Anda di halaman 1dari 22

Perpajakan II

Manajemen PPh
Pasal 21,22, dan 23
MANAJEMEN PERPAJAKAN
Manajemen perpajakan adalah usaha menyeluruh yang dilakukan taxmanager dalam suatu perusahaan
atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari perusahaan atau organisasi
tersebut dapat dikelolah dengan baik, efisien, dan ekonomis, sehingga memberi konstribusi
maksimum bagi peruaahaan.

Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah Proses mengorganisasikan usaha pajak orang pribadi
maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat
ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan , agar perusahaan dapat
membayar pajak dalam jumlah minimum.

Yang menjadi tujuan utama Tax planning adalah agar dapat membayar pajak dalam jumlah minimal
dan secara legal (sesuai ketentuan peraturan perpajakan)

Persyaratan TaxPlanning Yang Baik


Terdapat 3 syarat yang baik dalam dalam taxmanajemen / taxplanning:

1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan.

Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan


taxevasion.

2. Secara bisnis masuk kapal.

Kewajaran melakukan transaksi bisnis harus berpegang kepada praktik perdagangan yang
sehat dan menggunakan standardarmslengthpriceatau harga pasar yang wajar, yakni
tingkat harga antara pembeli dan penjual yang independen, bebas melakukan transaksi.

3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya kontrak, invoice, faktur
pajak, PO, dan DO)

Kebenaran formal dan materil suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan
dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau purchaseorder (PO) dari
pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (delivery order), invoice, faktur pajak sebagai
bukti penagihan serta pembukuannya (generalledger).

Alur Perencanaan Pajak- PPh Pasal 21


Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan
memaksimalkan nilai perusahaan, memperoleh laba sesuai keinginan. Untuk mengejar laba
maksimal, perusahaan melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut adalah
menghemat beban pajak melalui perencanaan pajak,

Upaya penghematan beban pajak yang dilakukan perusahaan harus tetap memperhatikan
peraturan perpajakan (asas legalitas). Perencanaan pajak dimulai dengan menganalisis dan
memastikan metode penghitungan pajak penghasilan pasal 21 yang lebih efisien serta
memperhatikan mekanisme taxabilty-deductibility.

Perlu dijelaskan di sini, bahwa manajemen tidak bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak
yang sebenarnya terutang, tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak melebihi dari
jumlah pajak yang sebenarnya dibayar sehingga efisien bagi wajib pajak tanpa melanggar
ketentuan. Adanya manajemen dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan membantu
wajib pajak dalam mengelola kewajbannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul
akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk
mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.

Perencanaan PPh
Pasal 21 Berdasarkan
UU PPh

Mekanisme Taxability Metode Pemotongan


dan Deductibilty PPh Pasal 21

Metode Net
\ Metode
Metode Gross Up
Gross Up
Metode Gross up

Upaya Penghematan Pajak Dalam


Mengefisiensikan Beban Pajak Terutang

Penghasilan Kena Pajak Yang Lebih Rendah

PPh Badan Yang Lebih Efisien


SPT PPh Badan

Perencanaan Pajak PPh Pasal 21


PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan,jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri , sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21


Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang
dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-
pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya:
Jika ada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang
penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka ada pihak pemberi kerja tidap dapat dibiayakan
(bukan pengurang penghasilan bruto).

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang biasanya diterapkan


dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau menkonversikan
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau
sebaliknya mengubah biaya tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan
konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau konversi tersebut. Apakah
perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar, lebih kecil, atau sama dengan jumlah
pajak terutang akibat koreksi fiskal, tentunya harus dipertimbangkan mana yang lebih menguntungkan
perusahaan.

Jika kondisi keuangan perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar,
maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih
menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)


Dalam tahun 2010, PT.ABx menyediakan dokter dan obat-obatan dengan cuma-cuma untuk
pemeliharaan kesehatan pegawainya yang berjumlah 1.000 orang, juga ongkos melahirkan yang
jumlah totalnya Rp 360 juta setahun, atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan setiap
pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x Rp 360 juta) : 1.000 = Rp 30.000, atau sama dengan
Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawai diasumsikan masih sebatas UMR.

