
PROGRAM PROFESI NERS
2019
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK

A. Definisi
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif .Penyakit ini timbul pada tingkat
sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan
BCR-ABL. Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi
dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah
tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit, sampai granulosit. Leukemia mielositik kronik yang paling umum
adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph)
Leukemia mielositik kronik adalah penyakit mielopoliferatif dengan
karakteristik adanya peningkatan proliferasi sel induk hematopoietik mieloid
pada berbagai stadium difensial.

B. Epidemiologi
Angka kejadian kasus Leukemia 20% terjadi pada usia dewasa. Selain itu,
Leukemia Mielositik Kronik merupakan kasus terbanyak ke 2 setelah
Leukemia Limfositik Akut. Di indonesia, Insidensi Leukemia sebanyak
1,5/100.000 penduduk/tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan (2 : 1,2) dan umumnya terjadi pada usia 40-50
tahun.2

C. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Etiologi
- Belum diketahui secara pasti
- Paparan radiasi
2. Faktor Risiko
- Usia lanjut lebih dari 50 tahun
- Paparan zat kimia tertentu (Benzene, Toluene, Xylen)
- Sindrom Down
- Radiasi Dosis Tinggi (tetapi jarang terjadi)

D. Manifestasi Klinis
1. Sakit kepala
2. Sesak nafas
3. Anemia
4. Perdarahan
5. Epitaksis
6. Kurang nafsu makan
7. BB menurun
8. Demam
9. Rentangterjadi infeksi
10.Memar pada bagian tubuh
11.Hepatomegali
12.Nyeri perut
13.Nyeri tulang dan persendian
14.despnea
E. Patogenesis dan Patofisiologi
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan
dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’
kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang
normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-
kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya
translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain,
biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita
yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang
sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B.
Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab
untuk kebanyakan gambaran klinisnya.
Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan
panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat
memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang
berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang
menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK.
Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang
memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal
dengan Ph’-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut
memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada
penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik
polimerase pada darah tepi penderita LMK, khususnya fase akselerasi dan
blas.

F. PATHWAY
Proto-onkogen ABL Gen BCR kromosom 22

Mengalami translokasi

Terbentuk protein BCR-ABL (BM= 210.000 Da)  Philadelphia

Terjadi pelepasan kontrol proliferasi


sel dan menghambat apoptosis sel

Membutuhkan
Proliferasi sel abnormal
banyak ATP

Ganguuan sistem hematopoiesis


Leukositosis Penurunan berat badan
di sumsum tulang
(Anoreksia)
Nyeri Akut

Eritropoiesis Trombopoiesis Organ


extrameduler

Normoblas Trombositosis
meningkat Lien

Fungsi
Fungsi eritrosit Spleenomegali
trombosit
terganggu ( S4)
terganggu

Hb menurun 
Risiko Infeksi Perdarahan : Perut
tanda anemia
Epistaksis membesar 
perut terasa
Pusing, mata penuh dan
berkunang, cepat Risiko cepat kenyang
lelah Ketidakseimb
angan Cairan
Defisit Nutrisi
Intoleransi
Aktivitas
G. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1) Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool
dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional.
Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma
yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik
seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia.
Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik
normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk.
Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi
sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.4,5
2) Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke
fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini
dapat berlangsung selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).4,5
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit
atau mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3) Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada
sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga
dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai
>100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.4,5

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan kromosom.6
1. Pemeriksaan darah tepi Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan
leukositosis (60%) dan kadang-kadang leukopenia (25%).48 Pada
penderita LMA ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit. Pada
penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari 50.000/mm3, 48
sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih dari
50.000/ mm3.
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut
ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang
diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda
(blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang.20 Pada penderita
LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari
40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan
oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.
3. Pemeriksaan kromosom

