Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FERMENTASI
PEMBUATAN SAUERKRAUT

Dosen Pengampu :
Ir. Surhaini, M.P.

Asisten Dosen :
1. Nathaniel Arles Daeli (J1A116001)
2. Steven Wellynton Sitorus (J1A116039)

Oleh: Kelompok 1
1. Windarti (J1A117018)
2. Nina Krisnawati (J1A117019)
3. Tri Ningsih (J1A117024)
4. Rizky Kurniawan (J1A117087)
5. Ari Hardiyanto (J1A117094)

Kelas : THP R-001


Shift/Kelompok : II / 1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sayur dan buah merupakan salah satu bahan makanan yang sangat penting.
Di dalam sayur dan buah terkandung berbagai macam nutrisi yang diperlukan bagi
tubuh seperti vitamin, mineral, dan air. Sayur dan buah memilki karakterestik
mudah rusak sehingga hanya dapat bertahan beberapa waktu hingga mengalami
kerusakan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan adanya
organisme yang melakukan aktivitas biologi di dalam sayuran tersebut. Fermentasi
adalah salah satu metode pengawetan bahan pangan yang sangat kuno dan dapat
mempertahankan nilai gizi bahan pangan. Produk fermentasi sayuran yang terkenal
saat ini yaitu seperti kimchi (Korea), sauerkraut (Jerman), pikel, acar dan sayur asin.
Sayuran kol banyak ditanam di Indonesia dan jumlah produksinya
melimpah. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (2013) produksi kol di
Aceh mencapai 50,59 ton. Rata-rata konsumsi sayuran di masyarakat Aceh hanya
22,48 ton sehingga jumlah produksi tidak termanfaatkan secara optimal dan sering
menjadi limbah pasar. Sayuran kol yang tidak habis terjual di pasar-pasar
tradisional maka akan dibuang, oleh karena itu dibutuhkan penanganan lanjutan
terhadap pasca panen kol, salah satunya dengan cara mengolah sayuran kol menjadi
sauerkraut (asinan kol).
Kol segar yang difermentasi menjadi sauerkraut menggunakan garam
dengan konsentrasi tertentu, sehingga tidak perlu ditambahkan mikroorganisme lain
sebagai starter (inoculum) atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada pada kol
Konsentrasi garam yang diberikan akan mempengaruhi kualitas sauerkraut.
Sehingga praktikum ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam yang tepat
untuk mendapatkan mutu sauerkraut terbaik. Dimana dengan adanya proses
fermentasi ini kubis menjadi sauerkraut ini sayur kubis bisa dikonsumsi dalam
jangka waktu tertentu karena lebih awet.

1.2 Tujuan
Praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi garam terhadap mutu organoleptik sauerkraut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fermentasi
Fermentasi adalah salah satu metode pengawetan bahan pangan yang sangat
kuno dan dapat mempertahankan nilai gizi bahan pangan. Fermentasi adalah suatu
reaksi oksidasi reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi
menggunakan senyawa organik sebagai donor dan akseptor elektron (Rachman,
1989), sedangkan menurut Fardiaz (1989), fermentasi adalah salah satu bagian dari
bioteknologi yang menggunakan mikroorganisme sebagai pemeran utama dalam
suatu proses.
Fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sumber
mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi, yaitu fermentasi spontan dan
tidak spontan. Fermentai spontan adalah fermentasi makanan dimana dalam
pembuatannya tidak ditambahkan mikroorganisme dalam bentuk kultur starter,
mikroorganisme tersebut akan berkembang dan aktif mengubah makanan yang
difermentasikan menjadi produk yang diinginkan. Pada fermentasi spontan
biasanya jumlah dan jenis mikrobia yang ikut aktif beraneka ragam.banyaknya
ragam mikrobia tersebut menyebabkan mutu hasil akhir berbeda-beda dan tidak
seragam, mutu hasil yang diperoleh tidak menentu (Winarno dan Fardiaz, 1980).

