Manajemen PPh
Pasal 21,22, dan 23
MANAJEMEN PERPAJAKAN
Manajemen perpajakan adalah usaha menyeluruh yang dilakukan taxmanager dalam suatu perusahaan
atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari perusahaan atau organisasi
tersebut dapat dikelolah dengan baik, efisien, dan ekonomis, sehingga memberi konstribusi
maksimum bagi peruaahaan.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah Proses mengorganisasikan usaha pajak orang pribadi
maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat
ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan , agar perusahaan dapat
membayar pajak dalam jumlah minimum.
Yang menjadi tujuan utama Tax planning adalah agar dapat membayar pajak dalam jumlah minimal
dan secara legal (sesuai ketentuan peraturan perpajakan)
Kewajaran melakukan transaksi bisnis harus berpegang kepada praktik perdagangan yang
sehat dan menggunakan standardarmslengthpriceatau harga pasar yang wajar, yakni
tingkat harga antara pembeli dan penjual yang independen, bebas melakukan transaksi.
3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya kontrak, invoice, faktur
pajak, PO, dan DO)
Kebenaran formal dan materil suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan
dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau purchaseorder (PO) dari
pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (delivery order), invoice, faktur pajak sebagai
bukti penagihan serta pembukuannya (generalledger).
Upaya penghematan beban pajak yang dilakukan perusahaan harus tetap memperhatikan
peraturan perpajakan (asas legalitas). Perencanaan pajak dimulai dengan menganalisis dan
memastikan metode penghitungan pajak penghasilan pasal 21 yang lebih efisien serta
memperhatikan mekanisme taxabilty-deductibility.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa manajemen tidak bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak
yang sebenarnya terutang, tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak melebihi dari
jumlah pajak yang sebenarnya dibayar sehingga efisien bagi wajib pajak tanpa melanggar
ketentuan. Adanya manajemen dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan membantu
wajib pajak dalam mengelola kewajbannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul
akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk
mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.
Perencanaan PPh
Pasal 21 Berdasarkan
UU PPh
Metode Net
\ Metode
Metode Gross Up
Gross Up
Metode Gross up
Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang
dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-
pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya:
Jika ada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang
penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka ada pihak pemberi kerja tidap dapat dibiayakan
(bukan pengurang penghasilan bruto).
Jika kondisi keuangan perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar,
maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih
menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).
2. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah
penghasilannya, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering
digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
3. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak, di mana perusahaan memberi tunjangan pajak –
PPh Pasal 21 yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak-PPh Pasal 21 yang akan
dipotong dari karyawan.
Dengan menggunan Gross-Up Method ini terlihat memberatkan perusahaan, karena
penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan
pajak. Namun, beban perusahaan tersebut akan tereliminasi, karena PPh Pasal 21-nya
dapat dibiayakan.
Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain
meliputi:
Tenaga yang melakukan pekrjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, dikenakan tarif 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto.. Ini berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh
Pasal 17 ayat 1 huruf a.
Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang dalam
pemberian jasanya memperkejakan orang lain sebagai pegawainya dan atau melakukan
penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari Nilai
Proyek.
Fenomena tersebut seirng terjadi dalam pembuatan perjanjian atau kontrak kerja yang tidak
mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum kontrak kerja ditandatangani
harus dipastikan:
Pemuatan klausul pajak dalam perjanjian atau kontrak kerja, yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar harga pokok barang), yakni
dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja
wajib memotong dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi
kerja wajib memotong dari pembayarannya.
Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh PAsal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul
tersebut.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan akan dikenai kewajiban
membayar PPh Pasal 21vyang terutang, ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar
2% sebulan dari pokok pajak.
2. Pajak ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara
Gross-up?
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak
sudah “net”, tidak termasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja. “
Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemtongan
pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.
Tidak Termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi pajak, atau ditanggung
oleh perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung
perusahaan atau pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-deductible
expenses).
Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka perhitungan PPh
harus menggunakan metode gross up. PPh hasil penghitungan gross-up tersebut
dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktut pajak) atau menambah
penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan
“tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang”.
Pembayaran Lumps-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai
yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misal
transportasi, dan akomodasi.
Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak
menimbulkan pengaruh apapun, karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh 2008), tetapi pemberian tunjangan makan mengakibatkan bertambahnya
PPh Pasal 21.
Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih menguntungkan jika disiapkan makan
bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya harus menggunakan jasa
katering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari
penghasilan bruto.
Kajian harus dilakukan terhadap kesluruhan aspek perusahaan. Misalnya dari sudut
pandang psikologi karyawan., apakah akan menimbulkan gejolak atau tidak ?
Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilohat dari keseimbangan seluruh sistem.
1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final, diupayakan
seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan (benefit in kinds), karena pengeluaran tersebut tidak dapat dibebankan
sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan
dalam bentuk tunjangan, sehinga biasa dibiayakan (mengurangi profit).
2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakkan pajak bersifat final, memberikan
tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan merupakan salah satu
pilihan untu kmenghindari lapisan tariff maksimun PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam
bentuk kenikmatan / natura atau dalam bentuk tunjangan tidak memengaruhi PPh Badan
karena pendapatan perusahaan sudah dikenai PPh final. Tetapi untuk tujuan komersial,
baik pemberian dalam natura, kenikmatan, atau dalam bentuk tunjangan tetap, bias
menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.