I. Penatalaksanaan dan Pencegahan


1) Penatalaksanaan Klinis
Penatalaksanaan klinis pada penyakit Leukemia Mielositik Kronik atau
nama lainnya Leukemia Granulositik Kronik terdiri dari 3 fase. Fase-fase
tersebut yaitu fase kronis, fase akselerasi, dan fase krisis blast. Obat-obatan
yang digunakan terdiri dari hydroxyurea, busulfan, imatinib mesylate, dan
interferon alfa. 5
Hydroxyrea (Hydrea) merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi
hematologik pada LGK yang lebih efektif dibanding busulfan, melfalan, dan
klorambusil. Efek mielosupresif bertahan beberapa hari sampai 1 minggu
setelah pengobatan dihentikan. Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan
tunggal/dibagi 2-3dosis. Hentikan penggunaan bila leukosit
<8000/trombosit<100.000. Lakukan pemantauan hb, leukosit, trombosit,
fungsi ginjal, dan fungsi hati selama pemakaian obat. Hydroxyrea ini tidak
menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru seperti efek pada busulfan.
Busulfan (Myleran) merupakan golongan alkil yang sangat kuat. Obat ini
tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Dosis 4-12mg/hari per oral.
Hentikan jika leukosit antara 10.000-20.000/mm3 dan mulai kembali saat
leukosit >50.000. Bila leukosit masih tetap tinggi dapat disertai dengan
alopurinol dan hidrasi yang baik.4,5
Imatinib mesylate merupakan antibodi yang menghambat aktivitas tirosin
kinase. Untuk fase kronik dosis 400mg/hari, dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila setelah 3 bulan pemberian tidak ada respon yang baik tetapi
memburuk. Turunkan dosis jika terjadi netropenia <500/mm3 atau
trombositopenia <50.000/mm3 atau peningkatan SGOT, SGPT, dan bilirubin.
Untuk fase akselerasi atau krisis blas berikan langsung 800mg/hari. Tidak
boleh diberikan pada ibu hamil.4,5
Interferon alfa diberikan dengan dosis 5juta IU/m2/hari, biasanya
diberikan sesudah 12 bulan terapi. Penyuntikannya seminggu sekali secara
subkutan. Sebelumnya diperlukan premedikasi dengan analgetik dan
antipiretik sebelum pemberian interferon untuk mencegah/mengurangi efek
samping interferon berupa flu like syndrome.4,5
Selain obat obatan juga dapat diberikan terapi definitif seperti cangkok
sumsum tulang. Cangkok sumsum tulang ini dapat memperpanjang remisi
hingga lebih dari 9 tahun. Indikasi cangkok sumsum tulang yaitu usia tidak
lebih dari 60 tahun, ada donor yang cocok, dan termasuk golongan resiko
rendah menurut perhitungan sokal.4
LGK merupakan penyakit yang memiliki kompetensi 2, sehingga dokter
umum harus mampu menegakkan diagnosis klinik dan menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan selanjutnya dan juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2) Penalaksanaan Okupasi
Penatalaksanaan okupasi dibagi menjadi 3 yaitu secara teknis,
administratif, dan medis. Secara teknis berikan keadaan lingkungan yang baik
seperti adanya ventilasi untuk sirkulasi O2, mengganti lem yang berbahan
karsinogenik (benzena) dengan bahan lain yang tidak menyebabkan
karsinogenik seperti toluena. Secara administratif pasien dapat diberikan
rekomendasi untuk pindah ke bagian yang tidak terpajan benzena atau
bahan yang bersifat karsinogenik. Secara medis berikan cuti sementara
(Temporary Un Fit), lakukan pemeriksaan berkala minimal 1 tahun sekali dan
melalukan biomonitoring pada pegawai yang terpajan benzena, sediakan
dan buat aturan penggunaan APD secara wajib saat bekerja untuk
mengurangi pajanan, monitoring pegawai yang sudah terpapar benzena,
edukasi rute masuknya bahan kimia, dan ukur berapa kadar benzena di
lingkungan kerja.
3) Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan di lingkungan kerja, yaitu:
- Melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja sebelum bekerja dan
pemeriksaan berkala sesuai hazard dan risiko yang diterima oleh pekerja.
- Memberikan health and safety induction pada seluruh pekerja.
- Edukasi mengenai kebersihan di tempat kerja.
Pajanaan benzena biasanya terjadi di lingkungan kerja sehingga
pencegahan pajanan benzenba dapat dilakukan dengan berbagai upaya
antara lain dengan mengurangi atau mengganti benzena dengan pelarut
lainnya yang lebih aman. Mengurangi pajanan benzena dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD). APD yang yang digunakan untuk
pajanan inhalasi benzena dengan konsentrasi kurang atau sama dengan 10
ppm, 50 ppm, dan 100 ppm tipe masker pelindung pernapasan yang
digunakan berturut-turut adalah half mask respirator with organic vapor
cartridge, full faceplase with organic vapor cartridge, dan full faceplase
powered organic vapor carttridge. Selain masker, APD yang digunakan
adalah sarung tangan. Cara lain untuk meminimalisasi atau menghindari
pajanan uap dari benzena adalah meletakkan bahan tersebut pada ruangan
yang memiliki ventilasi yang cukup besar.
Pemeriksaan berkala pada pekerja yang berkontak langsung dengan
benzena dalam waktu yang lama adalah dilakukan pemeriksaan metabolit
benzena dalam darah secara berkala.

J. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad malam
Quo ad Funtionam : dubia ad malam
Karena harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun
30% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun

K. BHP (Bioetik Humaniora Principle)


1. Beneficence. Dokter mendiagnosis Leukemia mielositik kronik
berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yaitu adanya penurunan berat badan, sering demam ringan,
mudah lelah, sering mimisan, adanya nyeri tulang, perut yang semakin
membesar, lien S4, serta gambaran SADT seperti pasar malam. Selain itu
dokter dapat menentukan bahwa penyakit tersebut merupakan akibat
kerja. Dalam hal ini dokter menerapkan Golden Rule Principle.
2. Nonmaleficence. Dokter mampu mengobati secara proposional dan dapat
mendiagnosis dini sehingga dapet mencegah komplikasi lanjut.
3. Autonomy. Menjelaskan tentang penyakit Leukemia pada pasien dan
keluarga mengenai penyebab, tanda gejala, pengobatan yang akan
diberikan.
4. Justice. Melindungi kelompok yang rentan dengan memberikan edukasi
kepada para karyawan yang mempunya risiko pajanan benzena dan
pemeriksaan kesehatan berkala satu tahun sekali.
ASUHAN KEPERAWATAN

Proses asuhan keperawatan pada klien dengan leukemia di awali dengan


pengkajian, diagnosis, dan intervensi keperawatan.
I. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan leukemia adalah sebagai
berikut:
1. Riwayat pemajanan pada faktor-faktor pencetus, seperti pemajanan pada
dosis besar radiasi, obata-obat tertentu secara kronis dan riwayat infeksi
virus kronis.
2. Pemeriksaan fisik dapat menunjukan manifestasi:
Pembesaran sumsum tulang dengan sel-sel leukemia yang selanjutnya
menekan fungsi sumsum tulang, sehingga menyebabkan beberapa gejala
di bawah ini :
a. Anemia penurunan berat badan, kelelaha, pucat, malaise,
kelemahan, dan, anoreksia.
b. Trombositopenia perdarahan gusi, mudah memar, petekie,
dan ekimosis.
c. Netropenia demam tanpa adanya infeksi , berkeringat malam
hari.
3. Pemerikasaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien dengan leukimia adalah
sebagai berikut:
a. Darah lengkap menunjukan adanya penurunan hemoglobin,
hematokrit, jumlah sel darah merah dan trombosit. Jumlah sel darah
putih meningkat pada leukimia kronis, tetapi juga dapat turun, normal,
atau tinggi pada leukimia akut.
b. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi memberikan data diagnostik definitif.
c. Asam urat serum meningkat karena pelepasan oksipurin setelah keluar
masuknya sel-sel leukimia cepat dan penggunaan obat sitotoksik.
d. Sinar X dada untuk mengetahui luasnya penyakit.
e. Profil kimia, EKG, dan kultur spesiemen untuk menyingkirkan
masalah atau penyakit lain yang timbul.

II. Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan leukemia adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri Akut yang berhubungan dengan infiltrasi leukosit jaringan sistemik.
2. Defisit Nutrisi yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan
muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis.
3. Risiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan
tubuh.
4. Intoleransi aktivitas berhubugan dengan kelemahan akibat anemia.
5. Risiko Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan perdarahan

III. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan NOC (SLKI) NIC (SIKI)

1. Nyeri Akut 1. Tingkat Nyeri 1. Manajemen Nyeri


Definisi : Setelah dilakukan a. Identifikasi lokasi,
Pengalaman sensorik atau intervensi selama 3 karateristik, durasi,
emosional yang berkaitan jam, maka Tingkat frekuensi, kualitas,
dengan kerusakan jaringan Nyeri Menurun, intensitas nyeri
aktual atau fungsonal, dengan kriteria hasil : b. Identifikasi skala nyeri
dengan onset mendadak atau a. Keluhan nyeri (4) c. Identifikasi respons
lambat dan berintensitas b. Meringis (4) nyeri non verbal
ringan hingga berat yang c. Sikap protektif (4) d. Identifikasi faktor yang
berlangsung kurang dari 3 d. Kesulitan tidur (4) memperberat dan
bulan. e. Perasaan depresi memperingan nyeri
(4) e. Berikan teknik
Gejala dan Tanda Mayor : Skala : nonfarmakologis untuk
1. Subjektif : 1 : meningkat mengurangi ras nyeri
a. Mengeluh nyeri 2 : cukup meningkat (mis.kompres hangat /
2. Objektif 3 : sedang dingin )
a. Tampak meringis 4 : cukup menurun f. Ajarkan teknik
b. Bersikap protektif 5 : menurun nonfarmakologis untuk
(mis.waspada, posisi mengurangi rasa nyeri
menghindari nyeri ) g. Kolaborasi pemberian
c. Gelisah analgesik, jika perlu
d. Frekuensi nadi
meningkat 2. Pemberian Analgesik
e. Sulit tidur a. Identifikasi karakteristik
nyeri (mis.pencetus,
Gejala dan Tanda Minor : pereda, kualitas, lokasi,
1. Subjektif intensitas, frekuensi,
Tidak tersedia durasi )
2. Objektif b. Identifikasi riwayat
a. Tekanan darah alergi
meningkat c. Monitor tanda-tanda
b. Pola napas berubah vital sebelum dan
c. Nafsu makan berubah sesudah pemberian
d. Proses berpikit analgesik
terganggu. d. Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
e. Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi.
2. Defisit Nutrisi 1. Status Nutirisi 1. Manajemen Nutrisi
Definisi : Setelah dilakukan a. Identifikasi status
Asupan nutrisi tidak cukup intervensi selama 3 nutrisi
untuk memenuhi kebutuhan jam, Status Nutrisi b. Identifikasi makanan
metabolisme. Membaik, dengan yang disukai
Gejala dan Tanda Mayor : kriteria hasil : c. Monitor asupan
1. Subjektif : a. Berat Badan (4) makanan
(tidak tersedia) b. Indeks Massa d. Monitor berat badan
2. Objektif Tubuh (IMT) (4) e. Berikan makanan tinggi
a. Berat badan menurun c. Frekuensi makan serat untuk mencegah
minimal 10 % di (4) kosntipasi
bawah rentang ideal d. Nafs makan (4) f. Berikan makanan tinggi
e. Bising usus (4) kalori dan protein
Gejala dan Tanda Minor : f. Membran mukosa
1. Subjektif (4) 2. Promosi Berat Badan
a. Cepat kenyang Skala : a. Identifikasi
setelah makan 1 : memburuk kemungkinan
b. Kram/nyeri abdomen 2 : cukup memburuk penyebab BB
c. Nafsu makan 3 : sedang berkurang
menurun 4 : cukup membaik b. Monitor adanya mual
2. Objektif 5 : membaik dan muntah
a. Bising usus hiperaktif c. Monitor jumlah kalori
b. Otot pengunyah yang dikonsumsi
lemah sehari-hari
c. Otot menelan lemah d. Sedikan makanan yang
d. Membran mukosa tepat sesuai kondisi
pucat pasien
e. Sariawan e. Berikan pujian pada
f. Serum albumin turun pasien /keluarga untuk
g. Rambut rontok peningkatan yang
berlebihan dicapai
h. Diare f. Jelaskan makanan yang
bergizi tinggi,namun
tetap terjangkau
g. Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan.
3. Risiko Infeksi 1. Tingkat Infeksi 1. Manajemen Imunisasi /
Definisi : Setelah dilakukan Vaksinasi :
Berisiko mengalami intervensi selama 3 a. Identifikasi riwayat
peningkatan terserang jam ,maka Tingkat kesehatan dan riwayat
organisme patogenik Infeksi Menurun, alergi
dengan kriteria hasil b. Identifikasi status
: imunisasi setiap
a. Demam (5) kunjungan ke
b. Kemerahan (5) pelayanan kesehatan
c. Nyeri (5) c. Jelaskan tujuan,
d. Bengkak (5) manfaat, reaksi yang
e. Vesikel (5) terjadi, jadwal, dan
Skala : efek samping
1 : meningkat d. Informasikan imunisasi
2 : cukup meningkat yang melindungi
3 : sedang terhadap penyakit
4 : cukup menurun namun saat ini tidak
5 : menurun diwajibkan oleh
pemerintah

