Anda di halaman 1dari 22

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Diabetes mellitus (DM)
a. Defenisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hyperglikemia)
akibat dari kelainan sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya (Smeltzer
& Bare, 2015). Diabetes mellitus merupakan sekelompok penyakit yang
dikarakteristikkan oleh hyperglikemia akibat dari kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua (PERKENI, 2015). Diabetes mellitus
merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengawasan medis dan
edukasi perawatan diri pasien secara kontinyu. Jadi Diabetes mellitus
merupakan sekelompok penyakit sistemik kronis yang berkaitan dengan
gangguan insulin tubuh yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar
glukosa darah (hyperglikemia).
b. Faktor – Faktor Resiko Diabetes mellitus
Faktor-faktor risiko DM tipe 2 meliputi :
1) Riwayat keluarga dengan DM (khususnya orang tua atau saudara
kandung)
Anak dari penderita DM tipe 2 mempunyai peluang menderita
DM tipe 2 sebanyak 15% dan 30% resiko berkembang intoleransi
glukosa (ketidakmampuan memetabolisme karbohidrat secara
normal) (Ariani, 2011).
2) Obesitas (berat badan ≥20 % berat ideal, atau BMI ≥ 27 kg/m2
Obesitas khususnya pada tubuh bagian atas, menyebabkan
berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja di
dalam sel pada otot skeletal dan jaringan lemak. Prosesnya disebut
sebagai resistensi insulin perifer. Obesitas juga merusak kemampuan

6
7

sel beta untuk melepaskan insulin saat terjadi peningkatan glukosa


darah (Soegondo, et, al, 2012).
3) Usia
Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan
dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Pernah teridentifikasi gula darah dan test toleransi
glukosa meningkat.
4) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
5) Aktivitas
Aktivitas fisik berdampak terhadap aksi insulin pada orang
yang beresiko Diabetes mellitus. Suyono (2010) menjelaskan bahwa
kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan
menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe 2.
6) Kadar HDL kolesterol ≤ 35 mg/dL(0,09mmol/L) dan atau kadar
trigliserida ≥ 259 mg/dl(2,8 mmol/L)
7) Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi > 4 kg.
c. Klasifikasi
Menurut ADA (2012), terdapat empat jenis utama Diabetes
mellitus, terdiri dari:
1) DM tipe 1
Terjadi sebanyak 5-10% dari semua DM. Sel beta pankreas yang
menghasilkan insulin dirusak oleh proses autoimmune. Sehingga
pasien memproduksi insulin dalam jumlah yang sedikit atau tidak
ada, dan memerlukan terapi insulin untuk mengontrol kadar glukosa
darah pasien. DM tipe 1 dicirikan dengan onset yang akut dan
biasanya terjadi pada usia < 30 tahun.
2) DM tipe 2
DM tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan DM. Pada DM tipe ini,
individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin
8

(resistensi insulin) dan kegagalan fungsi sel beta yang


mengakibatkan penurunan produksi insulin. Insidensi terjadi lebih
umum pada usia >30 tahun, obesitas, herediter dan faktor
lingkungan.
3) DM tipe lain
Diabetes dapat berkembang dari gangguan dan pengobatan lain.
Kelainan genetik dalam sel beta dapat memicu berkembangnya DM.
Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon
dan epinephrine bersifat antagonis atau melawan kerja insulin.
Kelebihan jumlah hormon-hormon tersebut, dapat menyebabkan
terjadinya DM. Tipe ini Terjadi sebanyak 1-2% dari semua DM.
4) Gestasional diabetes DM yang timbul selama kehamilan akibat
sekresi hormon-hormon plasenta yang mempunyai efek metabolik
terhadap toleransi glukosa. Terjadi pada 2-5 % semua wanita hamil
tetapi hilang saat melahirkan. Resiko terjadi pada wanita dengan
anggota keluarga riwayat DM dan obesitas.
d. Manifestasi klinis
Ariani (2011) menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari pasien
DM tergantung pada derajat hiperglikemia pasien. Manifestasi klasik
dari semua jenis DM adalah 3P yaitu poliuria, polidipsi dan poliphagi.
Poliuria (terjadinya peningkatan jumlah dan frekuensi urine).
Hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
berdampak pada peningkatan jumlah dan frekuensi buang air kecil.
Polidipsia (terjadi peningkatan rasa haus). Hal ini terjadi akibat
kelebihan pengeluaran cairan karena proses diuresis osmotik. Poliphagia
(peningkatan nafsu makan yang diakibatkan dari keadaan katabolisme
yang dipicu oleh kekurangan insulin dan pemecahan lemak dan protein).
Gejala lain pasien DM meliputi kelelahan, penurunan berat badan,
kelemahan perubahan penglihatan yang tiba-tiba, geli atau kebas pada
tangan dan kaki, kulit kering, luka pada kulit atau luka yang lambat
sembuh, dan infeksi yang berulang (PERKENI, 2011).
9

e. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Diabetes mellitus dapat dilakukan dengan melihat
manifestasi berupa: Gejala klasik DM (polyuria, polydipsia, polyfagia,
penurunan berat badan tanpa sebab) dan kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dL (11.1 mmol/L), atau gejala klasik DM dan kadar glukosa
darah puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L), atau gejala klasik DM dan kadar
glukosa darah 2 jam setelah dilakukan test toleransi glukosa oral (setelah
meminum 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air) ≥ 200 mg/dL
(11.1 mmol/L) (PERKENI, 2013).
Pemeriksaan lain untuk memantau rata-rata kadar glukosa darah
adalah glikosilat hemoglobin (HbA1c). Pemeriksaan ini menunjukan
kadar glukosa darah rata-rata selama 120 hari atau 3 hari sebelumnya,
sesuai dengan usia eritrosit. HbA1c digunakan untuk mengkaji kontrol
glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi risiko komplikasi.
Hasil HbA1c tidak berubah karena pengaruh kebiasaan makan sehari
sebelum test. Pemeriksaan HbA1c dilakukan untuk diagnosis dan pada
interval tertentu untuk mengevaluasi penatalaksanaan DM,
direkomendasikan minimal dilakukan 2 kali dalam setahun bagi pasien
DM yang telah mencapai target tetap (kendali glukosa stabil). Pada
pasien yang terapinya diubah atau yang belum mencapai target kendali
glukosa, pemeriksaan HbA1C sebaiknya dilakukan 4 kali setahun
(PERKENI, 2013).
f. Komplikasi
Komplikasi DM terbagi dua berdasarkan lama terjadinya yaitu:
komplikasi akut dan komplikasi kronis (Lemone & Burke, 2016):
1) Komplikasi akut.
Terdapat 3 komplikasi akut utama pada pasien DM berhubungan
dengan ketidak seimbangan singkat kadar glukosa darah, yaitu
berupa hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, dan hiperglikemia
hiperosmolar nonketosis.
10

2) Komplikasi Kronis.
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Komplikasi jangka panjang mempengaruhi hampir semua
sistem tubuh dan menjadi penyebab utama ketidakmampuan pasien.
Katagori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari penyakit
makrovaskuler dan penyakit mikrovaskuler dan neuropati.
a) Komplikasi makrovaskuler.
Komplikasi makrovaskuler diabetes diakibatkan dari perubahan
pembuluh darah yang sedang hingga yang besar. Dinding
pembuluh darah menebal, sklerosis, dan menjadi oklusi oleh
plaqe yang menempel di dinding pembuluh darah. Biasanya
terjadi sumbatan aliran darah. Perubahan aterosclerotic ini
cenderung dan sering terjadi pada pasien usia lebih muda, dan
DM tidak stabil. Jenis komplikasi makrovaskuler yang paling
sering terjadi adalah penyakit arteri koroner, penyakit
cerebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer.
b) Komplikasi Mikrovaskuler.
Perubahan mikrovaskuler pada pasien DM melibatkan kelainan
struktur dalam membran dasar pembuluh darah kecil dan
kapiler. Membran dasar kapiler diliputi oleh sel endotel kapiler.
Kelainan ini menyebabkan membran dasar kapiler menebal,
seringkali mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
Perubahan membran dasar diyakini disebabkan oleh salah satu
atau beberapa proses berikut; adanya peningkatan jumlah
sorbitol (suatu zat yang dibuat sebagai langkah sementara dalam
perubahan glukosa menjadi fruktosa), pembentukan
glukoprotein abnormal, atau masalah pelepasan oksigen dari
haemoglobin. Dua area yang dipengaruhi oleh perubahan ini
adalah retina dan ginjal. Komplikasi mikrovaskuler di retina
11