2.2 Sauerkraut
Sauerkraut (kubis asam) adalah makanan Jerman dari kubis yang diiris halus
dan difermentasi oleh berbagai bakteri asam laktat, seperti Leuconostoc,
Lactobacillus dan Pediococcus. Sauerkraut dapat bertahan lama dan memiliki rasa
yang cukup asam, hal ini terjadi disebabkan oleh bakteri asam laktat yang terbentuk
saat gula di dalam sayuran berfermentasi. Sauerkraut atau kubis asam merupakan
produk fermentasi bakteri asam laktat yang berasal dari rajangan tipis kubis putih
dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar 2-5 mm. Kubis mengandung senyawa kimia
tertentu yang belum dikenal yang dapat membunuh mikroorganisme yang tidak
diinginkan (Pederson, 1971).
Sauerkraut merupakan kubis yang difermentasi secara alami. Saat garam
ditambahkan pada irisan kubis, menyebabkan cairan sari kubis keluar dari irisan
kubis. Sari ini mengandung gula hasil fermentasi. Mikroorganisme yang secara
alami tumbuh pada daun kubis pada kondisi anaerob akan menggunakan gula ini
untuk menghasilkan asam laktat. Dimana asam laktat tersebut akan mengawetkan
kubis. Sangatlah penting untuk menentukan konsentrasi garam yang ditambahkan
agar fermentasi dapat berlangsung dengan baik (Dinstel, 2008). Sauerkraut yang
baik memiliki ketentuan sebagai berikut: (1) mengandung 7.5% asam dengan pH
maksimum 4.1, (2) harus mampu menampung sekitar 10% larutan garam dari berat
total sauerkraut, (3) memiliki kadar garam 0.7-3.0% (Jerman) atau 1.3-5.0%
(Amerika Serikat) (Djundjung dan Rahman, 1992).
Dalam pembuatan Sauerkraut, kubis diiris tipis-tipis dan dibiarkan terjadi
fermentasi alamiah dengan adanya garam 2 sampai 2,5%. Seperti pada fermentasi
sayuran alamiah lainya dengan adanya garam. Garam disini akan menghambat
organisme pembusuk dan memungkinkan pertumbuhan berikutnya dari penghasil-
penghasil asam utama seperti Leuconostoc mesenteroides, Pediococus cerevisae,
Lacobacillus brevis, dan Lactobacillus Plantarum. Keluarnya karbondioksida yang
cepat selama tahap permulaan dari fermentasi memberikan kondisi anaerobik untuk
organisme-organisme yang diinginkan. Kadar asam antara 1,5 - 1,7% sudah cukup
dilihat dari segi organoleptik, tetapi pasteurisasi dengan pemanasan dibutuhkan
untuk stabilitas terhadap mikrooganisme selama penyumpanan (misalnya dalam
kaleng atau botol tertutup) (Buckle et al, 1985).

2.3 Analsisi Bahan


2.3.1 Kubis (kol)
Kubis merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae berupa tumbuhan
berbatang lunak yang dikenal sejak jaman purbakala (2500-2000 SM) dan
merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan masyarakat Yunani Kuno. Kubis
mulanya merupakan tanaman pengganggu (gulma) yang tumbuh liar disepanjang
pantai laut Tengah, di karang-karang pantai Inggris, Denmark dan pantai Barat
Prancis sebelah Utara. Kubis mulai ditanam di kebun-kebun Eropa kira-kira abad
ke 9 dan dibawa ke Amerika oleh emigran Eropa serta ke Indonesia abad ke 16 atau
17. Pada awalnya kubis ditanam untuk diambil bijinya (Cahyono, , 1995).
Kubis termasuk tanaman biannual (2 tahunan), dalam pertumbuhan tahun
pertama dihasilkan daun-daun yang di bagian pucuk tanaman akan tumbuh merapat,
membulat, dan kompak, yang disebut “kubis telur” (krop). Pada tahun kedua, kubis
telur akan mekar dan tumbuh bunga. Kubis biasanya dibudidayakan sebagai
tanaman sayuran, daunnya bulat, oval hingga lonjong. Malai bunganya bertangkai
panjang, mahkota tegak, warna kuning (Soemarno, 1991). Kubis dimanfaatkan
bagian daunnya dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Di masyarakat kubis lebih
dikenal dengan sebutan kol. Kol atau kubis sering dikonsumsi sebagai lalapan,
asinan, gado-gado, dan capcay (Mulyono, 2007).

2.3.2 Garam
Garam adalah bahan pangan yang sangat pentign dalam pengawetan
makanan, terutama ikan, telur, daging serta bahan pangan lainnya. Garam sudah
digunakan dahulu kala dalam pengawetan makanan. Penggunaannya kini telah luas
di berbagai bahan pangan. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada
mirkroorganisme pencemar tertentu. Garam bertindak sebagai pengawet karena
garam akan menarik air dari bahan sehingga mikroorganisme pembusuk tidak dapat
berkembang biak karena menurunnya aktivitas air. Mikroorganisme pembusuk atau
proteolitik dan juga pembentuk spora, akan mudah terhambat pertumbuhannya,
walaupun dengan kadar garam yang rendah sekalipun (yaitu lebih kurang 60%).
Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium botulinum dapat dihambat oleh
konsentrasi garam 10-12%. Tetapi banyak mikroba, khususnya spesies
Lactobacillus dan Leuconostoc dapat berkembang dengan cepatnya apabila
terdapat garam dan diikuti pembentukan asam yang dapat menghambat mikroba
laiinya yang tidak dikehendaki (Faridah, 2018).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 6 November 2019 pada pukul
13.00-15.00 WIB. Di Laboratorium Pengolahan Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jambi.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah toples kaca, pisau, talenan,
panci perebusan, lakban, sendok dan baskom. Sedangkan bahan yang digunakan
diantaranya kubis sebanyak 500 gram, garam sesuai perlakuan (4% ; 4,5% ; 5% ;
5,5%) dan air bersih.

