Anda di halaman 1dari 4

World Health Organization (WHO) mendefinisikan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) sebagai bayi yang terlahir dengan berat kurang dari
2500gram. BBLR masih terus menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang signifikan secara global karena efek jangka pendek maupun
panjangnya terhadap kesehatan (WHO (2014). Pada tahun 2011, 15% bayi
di seluruh dunia (lebih dari 20 juta jiwa), lahir dengan BBLR (UNICEF,
2013). Sebagian besar bayi dengan BBLR dilahirkan dinegara berkembang
termasuk Indonesia, khususnya di daerah yang populasinya rentan (WHO,
2014). BBLR bukan hanya penyebab utama kematian prenatal dan
penyebab kesakitan. Studi terbaru menemukan bahwa BBLR juga
meningkatkan risiko untuk penyakit tidak menular seperti diabetes dan
kardiovaskuler dikemudian hari (WHO, 2014). Begitu seriusnya perhatian
dunia terhadap permasalahan ini hingga World Health Assembly pada
tahun 2012 mengesahkan Comprehensive Implementation Plan on
Maternal, Infant and Young Child Nutrition dengan menargetkan 30%
penurunan BBLR pada tahun 2025 (WHO, 2014).
Di Indonesia sendiri persentase BBLR tahun 2013 mencapai 10,2%
(Balitbangkes and Kemenkes RI, 2013), artinya, satu dari sepuluh bayi di
Indonesia dilahirkan dengan BBLR. Jumlah ini masih belum bisa
menggambarkan kejadian BBLR yang sesungguhnya, mengingat angka
tersebut didapatkan dari dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota
rumah tangga, seperti buku Kesehatan Ibu dan Anak dan Kartu Menuju
Sehat. Sedangkan jumlah bayi yang tidak memiliki catatan berat badan
lahir, jauh lebih banyak. Hal ini berarti emungkinan bayi yang terlahir
dengan BBLR jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, kejadian BBLR di Jawa
Timur sendiri tidak jauh berbeda dengan persentase nasional yaitu berada
pada kisaran 10%. Kabupaten Nganjuk sebagai salah satu kabupaten yang
ada di Jawa Timur perlu mendapatkan perhatian khusus karena jumlah
kematian bayi dan balita pada 2 tahun 2012 di kabupaten ini menempati
peringkat kedua tertinggi di Jawa timur setelah Kabupaten Jember (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013). Lebih serius lagi, 46% kematian
bayi dan neonatus di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2013 disebabkan
oleh BBLR (Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, 2013).
Berat badan lahir dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Wardlaw
(2004) mengemukakan bahwa berat badan lahir tidak lepas dari gaya
hidup (merokok, alkohol, penyalahgunaan obat terlarang), nutrisi, aktivitas
fisik ibu, asupan makanan ibu selama hamil, usia ibu dan penyakit yang
mungkin diderita ibu (hipertensi, diabetes, malaria, HIV atau penyakit
menular seksual). Berbagai penelitian juga mengungkapkan bahwa ibu
dalam kondisi sosial-ekonomi sangat kekurangan lebih sering memiliki bayi
dengan berat lahir rendah. Pada keadaan seperti ini, berat badan bayi lahir
rendah berarti disebabkan oleh ibu yang kekurangan nutrisi dalam jangka
waktu yang lama.
Ratusan hasil penelitian di berbagai negara mengemukakan bahwa
BBLR lebih sering terjadi pada keluarga yang berpendapatan rendah.
Penelitian Dickute et al. (2003) menunjukkan bahwa bayi yang lahir dari
keluarga dengan level sosioekonomi rendah berisiko 2,5 kali lebih besar
dilahirkan dengan BBLR dibandingkan dengan bayi yang lahir dari keluarga
level sosioekonomi menengah. Fakta tersebut membuat kita perlu
mengalihkan perhatian pada kelompok keluarga sangat miskin. Di
Indonesia ada sebuah program yang khusus ditujukan untuk keluarga
sangat miskin (KSM). Program ini di berbagai belahan dunia disebut
dengan bantuan tunai bersyarat atau Conditional Cash Transfer (CCT).
Bantuan tunai bersyarat adalah program yang potensial untuk
mengatasi masalah bayi dengan BBLR. Di berbagai negara, program ini
banyak terbukti memiliki dampak positif bagi kesehatan. Di Brazil, program
bantuan tunai bersyarat bernama Bolsa Familia Programme terbukti dapat
mengurangi tingkat kematian anak usia dibawah lima tahun secara
signifikan (Rasella et al., 2013). DiMexico, sebuah program bantuan tunai
bersyarat bernama Oportunidades dihubungkan dengan kenaikan rata-rata
berat lahir mencapai 127,3gram, dengan insiden BBLR lebih rendah pada
kelompok penerimanya (Barber and Gertler,2010).
Demikian juga India’s Janani Suraksha Yojana, program ini berhasil 3
meningkatkan jumlah ibu yang mau bersalin di pelayanan kesehatan
hingga 39% di India (Lim et al., 2010).
Di Indonesia sendiri bantuan tunai semacam ini dikenal dengan
Program Keluarga Harapan (PKH). Pada tahun 2014, PKH telah
menjangkau hamper seluruh propinsi di Indonesia, dengan dana total
mencapai trilyunan rupiah. Program ini membuat ibu hamil mau tak mau
mengakses pelayanan antenatal minimal empat kali selama satu periode
kehamilan agar bantuan tunai yang ia dapatkan tidak dipotong. Dengan
ketentuan melakukan minimal empat kali pelayanan antenatal selama
periode kehamilan, maka diharapkan ibu mendapatkan banyak informasi
mengenai kehamilan, termasuk di dalamnya informasi mengenai gizi dan
persalinan yang aman. Asumsinya, jika ibu mendapatkan pelayanan
antenatal yang baik selama kehamilan maka ibu dapat melahirkan dengan
selamat dan bayi yang dilahirkan pun akan sehat.
Meski program ini telah berjalan sejak tahun 2007, namun hingga
sekarang informasi mengenai keberhasilan program ini dalam mengatasi
masalah kesehatan ibu dan anak di wilayah pelaksanaan masih belum
banyak diketahui. Padahal sudah banyak penelitian sebelumnya dilakukan
di berbagai negara untuk mengaji dampak bantuan tunai bersyarat
terhadap kesehatan. Penelitian-penelitian tersebut mengevaluasi program
sejenis sesuai dengan tujuan dan mekanisme pelaksanaannya masing-
masing. Namun hingga sejauh ini, pencarian mengenai informasi dampak
PKH di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu
dan bayi masih sulit didapatkan. Oleh karena itu peneliti merasa perlu
melakukan penelitian mengenai efek PKH, dengan tujuan mengevaluasi
dampak program tersebut terhadap berat badan lahir dan mengetahui
melalui alur mana program tersebut berpengaruh terhadap berat badan
lahir.

Anda mungkin juga menyukai