Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan perbandingan tinggi


rendahnya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal. Dikemukakan bahwa Angka
Kematian Perinatal lebih mencerminkan kesanggupan suatu negara untuk memberikan pelayanan
kesehatan1 . Berdasarkan kesepakatan global Millenium Devolopment Goals (MDGs) pada
tahun 2015 di harapkan Angka Kematian Bayi menurun sebesar dua pertiga dalam kurun waktu
1990-2015. Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi
23/1000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2015 .

MDGs berakhir pada tahun 2015 dan di lanjutkan dengan Sustainable Development
Goals (SDGs) tahun 2016 tujuan ke tiga dengan menurunkan Angka Kematian Neonatal yaitu
12/1000 KH dan Angka Kematian Balita 25/1.000 KH . Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Bayi di Indonesia adalah 32/1.000 KH
sedangkan untuk Angka Kematian Neonatus yaitu 19/1.000 KH. Dari seluruh kematian bayi di
Indonesia sebanyak 46,2% meninggal pada masa neonatus (usia dibawah 1 bulan). Penyebab
kematian neonatus sebagian besar karena gangguan pernafasan/asfiksia (35,9%) dan Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) (32,4%) 4 .

Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 sebesar 32/1000 Kelahiran
Hidup Proporsi Kematian Bayi pada tahun 2016 sebesar 3,93/1000 kelahiran hidup, menurun
0,16 poin dibanding tahun 2015 sebesar 4,09/1000 kelahiran hidup. Proporsi kematian kematian
bayi berasal dari bayi usia 0-28 hari (Neonatal) sebesar 84,63% atau 3,32/1000 kelahiran hidup.
disarankan dalam penanganan AKB lebih difokuskan pada Bayi Baru Lahir. Walaupun demikian
Angka Kematian Bayi di Jawa barat sebesar 3,93/1000 kelahiran hidup, sudah jauh melampaui
target MDGs yang pada tahun 2015 harus sudah mencapai 17/1.000 kelahiran hidup.

Asfiksia Neonatorum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.
Keadaan tersebut dapat di sertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea sampai
asidosis. Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya kemampuan organ bayi dalam
menjalankan fungsinya, seperti pengembangan paru.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan


asfiksia neonatrum di Puskesmas Pagarsih Kota Bandung Tahun 2019.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Mampu mengumpulkan data subjektif dan objektif (data focus) yang dapat
menegakan diagnose pada By.Ny S dengan asfiksia neonatrum di
Puskesmas Pagarsih Kota Bandung Tahun 2019.

1.2.2.2 Mampu menegakan assessment pada asuhan kebidanan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia neonatrum di Puskesmas Pagarsih Kota Bandung
Tahun 2019.

1.2.2.3 Mampu merancang dan menerapkan asuhan kebidanan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia neonatrum di Puskesmas Pagarsih Kota Bandung
Tahun 2019.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara


tiba-tiba,seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011).

Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang


kala berbahayayang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan
tindakan segera gunamenyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).

Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam


jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamata
ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).

Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak

segera ditanganiakan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi

penyebab utama kematian ibu janindan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)

Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan

evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia

28 hari) membutuhkan pengetahuanyang dalam mengenali perubahan psikologis

dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu

(Sharieff, Brousseau, 2006).


Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera ditangani

akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi

penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4

penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1)

perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4)

persalinan macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan

berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan,

persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud di sini adalah perdarahan

yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus ruptur uteri. Selain

keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis kasus kegawatdaruratan

obstetrik baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli

air ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan

dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cidera akbita

kecelakaan lalulintas.

Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang yang

cukup luas.

1. Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak

merembes, profus, sampai syok.

2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan

pervagianam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.

3. Kasus hipertensi dan preeklampsia/eklampsia,dapat bermanifestasi mulai dari

keluhan sakit/ pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai

koma/pingsan/ tidak sadar.


4. Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak

berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet

ini dapat merupakan manifestasi ruptur uteri.

5. Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya.

Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar

pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik

kasus kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas,

mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,

kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong.

Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam

prinsip, padad saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat

atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi gawatdarurat, sampai ternyata setelah

pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat.