3.3 Prosedur Kerja


Dibersihkan kubis dari bongkolnya, lalu ditimbangan sebanyak 500 gram.
Selanjutnya, kubis dicuci dengan air bersih dan diiris tipis-tipis. Kemudian diremas-
remas sayur kubis dengan ditambahkan garam sesua perlakuan, yaitu 4% untuk
kelompok (1), 4,5% untuk kelompok (2), 5% untuk kelompok (3), dan 5,5% untuk
kelompok (4), selama 10 menit hingga layu atau keluar cairan dari sayur kubis. Di
sterilisasi toples kaca dalam air mendidih selama 15 menit.. Setelah itu, kol
dimasukkan ke dalam toples dan di press, diberi pemberat diatas kol dan
ditambahkan cairan kol dari hasil pemerasan, kemudian stoples ditutup rapat
dengan bantuan lakban. Stoples disimpan di suhu ruang dan tempat yang gelap.
Dibiarkan kol terfermentasi selama 4 hari. Sauerkraut di uji organoleptik menurut
parameter rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan (hedonik).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Rata-Rata Uji Organoleptik Sauerkraut
Perlakuan Parameter yang diamati Uji hedonik
kelompok

Rasa Warna Aroma


Kelompok 1 2,05 1,75 1,8 1,85
(garam 4%)
Kelompok 2 2,1 1,6 2,1 3,85
(garam 4,5%)
Kelompok 3 3,5 1,75 2,4 4,3
(garam 5%)
Kelompok 4 1,75 2,2 2,1 3,3
(garam 5,5%)