 Sebelum Tax Planning :


Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit in kind (seperti biaya
berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp 360 juta itu bukan merupakan objek pajak penghasilan
(non taxable) sehingga tidak dikenai pajak. Sebaliknya, dari sudut pandang perusahaan yang
mengeluarkan biaya, secara komersial pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan perusahaan, tetapi secara fiskal merupakan biaya yang tidak
boleh dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.
Konsekuensinya : karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan tambahan
pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar :
25% x Rp 360 juta = Rp 90 juta
 Sesudah Tax Planning :
Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (Seperti dokter dan
obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara fiskal tunjangan kesehatan tersebut
merupakan penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak, biaya tunjangan
kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible).
Solusi yang dianjurkan:untuk menghindari koreksi fiskal tersebut, PT ABx memberikan
tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti daripada menyediakan dokter dan memberikan
obat dengan cuma-cuma yang hanya akan menambah penghasilan pegawai yang akan
dikenakan pajak (taxable) sebesar Rp 360 juta. Dan bagi perusahaan jumlah tersebut
merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).
Pajak penghasilan yang dapat dihemat adalah sebesar Rp 90 juta akibat perubahan tersebut
Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan tunjangan kesehatan, yang
merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban tambahan pajak,
karena penghasilannya (UMR) masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Metode Pemotongan PPh Pasal 21


1. Net method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung sendiri PPh pasal
21 karyawan.
Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh
Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21.
Penghitungan PPh Pasal 21 tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21
yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan, karena tidak dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT
PPh Pasal 21.

2. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah
penghasilannya, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering
digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
3. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak, di mana perusahaan memberi tunjangan pajak –
PPh Pasal 21 yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak-PPh Pasal 21 yang akan
dipotong dari karyawan.
Dengan menggunan Gross-Up Method ini terlihat memberatkan perusahaan, karena
penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan
pajak. Namun, beban perusahaan tersebut akan tereliminasi, karena PPh Pasal 21-nya
dapat dibiayakan.

Terapan Planning Terkait dengan PPh Pasal 21


1. Klausul Pajak dalam Perjanjian/kontrak Kerja
Klausul merupakan ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yang salah satu pasalnya
diperluas atau dibatasi.

Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain
meliputi:

 Tenaga yang melakukan pekrjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, dikenakan tarif 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto.. Ini berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh
Pasal 17 ayat 1 huruf a.

 Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang dalam
pemberian jasanya memperkejakan orang lain sebagai pegawainya dan atau melakukan
penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari Nilai
Proyek.

Fenomena tersebut seirng terjadi dalam pembuatan perjanjian atau kontrak kerja yang tidak
mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum kontrak kerja ditandatangani
harus dipastikan:

 Pemuatan klausul pajak dalam perjanjian atau kontrak kerja, yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar harga pokok barang), yakni
dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja
wajib memotong dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi
kerja wajib memotong dari pembayarannya.

 Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh PAsal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul
tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan akan dikenai kewajiban
membayar PPh Pasal 21vyang terutang, ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar
2% sebulan dari pokok pajak.
2. Pajak ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara
Gross-up?
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak
sudah “net”, tidak termasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja. “
Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemtongan
pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.

 Tidak Termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi pajak, atau ditanggung
oleh perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung
perusahaan atau pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-deductible
expenses).

 Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka perhitungan PPh
harus menggunakan metode gross up. PPh hasil penghitungan gross-up tersebut
dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktut pajak) atau menambah
penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan
“tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang”.

3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau Reimbursment


Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis
pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.

 Pembayaran Lumps-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai
yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misal
transportasi, dan akomodasi.

 Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk


berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti
pengeluaran. Apabila terjadi kekurangan dapat dimintakan kembali (reimbursment). PPh
Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lainnya yang
benar-benar diterima atau diperoleh karyawan.

4. Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan Bersama?


Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karywan sudah boleh
dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Perlu dikaji, apakah perusahaan masih
hendak memberikan tunjangan makan bersama sebagai pengganti tunjangan makan?

Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak
menimbulkan pengaruh apapun, karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh 2008), tetapi pemberian tunjangan makan mengakibatkan bertambahnya
PPh Pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih menguntungkan jika disiapkan makan
bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya harus menggunakan jasa
katering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari
penghasilan bruto.