Dalam menanagani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama

(diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang

tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam

kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur

pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan

antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
2.1.1 Kegawatdaruratan Maternal

2.1.1.1 Perdarahan Postpartum

2.1.1. 2 Definisi Perdarahan Postpartum

Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan

darah sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III. Oleh karena itu,

wanita melahirkan secara pervaginam mengeluarkan darah sebanyak itu atau

lebih, ketika diukur secara kuantitatif. Hal ini dibandingkan dengan kehilangan

darah sebanyak 1000 mL pada sectio cesaria, 1400 mL pada histerektomi cesaria

elektif, dan 3000 sampai 3500 mL untuk histerektomi cesaria emergensi

(Chestnut dkk, 1985; Clark and colleagues, 1984).

Perdarahan postpartum merupakan suatu komplikasi potensial yang

mengancam jiwa pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun

beberapa penelitian mengatakan persalinan normal seringkali menyebabkan

perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu gangguan pada kondisi ibu. Hal

ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk perdarahan

postpartum yang didefinisikan sebagai perdarahan yang mengakibatkan tanda-

tanda dan gejala-gejala dari ketidakstabilan hemodinamik, atau perdarahan yang

mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan

darah lebih dari 1000 mL dengan persalinan pervaginam atau penurunan kadar

hematokrit lebih dari 10% dari sebelum melahirkan juga dapat dianggap sebagai

perdarahan post partum.

Wanita dengan kehamilan normal yang mengakibatkan hipervolemia yang

biasanya meningkatkan volume darah 30 – 60 %, dimana pada rata-rata wanita


sebesar 1-2 L (Pitchard, 1965). Wanita tersebut akan mentoleransi kehilangan

darah, tanpa ada perubahan kadar hematokrit postpartum, karena kehilangan

darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya volume darah yang

ditambahkan saat kehamilan.

Saat ini perdarahan postpartum dibagi dalam 2 kategori yaitu :

a. Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam

pertama.

b. Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam

pertama hingga 6 minggu setelah persalinan

2.1.2. Epidemiologi

2.1.2.1.Insiden

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan

pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab

paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan

hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk

menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.

2.1.2.2.Peningkatan Angka Kematian di Negara Berkembang

Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama

dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga

kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya

layanan operasi.
2.1.3. Etiologi

Kebanyakan penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri, suatu

kondisi dimana korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik, mengakibatkan

perdarahan yang terus menerus dari plasenta.

Faktor resiko dari atonia uteri adalah:

a) Uterus yang teregang berlebihan (misalnya pada multigravida, makrosomia,

hidramnion)

b) Kelelahan uterus (misalnya pada percepatan atau persalinan yang lama,

amnionitis)

c) Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta

akreta)

Penyebab terbanyak kedua adalah trauma uterus, servik dan/atau vagina.

Faktor resiko terjadinya trauma adalah.

a) Persalinan pada bayi besar

b) Instrumentasi atau manipulasi intrauterine (misalnya forsep, Vakum)

c) Persalinan pervaginam pada bekas operasi secsio cesarea.

d) Episiotomi

Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada

saat kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif.

Trauma selama persalianan dapat mengakibatkan hematom pada perineum

atau pelvis. Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital

pasien tidak stabil dan sedikit atau tidak ada perdarahan luar.
Inversi uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan kurang lebih sebanyak 2 L.

Tidak ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat

dan inverse urteri, meskipun banyak praktisi klinis mengindikasikan bahwa

hubungan tersebut dapat terjadi.

Ruptur uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan pervaginam yang

sedikt tetapi harus dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan

hemodinamik yang tidak stabil.

Faktor resiko lainnya perdarahan postpartum:

a) Preeklampsia

b) Riwayat perdarahan postpartum sebelumnya

c) Etnis Asia dan Hispanik

d) Nulipara atau multipara

Penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu.

a. Tone (atonia uteri )

Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat

mengakibatkan perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus

yang terlalu meregang baik absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor

untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu teregang dapat diakibatkan oleh gestasi

multifetal, makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin ( misalnya

hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau gangguan persalinan

plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta dilahirkan.

Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan karena kelelahan akibat

persalinan yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga
merupakan hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,

MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin

bakteri, hipoksia, dan hipotermia.

b. Trauma - Trauma Uteri, Servik, atau Vagina

Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien

memiliki CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah

distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin. Pengontrolan tekanan intrauterin dapat

mengurangi risiko terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin

intra maupun ekstra uterin. Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi

internal dan ekstraksi pada kembar kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi

sebagai akibat versi eksternal. Akhirnya, trauma mengakibatkan usaha untuk

mengeluarkan retensi plasenta secara manual atau dengan menggunakan instrument.

Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan tangan di atas

abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi salin/oksitosin intravena umbilical dapat

mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.

Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps

dan serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan

bantuan (forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap.

