PENDAHULUAN
Saat ini hampir 1 juta wanita mengalami penyakit radang panggul yang
merupakan infeksi serius pada wanita berusia antara 16-25 tahun. Lebih buruk
lagi, dari 4 wanita yang menderita penyakit ini, 1 wanita akan mengalami
komplikasi seperti nyeri perut kronik, infertilitas (gangguan kesuburan), atau
kehamilan abnormal. Terdapat peningkatan jumlah penyakit ini dalam 2-3
dekade terakhir berkaitan dengan beberapa faktor, termasuk diantaranya
adalah peningkatan jumlah PMS dan penggunaan kontrasepsi seperti spiral.
15% kasus penyakit ini terjadi setelah tindakan operasi seperti biopsi
endometrium, kuret, histeroskopi, dan pemasangan IUD (spiral). 85% kasus
terjadi secara spontan pada wanita usia reproduktif yang seksual aktif
(Moore,2000).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
PID menyerang lebih dari 1 juta wanita di Amerika dalam satu tahun
dan rata-rata menghabiskan biaya 4,2 milyar dollar. Per tahunnya hampir
250.000 wanita masuk rumah sakit akibat PID dan 100.000 orang mengalami
prosedur bedah, sisanya menjalani rawat jalan. Penyakit ini merupakan
penyebab ginekologis tersering bagi pasien untuk masuk departemen
emrgensi (350.000/tahun). Meskipun PID dapat terjadi dalam rentang usia
berapapun, namun wanita dewasa yang aktif secara seksual dan wanita
kurang dari 25 tahun mempunyai resiko lebih besar (Livengood,2010).
2
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor Resiko
2.4 Patofisiologi
PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke
traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang
bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas
seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin
berpengaruh.
Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan
akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang
menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh
penyebaran asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks.
Mukosa serviks menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas,
3
namun efek dari barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan
hormonal yang timbul selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana
servikovaginal dapat timbul akibat terapi antibiotik dan penyakit menular
seksual yang dapat mengganggu keseimbangan flora endogen, menyebabkan
organisme nonpatogen bertumbuh secara berlebihan dan bergerak ke atas.
Pembukaan serviks selama menstruasi dangan aliran menstrual yang
retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden dari mikrooragnisme.
Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden akibat dari
kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama sperma
menuju uterus dan tuba.
Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual
multipel, punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID,
riwayat pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami
tindakan pembedahan. Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari
peningkatan permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih
besar, proteksi antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan
perilaku beresiko. Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier
servikal, sehingga menjadi predisposisi terjadi infeksi.
4
2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat
mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus
menstruasi atau pada saat akhir menstruasi.1 Nyeri abdomen bagian bawah
dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan
konstan. Nyeri diperburuk oleh gerakan, olahraga, atau koitus.1 Nyeri dapat
juga dirasakan seperti tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi
<7 hari.
Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu
>38º, mual, dan muntah.1,2 gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan
per vaginam, nyeri punggung bawah, dan disuria.2 Nyeri organ pelvis
dijumpai pada PID. Adanya nyeri pada pergerakan serviks menandakan
adanya inflamasi peritoneal yang menyebabkan nyeri saat peritoneum
teregang pada pergerakan serviks dan menyebabkan tarikan pada adnexa.
PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan
vagina, nyeri tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
1. Nyeri tekan perut bagian bawah
2. Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri
pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa
yang bilateral.
3. Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah :
1. Suhu oral lebih dari 38º
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari
100.000 pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat,
atau menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.
5
2. Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu
diagnose namun tetap tidak spesifik.
3. Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
4. Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan
untuk mengkonfirmasi PID.
5. Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
saluran kemih.
Pemeriksaan Radiologi
1. USG (Ultrasonografi)
Merupakan pemeriksaan diagnostic pertama yang dilakukan pada
ksuskasus yang dicurigai sebagai PID, dimana tidak ditemukan petunjuk
klinis.