4.2 Pembahasan
Sauerkraut dengan nama lain adalah kol asam merupakan makanan khas
Jerman yang terbuat dari kubis yang diiris halus dan difermentasi oleh berbagai
bakteri asam laktat, seperti Leuconostoc, Lactobacillusdan Pediococcus. Sauerkraut
dapat bertahan lama dan memiliki rasa yang cukup asam, hal ini terjadi disebabkan
oleh bakteri asam laktat yang terbentuk saat gula di dalam sayuran di fermentasi.
Kol segar yang difermentasi menjadi sauerkraut menggunakan garam dengan
konsentrasi tertentu, sehingga tidak perlu ditambahkan mikroorganisme lain
sebagai starter (inoculum) atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada pada kol
(Koswara, 2014).
Praktikum pembuatan sauerkraut ini, pengawetannya dengan melakukan
fermentasi spontan yaitu tidak ada penambahkan starter bakteri. Pengawetan pada
sauerkraut ini dilakukan dengan penambahan garam. Kol/kubis dibersihkan dari
yang rusak atau yang kotor dan dicuci kemudian diiris kecil-kecil. Setelah sayuran
tersebut diiris-iris kemudian ditambahkan garam seseai dengan jumlah yang telah
ditentukan perkelompok masing-masing, diaduk serata mungkin sambil ditekan-
tekan dan mengeluarkan air. Penekanan dan pemberian garam dimaksudkan agar
cairan dalam kubis keluar dan mencegah pembusukan. Sayuran kol harus tercelup
semua dalam larutan garam, hal ini dilakukan yakni untuk mencegah terjadinya
pertumbuhan khamir dan kapang yang tidak diinginkan selama proses fermentasi.
Selain itu juga berpengaruh terhadap rasa dan kerenyahan sauerkraut tersebut.
Sayuran yang telah ditekan-tekan dan tercampur larutan garam dipadatkan
dalam toples hingga tidak ada udara dalam sela-sela sayuran serta ditutup dengan
kol. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pertumbuhan khamir atau kapang yang
tidak diinginkan yang dapat merusak produk. Sebelum fermentasi terjadi,
sauerkraut tersebut ditutup rapat dalam toples dan disimpan di suhu kamar dan
tempat yang gelap. Hal ini dilakukan agar mikroba/bakteri asam laktat dapat
tumbuh dan menghasilkan asam laktat dalam proses fermentasi tersebut. Rasa,
tekstur, dan aroma yang dihasilkan dalam proses fermentasi sayuran menjadi
sauerkraut.
Berdasarkan tabel 1 dimana dapat diketahui bahwa perlakuan berupa
penambahan garam dengan tingkat konsentrasi yang berbeda menunjukkan
pengaruh yang berbeda pula pada sauerkraut yang dihasilkan. Berdasarkan tabel
tersebut dapat diketahui bahwa penambahan garam (5%) mendapatkan skor
tertinggi pada parameter rasa, yaitu 3,5. Sedangkan penambahan garam (5,5%)
mendapatkan skor paling kecil, yaitu 1,75, yang menunjukkan bahwa penambahan
garam sebanyak (5,5%) memberikan rasa paling asam daintara penambahan garam
yang lainnya. Menurut Koswara (2013), kadar garam yang cukup memungkinkan
pertumbuhan serangkaian bakteri asam laktat dalam urutannya yang alamiah dan
menghasilkan sauerkraut dengan imbangan garam-garam yang tepat. Jumlah garam
yang kurang bukan hanya dapat mengakibatkan pelunakan jaringan, tetapi juga
kurang menghasilkan rasa. Terlalu banyak garam menunda fermentasi alamiah dan
menyebabkan warna menjadi gelap dan memungkinkan pertumbuhan khamir.
Berdasarkan parameter aroma, diketahui bahwa penambahan garam
sebanyak (5%) mendapat skor penilaian panelis paling tinggi, yaitu 2,4. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan garam tinggi memberikan pengaruh pada aroma
sauerkraut menjadi cenderung agak khas fermentasi. Sedangkan penambahan
garam (4%) mendapat skor paling kecil, yaitu 1,8. Hal ini menunjukan bahwa
penambahan garam yang paling sedikit memberikan pengaruh pada aroma menjadi
paling cenderung khas fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Hayati
Rahmah (2017), semakin tinggi konsentrasi garam pada sauerkraut maka semakin
rendah pula asam laktat yang dihasilkan karena garam menghambat kerja
lactobacillus plantarum dalam bahan.
Berdasarkan parameter warna dapat diketahui bahwa penambahan garam
(5,5%) memperoleh skor tertinggi, yaitu 2,2. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan garam tinggi memberikan pengaruh terhadap warna sauerkraut
menjadi cenderung putih kekuningan. Sedangkan penambahan garam (4,5%)
memperoleh skor penilaian paling kecil, yaitu 1,6. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan garam yang relatih rendah akan menghasilkan warna pada sauerkraut
yang cenderung putih. Menurut Koswara (2013), kerusakan sauerkraut ditandai
dengan perubahan warna menjadi jingga yang disebabkan oleh pertumbuhan
khamir berpigmen sehingga menimbulkan bau busuk. Pembusukan sauerkraut juga
disebabkan karena wadah fermentasi tidak tertutup rapat dan pelumuran garam
yang tidak merata.
Berdasarkan hasil pengujian hedonik atau penerimaan secara keselluruhan
dari panelis, dapat diketahui bahwa sauerkraut dengan penambahan garam paling
sedikit yaitu konsentrasi (4%) memperolah skor penilaian yang paling rendah,
dimana hal ini menunjukkan bahwa penambahan garam (4%) merupakan
sauerkraut yang paling disukai oleh panelis.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pembuatan sauerkraut yang telah dilaksanakan dapat
disimpulkan bahwa penambahan garam dalam pembuatan sauerkratu berpengaruh
nyata pada uji organoleptik sauerkarut, terutama dari parameter rasa, dimana
semakin banyak penambahan garam, maka semakin rendah tingkat keasaman
sauerkraut yang dihasilkan. Dari praktikum ini diketahui bahwa penambahan garam
paling sedikit (4%) merupakan sauerkraut yang paling disukai oleh panelis.

5.2 Saran
Diharapkan kepada praktikan untuk lebih memahami prosedur y ang ada,
supaya tidak terjadi kesalahan selama jalannya praktikum , dan hasil praktikum
yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A, R.A Edwards, G.H Fleet dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta
Cahyono, B. 1995. Cara meningkatkan budidaya kubis. Yogyakarta: Pustaka
Nusatama. Dinstel, Roxie R. 2008. Sauerkraut. University of Alaska
Fairbanks Cooperative Extension Service FNH-00170.
Djundjung, M., dan A. Rahman. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah-
buahan. PAU Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Faridah, A. 2018. Teknologi Pangan. Edisi Pertama. Padang : CV. Berkah Prima.
ISBN : 978-602-5994-07-4. 211 hal.
Koswara, S. 2013. Teknologi Fermentasi Sayuran. Liberty, Yogyakarta.
Mulyono, S. 2007. Bercocok Tanam Kubis. Jakarta : Azka Mulia Media.
Pederson, C.S. 1971. Microbiology of Food Fermentation. Oxford. England : The
AVI Publisher Co. Inc.
Rachman, A. 1989. Pengantar teknologi fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas
Institut Pertanian Bogor. Soemarno. 1991. Budidaya Tanaman Eropika.
Surabaya : Usaha Offset Printing.

Anda mungkin juga menyukai