3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final, contohnya
perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura
atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu
pilihan untuk menghindari menghindari lapisan tarif maksimum PPh pasal 21, selain itu
pengeluaran untuk pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi
besarnya PPh badan. Contoh, pembelian makanan dan minuman untuk seluruh pegawai
(Pasal 9 ayat 1 e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-
51/PJ/2009),kedua hal tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak menambah beban PPh pasal
21 karena tidak menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal 21.
Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up yang Sesuai dengan UU PPh No.
36 Tahun 2008 :
Rumus tunjangan pajak dengan metode gross up tersebut berlaku sampai tahun-tahum selanjutnya
selama tidak ada perubahan tarif PPh dalam UU PPh, namun dalam perjitungan PPh pasal 21
harus disesuaikan dengan PTKP dan biaya jabatan dalam tahun yang bersangkutan, sesuai dengan
peraturan menteri keuangan/ peraturan direktur jenderal yang terkait.
Perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross up tahun 2008 harus dilakukan dengan 2 tahap di
bawah ini:
Tahap – 1
Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak . Steleh itu baru dihitung berapa tunjangan pajak
dengan menggunakan rumus gross up
Contoh:
Tuan Amir, Pegawai tetap PT DEx sejak tahun 2005, status K/1, tahun 2010 menerima
penghitungan pajak – PPh Pasal 21 sebagai berikut:
Rp. 128.742.000
Rp. 133.742.000
Pengurangan:
Rp. 122.942.000
Karena PKP ada dilapisan tarif ke – 2, maka rumus gross up yang dipakai
Tahap 2
Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus gross up, baru dimasukkan unsure
tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak . Perhitungan ini memperlihatkan
bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tersebut dapat
dibiayakan (deductible)
Rp. 133.437.647
Rp. 138.437.647
Pengurangan:
Rp. 127.637.647
PPh Terutang:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terulang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiscal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiscal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
memontum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih
bayar pajak penghasilan.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur
dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan Materi Keuangan mengenai pengenaan pph
pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan
PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok
yaitu:
Catatan:
- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea masuk tambahan
(jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
Keputusan Materi Keuangan.
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan Cukai atau bank devisa
pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang
dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.
Tabel IV-1
Objek PPh Pasal 22
Dasar Pengenaan Pajak
NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT Dasar Hukum
(DPP)
PPh Pasal 22
1 Pembelian Barang Dalam negeri
a. Pembelian baraang oleh
bendaharawan, 1,5% Harga pembelian excI. PMK 224/PM
BUMN/BUMD dan PPN Kp.011/2012
badan-badan tertentu
b. Pembelian bahan-bahan
berupa hasil perhutanan,
perkebunan, pertanian, Harga pembelian PMK 224/PM
dan perikanan untuk 0,25% K.011/2012
keperluan industry dan
ekspor dari pedagang
pengumpul.
2 Impor Barang
a. Importir Mempunyai 2,5% Nilai Impor PMK 224/PM
API K.011/2012
b. Importir tidak 7,5% Nilai Impor
mempunyai API
c. Pemegang hasil legal 7,5% Nilai Lelang
impor yang tidak
dikuasai
3 Penjualan Hasil Produksi
Tertentu di Dalam Negeri
Catatan:
Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN
dan pajak penjualan atas barang mewah.
Apabila perusahaan memiliki proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada sst dilakukan pemeriksaan pajak maka perusahaan memiliki
proyek akan dikenai kewajiban unuk membayar PPh Pasal 23 yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90*Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta-Rp 72juta= 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10%*Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara ini baru dilakukan
secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa bangunan bias
dibiayakan, termasuk pajaknya, maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu,
termasuk mengubah invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan
setelah itu pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi
Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat membuat perseroan
terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai
kegiatan apa-apa mereka hanya bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada
operating company yang membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger
untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke operating company.
Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat di bayarkan, sedangkan bagi
bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai PPh final karena itu adalah business income
dari bank tersebut.di luar bunga pinjaman bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar
15%.
Pengajuan SKB PPH Pasal 23
Seperti pengajuan SKB pasal 22 yang telah dibahas diatas, ketentuan yang sama berlaku juga
pasa PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan
Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur
Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax Planner
yan baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23
tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Pph Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Kecuali :
Dividen sebagaimana dimaksud dalam Bukan
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan objek
PPh
n. Jasa Kustodian/Penyimpanan/Penitipan,
kecuali yang dilakukan KSEI 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
o. Jasa pengisian surat dan atau Sulih
Surat 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
Jumlah Bruto
p. Jasa Mixing Film
2% Tidak termasuk PPN
q. Jasa Sehubungan dengan Software
Komputer, Termasuk Perawatan, 2% Jumlah Bruto
Pemeliharaan dan Perbaikan. Tidak termasuk PPN
z. Jasa Kebersihan
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan Bruto dalam SPT Masa
PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang
ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan terssebut.
1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.
Contoh :
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak
terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak
perjanjian yang sudah disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal
23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).
DAFTAR PUSTAKA