2. Pencegahan Infeksi :
a. Monitor tanda gejala
infeksi
b. Berikan perawatan
kulit pada area edema
c. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasiendan
lingkungan pasien
d. Jelaskan tanda gejala
infeksi
e. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
f. Ajarkan etika batuk
g. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
h. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
i. Kolaborasi pemberian
imunisasi
4. Intoleransi Aktivitas 1. Toleransi Aktivitas 1. Manajemen Energi
Definisi : Setelah dilakukan a. Identifikasi gangguan
Ketidakcukupanenergi untuk intervensi selama 3 fungsi tubuh yang
melakukan aktivitas sehari- jam, maka Toleransi mengakibatkan
hari. Aktivitas Meningkat, kelelahan
Gejala dan Tanda Mayor : dengan kriteria hasil : b. Monitor kelemahan
1. Subjektif : a. Frekuensi nadi (4) fisik dan fungsional
a. Mengeluh lelah b. Saturasi oksigen c. Monitor pola dan jam
2. Objektif (4) tidur
a. Frekuensi jantung c. Kemudahan dalam d. Monitor lokasi dan
meningkat >20% dari melakukan ketidaknyamanan
kondisi istirahat aktivitas sehari- selama melakukan
hari (4) aktivitas
Gejala dan Tanda Minor : d. Perasaan lemah (4) e. Ajarkan tirah baring
1. Subjektif e. Keluhan lelah (4) f. Anjurkan melakukan
a. Dispnea saat/setelah f. Dipsnea saat aktivitas secara
aktivitas aktivitas (4) bertahap
b. Merasa tidak nyaman g. Dipsnea setelah g. Ajarkan strategi koping
setelah beraktivitas aktivitas (4) untuk mengurangi
c. Merasa lemah Skala : kelelahan
1 : menurun h. Kolaborasi dengan ahli
2. Objektif 2 : cukup menurun gizi tentang cara
a. Tekanan darah 3 : sedang meningkatkan asupan
berubah >20% dari 4 : cukup meningkat makanan.
kondisi istirahat 5 : meningkat 2. Terapi Aktivitas
b. Gambaran EKG a. Identifikasi defisit
menunjukkan aritmia tingkat aktivitas
saat/setelah aktivitas b. Monitor respons
c. Gambaran EKG emosional, fisik, sosial,
menunjukkan iskemia dan spiritual terhadap
d. Sianosis. aktivitas
c. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, bukan
defisit yangdialami
d. Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi dan rentang
aktivitas
e. Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
f. Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari
g. Anjurkan cara
melakukan aktivitas
yang dipilih
h. Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok
atau terapi
i. Kolaborasi dengan
terapis okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas
5. Risiko Ketidakseimbangan 1. Keseimbangan Cairan 1. Manajemen Cairan
Cairan Setelah dilakukan a. Monitor status hidrasi
Definisi : intervensi selama 3 b. Monitor berat badan
Berisiko mengalami jam, maka hairian
penurunan, peningkatan, atau Keseimbangan Cairan c. Monitor sebelum dan
percepatan, perpindahan Meningkat, dengan sesudah dialisis
cairan dari intravaskuler, kriteria hasil : d. Monitor hasil
interstisial atau intraselular. a. Asupan cairan (4) pemeriksaan
b. Haluaran urin (4) laboratorium
Faktor Risiko : c. Kelembaban e. Catat intake-output
1. Prosedur pembedahan membran mukosa dan hitung balanca
mayor (4) cairan 24 jam
2. Trauma/perdarahan d. Asupan makanan f. Berikan asupan cairan
3. Luka bakar (4) g. Berikan cairan
4. Aferesis Skala : intravena, jika perlu
5. Asites 1 : menurun h. Kolaborasi pemberian
2 : cukup menurun diuretik
Kondisi Klinis Terkait 3 : sedang
1. Prosedur pembedahan 4 : cukup meningkat 2. Pemantauan Cairan
mayor 5 : meningkat a. Monitor frekuensi dan
2. Penyakit ginjal dan kekuatan nadi
kelenjar b. Monitor frekuensi
3. Perdarahan napas
4. Luka bakar c. Monitor tekanan
darah
d. Monitor berat badan
e. Monitor jumlah,
warna, dan berat jenis
urine
f. Monitor kadar
albumin dan protein
total
g. Monitor intake dan
output cairan
h. identifikasi tanda-
tanda hipovolemia
i. Identifikasi faktor
risiko
ketidakseimbangan
cairan
j. Atur interval waktu
pementauan sesuai
dengan kondisi pasien
k. Dokuemntasikan hasil
pemantauan
l. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
DAFTAR PUSTAKA