Kajian harus dilakukan terhadap kesluruhan aspek perusahaan. Misalnya dari sudut
pandang psikologi karyawan., apakah akan menimbulkan gejolak atau tidak ?
Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilohat dari keseimbangan seluruh sistem.

5. Memberikan Tunjangan Kesehatan atau Fasilitas Pengobatan?


Untuk biaya kesehatan, perusahaan memiliki polihan, memberikan tunjangan kesehatan,
menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, atau menggunakan metode
reimbursement biaya pengobatan.

 Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya


bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan merupakan objek PPh
Pasal 21 bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.
 Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan pajaknya bersifat
non taxable – non deductible. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi karyawan dan
bukan biaya bagi perusahaan
 Bila menggunakan metode reimbursement maka perlakuan pajaknya:
- Bersifat non taxable- non deductible, bila persyaratan reimbursement dapat
dipenuhi, yaitu tidak boleh ada mark up , bukti asli diserahkan ke perusahaan,
bukti dibuat atas nama peusahaan atau atas nama karyawan perusahaan, dan
diatur dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan karyawan.
- Bersifat taxable- deductible, bila persyaratan reimbursement tidak dapat
dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan.

6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh pasal 21)


Penerapan TaxPlanning Dalam PPh Pasal 21 :

1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final, diupayakan
seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan (benefit in kinds), karena pengeluaran tersebut tidak dapat dibebankan
sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan
dalam bentuk tunjangan, sehinga biasa dibiayakan (mengurangi profit).

2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakkan pajak bersifat final, memberikan
tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan merupakan salah satu
pilihan untu kmenghindari lapisan tariff maksimun PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam
bentuk kenikmatan / natura atau dalam bentuk tunjangan tidak memengaruhi PPh Badan
karena pendapatan perusahaan sudah dikenai PPh final. Tetapi untuk tujuan komersial,
baik pemberian dalam natura, kenikmatan, atau dalam bentuk tunjangan tetap, bias
menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.

3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final, contohnya
perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura
atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu
pilihan untuk menghindari menghindari lapisan tarif maksimum PPh pasal 21, selain itu
pengeluaran untuk pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi
besarnya PPh badan. Contoh, pembelian makanan dan minuman untuk seluruh pegawai
(Pasal 9 ayat 1 e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-
51/PJ/2009),kedua hal tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak menambah beban PPh pasal
21 karena tidak menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal 21.

Strategi Perencanaan pajak untuk mengedintifikasikan beban


pajak
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan strategi
mengefisienkan beban pajak (penghematan pajak). Selain itu apa yang dilakukan perusahaan
harus bersifat legal supaya terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari. Agar perencanaan pajak
sesuai dengan yang diharapkan, perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metode-metode
dan kebijakan yang akan akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dapat
tercapai. Misalnya memberi tunjangan dalam bentuk uang/natura karena pada dasarnya pemberian
dalam bentuk natura dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21 bagi karyawan yang
menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini, selain akan memberi kepuasan dan
meningkatkan motivasi kerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka. Metode
gross-up dapat digunakan untuk memuaskan dan meningkatkan dan memotivasi karyawan karena
PPh Pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh perusahaan.

Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up yang Sesuai dengan UU PPh No.
36 Tahun 2008 :

PKP Rp.0 s/d Rp.50.000.000


Pajak = 1 {PKP X 5%}
0,95
PKP di atas Rp.50.000.000 s/d Rp.250.000.000
Pajak = 1 {(PKP X 15%) – 5 juta}
0,85
PKP di atas Rp.250.000.000 s/dRp.500.000.000
Pajak = 1 {(PKP X 25%) – 30 juta}
0,75
PKP di atas Rp.500.000.000
Pajak = 1 {(PKP X 35%) – 55 juta}
0,70

Rumus tunjangan pajak dengan metode gross up tersebut berlaku sampai tahun-tahum selanjutnya
selama tidak ada perubahan tarif PPh dalam UU PPh, namun dalam perjitungan PPh pasal 21
harus disesuaikan dengan PTKP dan biaya jabatan dalam tahun yang bersangkutan, sesuai dengan
peraturan menteri keuangan/ peraturan direktur jenderal yang terkait.

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross up tahun 2008 harus dilakukan dengan 2 tahap di
bawah ini:

Tahap – 1

Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak . Steleh itu baru dihitung berapa tunjangan pajak
dengan menggunakan rumus gross up

Contoh:

Tuan Amir, Pegawai tetap PT DEx sejak tahun 2005, status K/1, tahun 2010 menerima
penghitungan pajak – PPh Pasal 21 sebagai berikut:

Gaji/tahun Rp. 120.000.000

Tunjangan makan siang Rp. 3.600.000

JKK (1,27% X 120 jt) Rp. 1.542.000

JKM (0.30% X 120 jt) Rp. 3.600.000

Rp. 128.742.000

Bonus Rp. 5.000.000

Rp. 133.742.000

Pengurangan:

Biaya Jabatan Rp. 6.000.000

Iuran Pensiun Rp. 2.400.000

JHT (2% X 120 jt) Rp. 2.400.000 (Rp. 10.800.000)

Rp. 122.942.000

PTKP (K/1) (Rp. 63.000.000)

PKP Rp. 59.942.000

Karena PKP ada dilapisan tarif ke – 2, maka rumus gross up yang dipakai

LAPISAN KE – 2 = (PKP X 15%) – Rp.5.000.000


0,85

Tunjangan Pajak = (Rp.59.942.000 x 15%) – Rp.5.000.000


0,85
Tunjangan Pajak = Rp. 4.695.647

Tahap 2

Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus gross up, baru dimasukkan unsure
tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak . Perhitungan ini memperlihatkan
bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tersebut dapat
dibiayakan (deductible)

Gaji/tahun Rp. 120.000.000

Tunjangan makan siang Rp. 3.600.000

Tunjangan Pajak (Gross Up) Rp. 4.695.647

JKK (1,27% X 120 jt) Rp. 1.542.000

JKM (0.30% X 120 jt) Rp. 3.600.000

Rp. 133.437.647

Bonus Rp. 5.000.000

Rp. 138.437.647

Pengurangan:

Biaya Jabatan Rp. 6.000.000

Iuran Pensiun Rp. 2.400.000

JHT (2% X 120 jt) Rp. 2.400.000 (Rp. 10.800.000)

Rp. 127.637.647

PTKP (K/1) (Rp. 63.000.000)

PKP Rp. 64.637.647

PPh Terutang:

PPh 21 5% x Rp.50.000.000 Rp. 2.500.000

15% x Rp.14.637.647 Rp. 2.195.647


Rp. 4.695.647

Tax Planning pph pasal 22,pasal 23/26 dan pph final


1. Pendahuluan
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pungutan dan pemotongan atas
pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga),sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan
melaporkan ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan pepajakan.
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,
pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar.
Berbeda dengan self assesment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.

2. Pajak Penghasilan Pasal 22


Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh pasal 22
impor, PPh pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian
dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha
lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas, dan
lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK No.
253/PMK.03/2008). Di sini yang akan dibicarakan adalah masalah PPh Pasal 22 impor.
Kalau perusahaan mengimpor barang, harus membatar PPh Pasal 22 impor pada saat
pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh
Pasal 22 impor merupakan kedit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di
akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 impor bervariasi, tergantung apakah perusahaan
punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau tidak dikuasai artinya barang tak
bertuan.
Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai impor, kalau non API 7,5%, dan untuk barang
tidak dikuasai juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang. Persemtase tersebut dihitung dari
harga barang atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk
Tambahan, jika ada).
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentu yang dipikirkan oleh tax
planner adalah meencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor, tax planner yang
baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API tersebut bisa terjadi digunakan oleh
unit-unit bisnis dalam grupperusahaan atau kolongmerat yang satu dengan yang lainnya
sudah saling kenal dan berada dalam payung kepemilikan perusahaan yang sama, malah itu
mungkin menjadi suatu kebijakan bisnis grupnya yang harus dijalankan dan dipatuhi.kalau
kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa tersenyum karena “berhasil” menekan
beban PPh Pasal 22 menjadi sebesar 5%, dari yang tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan
untuk menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh
Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan
PPh Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), kita mengenal adanya “handling fee”, yakni
jumlah fee yang harus dibayarkan bedasarkan perjanjian handling fee antara importir yang
mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling
fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai oleh orang atau
perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API
untuk mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Bila
benefitnya (5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%),
maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3%-
3,5% dari harga barang impor tadi (yakni dari cost insurance & freight + bea masuk).
Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, cara ini akan bisa menghemat cash flow untuk
masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih
bayar.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang tidak bertuan, adalah
membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non API.
Tax management dan tax planning yang baik mensyratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh
bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice). Oleh sebab itu untuk
meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan
membuat kontrak yang jelas dan jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan
kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam
SPT Tahunan PPh.

Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22


Dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan pasal 22, adalah:
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
No. 254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001
dan 236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK
No. 08/PMK.03/2008.

Pengajuan SKB PPH Pasal 22


Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain
kepada Direktur Jenderal Pajak karena:

a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terulang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiscal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiscal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
memontum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih
bayar pajak penghasilan.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur
dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan Materi Keuangan mengenai pengenaan pph
pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan
PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok
yaitu:

1. PPH Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:

1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):


 Atas impor kedelai, gandum,dan tepung terigu oleh importer, dikenal tarif
sebesar 0,5% dari nilai impor.
 Selain impor gandum dan tepung teriguoleh importir yang memiliki API
tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai
impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah lima persen) dari harga jual
lelang.

Catatan:
- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea masuk tambahan
(jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
Keputusan Materi Keuangan.

PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan Cukai atau bank devisa
pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang
dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final


 Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
 WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan akan kegiatan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang aka
ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke
APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli
yang dipungut pada saat pembayaran. Pemugutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran,
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal
dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus
disetor oleh pemungut dengan menggunukan SSP atas nama Wajib Pajak yang
dipungutan (penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha LAIN


Tabel berikut ini memperlibatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha
lain yang harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di mana tarifnya sangat bervariasi
pada jenis usahanya:

Tabel IV-1
Objek PPh Pasal 22
Dasar Pengenaan Pajak
NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT Dasar Hukum
(DPP)
PPh Pasal 22
1 Pembelian Barang Dalam negeri
a. Pembelian baraang oleh
bendaharawan, 1,5% Harga pembelian excI. PMK 224/PM
BUMN/BUMD dan PPN Kp.011/2012
badan-badan tertentu
b. Pembelian bahan-bahan
berupa hasil perhutanan,
perkebunan, pertanian, Harga pembelian PMK 224/PM
dan perikanan untuk 0,25% K.011/2012
keperluan industry dan
ekspor dari pedagang
pengumpul.

2 Impor Barang
a. Importir Mempunyai 2,5% Nilai Impor PMK 224/PM
API K.011/2012
b. Importir tidak 7,5% Nilai Impor
mempunyai API
c. Pemegang hasil legal 7,5% Nilai Lelang
impor yang tidak
dikuasai
3 Penjualan Hasil Produksi
Tertentu di Dalam Negeri

a. Industri Semen 0,25% DPP PPN PMK 244/PM


K.011/2012
b. Industri Kertas 0,10% DPP PPN
PMK244/PM
0,30% DPP PPN K.011/2012
c. Industri Baja
PMK224/PM
0,45% DPP PPN K.011/2012
d. Industri Otomotif PMK 244/PM
0,30% DPP PPN K.011/2012
e. Industri Obat PMK 224/PM
K.011/2012
SPBU
PMK 224/PM
f. Bahan Bakar Minyak Non
dan Gas Pertamin K.011/2012
a Penjualan excl.PPN Final
Penjualan excI. PPN Final
0,3%
 Premium Penjualan exci.PPN Final
0,3%
 Solar Final
0,3%
 Premax/Super TT -
Penjualan exci.PPN Final
 Minyak Tanah 0,3%
Penjualan excI.PPN Final
 Gas/LPG 0,3%
 Pelunas
SPBU
Pertamina
Penjualan excI.PPN
Bahan Bakar Minyak dan
Gas
0,25%
4 Penjualan Barang yang 0,45% DPP PPN PMK 244/PM
Tergolong Sangat Mewah K.011/2012
5 Penjualan Barang yang 5% Harga jualan tidak PMK.224/PM
Tergolong Sangat Mewah termasuk PPN dan K.011/2012
PPnBM
a. Pesawat udara pribadi
dengan harga jual lebih
dari Rp.
20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan
sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp.
10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahya
dengan harga jual atau
harga pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
luar bangunan lebih dari
500m2
d. Apartemen,
kondominium,dan
sejenisnya dengan harga
jual atau pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
atau luas bangunan lebih
dari 400m2
e. Kendaran bermotor roda
empat pengangkutan
orang kurang dari 10
orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle
(suv), multi purpose
vehicle (moy), minibus
dan sejenisnya dengan
harga jual lebih dari Rp.
5.000.000.000,00 dan
dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc.

Catatan:

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/.03/2008, sejak 1


Januari 2009 industri rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah


Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 tentang Wajib pajak badan tertentu
sebagai pemungut PPh dari pembeli atas Penjualan barang yang Tergolong Sangat Murah,
pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah yang diwajibkan memungut pajak penghasilan pada saat
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN
dan pajak penjualan atas barang mewah.

Barang yang tergolong sangat mewah sebagai mana dimaksud adalah:

a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih Rp 20 miliar


b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 10 miliar
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
dari 500m2
d. Apertemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp. 10 miliar dan atau luas bangunan lebih ari 400m2
e. Kendaran bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle(mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga ual lebih dari Rp, 5 miliar dan dengan kapasitas lebih
dari 3.000 cc.

3. Pajak Penghasilan pasal 23


Pajak adalah pungutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi
melalui undang-undang. Undang- undang ini bertujuannya untuk memberi kesan bahwa
pungutan itu tidak sama dengan peran pesan .

Apabila perusahaan memiliki proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada sst dilakukan pemeriksaan pajak maka perusahaan memiliki
proyek akan dikenai kewajiban unuk membayar PPh Pasal 23 yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90*Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta-Rp 72juta= 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10%*Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara ini baru dilakukan
secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa bangunan bias
dibiayakan, termasuk pajaknya, maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu,
termasuk mengubah invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan
setelah itu pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi

Pengenaan Pajak atas Deviden


UU PPh No.10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam
negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak PPh Badan
dengan syrat bahwa:

1) Deviden berasal dari laba yang ditahan


2) Kepemilikan saham perseroan yang menerima deviden tersebut paling sedikit memiliki
25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar deviden (operating
compny).

Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat membuat perseroan
terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai
kegiatan apa-apa mereka hanya bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada
operating company yang membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger
untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke operating company.

Perubahan Tarif PPh Pasal 23


UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula
15% menjadi:
1) 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus,
dan sejenisnya.
2) 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa
konsultan, dan jasa lainnya.

Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat di bayarkan, sedangkan bagi
bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai PPh final karena itu adalah business income
dari bank tersebut.di luar bunga pinjaman bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar
15%.
Pengajuan SKB PPH Pasal 23
Seperti pengajuan SKB pasal 22 yang telah dibahas diatas, ketentuan yang sama berlaku juga
pasa PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan
Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur
Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax Planner
yan baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23
tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

Pph Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh Pasal 23


1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak dalam nnegeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang
melakukan pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23:


1. Wajib Pajak Dalam Negeri.
2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib Pajak luar negeri.

Objek Pajak PPh Pasal 23:


Adalah penghasilan yang berassal dari :

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.


2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib Pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23


a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi :
1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi, dengan syarat
kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dann dividen tersebut diambil
dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
3. Royalty.
4. Hadia dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPH Pasal 21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayar oleh
koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan denga jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

No. OBJEK PAJAK TARIF SIFAT


III PPh Pasal 23
A.
1. Dividen 15% Penghasilan Bruto

Kecuali :
 Dividen sebagaimana dimaksud dalam Bukan
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan objek
PPh

 Dividen yang diterima oleh orang 10% Penghasilan Bruto Final


pribadi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17 ayat (2c);

2. Bunga 15% Penghasilan Bruto


3. Royalti 15% Penghasilan Bruto
4. Hadia, penghargaan, bonus dan 15% Penghasilan Bruto
sejenisnya selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21 Ayat (1) Huruf e.
B. Sewa dan Penghasilan lain Sehubungan dengan 2% Jumlah Bruto Tidak
Penggunaan Harta, Kecuali Sewa dan termasuk PPN
Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta yang Telah Dikenakan PPh
Final.
C. Imbalan Sehubungan dengan Penggunaan 2% Jumlah Bruto
Harta, Kecuali Sewa dan Penghasilan Lain Tidak Termasuk PPN
Sehubungan dengan Penggunaan Harta yang
telah Dikenakan PPh Final.
D. Imbalan Sehubungan dengan Jasa Lain, Selain
Jasa yang Telah Dipotong PPh Pasal 21 :
a. Jasa Penilai (Apraisal)
2% Jumlah Bruto
b. Jasa Aktuaris Tidak termasuk PPN
2% Jumlah Bruto
c. Jasa Akuntansi, Pembukuan, dan Tidak termasuk PPN
Atestasi Laporan Keuangan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
d. Jasa Perancang Jumlah Bruto
2% Tidak termasuk PPN
e. Jasa pengeboran (Drillin) di Bidang
2% Jumlah Bruto
Penambangan Minyak dan Gas Bumi
Tidak termasuk PPN
(Migas), kecuali yang dilakukan olen
Bentuk Usaha Tetap;
Jumlah Bruto
f. Jasa Penunjang di Bidang 2% Tidak termasuk PPN
Penambangan Migas
Jumlah Bruto
g. Jasa Penambangan dan Jasa Penunjang 2% Tidak termasuk PPN
di Bidang Penambangan Selain Migas.

h. Jasa Penunjang di Bidang Penerbangan 2% Jumlah Bruto


dan Bandar Udara. Tidak termasuk PPN

i. Jasa Penerbangan Hutan


2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
j. Jasa Pengolahan Limbah. 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
k. Jasa Penyediaan Tenaga Kerja 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
l. Jasa Perantara dan atau Keagenan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
m. Jasa di Bidang Perdagangan Surat-Surat 2% Jumlah Bruto
Berharga, Kecuali yang Dilakukan oleh Tidak termasuk PPN
Bursa Efek, KSEL, dan KPEI.

n. Jasa Kustodian/Penyimpanan/Penitipan,
kecuali yang dilakukan KSEI 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
o. Jasa pengisian surat dan atau Sulih
Surat 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
Jumlah Bruto
p. Jasa Mixing Film
2% Tidak termasuk PPN
q. Jasa Sehubungan dengan Software
Komputer, Termasuk Perawatan, 2% Jumlah Bruto
Pemeliharaan dan Perbaikan. Tidak termasuk PPN

r. Jasa Instalasi/Pemsangan Mesin,


Listrik/ Telepon/Air/Gas/AC/TV Kabel, 2% Jumlah Bruto
selain yang Dilakukan oleh Wajib Pajak Tidak termasuk PPN
yang Ruang Lingkupnya di bidang
Kontruksi dan Mempunyai Izin dan
atau Sertifikat Sebagai Pengusaha
Kontruksi.

s. Jasa Perawatan/Pemeliharaan/Perbaikan 2% Jumlah Bruto


Mesin, Listrik/Telepon/Air/Gas/AC/TV Tidak termasuk PPN
kabel, Alat Transporttasi/kendaraan dan
atau Bangunan, Selain yang Dilakukan
oleh Wajib Pajak yang Ruang
Lingkupnya di Bidang Kontruksi dan
Mempunyai izin dan atau Sertifikat 2% Jumlah Bruto
sebagai Pengusaha Kontruksi. Tidak termasuk PPN
2% Jumlah Bruto
t. Jasa Maklon Tidak termasuk PPN
2% Jumlah Bruto
u. Jasa Penyelidikan dan Keamanan Tidak termasuk PPN
2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
v. Jasa penyelenggara Kegiatan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
w. Jasa Pengepakan

x. Jasa Penyediaan Tempat dan atau Jumlah Bruto


Waktu dalam Media Massa, Media 2% Tidak termasuk PPN
LUar Ruang atau Media Lain untuk Jumlah Bruto
Penyampaian Informasi 2% Tidak termasuk PPN
Jumlah Bruto
2% Tidak termasuk PPN
y. Jasa Pembasmian Hama

z. Jasa Kebersihan

aa. Jasa catering atau Tata Boga

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh


Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos-pos yang terdapat dibuku-buku pengeluaran/pembelian/ penjualan yang
memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebgian
maupun keseluruhan).

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan Bruto dalam SPT Masa
PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.

Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang
ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan terssebut.

Hal ini disebabkan karena :

1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.

Contoh :

Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23 :

 Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan


penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPH Pasal 23 Rp 400.000.000
 Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak
terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak
perjanjian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal
23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Pohan, Chairil. 2010. Manajemen Perpajakn. GM. Jakarta..

Anda mungkin juga menyukai