Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN VB

KEGAWATDARURATAN MATERNAAL DAN NEONATAL

ASUHAN KEBIDANAN PADA NY.S G1P0A0 USIA KEHAMILAN 37


MINGGU DENGAN RUPTURE PERINEUM DERAJAT III

DIPUSKESMAS PAGARSIH BANDUNG

Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Klinik Kebidanan VB Di


Puskesmas Pagarsih Bandung.

Nama Pembimbing :

Disusun Oleh :

SHERLI (183112540120600)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan praktek kebidanan yang berjudul :
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini, terutama kepada :
Asuhan Kebidanan Pada Ny.S G1p0a0 Usia Kehamilan 37 Minggu Dengan
Rupture Perineum Derajat Iii

Dipuskesmas Pagarsih Bandung. Laporan praktek kebidanan ini disusun dengan


maksud untuk memenuhi praktek klinik kebidanan V.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan pengarahan dari berbagai


pihak, laporan praktek kebidanan ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Puskesmas Pagarsih Bandung, yang telah bersedia memberikan ijin


kepada penulis dalam melaksanakan praktek klinik kebidanan V
2. Selaku Pembimbing lahan praktek
3. Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
petunjuk dan bimbingan kepada penulis
4. Seluruh bidan-bidan
5. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
menyelesaikan Laporan Praktek Klinik Kebidanan V.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran para pembaca akan penulis terima
dengan senang hati demi perbaikan laporan ini. Dengan harapan laporan ini bisa
membawa berkah manfaat bagi semua pihak.

Bandung, 13 Juli 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indicator untuk
melihat derajat kesehatan seorang masyarakat. Hasil Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukan Angka Kematian
Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes,
2009). Namun pada SDKI tahun 2012 angka kematian ibu kembali naik
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2012).
Angka kematian ibu Provinsi Jawa Barat
Penyebab lagsung kematian ibu sebesar 90% terjadi pada saat
persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan (32%), hipertensi(25%) dan partus lama dan infeksi
(5%) dan abortus (1%). Penyebab tidak langsung kematian ibu adalah
masih banyaknya kasus 3 terlambat dan 4 terlalu yaitu terlambat
mengenali tanda bahaya persalinan, terlambat rujuk ke fasilitas kesehatan
dan terlambat ditanganu oleh tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan
(Kemenkes RI, 2011).
Menurut Prawirodhardjo (2009), perdarahan pasca persalinan dapat
menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah
melahirkan, 68-73% dalam satu minggu setelah melahirkan, dan 82-88%
dalam 2 minggu setelah melahirkan. Yang terjadi pada 24 jam pertama
setelah melahirkan disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan
lahir, dan sisanya adalah sisa plasenta. Robekan jalan lahir selalu
memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya.
Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi, yaitu
sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Robekan yang
terjadi bisa ringan (lecet, atau laserasi), luka episiotomy, rupture uteri,
robekan perineum spontan derajat I sampah IV (sfingter ani) terputus,

3
robekan pada dinding vagina, fornix uteri, serviks, daerah sekitar klitoris
dan uretra.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
ditarik perumusan masalah dalam studi kasus ini adalah “Bagaimana
Asuhan Kebidanan Ibu Bersalin pada Ny. S G P A umur 16 tahun Hamil
39 Minggu Dengan Rupture Perineum Derajat III di Puskesmas Pagarsih
Bandung?”
C. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Penulis mampu melaksanakan Asuhan Kebidanan Ibu Bersalin Pada
Ny. S GPA umur 16 tahun hamil 39 minggu dengan rupture perineum
derajat III dengan menggunakan manajemen asuhan kebidanan SOAP.
2. Tujuan khusus
a. Pelaksanaan studi kasus ini di harapkan :
1) Penulis mampu melakukan pengkajian terhadap ibu bersalin
Ny. S dengan Rupture Perineum Deraja III secara lengkap dan
sistematis di Puskesmas Pagarsih Bandung.
2) Penulis mampu menginterpretasikan data yang meliputi
diagnosa kebidanan, masalah dan kebutuhan pada ibu bersalin
Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di Puskesmas
Pagarsih Bandung.
3) Penulis mampu merumuskan diagnose potensial pada ibu
bersalin Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di
Puskesmas Pagarsih Bandung.
4) Penulis mampu melakukan antisipasi atau tindakan segera pada
ibu bersalin Ny. P dengan Rupture Perineum Derajat III di
Puskesmas Pagarsih Bandung.

4
5) Penulis mampu merencanakan tindakan yang menyeluruh
sesuai dengan pengkajian data pada ibu bersalin Ny. S dengan
Rupture Perineum Derajat III di Puskesmas Pagarsih Bandung.
6) Penulis mampu melakukan tindakan asuhan kebidanan pada
ibu bersalin Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di
Puskemas Pagarsih Bandung.
7) Penulis mampu mengevaluasi hasil asuhan kebidanan pada ibu
bersalin Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di
Puskesmas Pagarsih Bandung.
b. Penulis mampu menganalisa kesenjangan antara teori dan kasus
nyata dilapangan termasuk factor pendukung dan penghambat pada
ibu bersalin Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di
Puskesmas Pagarsih Bandung.
c. Mahasiswa mampu memberikan alternative pemecahan
kesenjangan teori dan kasus pada penatalaksanaan pada ibu
bersalin Ny. S dengan Rupture Perineum Derajat III di Puskesmas
Pagarsih Bandung.
D. Manfaat Studi Kasus
1. Bagi Diri Sendiri
Menambah pengetahuan, wawasan, pengalaman dan keterampilan
dalam memberikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan rupture
perineum derajat III.
2. Bagi Profesi
Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan
ibu bersalin dengan rupture perineum derajat II.
3. Bagi Puskesmas Pagarsih Bandung
Dapat digunakan sebagai peningkatan kualitas dalam pelaksanaan
asuhan kebidanan ibu bersalin dengan rupture perineum derajat III.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai referensi yang bermanfaat untuk memberikan
asuhan kebidanan ibu bersalin dengan rupture perineum derajat III.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Persalinan
a. Pengertian
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu),
lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung
dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik ibu maupun pada janin
(Prawirodhardjo, 2009).
Persalinan adalah proses pengeluaran janin dan plasenta yang
sudah cukup bulan melalui jalan lahir.
b. Macam macam persalinan
1) Menurut Kuswanti dan Melina (2014), cara persalinan, yaitu :
a. Persalinan spontan (normal/biasa)
Yaitu persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu
sendiri dan melalui jalan lahir.
b. Persalinan buatan
Yaitu persalinan yang dibantu dari luar misalnya vacuum,
ekstraksi, forceps, SC.
c. Persalinan anjuran
Yaitu terjadi bila bayi sudah cukup besar untuk hidup di
luar, tetapi tidak sedemikian besaranya sehingga
menimbulkan kesulitan dalam persalinan, misalnya dengan
induksi persalinan.
2) Menurut Mochtar (2011), usia kehamilan :

6
a. Abortus (keguguran) adalah terhentinya kehamilan sebelum
janin dapat hidup, berat janin di bawah 1000 gram, umur
kehamilan di bawah 28 minggu.
b. Partus prematurus adalah pengeluaran hasil konsepsi pada
kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi
premature, berat janin antara 1000-2500 gram.
c. Partus matures atau aterm (cukup bulan) adalah pada
kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan diatas
2500 gram.
d. Partus presipitatus adalah partus yang berlangsung sangat
cepat, mungkin di kamar mandi, di atas becak, dan
sebagainya.
e. Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan
persalinan untuk memperoleh bukti tentang ada atau
tidaknya disproporsi sefalopelvik.
c. Tanda-tanda persalinan
1) Terjadinya lightening
Yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada
primigravida.
2) Terjadi his permulaan
Sifat his permulaan (palsu) adalah sebagai berikut :
a) Rasa nyeri ringan di bagian bawah
b) Datang tidak teratur
c) Tidak ada perubahan pada serviks
d) Durasi pendek
e) Tidak bertambah bila beraktivitas
3) Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.
4) Perasaan sering atau susah buang air kecil karena kandung
kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
5) Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya
bertambah, kadang-kadang bercampur darah (bloody show).