Hoffbrand AV., Pettit JE., Moss PAH. Kapita Selekta: Hematologi. Ed. 4.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

Mansjoer, Arif, dkk. Leukemia Granulositik Kronik. In: Kapita Selekta


Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2008. Hal 662-663.

NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazard

Permono H.B., Sutaryo, Agrasena IDG., et.al. Buku Ajar HematologiOnkologi


Anak. Cetakan keempat. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012

Price S.A., Wilson L.M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed.
6. Jakarta: EGC; 2013.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Intisari patologi. Tanggerang: Binaputra


aksara publishing; 2009. Hal: 235-236.

Simanjorang C., Kodim N., Tehuteru E. Perbedaan Kensintasan 5 Tahun Pasien


Leukemia Lomfoblastik Akut dan Leukemia Mieloblastik Akut pada Anak
di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Indonesian Journal of Cancer. Vol. 7.
No.1. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia., Rumah Sakit
Kanker “Dharmais”: Jakarta; 2013.

Simon S, Neoplasma Sistem Hematopoietik: Leukemia. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta; 2009.

Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Hal 1209 – 1213.

Tanto C., Liwang F., Hanifati S., Pradipta EA, editors. Kapita Selekta
Kedokteran. Ed.IV. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014

Anda mungkin juga menyukai