Laserasi servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat

menahan untuk tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang

eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks.
Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk

mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dührssen).

Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif,

tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan

kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina

letak rendah terjadi baik secara spontan maupun karena episiotomi.

c. Tissue (Retensio Plasenta Atau Bekuan Darah)

Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta. Pelepasan

plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh

darah yang optimal.

Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris.

Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa

apakah plasenta lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.

Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan

preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi.

Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka

spontan ataupun diinduksi. Penelitian terakhir menganjurkan penggunaan misoprostol

pada terminasi kehamilan trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio plasenta

dibandingkan dengan penggunaan prostaglandin intrauterine atau saline hipertonik.

Sebuah percobaan melaporkan retensio plasenta membutuhkan dilatasi dan kuretase dari

3.4 % misoprostol oral dibandingkan dengan 22.4 % yang menggunakan prostaglandin

intra-amnion (Marquette, 2005).


Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan

variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan

signifikan yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan

adanya akreta sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat

abnormal, atau masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak

menyebabkan perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha

yang lebih agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan

jika plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika

dihubungkan dengan plasenta previa.

Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko terjadinya

perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan

histerektomi. Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi

yang efektif.

Akhirnya, darah yang tertinggal dapat mengakibatnya distensi uterus dan

menghambat kontraksi yang efektif.

d. Trombosis

Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya

tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya

kontraksi uterus yang mencegah terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin

pada plasenta dan bekuan darah pada pembuluh darah berperan pada awal masa

postpartum, gangguan padahal ini dapat menyebabkan perdarahan postpartum tipe


lambat atau eksaserbasi perdarahan karena sebab lain terutama paling sering

disebabkan trauma.

Abnormalitas dapat terjadi sebelumnya atau didapat. Trombositopenia

dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP

sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet), abruptio

plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak

didiagnosa sebelumnya.

2.1.4. Patofisiologi

Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L

menjadi 6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang

mengakibatkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume

darah digunakan untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan

terhadap hilangnya darah saat persalinan (Cunningham, 2001).

Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-

15% dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki

resistensi yang rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat

miometrium. Ketika serat ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi

miometrium.

Retraksi merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal

tersebut serat memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses

kontraksi ini, dan normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini merupakan ’ligasi hidup’

atau ’jahitan fisiologis’ dari uterus (Baskett,1999).


Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan

beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan

biasanya terjadi segera setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma

traktus genitalia (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan

perdarahan yang lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya

peningkatan suplai darah terhadap jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan

persalinan, baik persalinan pervaginam maupun persalinan sesar.

2.1.5. Gambaran Klinis

2.1.5.1.Anamnesa

Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode

perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus

gandaatau polihidramnion.

a) Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau

perdarahan massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.

b) Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (calcium-

channel blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting

jika koagulopati dan pasien memerlukan transfusi.

c) Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.


Tabel 1. Perdarahan Post Partum

Kehilangan Darah Tekanan Darah Tanda dan Gejala Derajat Syok


(Sistolik)
500-1000 mL Normal Palpitasi, Takikardi, Gelisah Terkompensasi
(10-15%)
1000-1500 mL Menurun ringan Lemah, Takikardi, Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg) Berkeringat
1500-2000 mL menurun sedang (70-80 Sangat lemah, Pucat, oliguria Sedang
(25-35%) mm Hg)
2000-3000 mL Sangat turun Kolaps, Sesak nafas, Anuria Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg)
Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat

penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus

dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.1.Laboratorium

a) Darah Lengkap

1) Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit

2) Perhatikan adanya trombositopenia

b) PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.

c) Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati. Kadarnya

secara normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah

atau dibawah normal mengindikasikan adanya konsumtif koagulopati.


2.1.6.2.Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu.

a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya

hematom.

b) Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh darah.

2.1.6.3.Pemeriksaan Lain

Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk

degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan gangguan koagulasi.

2.1.7. Manajemen

Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah

menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepa mungkin.

Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :

a) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan

Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan

volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-

tanda vital pasien.

Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian cairan

dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.

1. Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate

2. Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell

3. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin (dikatakan perfusi cairan ke ginjal

adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)


b) Manajemen penyebab hemorraghe postpartum

Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :

1) Atonia uteri

Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan

lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba

lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan

pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan

memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih

berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan

lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan

apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,

pilihan berikutnya adalah ergotamine.

2) Sisa plasenta

Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun

massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli

menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi

kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan

eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa

menghentikan pemberian uterotonica.

Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan

untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk

menghentikan perdarahan selama persiapan operas

3) Trauma jalan lahir

Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi

dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari

perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah

diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir

dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.

Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh

darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.Apabila

hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi

untuk menghentikan perdarahan.

4) Gangguan Pembekuan Darah

Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan

perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan

adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti (

trombosit,fibrinogen).
2.1.8 Kegawatdaruratan Neonatal

Salah satu kegawatdaruratan neonatal adalah hipotermi.

2.1.8.1 Hipotermia pada Bayi Baru Lahir

2.1.8.1.1 Definisi

Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh mengatasi

tekanan suhu dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian

dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona

termonetral , yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk

mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas

dalam tubuh. (Rukiyah dkk, 2010:283 ).

Bayi Hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Adapun

suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 ºC (Suhu axila). Gejala awal hipotermi apabila

suhu awal <36 ºC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh

bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36ºC).

Disebut hipotermi berat bila suhu <32 ºC, diperlukan termometer ukuran rendah

(low reading thermometer ) yang dapat mengukur sampai 25 ºC.

Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau

bayi yang diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat

cepat turun <35˚C ( Sarwono, 2006 : 288).

Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas :

hipotermi ringan (cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 ºC, hipotermi sedang yaitu

antara 32-36ºC, dan hipotermi berat yaitu suhu tubuh <32 ºC. (Yunanto, 2008:40).

2.1.8.2 Klasifikasi Hipotermi pada Bayi Baru Lahir


Menurut (Yunanto, 2008:42) penurunan suhu tubuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Anamnesa Pemeriksaan Klasifikasi


a. Bayi terpapar suhu
a. Suhu tubuh 32˚ C – Hipotermia sedang
lingkungan yang rendah 36,4˚ C
b. Waktu timbulnya
b. Gangguan napas
kurang dari 2 hari c. Denyut jantung <100
kali permenit
d. Malas minum
e. letargi
a. bayi terpapar suhu
a. Suhu tubuh < 32˚ C Hipotermia berat
lingkungan yang rendahb. Tanda hipotermia
b. waktu timbulnya sedang
kurang dari 2 jam c. Kulit teraba keras
d. Napas pelan dan dalam

4.1.3. Diagnosis

Menurut (Yunanto,2008:41) diagnosis hipotermi dapat ditegakkan dengan pengukuran

suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu

petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukuranya dapat dilakukan

melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu bayi yang

dianjurkan, oleh karena mudah, sederhana dan aman. Tetapi pengukuran melalui rektal sangat

dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua BBL, oleh karena sekaligus sebagai tes

skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus. Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan

sebagai prosedur pemeriksaan yang rutin kecuali pada bayi-bayi sakit.


4.1.4. Etiologi

Perinatal adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri

dari kehidupan intera uterin ke kehidupan ekstra uterin selama 28 hari. Empat aspek transisi pada

bayi baru lahir dimasa perinatal yang cepat berlangsung adalah sistem pernapasan, sirkulasi, dan

kemampuan menghasilkan sumber glukosa. (Rukiyah dkk, 2010:2).

Penyebab terjadinya hipotermi pada BBL di masa perinatal yaitu:

a. jaringan lemak subkutan tipis,

b. perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar,

c. bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,

d. asfiksia yang hebat,

e. resusitasi yang ekstensif,

f. lambat sewaktu mengeringkan bayi,

g. distress pernapasan,

h. sepsis

i. pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.

Neonatus mudah sekali terkena hipotermi yang disebabkan oleh:

a) Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna

b) Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas

c) Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas

d) Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakainnya agar dia tidak kedinginan

e) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,

basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti
mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan

aliran udara dan penguapan.

f) Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang

lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan

tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.

g) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi

preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan anoksia,

hemoragi intra kranial, hipoksia, dan hipoglikemia.

Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya

mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi

yaitu:6-12 jam pertama setelah lahir.

Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL jumlah

glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari glikogen

dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan dalam hati.

Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui penggunaan

ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa dari sumber

lain terutama lemak. (Rukiyah dkk, 2010:283).

4.1.5. Mekanisme Hilangnya Panas pada Bayi Baru Lahir

Menurut ( Yunanto, 2008:44 ) BBL dapat mengalami dapat mengalami hipotermi melalui

beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga

keseimbanganantara produksi panas dan kehilangan panas yaitu:

1. Penurunan produksi panas.


Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal

metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada keadaan

disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitari.

2. Peningkatan panas yang hilang

Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas. Adapun

mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara:

1) Konduksi

Perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedan suhu antara kedua obyek. Kehilangan

panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih dingin.