7
(Rohani dkk, 2011)
Tanda-tanda inpartu :
a) Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering
atau teratur
b) Keluar lender bercampur darah (show) yang lebih banyak
karena robekan-robekan kecil pada serviks
c) Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya
d) Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan permukaan
telah ada.
(Kuswanti dan Melina, 2014)
d. Tahapan persalinan
Menurut Rohani dkk (2011) :
1) Kala I (pembukaan)
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan
pembukaan serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10
cm).
Persalinan kala I dibagi menjadi dua fase :
a) Fase laten : dimana pembukaan serviks berlangsung lambat
dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan
dan pembukaan secara bertahap sampai pembukaan 3 cm,
berlangsung dalam 7-8 cm.
b) Fase aktif : pembukaan serviks 4-10 cm, berlangsung
selama 6 jam dan dibagi dalam 3 subfase :
a. Periode akselerasi : berlangsung selama 2 jam
pembukaan menjadi 4 cm.
b. Periode dilatasi maksimal : berlangsung selama 2 jam.
Pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm.
c. Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam 2 jam
pembukaan jadi 10 cm atau lengkap.
2) Kala II (pengeluaran bayi)

8
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Diagnose
kala II ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dalam untuk
memastikan pembukaan sudah lengkap dan kepala janin sudah
tampak di vulva dengan diameter 5-6 cm.
Tanda dan gejala kala II :
a) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit.
b) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya
kontraksi
c) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rectum
dan atau vagina.
d) Perineum terlihat menonjol.
e) Vulva-vagina dan sfingter ani terlihat membuka.
f) Peningkatan pengeluaran lendir darah
3) Kala III (Pelepasan plasenta)
Kala III adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran
plasenta. Setelah kala II yang berlangsung tidak lebih dari 30
menit, kontraksi uterus berhenti sekitar 5-10 menit. Tanda-
tanda pelepasan plasenta :
a) Uterus menjadi bundar
b) Tali pusat bertambah panjang
c) Terjadi perdarahan
d) Uterus terdorong ke atas.
4) Kala IV (Observasi)
Kala IV mulai dari lahirnya plasenta selama 1-2 jam. Pada kala
IV dilakukan observasi terhadap perdarahan pasca persalinan,
paling sering terjadi pada 2 jam pertama. Observasi yang
dilakukan adalah :
a) Tingkat kesadaran pasien
b) Pemeriksaan tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, dan
pernafasan.

9
c) Kontraksi uterus
d) Terjadinya perdarahan, perdarahan dianggap masih normal
bila jumlahnya tidak melebihi 400-500 cc.
(Sulistyawati dan Nugraheny, 2010)
e. Factor yang berperan dalam persalinan
Menurut Rohani dkk (2010), factor-faktor yang berperan dalam
persalinan yaitu :
1) Power (Tenaga/Kekuatan) : kekuatan his yang mendorong
janin dalam persalinan dan ditambah dengan kekuatan tenaga
ibu dalam meneran.
2) Passage (jalan lahir) : panggul ibu, jalan lahir otot.
3) Passanger : janin, plasenta, dan selaput ketuban.
2. Rupture Perineum
a. Pengertian
Rupture perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Namun hal ini
dapat dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan
sampai dasar panggul dilalui kepala janin dengan cepat.
Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi baru
lahir spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.
Rupture perineum derajat III adalah robekan yang mengenai
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum
dan otot spingter ani eksterna (Yulianti dan Rukiyah, 2010).
b. Derajat laserasi perineum :
i. Derajat I : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum.
ii. Derajat II : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otor perineum.
iii. Derajat III : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani eksterna.

10
iv. Derajat IV : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani eksterna, dinding
rectum anterior.
(Yulianti dan Rukiyah, 2010)
c. Tanda dan gejala (Melina dan Kuswanti, 2014) :
i. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
ii. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan
ini terus menerus.
iii. Setelah dilakukan massase atau pemberian uterotonika
langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
d. Penyebab Robekan Perineum (Sukarni dan Margareth, 2013) :
i. Kepala janin terlalu cepat lahir.
ii. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya.
iii. Jaringan parut pada perineum.
iv. Distosia bahu
3. Penjahitan
a. Pengertian
4.
Bedsite Teaching adalah pembelajaran yang dilakukan
langsung didepan pasien. Dengan metode Bedside Teaching
mahasiswa dapat menerapkan ilmu pengetahuan, melaksanakan
kemampuan komunikasi, keterampilan klinik dan profesionalisme,
menemukan seni pengobatan, mempelajari bagaimana tingkah laku
dan pendekatan dokter kepada pasien.
Metode bimbingan klinik bedside teaching merupakan salah
satu model bantuan yang diberikan oleh pembimbing untuk membantu
peserta didik dalam mencapai pembelajaran klinik melalui proses
peningkatan kemampuan intelektual, tehnikal, dan interpersonal.
Metode bedsite teaching memungkinkan pembimbing klinik untuk
mengajar secara langsung kepada peserta didik supaya bisa menguasai
keterampilan procedural dan menumbuhkan sikap professional.

11
Bedside Teaching merupakan pembelajaran kontektual dan
interaktif yang mendekatkan pembelajaran pada real clinical setting.
Bedside Teaching merupakan model pembelajaran yang peserta
didiknya mengaplikasikan kemampuan kognitif. Psikomotorik dan
afektif secara terintegrasi. Sementara itu, dosen bertindak sebagai
fasilitator dan mitra pembelajaran yang siap untuk memberikan
bimbingan dan umpan balik kepada peserta didik. Di dalam proses
bedside teaching diperlukan searifan fasilitator tentang kemungkinan
timbulnya hal-hal yang tidak diiginkan sebagai akibat dari interaksi
antara peserta didik (mahasiswa kesehatan) dan pasien.

Menurut Conigliaro (2009), bedside teaching merupakan


proses pembelajaran dimana pembimbing, mahasiswa dan pasien
bersama dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang status
kesehatan pasien, melakukan pemeriksaan fisik, dan mendiskusikan
diagnose dan perawatan pasien.

5. Tujuan Bedside Teaching


Antara lain :
1. Peserta didik mampu menguasai keterampilan procedural.
2. Menumbuhkan sikap professional.
3. Mempelajari perkembangan biologis/fisik.
4. Melakukan komunikasi dengan pengamatan langsung.
6. Manfaat Bedside Teaching
Agar pembimbing klinik dapat mengajarkan dan mendidik
peserta didik untuk menguasai keterampilan procedural,
menumbuhkan sikap professional, mempelajari perkembangan
biologis/fisik, melakukan komunikasi melalui pengamatan langsung
(Nursalam 2007).
7. Kelebihan Bedside Teaching
Beberapa keuntungan bedside teaching antara lain:
1. Observasi langsung.

12
2. Menggunakan seluruh pikiran.
3. Klasifikasi dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4. Kesempatan untuk membentuk keterampilan kilinik mahasiswa.
5. Memperagakan fungsi.
6. Perawatan.
7. Keterampilan interaktif.
8. Bedside Teaching tidak hanya dapat ditetapkan di rumah sakit,
keterampilan bedside teaching juga dapat ditetapkan dibeberapa
situasi dimana ada pasien.

8. Kekurangan Bedside Teaching

1. gangguan (misalnya ada panggilan telepon/HP bordering).

2. waktu rawat inap yang singkat.

3. ruang yang kecil sehingga padat dan sesak.

4. tidak ada papan tulis

5. tidak dapat mengacu pada buku

6. Pelajar lelah

9. Prosedur/pelaksanaan Bedside Teaching


Keterampilan Bedside Teaching dapat kita laksanakan namun
sulit mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu perlu perencanaan yang
matang agar berhasil dan efektif.