disebut retinopati diabetic, sedangkan komplikasi mikrovaskuler


di ginjal disebut nefropati diabetik.
c) Neuropati.
Neuropati diabetik menjelaskan sekelompok gejala penyakit
yang mempengaruhi semua jenis saraf, meliputi saraf perifer,
otonom dan spinal. Neuropati merupakan perburukan yang
progresif dari saraf yang diakibatkan oleh kehilangan fungsi
saraf.
g. Penatalaksanaan
Menurut Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes
mellitus di Indonesia tahun 2006 (PERKENI 2011), pilar
penatalaksanaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani
dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
1) Edukasi
DM merupakan penyakit kronik, yang membutuhkan
pengaturan perilaku khusus sepanjang hidup. Berbagai faktor dapat
mempengaruhi pengendalian DM seperti aktivitas fisik, stress emosi
dan fisik sehingga pasien harus belajar untuk menyeimbangkan
berbagai faktor tersebut. Pasien harus belajar tentang keterampilan
merawat diri untuk mencegah fluktuasi akut kadar glukosa darah.
Pasien juga harus bekerjasama untuk perubahan gaya hidup guna
mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang DM (Smeltzer &
Bare, 2015).
Edukasi DM adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien DM guna menunjang
perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang
12

penyakitnya sehingga tercapai kesehatan yang optimal, penyesuaian


keadaan psikologis dan peningkatan kualitas hidup (Soegondo, et. al,
2012).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan
tingkat lanjut. Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan
penyakit DM, perlunya pengendalian DM, penyulit DM dan
resikonya, terapi farmakologis dan nonfarmakologis, interaksi
makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan glukosa darah
mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara
mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi
mengenal dan mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM
selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, rencana untuk
kegiatan khusus dan hasil penelitian terkini dan teknologi mutakhir
(PERKENI, 2013).
2) Perencanaan Makan/Terapi Gizi Medis
Perencanaan makan dan pengendalian berat badan merupakan
dasar bagi penatalaksanaan DM tipe 2. Prinsip pengaturan makan
pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada pasien
DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI,
2015).
Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan
kunci dalam penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan
bagi individu obesitas merupakan faktor utama untuk mencegah
timbulnya penyakit DM. Obesitas akan disertai peningkatan terhadap
insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi yang menyertai DM
tipe 2.
13

3) Latihan jasmani/olahraga
Latihan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan DM
karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan
mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan jasmani akan
menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi
darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Efek ini
sangat bermanfaat pada DM karena dapat menurunkan berat badan,
mengurangi stress dan mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan
jasmani juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan
kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta
trigliserida. Semua manfaat ini sangat penting bagi pasien DM
mengingat adanya peningkatan resiko untuk terkena penyakit
kardiovaskuler (Tarwoto, 2012).
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan denga umur, dan
status kesegaran jasmani (PERKENI, 2013). Informasi yang perlu
disampaikan pada pasien sebelum melakukan olahraga adalah: cek
gula darah sebelum olah raga, cek apakah butuh tambahan glukosa,
hindari dehidarasi, minum 500 cc, diperlukan teman selama berolah
raga, pakai selalu tanda pengenal sebagai diabetisi, selalu bawa
makanan sumber glukosa cepat: permen, jelly, makan snack sebelum
mulai, jangan olah raga jika merasa ‘tak enak badan’ dan gunakan
alas kaki yang baik (Tarwoto, 2012).
4) Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani. Intervensi farmakologis meliputi: OHO (Obat Hipoglikemik
Oral) dan atau insulin. Menurut PERKENI (2015), intervensi
farmakologis tersebut adalah sebagai berikut:
14

a) Obat hipoglikemia oral (OHO) Digolongkan berdasarkan cara


kerjanya: pemicu sekresi insulin/secretagogue (sulfonilurea dan
glinid), penambah sensitifitas terhadap insulin: metformin dan
tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis (metformin) dan
penghambat absorbsi glukosa.
b) Insulin
Insulin terapi harus diberikan pada pasien DM tipe 1.
Insulin terapi dapat diberikan pada pasien DM tipe 2 jika diet,
latihan dan OHO belum mampu mengontrol gula darah, atau
diberikan pada pasien DM tipe 2 fase akut yang disertai dengan
stress dan infeksi seperti pasien DM tipe 2 dengan gangren atau
dengan komplikasi.