2. TVS (Transvaginal Sonografi)
Menunjukkan visualisasi detail dari uterus dan adnexa, termasuk
ovarium. Pada pemeriksaan fisik, tuba fallopi biasanya terlihat hanya pada
keadaan abnormal dan distensi karena obstruksi postinflamasi.
3. TAS (Transabdominal Sonografi)
Melengkapi pemeriksaan endovaginal karena TAS menyediakan
gambaran isi pelvis yang lebih menyeluruh. Apakah TAS (memerlukan
pengisian blader) atau TVS (tidak memerlukan pengisian blader)
dilakukan lebih dulu, merupakan keputusan dari pelaksananya.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menghasilkan gambaran yang lebih baik dari USG. Dalam
penelitian Tukeva, menyebutkan bahwa hasil MRI lebih akurat untuk
menegakkan diagnosa PID daripada USG. Meski begitu, penelitian ini
hanya terbatas pada beberapa kelompok pasien tertentu.
5. CT (Computed Tomography)
Biasa digunakan dalam initial diagnostic untuk menyelidiki nyeri
nonspesifik pelvis pada wanita, dan PID dapat ditemukan secara tidak
sengaja.
6
2.7 Penatalaksanaan
Terapi PID utamanya ditujukan untuk mencegah kerusakan tuba yang
dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, serta pencegahan
infeksi kronik. Pemilihan antibiotika pada kasus PID tidak hanya ditujukan
pada organisme etiologi utama (N.gonorrhoeae dan C.trachomatis), tetapi
juga harus mengarah pada sifat polimikrobial PID. Untuk pasien dengan PID
ringan atau sedang, terapi antibiotik oral dan parenteral mempunyai
efektivitas yang sama.
Terapi Parenteral
Rekomendasi terapi parenteral A :
1. Sefotetan 2 g intravena setiap 12 jam atau
2. Sefoksitin 2 g intravena setiap 6 jam ditambah
3. Doksisiklin 100 mg oral atau parenteral setiap 12 jam
Rekomendasi terapi parenteral B :
1. Klindamisin 900 mg setiap 8 jam ditambah
2. Gentamisin dosis muatan intravena atau intramuskuler (2 mg/kg berat
badan) diikuti dengan dosis pemeliharaan (1.5 mg/kg berat badan) setiap 8
jam. Dapat diganti dengan dosis tunggal harian.
Terapi parenteral alternatif :
1. Levofloksasin 500 mg intravena 1x sehari dengan atau tanpa metronidazol
500 mg intravena setiap 8 jam atau
2. Ofloksasin 400 mg intravena setiap 12 jam dengan atau tanpa
metronidazol 500 mg intravena setiap 8 jam atau
3. Ampicillin/Sulbaktam 3 g intravena setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100
mg oral atau intravena setiap 12 jam.
Terapi Oral
Terapi oral dapat dipertimbangkan untuk penderita PID ringan atau
sedang karena efektivitasnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang
mendapat terapi oral dan tidak menunjukan perbaikan setelah 72 jam harus
7
dire-evaluasi untuk memastikan diagnosisnya dan diberikan terapi parenteral
baik dengan rawat jalan maupun rawat inap.
Rekomendasi terapi A :
1. Levofloksasin 500 mg oral 1x setiap hari selama 14 hari atau ofloksasin
400 mg 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa
2. Metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari
Rekomendasi terapi B :
1. Ceftriaxone 250 mg intramuskuler dosis tunggal ditambah doksisiklin oral
2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x
sehari selama 14 hari atau
2. Cefoxitine 2 g intramuskuler dosis tunggal dan probenesid ditambah
doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol
500 mg oral 2x sehari selama 14 hari atau
3. Cephalosporine generasi ketiga (misal seftizoksim atau sefotaksim)
ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa
metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari
2.8 Prognosis
8
BAB III
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Moore J, Kennedy S. Causes of chronic pelvic pain. Baillieres Best Pract Res Clin
Obstet Gynecol 2000 Jun;14(3):389-402
Lancet. The IUD And Pelvic Inflammatory Disease. Journal Watch General
Medicine April 17, 1992
10