Persiapan sebelum pelaksanaan bedside teaching :

1. Persiapan
a. Tentukan tujuan dari setiap sesi pembelajaran.
b. Baca teori sebelum pelaksanaan.
2. Ingatkan mahasiswa akan tujuan pembelajaran
a. Mendemontrasikan pemeriksaan klinik.

13
b. Komunikasi dengan pasien.
c. Tingkah laku yang professional.
3. Persiapan pasien
a. Keadaan umum pasien baik.
b. Jelaskan pada pasien apa yang akan dilakukan.
4. Lingkungan/ Keadaan
Pastikan keadaan ruangan nyaman untuk belajar :
a. Tarik gorden.
b. Tutup pintu
c. Mintalah pasien untuk mematikan televisinya

Pelaksanaan bedside teaching antara lain:

1. Membuat peraturan dasar


a. Pastikan setiap orang tau apa yang diharapkan dari mereka.
b. Mencakup etika.
c. Batasi interupsi jika mungkin.
d. Batasi penggunaan istilah kedokteran saat didepan pasien.
2. Perkenalan
a. Perkenalkan seluruh anggota tim.
b. Jelaskan maksud kunjungan.
c. Biarkan pasien menolak dengan sopan.
d. Anggota keluarga diperkenankan boleh berada dalam ruangan
jikan pasien mengizinkan.
e. Jelaskan pada pasien atau keluarga bahwa banyak yang akan
didiskusikan, mungkin tidak diterapkan langsung pada pasien.
f. Undang partisipasi pasien dan keluarga
g. Posisikan pasien sewajarnya posisi tim di sekitar tempat tidur
3. Anamnesa
a. Hindari pertanyaan tentang jenis kelamin atau ras.
b. Hindari duduk diatas tempat tidur pasien.

14
c. Izinkan interupsi oleh pasien dan belajar untuk menyoroti hal
penting atau untuk memperjelas.
d. Jangan mempermalukan dokter yang merawat pasien
4. Pemeriksaan fisik
a. Minta pelajar untuk memeriksa pasien
b. Izinkan pasien untuk berpartisipasi (mendengarkan bising,
meraba hepar, dll).
c. Minta tim untuk mendemontrasikan teknik yang tepat.
d. Berikan beberapa waktu agar pelajar dapat menilai hasil
pemeriksaan yang baru pertama kali ditemukan.

5. Pemeriksaan penunjang
a. Jika mungkin tetap berada disamping tempat tidur.
b. Rongent, ECG bila mungkin.
c. Izinkan pasien untuk meninjau ulang dan berpartisipasi.
6. Diskusi
a. Ingatkan pasien bahwa tidak semua yang didiskusikan akan
dilaksanakan biarkan pasien tahu kapan itu bisa dilaksanakan.
b. Hati-hati memberikan pertanyaan yang tidak dapat dijawab
kepada mahasiswa yang merawat pasien.
c. Berikan pertanyaan pertama kali pada tim yang paling junior.
“saya tidak tahu” adalah jawaban yang tepat, setelah itu
gunakan kesempatan untuk mencari jawaban.
d. Hindari bicara tidak perlu.
e. Izinkan pasien untuk bertanya sebelum meninggalkan tempat
tidur.
f. Minta pasien untuk menanggapi bedside teaching yang telah
dilakukan.
g. Ucapkan terima kasih kepada pasien.
7. Hambatan bedside teaching

15
Dalam pelaksanaan bedside teaching, ada beberapa
hambatan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan bedside
teaching:
a. Gangguan (misalnya panggilan telpon).
b. Waktu rawat inap yang singkat.
c. Ruangan yang kecil sehingga pada dan sesak
d. Tidak ada papan tulis
e. Tidak dapat mengacu pada buku
f. Pelajar lelah.
Adapun beberapa hambatan dari pasien :
a. Pasien merasa tidak nyaman.
b. Menyakiti pasien, terutama pada pasien yang kondisi fisiknya
tidak stabil.
c. Pasien tidak ada di tempat
d. Pasien salah pengertian dalam diskusi.

B. Metode Demonstrasi
1. Pengertian dan Konsep Metode Demonstrasi
Demontrasi merupakan salah satu metode yang cukup efektif
karena membantu siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri
berdasarkan fakta dan data yang benar. Demonstrasi menuntut peran
serta didik untuk mengasah rasa keingintahuan dan pengetahuan
dengan melakukan pengamatan secara intensif dari hasil penyampaian
materi yang disampaikan dan disajikan oleh pendidik. Metode
demonstrasi merupakan metode penyajian pembelajaran dengan
memperagakan dan mempertunjukan kepada siswa tetang suatu proses,
situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan
(Abdul Majid, 2013:197).
Secara khusus terdapat beberapa definisi yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai metode demonstrasi.
Menurut Saiful Sagala (2005) metode demonstrasi adalah petunjuk
dengan proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada
penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui dan
dipahami oleh peserta didik secara nyata. Pendapat yang lain, menurut
Muhibbin Syah, metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan

16
cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan
suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan
media pembelajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi
yang sedang disajikan (Muhibbin Syah, 2003:22).
Adapun menurut Syaiful Bahri Djamarah, metode demonstrasi
merupakan metode yang digunakan untuk memperhatikan suatu proses
atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran
(Syaiful Bahri dan Zain Aswan, 2005:2).
Dalam arti lain, metode demonstrasi merupakan serangkaian
proses pembelajaran yang disampaikan oleh seorang instruktur atau
guru yang meliputi menunjukan serta memperlihatkan suatu proses
tertentu sehingga siswa dapat secara langsung memahami secara
mendalam materi yang disampaikan oleh instruktur atau guru
(Roestiyah, 2008:83).
Dalam metode demontrasi diperlukan keterampilan atau teknik
tertentu yang perlu dikuasai oleh guru sehingga materi yang akan
disampaikan dapat diserap serta ditangkap oleh siswa dengan baik.
Selain itu, dengan menggunakan metode demonstrasi maka proses
belajar siswa menjadi lebih terarah dan hasil pembelajaran lebih
berkesan dan melekat dalam diri siswa.
Sebagai metode penyajian, demonstrasi tidak lepas dari
penjelasan secara lisan oleh guru. Walaupun dalam proses demonstrasi
peran siswa hanya sekedar memperhatika, tetapi demonstrasi dapat
menyajikan bahan pelajaran lebih konkret. Dalam strategi
pembelajaran, demonstrasi dapat digunakan untuk mendukung strategi
pembelajaran ekspositori dan inkuiri. Hal ini dikarenakan kedua
metode tersebut merupakan metode pembelajaran yang memerlukan
teknik khusus dalam penerapannya yang dapat dikombinasikan dengan
metode demontrasi supaya semakin efektif dan menunjang
keberhasilan kedua metode tersebut.
Setiap metode pembelajaran pasti memiliki suatu landasan atau
pedoman dasar yang menjadi titik berkembangnya suatu metode yang
biasa disebut dengan konsep .
Terdapat beberapa konsep dasar yang digunakan sebagai acuan
digunakannya metode demonstrasi dalam kegiatan pembelajaran.
Beberapa konsep dasar tersebut diantaranya dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Pembelajaran ini digunakan khusus pada materi yang memerlukan
peragaan media atau eksperimen (Ngalimun, 2013: 175).