2. Kebas Kaki (Neuropati Diabetika)


a. Defenisi
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari
disfungsi saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain
Diabetes Melitus (DM) (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya).
Apabila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh
darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan
saraf yang disebut neuropati diabetik (Tandra, 2017).
Neuropati didefinisikan sebagai adanya gejala disfungsi saraf
perifer pada pasien dengan diabetes setelah dilakukan ekslusi penyebab
lainnya, Peningkatan resiko terjadinya neuropati berbanding lurus
dengan kondisi hiperglikemia dan durasi hiperglikemia. Apabila dalam
jangka waktu yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi
normal, glukosa akan mengakibatkan terjadinya reaksi glikasi yang
merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf
sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik.
Neuropati diabetic mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau
15

menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau


terlambat mengirim, tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Gejala yang muncul bervariasi mulai dari
sensasi kebas, kesemutan hingga nyeri. Prevalensi neuropati pasien DM
tipe 2 pada populasi klinis berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian
pada populasi umum berkisar 13.1% s/d 45.0% (Tapp et al., 2012).
b. Gejala
Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat.
Gejala bisa tidak dijumpai pada beberapa orang. Kesemutan, tingling
atau nyeri pada kaki sering merupakan gejala pertama. Gejala bisa
melibatkan sistem saraf sensoris, motorik atau otonom (Dyck &
Windebank, 2018). Gambaran Neuropati (Wass J et al, 2013) dipaparkan
sebagai berikut:
1) Onset biasanya pelan dengan rasa tebal atau kesemutan. Sering
ditemukan saat screening
2) Dimulai dari ujung jari kaki, kemudian menyebar ke proksimal
secara simetris
3) Sensasi rasa sensoris menurun yang mengakibatkan penurunan
sensasi getar, sentuhan halus dan sensasi suhu.
4) Penurunan sensasi vibrasi dan reflex lutut negative
5) Nyeri pada neuropati bisa mengakibatkan kunjungan ke dokter
meningkat. Nyeri bisa tajam (Sharp), stabbing dan burning.
c. Klassifikasi
National Diabetes Information Clearinghouse tahun 2013
mengelompokkan neuropati diabetik berdasar letak serabut saraf yang
terkena lesi menjadi:
1) Neuropati Perifer
Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan
tungkai. Biasanya terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai
dibandingkan pada tangan dan lengan. Gejala neuropati perifer
meliputi:
16

a) Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu


b) Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk
c) Nyeri yang tajam atau kram
d) Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan
e) Kehilangan keseimbangan serta koordinasi
Gejala-gejala tersebut sering bertambah parah pada malam
hari. Neuropati perifer dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks, terutama pada pergelangan kaki. Hal itu
mengakibatkan perubahan cara berjalan dan perubahan bentuk kaki,
seperti hammertoes. Akibat adanya penekanan atau luka pada daerah
yang mengalami mati rasa, sering timbul ulkus pada kaki penderita
neuropati diabetik perifer. Jika tidak ditangani secara tepat, maka
dapat terjadi infeksi yang menyebar hingga ke tulang sehingga harus
diamputasi.
2) Neuropati Autonom
Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang
mengendalikan fungsi jantung, mengatur tekanan darah dan kadar
gula darah. Selain itu, neuropati autonom juga terjadi pada organ
dalam lain sehingga menyebabkan masalah pencernaan, fungsi
pernapasan, berkemih, respon seksual, dan penglihatan.
3) Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha,
pinggul, pantat dan dapat menimbulkan kelemahan pada tungkai.
4) Neuropati Fokal
Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak
pada satu atau sekelompok saraf, sehingga akan terjadi kelemahan
pada otot atau dapat pula menyebabkan rasa nyeri. Saraf manapun
pada bagian tubuh dapat terkena, contohnya pada mata, otot-otot
wajah, telinga, panggul dan pinggang bawah, paha, tungkai, dan
kaki.
17

Subekti (2009) mengelompokkan neuropati diabetik menurut


perjalanan penyakitnya menjadi:
1) Neuropati Fungsional
Neuropati ini ditandai dengan gejala yang merupakan
manifestasi perubahan kimiawi. Pada fase ini belum ditemukan
kelainan patologik sehingga masih bersifat reversible.
2) Neuropati Struktural/ Klinis
Pada fase ini gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut
saraf dan masih ada komponen yang reversible.
3) Kematian Neuron/ Tingkat Lanjut
Kematian neuron akan menyebabkan penurunan kepadatan
serabut saraf. Kerusakan serabut saraf biasanya dimulai dari bagian
distal menuju ke proksimal, sebaliknya pada proses perbaikan
dimulai dari bagian proksimal ke distal. Sehingga lesi paling banyak
ditemukan pada bagian distal, seperti pada polineuropati simetris
distal. Pada fase ini sudah bersifat irreversibel.
d. Penatalaksanaan
Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan
progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah
secara baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c,
tekanan darah, dan lipids dengan terapi farmakologis dan perubahan pola
hidup. Komponen manajemen diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien
harus diajar untuk memeriksa kaki mereka secara teratur (Sjahrir, 2006).
e. Diagnosis
1) Konsensus San Antonio
Penegakan neuropati diabetik dapat ditegakkan berdasarkan
konsensus San Antonio. Pada konsensus tersebut telah
direkomendasikan bahwa paling sedikit 1 dari 5 kriteria dibawah ini
dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis neuropati diabetika,
yakni:
18