Sumber kehilangan panas terjadipada BBL yang berada pada permukaan/alas yang dingin,

seperti pada waktu proses penimbangan.

2) Konveksi

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaankulit bayi dan aliran

udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa:

inkubator dengan jendela yang terbuka,atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.

3) Radiasi

Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat

dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu

lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin.

4) Evaporasi

Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber

kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.

3. Kegagalan Termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam

menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterin/saat

persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat

menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan

mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.

4.1.6. Akibat yang dapat Ditimbulkan Hipotermi

Akibat yang ditimbulkan antara lain.

a. Hipoglikemia-sidosis metabolik

b. Karena vasokontriksi perifer dengan metabolisme anaerob

c. Kebutuhan oksigen yang meningkat

d. Metabolisme meningkat sehingga metabolisme terganggu

e. Gangguan pembekuan darah sehingga meningkatkan pulmonal yang menyertai hipotermi berat

f. Shock

g. Apnea

h. Perdarahan Intra Ventrikuler

i. Hipoksemia, dan berlanjut dengan kematian

4.1.7. Ciri-ciri Hipotermi pada Bayi Baru Lahir Normal

Menurut (Rukiyah dkk, 2010:287) beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi

antara lain :

a. Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)

b. Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.

c. Anak terlihat apatis atau diam saja.


d. Gerakan bayi kurang dari normal.

e. Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.

4.1.8. Penanganan Hipotermia Secara Umum untuk Bayi Baru Lahir

Ada prinsip dasar untuk mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir,yaitu.

a) Mengeringkan bayi segera setelah lahir

Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui jendela/pintu yang terbuka

akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya

dapat timbul serangan dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal hipotermia. Bayi

kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena kontrol suhunya masih

belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermia seringkali tidak terdeteksi oleh

ibu atau keluarga bayi atau penolong persalinan.

Untuk mencengah terjadinya serangan dingin setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan

handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu).

Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh

tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.

b) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos

tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan

kehangatan dari dekapan ibu.

c) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks

dan bayi mendapat kalori.

d) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.

e) Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.

f) Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.


g) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.

Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai

dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL

haruslah dirawat dalam lingkungan suhu netral.

Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah

sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam

incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dilakukan

oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup

di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap

hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna

baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar

berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika

terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali

sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi

harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus

glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kgper hari.

4.1.9. Metode Kanguru untuk Merawat Bayi Hipotermi

Menurut Agustinayanto (2008) metode kanguru atau perawatan bayi lekat ditemukan

sejak tahun 1983, sangat bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan hipotermi baik

selama perawatan di rumah sakit ataupun di rumah. Perawatan bayi dengan metode kanguru bisa

digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan popok

dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi diletakkan di antara payudara ibu
dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu

berdiri atau duduk,dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang

hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). Suhu optimal didapat lewat

kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu ibu merupakan sumber

panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan membuat bayi merasa

nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembanganpsikomotor bayi sebagai reaksi rangsangan

sensoris dari ibu ke bayi.

Keuntungan yang di dapat dari metode kanguru bagi perawatan bayi yaitu.

a. Meningkatkan hubungan emosi ibu anak

b. Menstabilkan suhu tubuh, denyut jantung, dan pernafasan bayi.

c. Meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi dengan lebih baik.

d. Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.

e. Memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi.

f. Meningkatkan produksi asi.

g. Menurunkan resiko terinfeksi selama perawatan di rumah sakit.

h. Mempersingkat masa rawat di rumah sakit

Kriteria bayi untuk metode kanguru:

a. Bayi dengan berat badan ≤ 2000 g

b. Tidak ada kelainan atau penyakit yang menyertai.

c. Refleks dan kordinasi isap dan menelan yang baik.

d. Perkembangan selama di inkubator baik.

e. Kesiapan dan keikutsertaan orang tua, sangat mendukung dalam keberhasilan.

Cara Melakukan Metode Kanguru


a. Beri bayi pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.

b. Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala bayi

sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada

bayi terletak di dada ibu dengan kepala agak sedikit mendongak.

c. Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di

antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di

perut ibu agar bayi tidak terjatuh.

d. Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang elastik

atau kantong yang dibuat sedemikian untuk menjaga tubuh bayi.

e. Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan

dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan

beberapa bantal dibelakang punggung ibu

f. Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.

g. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi, cara

pamberian asi, dan kebersihan ibu dan bayi.

Anda mungkin juga menyukai