17
2. Metode penyajian pelajaran dilakukan dengan cara memperagakan
dan mempertunjukan kepada peserta didik tentang satu proses,
situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau sekedar tiruan.
3. Demonstrasi tidak terlepas dari penjelasan secara lisan oleh guru.
4. Peran peserta didik hanya sekedar memperhatikan, akan tetapi
demonstrasi dapat menyajikan bahan pelajaran lebih konkret
(Mulyono, 2011:87).
5. Selain konsep diatas, alas an terpenting para pendidik atau guru
menggunakan metode ini bertujuan agar siswa mampu memahami
tentang cara mengatur atau menyusun sesuatu (Roestiyah,
2008:83).
2. Langkah-langkah Menggunakan Metode Pembelajaran Demonstrasi
a. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ada beberapa hal yang harus dilakukan:
a) Merumuskan tujuan yang harus dicapai oleh siswa setelah
proses demonstrasi berakhir.
b) Menyiapkan garis besar langkah-langkah demonstrasi yang
akan dilakukan.
c) Melakukan uji coba demonstrasi.
b. Tahap pelaksanaan
a) Langkah pembukaan
Sebelum demonstrasi dilakukan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, diantaranya:
 Mengatur tempat duduk yang memungkinkan semua siswa
dapat memperhatikan dengan jelas apa yang
didemonstrasikan.
 Mengemukakan tujuan apa yang harus dicapai oleh siswa.
 Mengemukakan tugas-tugas apa yang harus dilakukan oleh
siswa, misalnya siswa ditugaskan untuk mencatat hal-hal
yang dianggap penting dari pelaksanaan demonstrasi.
b) Langkah Pelaksanaan Demonstrasi
 Mulailah demonstrasi dengan kegiatan-kegiatan yang
merangsang siswa untuk berpikir, misalnya melalui
pertanyaan-pertanyaan yang mengandung teka-teki
sehingga mendorong siswa untuk tertarik memperhatikan
demonstrasi.
 Ciptakan suasana yang menyejukkan dengan menghindari
suasana yang menegangkan.
 Yakinkan bahwa semua siswa mengikuti jalannya
demonstrasi dengan memperhatikan reaksi seluruh siswa.

18
 Berikan kesempatan kepada siswa dengan apa yang dilihat
dari proses demonstrasi itu.
c) Langkah Mengakhiri Demonstrasi
Apabila demonstrasi telah selesai dilakukan, proses
pembelajaran perlu diakhiri dengan memberikan tugas-tugas
tertentu yang ada kaitannya dengan pelaksanaan demonstrasi
dan proses pencapaian tujuan pembelajaran. Hal ini diperlukan
untuk menyakinkan apakah siswa memahami proses
demonstrasi itu atau tidak. Selain memberikan tugas yang
relevan, ada baiknya guru dan siswa melakukan evaluasi
bersama tentang jalannya proses demonstrasi itu untuk
perbaikan selanjutnya (Abdul Majid, 2013: 198-199).

3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Demonstrasi


Metode demonstrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai
berikut:
a. Kelebihan Metode Demonstrasi
a) Verbalisme akan dapat dihindari, sebab peserta didik disuruh
langsung memperhatikan bahan pelajaran yang dijelaskan.
b) Peserta didik dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap
penting oleh pengajar sehingga peserta didik dapat menangkap
hal-hal yang penting.
c) Proses pembelajaran lebih menarik, karena peserta tidak hanya
mendengar, tetapi juga melihat peristiwa yang terjadi.
d) Peserta didik memiliki kesempatan untuk membandingkan teori
dan kenyataan dan meyakini kebenaran materi pembelajaran.
e) Memperoleh pengalaman praktek.
f) Beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan peserta didik
akan dapat dijawab waktu mengalami proses demonstrasi.

Dalam beberapa referensi menyimpulkan kelemahan metode


demonstrasi adalah sebagai berikut:

a) Memerlukan persiapan yang lebih matang


b) Memerlukan peralatan, bahan-bahan dan tempat yang memadai
sehingga pembiayaannya lebih mahal.
c) Memerlukan keterampilan guru yang khusus, sehingga guru
dituntut bekerja lebih professional.

19
C. Rounde Kebidanan
1. Definisi Ronde Kebidanan
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah
kebidanan klien yang dilaksanakan oleh bidan, disamping pasien
dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan asuhan kebidanan akan
tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh bidan primer atau
konselor, kepala ruangan, bidan associate yang perlu juga melibatkan
seluruh anggota tim.
Ronde kebidanan merupakan suatu metode pembelajaran klinik
yang memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan
pengetahuan teoritis ke dalam peraktik kebidanan secara langsung.
Karakteristik ronde kebidanan adalah sebagai berikut:
1. Klien dilibatkan secara langsung

2. Klien merupakan fokus kegiatan

3. Bidan associate, bidan primer dan konselor melakukan diskusi

bersama

4. Konselor memfasilitasi kreatifitas

5. Konselor membantu mengembangkan kemampuan bidan associate,

bidan

6. primer untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah.

2. Tujuan Rounde Kebidanan

Adapun tujuan ronde kebidanan adalah sebagai berikut:

1. Menumbuhkan cara berpikir secara kritis.


2. Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan kebidanan yang berasal
dari masalah klien.
3. Meningkatkan validitas data klien.
4. Menilai kemampuan justifikasi.
5. Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja.

20
6. Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana
kebidanan.
3. Peran dalam Ronde Kebidanan
a. Peran Ketua Tim dan Anggota Tim
1. Menjelaskan keadaan dan data demografi klien.
2. Menjelaskan masalah kebidanan utama.
3. Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan.
4. Menjelaskan tindakan selanjutnya.
5. Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil.

b. Peran Ketua Tim Lain dan Konselor


a) Bidan primer (Ketua Tim) dan Bidan associate (anggota tim)
Dalam menjalankan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan
yang bisa untuk memaksimalkan keberhasilan yang bisa
disebutkan antara lain:
1) Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
2) Menjelaskan masalah kebidanan utama
3) Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan
dilakukan
4) Menjelaskan tindakan selanjutnya
5) Menjelaskan alas an ilmiah tindakan yang akan diambil
b) Peran bidan primer (Ketua Tim) lain dan Konselor
1) Memberikan justifikasi
2) Memberikan reinforcement
3) Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi kebidanan
serta tindakan yang rasional
4) Mengarahkan dan koreksi
5) Mengintergrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari
4. Langkah-langkah rounde kebidanan
a. Persiapan

21
1. Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan
ronde
2. Pemberian inform consent kepada klien/keluarga
b. Pelaksanaan
1. Penjelasan tentang klien oleh bidan primer dalam hal ini
penjelasan difokuskan pada masalah kebidanan dan rencana
tindakan yang akan atau telah dilaksaanakan dan memilih
prioritas yang perlu didiskusikan.
2. Diskusikan antar anggota tim tentang kasus tersebut
3. Pemberian justifikasi oleh bidan primer/bidan konselor/kepala
ruangan tentang masalah klien serta tindakan yang akan
dilakukan.
4. Tindakan kebidanan pada masalah prioritas yang telah dan
yang akan ditetapkan.
c. Pasca Ronde
Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta
menetapkan tindakan yang perlu dilakukan.

5. Kelemahan Ronde Kebidanan


Kelemahan metode ini adalah klien dan keluarga mersa kurang
nyaman serta privasinya terganggu.
Masalah yang biasanya terdapat dalam metode ini adalah sebagai
berikut:
1. Berorientasi pada prosedur kebidanan
2. Persiapan sebelum praktek kurang memadai
3. Belum ada keseragaman tentang laporan hasil ronde kebidanan
4. Belum ada kesempatan tentang model ronde kebidanan.