a) Symptom scoring;
b) Physical examination scoring;
c) Quantitative Sensory Testing (QST)
d) Cardiovascular Autonomic Function Testing (cAFT)
e) Electro-diagnostic Studies (EDS).
Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination
scoring telah terbukti memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi.
Instrumen yang digunakan adalah Diabetic Neuropathy Symptom
(DNS) dan skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE).
2) Diabetic Neuropathy Examination (DNE)
Alat ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas
sebesar 51%. Skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah
sebuah sistem skor untuk mendiagnosa polineuropati distal pada
diabetes melitus. DNE adalah sistem skor yang sensitif dan telah
divalidasi dengan baik dan dapat dilakukan secara cepat dan mudah
di praktek klinik. Skor DNE terdiri dari 8 item, yaitu: A) Kekuatan
otot: (1) quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut); (2) tibialis anterior
(dorsofleksi kaki). B) Relfeks: (3) trisep surae/ tendo achiles. C)
Sensibilitas jari telunjuk: (4) sensitivitas terhadap tusukan jarum. D)
Sensibilitas ibujari kaki: (5) sensitivitas terhadap tusukan jarum; (6)
sensitivitas terhadap sentuhan; (7) persepsi getar ; dan (8) sensitivitas
terhadap posisi sendi.
Skor 0 adalah normal; skor 1: defisit ringan atau sedang
(kekuatan otot 3-4, refleks dan sensitivitas menurun); skor 2: defisit
berat (kekuatan otot 0-2, refleks dari sensitivitas negatif/ tidak ada).
Nilai maksimal dari 4 macam pemeriksaan tersebut diatas adalah 16.
Sedangkan kriteria diagnostik untuk neuropati bila nilai > 3 dari 16
nilai tersebut.
3) Skor Diabetic Neuropathy Symptoms (DNS)
Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 poin
yang bernilai untuk skor gejala dengan prediksi nilai yang tinggi
19

untuk menyaring polineuropati pada diabetes. Gejala jalan tidak


stabil, nyeri neuropatik, parastesi atau rasa tebal. Satu gejala dinilai
skor 1, maksimum skor 4. Skor 1 atau lebih diterjemahkan sebagai
positif polineuropati diabetik.
4) Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis
untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah
obyektif, tak tergantung input penderita dan tak ada bias. EMG dapat
memberi informasi kuantitatif funsi saraf yang dapat dipercaya.
EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot kaki sebagai
tanda dini neuropati diabetik. EMG ini dapat menunjukkan kelaianan
dini pada neuropati diabetik yang asimptomatik.
5) Visual Analoque Scale (VAS)
Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan
derajat nyeri , salah satunya adalah Visual Analoque Scale (VAS).
Cara pemeriksaan VAS adalah penderita diminta untuk
memproyeksikan rasa nyeri yang dirasakan dengan cara memberikan
tanda berupa titik pada garis lurus Visual Analoque Scale antara 0-10
sehingga penderita dapat mengetahui intensitas nyeri. VAS dapat
diukur secara kategorikal, nyeri ringan dinilai dengan VAS: 0-
<4,sedang nilai VAS: >4-7, berat dengan nilai VAS >7-10.

3. Sendal Refleksi
a. Pengertian Sendal Refleksi
Sensitivitas sentuh kaki adalah reseptor sensori yang peka
terhadap sentuhan, suhu, tekanan dan nyeri yang tersebar luas di dermis
(Ross & Wilson, 2011). Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi
dalam beberapa bentuk yaitu salah satunya jika mengenai kaki akan
dapat menimbulkan neuropati diabetikum yang dapat menyebabkan mati
rasa sampai terjadi ulkus pada kaki. Neuropati akan menghambat signal,
rangsangan atau terputusnya komunikasi dalam tubuh yang
20

menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan untuk


merasakan (Maulana, 2011).
Sendal merupakan alas kaki yang melindungi Anda dari benda-
benda tajam atau kotoran. Sendal dibutuhkan oleh setiap orang, dari
kalangan atas hingga kalangan bawah, usia anak-anak hingga usia tua,
laki-laki maupun perempuan memakai sendal. Sendal juga diposisikan
dari segi fungsi seperti sendal santai, sendal resmi, sendal sehat, dan
yang lainnya sesuai segmentasi produk. Sendal sehat merupakan sendal
yang berfungsi menyehatkan baik untuk fisik maupun psikis. Sendal
sehat yang beredar di pasaran kebanyakan terbuat dari bahan plastik
dengan model polos dan tidak praktis (Rizqi, dkk, 2013).
Sendal refleksi merupakan sendal yang berfungsi untuk
melakukan pijat refleksi secara sederhana pada bagian telapak kaki. Pijat
refleksi adalah suatu teknik memijat yang telah ada sejak 5000 tahun
lalu. Menurut literatur, orang-orang Cina dan Mesir Kuno telah
mempraktikannnya pada masa itu. Sampai sekarang pijat refleksi telah
dibuktikan secara klinis bahwa bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada
praktiknya pijat refleksi merupakan teknik penyembuhan atau
penanganan berbagai masalah kesehatan, seperti pegal-pegal, kecapaian
atau keseleo. Pemijatan dilakukan dengan cara memijat titik-titik refleksi
dibagian tertentu. Titik-titik refleksi adalah berbagai titik saraf yang
berhubungan langsung dengan sejumlah organ penting tubuh (Sudjayana
2012).
b. Manfaat Sendal Refleksi
Berikut manfaat sendal refleksi bagi kesehatan (Wiarto, 2017):
1) Melancarkan peredaran darah
Sendal refleksi yang dirancang dengan tonjolan-tonjolan
kecil. Seringkali pengguna sendal refleksi merasa sakit atau tidak
nyaman karena tonjolan-tonjolan tersebut terutama bagi yang baru
menggunakannya. Tonjolan-tonjolan kecil tersebut berdampak
positif bagi kesehatan. Peredaran darah Anda akan lancar karena
21

tonjolan-tonjolan kecil pada sendal refleksi dapat menghilangkan


sumbatan pada pembuluh darah. Tidak hanya pembuluh darah di
kaki yang akan lancar tetapi juga memengaruhi pembuluh darah di
area tubuh lainnya. Sistem peredaran darah yang lancar merupakan
kunci kesehatan jantung dan pembuluh darah. Anda pun akan
terhindar dari penyakit kardiovaskular.
2) Menyehatkan otot dan persendian
Pastinya, manusia perlu bergerak melakukan banyak hal dan
aktivitas, sehingga mendukung produktivitas. Otot dan sendi adalah
dua hal yang penting bagi sistem gerak tubuh. Jika otot dan sendi
bermasalah, maka seseorang yang mengalami diabetes akan
mengalami masalah dalam bergerak dan bisa mengurangi tingkat
produktivitas harian. Salah satu cara menjaga kesehatan otot dan
sendi adalah dengan menggunakan sendal refleksi. Manfaat sendal
refleksi terhadap otot dan persendian sudah dirasakan oleh banyak
pengguna sendal refleksi.
3) Meningkatkan kekebalan tubuh
Selalu menjaga kesehatan tubuh agar tidak mudah jatuh sakit
adalah hal yang sangat penting. Terlebih lagi, semakin banyak jenis
penyakit yang membuat orang-orang jatuh sakit. Namun, jika sistem
kekebalan tubuh baik, maka tidak akan mudah jatuh sakit. Cara
menjaga sistem kekebalan tubuh tidak hanya dengan mengonsumsi
suplemen atau multivitamin melainkan juga bisa dengan
menggunakan sendal refleksi. Penggunaan sendal refleksi secara
rutin akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Sel-sel imun di
dalam tubuh akan lebih kuat dan mampu mengalahkan faktor-faktor
yang membuat tubuh sakit, seperti virus, bakteri, jamur, dan lainnya.
4) Mengobati rematik
Tidak sedikit orang yang telah terkena rematik. Penyakit
rematik adalah penyakit yang muncul karena adanya peradangan
pada otot dan persendian. Pada umumnya, rematik dialami oleh
22