D. Coaching
1. Pengertian Coaching

22
Pada masa yang lalu, coaching sebagai sarana pengembangan muncul
dari dunia olahraga menjadi suatu alat penting untuk pengembangan
pribadi dalam pekerjaan dan untuk mencoba mengkaji dalam pilihan
hidup. Coaching juga tumbuh dalam bidang kehidupan, pasarnya
sendiri bahkan lebih beragam, berkisar dari coach yang bekerja dalam
bidang kesehatan seperti penghentian merokok, manajemen stres dan
diet, sampai gaya hidup. Pada bidang kesehatan ini para coach secara
khusus dilatih dengan latar belakang pelayanan kesehatan atau
psikologi. Dalam bidang kesehatan coaching merupakan alternatif
untuk konseling (Passmore, 2010).
Coaching merupakan proses untuk mencapai suatu prestasi kerja
dimana ada seorang yang mendampingi, memberikan tantangan,
menstimulasi dan membimbing untuk terus berkembang sehingga
seseorang bisa mencapai suatu prestasi yang diharapkan.
Seseorang yang melakukan coaching disebut coach dan orang
yang dicoaching disebut coachee.Proses coaching akan sangat
menolong seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya, yaitu untuk
mencapai satu titik dimana dia tidak hanya dapat mengetahui
keberadaannya saat itu tetapi juga mengetahui potensi kemampuan
yang seharusnya dapat dicapai. Orang yang
melakukan coaching terikat dalam satu kerjasama yang baik dengan
coacheenya sehingga melalui proses ini terjalin satu kedekatan dan
saling pengertian yang lebih mendalam (Riandi & Supriatno, 2009).
Proses coaching sering diartikan sebagai sarana untuk membantu
mengatasi dan memecahkan masalah pada individu, memberikan
motivasi dan dukungan semangat dalam melaksanakan tugasnya.
Kesempatan untuk peningkatan kerja bisa diperoleh melalui
keterampilan. Untuk memperoleh bantuan yang nyata dapat diberikan
dari dukungan individu atau organisasi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang fasilitator dalam
melakukan bimbingan:

23
a. Apa hasil yang diharapkan atau yang diinginkan
b. Bagaimana cara mengukurnya
c. Perubahan apa yang diperlukan untuk memenuhi harapan atau hasil
yang diinginkan

Fasilitator harus menentukan apakah peserta mampu memenuhi


harapan atau hasil yang diinginkan. Terkait dengan waktu dan usaha
yang diperlukan untuk tujuan tersebut juga harus ditentukan dengan
menggunakan panduan kinerja (Mercurio, 2008).

2. Tujuan Coaching
Tujuan yang umum diperoleh dari coaching adalah dapat
meningkatkan kinerja individu dan organisasi, keseimbangan yang
lebih baik antara pekerjaan dengan kehidupan, motivasi yang lebih
tinggi, pemahaman diri yang lebih baik, pengambilan keputusan yang
lebih baik dan peningkatan pelaksanaan manajemen perubahan.
Beberapa tujuan coaching:
a. Menstimulan pengembangan keterampilan peserta secara
individual
b. Membantu peserta menggunakan pekerjaan sebagai pengalaman
pembelajaran dengan bimbingan dan mengembangkan profesional
peserta
c. Memberi kesempatan kepada peserta untuk melengkapi pekerjaan
yang diberikan fasilitator dan pada saat yang sama mempersiapkan
keterampilan peserta dalam mengambil tanggung jawab dan
pekerjaan mendatang
d. Meningkatkan kemampuan kemandirian belajar dari peserta dan
mengatasi permasalahan yang dihadapi mereka
3. Proses Coaching
Proses coaching adalah untuk menetapkan dan menjelaskan arah dan
tujuan serta untuk mengembangkan rencana-rencana kerja untuk
mencapai tujuan. Selain itu dijelaskan juga satu pengertian mengenai

24
hal-hal yang penting dalam kehidupan bahwa kita diberikan
kemampuan untuk mengambil dan melaksanakan tanggung jawab
yang telah diberikan dan membangun serta melakukan setiap rencana
kerja. Secara sederhana proses coaching akan membantu untuk
menciptakan visi yang terbaik dan terbaru yang dimiliki dalam rangka
mencapai suatu keberhasilan. Dimana keberhasilan adalah saat kita
dapat mencapai tujuan secara kontinyu.
Proses coaching pada intinya adalah suatu percakapan, dialog antara
seorang peserta dengan orang yang membimbing (fasilitator).
Penerapan konteks pendekatan hasil (result oriented) yang produktif,
seorang coach akan melibatkan si coachee untuk membicarakan
sesuatu yang sudah diketahui. Pada kenyataannya
seorang coachee suah memiliki semua jawaban terhadap semua
pertanyaan, apakah itu sudah ditanyakan atau belum ditanyakan. Dapat
disimpulkan bahwa proses coaching juga meningkatkan proses
berpikir dari yang dibimbing.
Seorang coach akan membantu coachee di dalam suatu proses
pembelajaran, tetapi coach bukanlah seorang guru dan tidak perlu
untuk mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu dengan lebih baik
daripada yang dikerjakan coachee. Tetapi yang terpenting adalah
seorang coach akan lebih mengobservasi mengenai pola, menetapkan
tahap-tahap tindakan atau action yang lebih baik yang akan dikerjakan.
Dimana proses ini melibatkan proses pembelajaran melalui berbagai
teknik coaching seperti:
a. Mendengarkan
b. Refleksi, menanyakan pertanyaan dan menyediakan informasi
c. Seorang coach akan menolong coachee untuk menjadi seorang
yang mampu mengoreksi dirinya sendiri dan membangkitkan diri
sendiri. Sehingga dia dapat belajar untuk memperbaiki sikap dan
tingkah lakunya, membangkitkan pertanyaan-pertanyaan dan
menemukan jawabannya.

25
Dalam proses coaching, fasilitator melaksanakan hal berikut ini:

a. Menjelaskan keterampilan dan interaksi yang akan dilakukan


kepada peserta yang dibimbing
b. Memeragakan keterampilan dengan cara yang sistematis, efektif,
dengan menggunakan alat bantu latihan seperti model anatomic
atau boneka
c. Mengamati secara saksama simulasi ulang oleh peserta pada
tatanan seperti kondisi nyata

Langkah-langkah dalam coaching, yaitu:

a. Sebelum praktik sebaiknya peserta mengadakan pertemuan


untuk mereview kegiatan, termasuk langkah-langkah yang perlu
mendapat penekanan
b. Fasilitator merencanakan skenario pembelajaran secara rinci dan
menyiapkan seluruh instrumen bimbingan termasuk instrumen
evaluasi
c. Instrumen evaluasi disampaikan dan dibahas bersama dengan
peserta
d. Fasilitator menyiapkan ruangan pelatihan beserta kelengkapannya.
Apabila materi yang akan dilatihkan berupa keterampilan dalam
bidang kesehatan maka sarana prasarana pembelajaran disiapkan
semirip mungkin dengan keadaan nyata di lapangan
e. Pelajari kemampuan dasar yang telah dimiliki oleh setiap peserta,
sehingga fasilitator dapat memusatkan dan menyesuaikan
bimbingan dengan kemampuan yang telah dimiliki agar bimbingan
berjalan secara efektif dan efisien
f. Fasilitator merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses
bimbingan dan memberikan umpan balik sesuai dengan tingkat
pencapaian kompetensi setiap peserta

26
g. Peserta melakukan redemonstrasi, fasilitator mengamati dan
memberikan umpan balik saat mereka melakukan langkah-langkah
kegiatan. Peserta mencoba kembali tanpa bimbingan, fasilitator
memberikan umpan balik dan penguatan
h. Umpan balik harus disampaikan sesegera mungkin dan lebih sering
dilakukan pada awal latihan kemudian berkurang secara bertahap
sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing peserta.
Umpan balik menggunakan penuntun belajar atau check list yang
telah disiapkan
i. Setelah peserta dinilai kompeten yaitu dapat melakukan prosedur
secara mandiri dengan benar di dalam pembelajaran laboratorium
atau simulasi, selanjutnya peserta diberikan kesempatan untuk
melakukan prosedur nyata di lahan kepada klien yang sebenarnya
dengan pengawasan dan bimbingan. Fasilitator melakukan evaluasi
terhadap penampilan atau kinerja peserta
j. Apabila bimbingan berupa manajemen, maka setelah pembelajaran
laboratorium maka dilanjutkan pula pada pembimbingan di
lapangan misalnya penyusunan SOP, perencanaan pelayanan di
ruang perawatan, memimpin rapat koordinasi, melakukan
monitoring dan evaluasi, melakukan supervisi kepada staf
keperawatan
k. Bimbingan dilakukan sampai peserta dinilai kompeten dalam
melaksanakan keterampilan
l. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk
melakukan refleksi dan fasilitator menyampaikan umpan balik
dalam melaksanakan praktik
m. Hasil evaluasi penampilan peserta digunakan sebagai salah satu
bahan untuk menetapkan tingkat kompetensi atau keberhasilan
peserta sesuai dengan standar pelatihan yang telah ditetapkan
4. Teknik Coaching
a. Tahap Orientasi

27
Tahap ini merupakan tahap perkenalan dan tahap pengkondisian
agar tercipta suasana yang saling mempercayai.
b. Tahap Klarifikasi
Pada tahap ini dilakukan analisis permasalahan. Masalah yang
akan dipecahkan diuraikan sehingga jelas mana permasalahan
utama dan juga permasalahan mana yang akan dipecahkan terlebih
dahulu.
c. Tahap Pemecahan (Perubahan)
Pada tahap ini coachee dengan bantuan coach berusaha mencari
solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
Coach berusaha memberikan saran dan alternatif-alternatif,
namun coachee sendirilah yang harus mengembangkan solusi
permasalahan yang dihadapi.
d. Tahap Penutup
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap apa yang telah
dicapai coachee dari proses coaching. Hal-hal yang pada tahap
pendahuluan disepakati untuk diubah atau diperbaiki akan dinilai
apakah tujuan tersebut telah tercapai atau belum.
Teknik yang efektif bisa digunakan untuk mempercepat proses
pembelajaran, teknik yang terbaik adalah dengan memiliki koneksi
dengan coachee dan dengan teknik yang sederhana seperti
mendengarkan, mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi dan memberi
umpan balik merupakan teknik-teknik dasar utama dalam coaching

Beberapa cara untuk mengaktifkan teknik coaching seperti:

a. Menjadi Contoh (Lead by Example)


Artinya secara sederhana adalah lakukan apa yang kau
katakan. Coach tidak bisa meminta coachee untuk datang tepat
waktu, apabila dia sendiri selalu datang terlambat. Orang-orang
akan mengikuti instruksi kita atau rekomendasi kita jika kita telah
menjadi contoh yang baik.

28
b. Pendengar yang Aktif (Active Listening)
Orang-orang pada umumnya sangat senang untuk berbicara.
Mereka akan membicarakan permasalahan mereka, tentang
kehidupan, tentang karir mereka, tentang anak-anak mereka dan
mereka akan membicarakan mengenai semua yang ada dalam
kehidupan mereka. Seorang coach akan bisa membangun suatu
kepercayaan dengan coachee dengan menjadi seorang pendengar
yang aktif yang mau memberikan perhatian pada saat mereka
berbicara. Dengan perlakuan ini orang-orang akan merasa dihargai.
Namun begitu, harus dipastikan coach tahu mengendalikan
pembicaraan-pembicaraan yang tidak relevan sehingga
pembicaraan menjadi produktif.
c. Alat-alat Peraga (Visual Aids)
Dapatkah kita mengikuti penjelasan mengenai langkah-langkah
yang cukup banyak yang harus dikerjakan dengan hanya
mendengarkan instruksi saja? Kalau saya terus terang tidak bisa.
Seseorang akan lebih cepat proses pembelajarannya dengan
memberikan penjelasan dengan menggunakan alat-alat peraga yang
bisa langsung dilihat seperti ilustrasi, gambar, data-data statistik
dan lain sebagainya.
d. Dibuat Sederhana (Keep it Simple)
Pada suatu program coaching, tidak perlu dijelaskan segala hal
secara panjang lebar. Untuk mempercepat proses pembelajaran
harus digunakan bagian yang sederhana dimana coachee dapat
dengan mudah mengerti.
e. Langsung kepada Sasaran (Get Straight to the Point)
Bagian ini sangat membantu pada saat proses coaching dilakukan
dengan adanya keterbatasan waktu. Daripada memberikan
pendahuluan yang terlalu panjang dan membosankan, lebih baik
langsung menuju sasaran sehingga dapat menghemat waktu.
5. Keuntungan Coaching

29
a. Dapat mendorong kemampuan masing-masing individu sesuai
dengan minatnya
b. Dapat menilai masing-masing peserta dengan berbagai metode
penilaian termasuk observasi
c. Dapat mengikuti lebih dekat setiap perkembangan peserta
d. Coaching lebih pada pendekatan personal dibanding dengan
training kelompok
e. Peserta merasa lebih termotivasi dan bertanggung jawab untuk
melakukan keterampilan yang baru dipelajari karena bimbingan
berlangsung terus menerus dan personal
6. Kemampuan melakukan Coaching
Kompetensi dalam coaching dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Kompetensi menjaga hubungan
Para coach harus mampu menunjukkan bahwa adanya keterbukaan,
jujur dan menghargai orang lain.
b. Menjadi efektif
Para coach harus memiliki kepercayaan diri untuk dapat bekerja
dengan para coachee dan memiliki kesadaran diri.
c. Melakukan coaching
Para coach harus mampu berpegang pada metodelogi yang jelas,
cakap dalam mengaplikasikan metode serta alat-alat dan teknik-
teknik yang relevan serta selalu hadir dalam setiap sesi coaching.

Kemampuan yang harus dimiliki untuk melakukan coaching yaitu


sebagai berikut:

a. Fasilitator harus dapat membimbing secara efektif an sungguh-


sungguh kepada setiap peserta
b. Fasilitator dituntut memiliki kemampuan observasi, analisis dan
diagnosis yang tajam terhadap masalah pelatihan atau
pembelajaran

30
c. Fasilitator dituntut memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang
tinggi terhadap materi yang dilatihkannya
d. Melakukan bimbingan dan komunikasi secara asertif
e. Memiliki daya empati dan peka terhadap kebutuhan peserta
f. Mampu menjadi pendengar yang baik
g. Terbuka untuk menerima pendapat

E. Preseptoring
1. Pengertian Preseptoring
Preseptoring adalah suatu metode pengajaran dan pembelajaran
kepada mahasiswa dengan menggunakan bidan sebagai model
perannya. Preseptoring bersifat formal, disampaikan secara
perseorangan dan individual dalam waktu yang sudah ditentukan
sebelumnya antara bidan yang berpengalaman (preceptor) dengan
bidan baru (preceptee) yang didesain untuk membantu bidan baru
untuk menyesuaikan diri dengan baik dan menjalankan tugas yang
baru sebagai seorang bidan. (CNA, 1995). Program Preseptoring
dalam pembelajaran bertujuan untuk membentuk peran dan tanggung
jawab mahasiswa untuk menjadi bidan yang profesional dan
berpengetahuan tinggi, dengan menunjukan sebuah pencapaian berupa
memberikan bidanan yang aman, menunjukan akuntabilitas kerja,
dapat dipercaya, menunjukan kemampuan dalam mengorganisasi
bidanan pasien dan mampu berkomunikasi dengan baik terhadap
pasien dan staf lainnya (CNA, 2004).
Menurut NMC (Nurse Midwifery Council di UK 2009)
mendefinisikan Preseptoring sebagai suatu periode (Preseptoring)
untuk membimbing dan mendorong semua praktisi kesehatan baru
yang memenuhi persyaratan untuk melewati masa transisi bagi
mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan praktik mereka lebih
lanjut (Keen, 200).

31
Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan Preseptoring adalah
sekurang-kurangnya 1-2 bulan. Lama waktu pelaksanaan biasanya
ditentukan oleh institusi pendidikan atau pegawai yang mengetahui
karakteristik dari mahasiswa atau praktisi, persyaratan yang
dibutuhkan dan karakteristik tempat di mana pelaksanaan Preseptoring
akan dilakukan. Seorang preceptor adalah orang yang mampu
melakukan dan telah mendapatkan kompetensi dasar yang dibutuhkan
bagi seorang pemula. Beberapa kompetensi yang diberikan oleh
preceptor akan disesuaikan oleh tempat di mana mereka bekerja dan
disesuaikan oleh masing-masing bidang kebidanan oleh peran
preceptor.
Peran serta precepter terdapat dalam pengkajian dan evaluasi
formatif dan sumatif. Evaluasi dalam program Preseptoring dapat
dilaporkan kepada institusi dengan meyakinkan bahwa mahasiswa
telah mendapatkan kompetensi yang dibutuhkan dalam keamanan diri,
etika dan praktek yang kompeten.
Kebanyakan sekolah bidan mempunyai program untuk
mengikutsertakan Preseptoring untuk membantu mahasiswa
mendapatkan kompetensi klinik dan mempersiapkan mereka untuk
masa transisi terhadap tempat bekerja, khususnya di fase akhir dari
program. Institusi pendidikan kebidanan yang menerima mahasiswa
dari unit lain tetapi ingin mendapatkan gelar di bidang kebidanan, juga
menggunakan Preseptoring untuk membantu menyesuaikan dengan
peran yang baru. Pada akhirnya pengembangan staf di fasilitas layanan
kesehatan yang menggunakan Preseptoring untuk mengorientasikan
pegawai baru atau bidan yang pindah dari unit yang berbeda telah
menjadi hal biasa saat ini.
2. Elemen-elemen di dalam Preseptoring
Menurut Ann Keen (2004) dalam bukunya yang berjudul
“Preseptoring Framework” elemen-elemen Preseptoring meliputi bidan
baru, preceptor, dan bidan klinik.

32
a. Bidan baru
1. Kesempatan untuk menerapkan dan mengembangkan
pengetahuan, kemampauan dan nilai-nilai yang telah dipelajari.
2. Mengembangkan kompetensi spesifik yang berhubungan
dengan peran preceptee.
3. Akses dukungan dalam menanamkan nilai-nilai dan harapan-
harapan profesi.
4. Personalisasi program pengembangan yang mencakup
pembelajaran post-registrasi seperti kepemimpinan,
manajemen, dan bekerja secara efektif dalam tim multi disiplin.
5. Kesempatan untuk merefleksikan praktek dan menerima umpan
balik yang konstruktif.
6. Bertanggung jawab atas pembelajaran individu dan
pengembangan dari pembelajaran tentang pengelolaan diri.
7. Kelanjutan dari pembelajaran sepanjang hayat.
8. Meningkatkan cakupan prinsip-prinsip peraturan konsil
kebidanan.

b. Preceptor
1. Bertanggung jawab untuk mengembangkan orang lain secara
profesional agar mencapai potensi.
2. Ikut merumuskan dan terus menunjukkan pengembangan
profesional.
3. Bertanggung jawab untuk mendiskusikan praktek individu dan
memberikan umpan balik.
4. Bertanggung jawab untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman individu yang dimiliki.
5. Memiliki wawasan dan empati dengan praktisi bidan baru
selama fase transisi.
6. Bertingkah laku sebagai role model yang teladan.
7. Menerima persiapan sebagai peran.

33
8. Meningkatkan cakupan prinsip-prinsip peraturan konsil
kebidanan.

c. Bidan klinik
1. Proses penjaminan kualitas.
2. Menanamkan kerangka pengetahuan dan sikap diawal kerja.
3. Mempromosikan dan mendorong kultur kerja yang terbuka,
jujur, dan transparan diantara para staf kebidanan,
4. Mendukung pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas
dan efisien.
5. Mengindikasikan komitmen organisasi dalam pembelajaran.

3. Keuntungan Preseptoring
Mahasiswa yang telah secara formal diberikan pendidikan oleh
preceptor menunjukan tingkat sosialisasi dan performa yang lebih baik
(Udlis, 2006).Program Preseptoring juga telah terbukti bermanfaat
dalam mengendalikan biaya melalui retensi bidan baru, peningkatan
kualitas pelayanan, dan mendorong pengembangan professional. Studi
deskriptif yang dilakukan oleh (Kim, 2007) menemukan bahwa
kompetensi kebidanan diantara para mahasiswa bidan senior secara
positif berhubungan dengan partisipasi dalam program Preseptoring
klinis.
Bagi partisipan, Preseptoring sebagai sarana untuk
memfasilitasi suksesnya proses masuk dan orientasi di profesi
kebidanan, membantu dalam pengembangan kemampuan serta
efektivitas waktu. Bagi preceptor akan mendapatkan kepuasan
ketika seorang pemula yang dibimbingnya menjadi lebih percaya diri
(Neumanet. al.,2004; Wright, 2002).
Preceptor mendapatkan keuntungan dari meningkatnya harga
diri dan kesadaran diri sebagai seorang panutan. Bagi institusi,
Preseptoring meningkatkan kualitas dari praktik profesi kebidanan dan

34
lebih menghemat biaya dari pada orientasi secara manual. Program
Preseptoring memberikan keuntungan kepada semua komponen yang
terdapat didalamya.
Canadian Nurse Association (CNA) menyebutkan ada tiga
pihak yang mendapatkan keuntungan dari program Preseptoring ini
yaitu preceptee (partisipan), institutuion (institusi pendidikan) , dan
profession (profesi)
a. Bagi pecepter (partsipan)
1) Adanya peningkatan kepuasan kerja.
2) Penurunan tingkat stress bagi mahasiswa.
3) Perkembangan diri yang signifikan.
4) Meningkatkan kepercayaan diri.
5) Penciptaan sikap, pengetahuan, dan kemampuan yang lebih
baik.

b. Bagi institusi
1) Penghematan biaya kbidanan.
2) Meningkatkan perekrutan bidan baru.
3) Peningkatkan upaya penyembuhan terhadap pasien.
4) Meningkatkan loyalitas intsitusi.
5) Meningkatkan produktivitas.

c. Terhadap profesi bidan


1) Meningkatkan dukungan terhadap lulusan baru.
2) Meningkatkan kualitas kerja bagi bidan yang sudah bekerja,
3) Mengurangi angka perekrutan bidan.
4) Meningkatkan jumlah bidan yang mempunyai nilai
kepemimpinan dan pengajaran yang baik.

Menurut Ann Keen (2004) dalam bukunya “Preseptoring


Framewok” terdapat keuntungan dalam mengimplementasikan

35
Preseptoring yang berdampak pada peningkatan kepuasan pasien.
Ann Keen menyebutkan terdapat empat pihak yang mendapat
keuntungan dengan adanya program Preseptoring ini.

a. Praktisi yang baru terdaftar


1) Meningkatkan kepercayaan diri.
2) Sosialisasi yang profesional ke dalam lingkungan kerja.
3) Meningkatkan kepuasan bekerja yang mengarah kepada
perbaikan kepuasan pasien atau klien.
4) Merasa dihargai dan dihormati oleh organisasi pekerja.
5) Merasa diinvestasikan dan meningkatkan karir masa depan.
6) Merasa bangga dan berkomitmen terhadap strategi
korporasi dan tujuan organisasi.
7) Mengembangkan pemahaman tentang komitmen dalam
bekerja didalam profesi dan persyaraan badan pengawas.
8) Tanggung jawab pribadi untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Pegawai
1) Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien.
2) Meningkatkan rekrutment dan retensi.
3) Mengurangi sakit dan ketidakhadiran.
4) Meningkatkan pengalaman pemberian pelayanan yang baik.
5) Meningkatkan kepuasan staf.
6) Kesempatan untuk mengidentifikasi staf kebidanan yang
membutuhkan dukungan tambahan atau pergantian peran.
7) Mengurangi resiko komplain.
8) Praktisi yang terdaftar yang mengerti tentang peraturan
kebidanan, mereka memberikan dan mengembangkan suatu
hasil dari pendekatan yang berbasis fakta.
9) Mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan
tambahan yang lebih lanjut.
c. Preceptor

36
1) Mengembangkan penilaian, supervisi, mentoring dan
keterampilan pendukung.
2) Mengenali komitmen terhadap profesi mereka dan
peraturan- peraturan yang dibutuhkan.
3) Mendukung pembelajaran sepanjang hayat.
4) Meningkatkan aspirasi karir masa depan.
d. Profesi
1) Menyediakan standar yang tinggi dari praktik dan
pemberian pelayanan di semua sektor.
2) Membuat bidanan prioritas, memperlakukan pengguna jasa
sebagai individu dan menghormati martabat mereka.
3) Bekerja dengan praktisi medis lain untuk melindungi dan
mempromosikan kesejahteraan dan kesehatan mereka,
keluarga mereka, dan masyarakat yang lebih luas.
4) Bersikap terbuka dan jujur, bertindak dengan integritas dan
menegakan reputasi dari profesi.
5) Meningkatkan gambaran dari profesi pemberi layanan
kesehatan
4. Pertimbangan-pertimbangan Keberhasilan Program Preseptoring
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam
mengembangkan program Preseptoring, termasuk tingkat kecemasan
pada preceptee, beban kerja preceptor, konflik dan kemitraan.
Pengalaman dalam program Preseptoring dapat menyebabkan stress
yang signifikan terhadap preceptee (Yonge, Myrick, & Haase, 2002)
dan dapat menimbulkan kekecewaan tentang profesi kebidanan.
Keterbukaan dalam berbagi informasi antara preceptee dan preceptor
maupun dengan koordinator program dan penasihat fakultas adalah
satu hal yang sangat penting untuk dilakukan dan harus tetap
dipertahankan. Seorang preceptor harus mengetahui tentang
bagaimana mengenali stress pada preceptee, bagaimana cara
membantu mereka mengatasi stress atau bagaimana cara memberikan

37
bantuan lebih lanjut, misalnya konseling ketika itu memang
dibutuhkan.
Sama halnya, beban kerja yang berlebih dapat mempengaruhi
kepuasan kerja bagi sebagian preceptor (Lockwood-Rayerman, 2004).
Beban kerja berlebih mungkin bersumber dari banyaknya pasien yang
harus ditangani disamping harus berperan sebagai preceptor untuk
memenuhi tanggung jawab, mempunyai preceptee yang terlalu banyak,
dan tidak diberi pilihan dalam mengambil tanggung jawab tambahan
sebagai seorang preceptor. Ini merupakan isu-isu etik yang harus
dipertimbangkan ketika akan menjalankan program Preseptoring di
tempat kerja kebidanan.
Penting untuk mengenali bahwa konflik bisa saja timbul antara
preceptor dan preceptee (Mamchur & Myrick, 2003). Program-
program orientasi harus memberikan wawasan dan pendekatan bagi
preceptor dan preceptee tentang bagaimana mengenali dan
menyelesaikan masalah.
Secara ideal, Preseptoring adalah suatu kemitraan antara
preceptor (yang mana bertanggung jawab untuk mengajari,
mengevaluasi, dan memberikan umpan balik) dan preceptee serta
koordinator program / penasihat fakultas. Untuk mewujudkan program
Preseptoring yang sukses, yang terakhir yang harus disiapkan adalah
menyediakan kursus orientasi, dukungan evaluatif dan informatif
untuk preceptor dan precepter.

38
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pengalaman belajar klinik dan lapangan merupakan proses
pembelajaran yang penting diberikan kepada mahasiswa/i untuk
mempersiapkan diri menjadi tenaga kesehatan profesional. Melalui
pengalaman belajar klinik dan lapangan diharapkan dapat membentuk
kemampuan akademik dan profesional, mampu mengembangkan
ketrampilan dalam memberikan pelayanan atau asuhan yang sesuai dengan
standar serta dapat berorientasi dengan peran profesional.

2. SARAN
Bagi para mahasiswa diharapkan mampu untuk mengetahui
metode pembelajaran klinik. Demikian Tugas ini kami buat, sebagaimana
pepatah mengatakan “tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
tugas ini.

39
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, Strategi Pembelajaran (Bandung:Remaja RosdaKarya,2013, hlm.


197
Depkes, RI. 2008. Materi Pelatihan Bimbingan (Coaching). Pusdiklat SDM
Kesehatan bekerja sama dengan Dit. Bina Pelayanan Keperawatan
Doni Luter (https://id.scribd.com/doc/259438997/Bedside-Teaching). Diaskes 25
April 2019
frilasari, heni. 2013. Pengaruh metode bedside teaching terhadap praktik asuhan
kebidanan I ditinjau dari prestasi belajar praktik klinik II.
(file:///D:/Document/SEMESTER%207/REN/%20PEMBELAJARAN%20DI%20
LABORATORIUM/TUGAS%20IBU%20UYA/ABSTRACT.pdf). Diakses 25
April 2019.
https://ejournal.unisayogya.ac.id>jurnalkebidanandankeperawatan,vol.11,No.2,De
sember2015:141-157
https://www.scribd.com/doc/154291198/Makalah-Metode-Pembelajaran-
Klinik ( di akses pada tanggal 24 januari 2017 jam 20:20 wib )
http://dokumen.tips/documents/makalah-metode-pembelajaran-klinik.html

http://sukardjoskmmkes.blogspot.com/2010/11/ronde-keperawatan.html
http://warungbidan.blogspot.com/2016/09/makalah-preseptoring.html

(Jurnal Ners Vol.9 No. 1 April 2014:19-25)


https://media.neliti.com/media/publications/114907-ID-none.pdf
(Made Suwastika Darma Arta https://id.sribd.com/document/85017922/Bab-2.
diakses 25 April 2019).
(Susilo,yuniar.metode pembelajaran klinik)
(https://www.scribd.com/document/318334376/BAB-II). Diakses 25 April 2019).

Mercurio, N. 2008. Mastering Individual Effectiveness Through the Coaching


Process. Toronto: The Canadian Manager

40
Murwani, A. 2009. Pengaruh Metode Coaching dan Motovasi terhadap
Kompetensi Melakukan Pemasangan Endotrakeal Tube pada Mahasiswa STIKES
Suya Global. Yogyakarta. Diakses pada tanggal 10 Februari 2015 dari
http://pasca.uns.ac.id
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta:Raja Grafindo Persda, 2003), hlm. 22
Mulyono, Strategi Pembelajaran, Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad
Global (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 87
Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran (Yogkarta: Aswaja Pressindo,
2013), hlm. 175
Palimirma. 2009. Coaching – Metode Bimbingan yang Efektif. Diakses pada
tanggal 10 Februari 2015 dari www.manajementfile.com/journal
Passmore. 2010. Excellence in Coaching. Jakarta: PPM Manajemen
Pohan, S.I. 2008. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC
Riandi, Widodo, dan Supriatno, 2008. Developing of Video – Based Coaching
Package. Result the Second Year Research Project. Jakarta: PMIPA UPI
Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 83
Sitorus Ratna, Yulia, 2005, Model Praktek Keperawatan Profesional di Rumah
Sakit Panduan Implementasi,. EGC, Jakarta
Swanburg, 2008. Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan untuk
Perawat Klinis. Jakarta: EGC
Syaiful Bahri dan Zain Aswan, Strategi belajar mengajar (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hlm. 2
Thorne, K. 2009. Peran Pelatih dalam Perubahan Manusia dan Organisasi.
Jakarta: Gramedia
World Health Organization. 2008. Materi Pelatihan Bimbingan (Coaching):
Pelatihan Keterampilan Manajerial SPMK

41

Anda mungkin juga menyukai