orang-orang yang sudah tua. Akan tetapi, rematik juga mungkin


terjadi pada orang yang masih muda atau paruh baya. Orang yang
sedang mengalami rematik tentunya merasakan rasa nyeri mulai dari
tingkat ringan hingga berat
5) Mencegah nyeri kaki
Tidak jarang orang mengalami nyeri kaki dikarenakan berbagai
hal. Jika sering menggunakan high heels, maka kaki cenderung untuk
sering nyeri. Hal tersebut juga kerap kali dialami pada orang dengan
tingkat aktivitas fisik yang tinggi seperti atlit. Jangan membiarkan
kaki terus merasa nyeri. Tidak menutup kemungkinan nyeri kaki bisa
berkembang menjadi masalah kesehatan baru yang lebih sulit untuk
diatasi. Apabila tidak ingin mengalaminya, maka gunakan sendal
refleksi karena manfaat sendal refleksi bisa mencegah nyeri kaki.
6) Mengurangi tingkat stres dan depresi
Efek tekanan pada sendal refleksi bisa merangsang sistem
kelenjar endokrin untuk melepaskan hormon oksitosin. Hormon
oksitosin yang sering kali dikenal dengan ‘hormon bahagia’
merupakan hormon yang bisa mengatasi rasa stres dan depresi
7) Meningkatkan kesehatan organ-organ tubuh
Bagian anggota atau organ tubuh sebelah kiri tersambung
dengan titik saraf yang ada telapak kaki kanan. Sebaliknya, di
telapak kaki kiri terdapat titik saraf organ atau anggota sebelah
kanan. Organ atau anggota tubuh yang hanya berjumlah satu seperti
hidung, mulut, leher, pankreas, usus, jantung, dan lainnya ada di
kedua telapak kaki. Manfaat sendal refleksi bisa meningkatkan
kesehatan organ atau anggota tubuh melalui efek tekanan pada
tonjolan. Apabila organ tubuh sehat, maka sistem organ tubuh pun
menjadi sehat.
c. Refleksi pada Pasien Diabetes
Penyakit diabetes bisa diobati dengan melakukan terapi pemijatan
pada titik refleksi diabetes yang akan saya share disini, titik-titik refleksi
23

yang saya sediakan terfokus pada sistem pencernaan dan pankreas


sebagai penghasil insulin. Titik refleksi berada pada telapak kaki kanan
dan kiri serta pada kedua telapak tangan. Berikut ini gambar titik-
titiknya yang sudah saya tandai dengan warna merah.

Keterangan gambar:

 Nomor 1 adalah titik refleksi kelenjar tiroid


 Nomor 2 merupakan titik refleksi serabut syaraf lambung
 Nomor 3 titik refleksi lambung
 Nomor 4 adalah titik refleksi kandung empedu
 Nomor 5 adalah titik refleksi organ pankreas
 Nomor 6 merupakan titik refleksi usus 12 jari (Duodenum)
 Nomor 7, 8 dan 9 merupakan titik refleksi ginjal, saluran kencing dan
kandung kemih
 Nomor 10 merupakan titik refleksi ginjal di telapak tangan kanan dan kiri
 Nomor 11 titik refleksi lambung di kedua telapak tangan
 Nomor 12 adalah titik refleksi lambungdan usus di telapak tangan
24
24

C. Penelitian Terkait
Tabel 2.1
Penelitian Terkait

Nama Peneliti
Perbedaan Dan
dan Tahun Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan
eksperimen semu dengan desain pre
test- post test design. Respondennya 64
Setelah dilakukan analisis diperoleh
pasien diabetes melitus tipe 2 yang
hasil terapi pijat refleksi kaki
dirawat jalan di RS PKU
berpengaruh signifikan dalam
Muhammadiyah Gombong pada bulan Persamaan: peneliti
meningkatkan ankle brachial index
Mei 2014, terdiri dari 32 responden menggunakan uji
(ABI) pada pasien diabetes melitus
kontrol dan 32 responden intervensi. eksperimen semu dengan
tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah
Pengaruh terapi Teknik pengumpulan datanya desain pre test- post test
Gombong, terbukti dari: (a) terjadi
Podo Yuwono, pijat refleksi kaki menggunakan pengukuran dan design.
peningkatan ABI yang signifikan
Azizah terhadap ankle dokumentasi dengan bantuan instrument
pada kelompok intervensi; (b)
Khoiriyati , Brachial index doppler Ultrasound 8MHz dan Perbedaan: Uji
tidak terjadi peningkatan ABI yang
Novita Kurnia (abi) pada pasien Sphygnomano meter, lembar eksperimen peneliti
signifikan pada kelompok kontrol;
Sari (2015) diabetes melitus dokumentasi karakteristik responden, menggunakan one grup re
(c) sesudah penelitian ABI kelompok
tipe 2 lembar pengukuran ABI, panduan post test sedangkan pada
intervensi secara signifikan lebih
pemeriksaan ABI, dan panduan pijat penelitian ini
tinggi dibandingkan ABI kelompok
refleksi kaki. Teknik analisis datanya menggunakan responden
kontrol; (d) peningkatan ABI
menggunakan Paired t Test dan t Test, kontrol dan eksperimen
kelompok intervensi secara
yang sebelumnya telah dilakukan uji
signifikan lebih tinggi dibandingkan
prasyarat analisis meliputi uji
peningkatan ABI kelompok kontrol
normalitas, homogenitas, dan
kesetaraan.
25

Nama Peneliti
Perbedaan Dan
dan Tahun Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Hasil penelitian ini menujukkan Persamaan: peneliti
Desain penelitian adalah Quasi adanya peningkatan sensitivitas menggunakan uji
Perbedaan
experimental dengan cara melibatkan tangan dan kaki yang signifikan eksperimen semu dengan
sensitivitas
kolompok kontrol dan kelompok pada kelompok eksperimen desain pre test- post test
tangan dan kaki
eksperimen.Sampel dalam penelitian ini setelah diberikan perlakuan design.
Resi Lisanawati, sebelum dan
adalah 30 penderita diabetes melitus di
Yesi Hasneli, sesudah dengan hasil uji statistik p<0,05.
poli penyakit dalam RSUD Arifin Perbedaan: Uji
Oswati Hasanah Dilakukan terapi Hasil penelitian ini dapat
Achmad yang telah memenuhi kriteria eksperimen peneliti
(2015) pijat refleksi pada disimpulkan bahwa melakukan
inklusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan one grup re
penderita terapi pijat refleksi efektif dapat
yang digunakan yaitu teknik purposive post test sedangkan pada
Diabetes melitus meningkatkan sensitivitas tangan
sampling dan menetapkan 15 responden penelitian ini
tipe II dan kaki pada pasien diabetes
pada masing-masing kelompok. menggunakan responden
melitus tipe II. kontrol dan eksperimen
Hasil penelitian menunjukkan Persamaan: peneliti
perbedaan yang signifikan dalam menggunakan uji
Penelitian ini menggunakan quasi- kadar glukosa darah antara kelompok eksperimen semu dengan
experimental design dengan pendekatan intervensi dan kelompok kontrol (t = desain pre test- post test
Pengaruh
pre-post test design pada 32 responden. 4,22; p = 0,001). Akupresur design.
Jumari, Agung akupresur
Mereka dibagi menjadi kelompok merupakan intervensi yang efektif
Waluyo, Wati terhadap kadar
intervensi (n = 16) dan kelompok untuk menurunkan kadar glukosa Perbedaan: Uji
Jumaiyah, Dhea glukosa darah
kontrol (n = 16). Pengujian perbedaan darah pada pasien diabetes melitus eksperimen peneliti
Natashia (2019) Pasien diabetes
rata-rata kadar glukosa darah pada tipe 2. Akupresur dapat menggunakan one grup re
melitus tipe 2
kelompok intervensi dan kontrol direkomendasikan sebagai salah satu post test sedangkan pada
menggunakan uji paired t test. terapi komplementer mandiri dalam penelitian ini
pelayanan asuhan keperawatan pada menggunakan responden
pasien diabetes melitus tipe 2. kontrol dan eksperimen
26

D. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep adalah suatu kerangka berfikir yang utuh yang ingin
dibuktikan atau dicari jawabannya untuk menyusun konsep dan penelitian,
titik tolak yang dipakai adalah masalah penelitian, yang dirumuskan dikaitkan
dengan tujuan penelitian (Hasmi, 2016). Kerangka dari penelitian ini adalah:

Skema 2.1
Kerangka Konsep

Input Proses Output

Kebas kaki sebelum Pemakaian Sendal Kebas kaki sesudah


intervensi Refleksi intervensi

E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan
penelitian. Hipotesis menggambarkan hubungan antara dua atau lebih
variabel. Hipotesis yang baik disusun secara sederhana, jelas, dan
menggambarkan definisi variabel secara konkret. Rumusan hipotesis nol (H0)
dan hipotesis alternative ( Ha) dalam penelitian ini sebagai berikut:
Ha: Ada pengaruh pemakaian sendal refleksi terhadap keluhan kebas kaki
pada pasien DM di Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru
H0: Tidak ada pengaruh pemakaian sendal refleksi terhadap keluhan kebas
kaki pada pasien DM di Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai