Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
MDGs berakhir pada tahun 2015 dan di lanjutkan dengan Sustainable Development
Goals (SDGs) tahun 2016 tujuan ke tiga dengan menurunkan Angka Kematian Neonatal yaitu
12/1000 KH dan Angka Kematian Balita 25/1.000 KH . Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Bayi di Indonesia adalah 32/1.000 KH
sedangkan untuk Angka Kematian Neonatus yaitu 19/1.000 KH. Dari seluruh kematian bayi di
Indonesia sebanyak 46,2% meninggal pada masa neonatus (usia dibawah 1 bulan). Penyebab
kematian neonatus sebagian besar karena gangguan pernafasan/asfiksia (35,9%) dan Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) (32,4%) 4 .
Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 sebesar 32/1000 Kelahiran
Hidup Proporsi Kematian Bayi pada tahun 2016 sebesar 3,93/1000 kelahiran hidup, menurun
0,16 poin dibanding tahun 2015 sebesar 4,09/1000 kelahiran hidup. Proporsi kematian kematian
bayi berasal dari bayi usia 0-28 hari (Neonatal) sebesar 84,63% atau 3,32/1000 kelahiran hidup.
disarankan dalam penanganan AKB lebih difokuskan pada Bayi Baru Lahir. Walaupun demikian
Angka Kematian Bayi di Jawa barat sebesar 3,93/1000 kelahiran hidup, sudah jauh melampaui
target MDGs yang pada tahun 2015 harus sudah mencapai 17/1.000 kelahiran hidup.
Asfiksia Neonatorum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.
Keadaan tersebut dapat di sertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea sampai
asidosis. Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya kemampuan organ bayi dalam
menjalankan fungsinya, seperti pengembangan paru.
1.2.2.1 Mampu mengumpulkan data subjektif dan objektif (data focus) yang dapat
menegakan diagnose pada By.Ny S dengan asfiksia neonatrum di
Puskesmas Pagarsih Kota Bandung Tahun 2019.
1.2.2.2 Mampu menegakan assessment pada asuhan kebidanan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia neonatrum di Puskesmas Pagarsih Kota Bandung
Tahun 2019.
1.2.2.3 Mampu merancang dan menerapkan asuhan kebidanan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia neonatrum di Puskesmas Pagarsih Kota Bandung
Tahun 2019.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditanganiakan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu janindan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia
dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu
akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1)
perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4)
persalinan macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan
berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan,
persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud di sini adalah perdarahan
yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus ruptur uteri. Selain
obstetrik baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli
air ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan
dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cidera akbita
kecelakaan lalulintas.
cukup luas.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan
berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik
kasus kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas,
mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,
kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong.
Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam
prinsip, padad saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat
(diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang
tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur
pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan
antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
2.1.1 Kegawatdaruratan Maternal
darah sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III. Oleh karena itu,
lebih, ketika diukur secara kuantitatif. Hal ini dibandingkan dengan kehilangan
darah sebanyak 1000 mL pada sectio cesaria, 1400 mL pada histerektomi cesaria
perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu gangguan pada kondisi ibu. Hal
darah lebih dari 1000 mL dengan persalinan pervaginam atau penurunan kadar
hematokrit lebih dari 10% dari sebelum melahirkan juga dapat dianggap sebagai
pertama.
2.1.2. Epidemiologi
2.1.2.1.Insiden
layanan operasi.
2.1.3. Etiologi
hidramnion)
amnionitis)
c) Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta
akreta)
d) Episiotomi
atau pelvis. Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital
pasien tidak stabil dan sedikit atau tidak ada perdarahan luar.
Inversi uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan kurang lebih sebanyak 2 L.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat
sedikt tetapi harus dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan
a) Preeklampsia
mengakibatkan perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus
yang terlalu meregang baik absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor
untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu teregang dapat diakibatkan oleh gestasi
hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau gangguan persalinan
persalinan yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga
merupakan hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien
memiliki CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah
mengurangi risiko terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin
intra maupun ekstra uterin. Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi
internal dan ekstraksi pada kembar kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi
Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan tangan di atas
dan serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan
bantuan (forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap.
Laserasi servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat
menahan untuk tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang
eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks.
Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk
mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dührssen).
tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan
kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina
plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh
Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris.
Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa
preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi.
Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka
pada terminasi kehamilan trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio plasenta
Sebuah percobaan melaporkan retensio plasenta membutuhkan dilatasi dan kuretase dari
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan
signifikan yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan
adanya akreta sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat
abnormal, atau masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak
menyebabkan perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha
yang lebih agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan
jika plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika
perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan
histerektomi. Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi
yang efektif.
d. Trombosis
tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya
pada plasenta dan bekuan darah pada pembuluh darah berperan pada awal masa
disebabkan trauma.
dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP
plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak
didiagnosa sebelumnya.
2.1.4. Patofisiologi
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L
menjadi 6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang
darah digunakan untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-
15% dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki
resistensi yang rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat
miometrium. Ketika serat ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi
miometrium.
Retraksi merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal
tersebut serat memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses
kontraksi ini, dan normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini merupakan ’ligasi hidup’
beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan
biasanya terjadi segera setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma
traktus genitalia (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan
perdarahan yang lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya
peningkatan suplai darah terhadap jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan
2.1.5.1.Anamnesa
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode
perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus
gandaatau polihidramnion.
a) Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau
channel blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting
dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
2.1.6.1.Laboratorium
a) Darah Lengkap
secara normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah
a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya
hematom.
2.1.6.3.Pemeriksaan Lain
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk
2.1.7. Manajemen
volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian cairan
2. Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
3. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin (dikatakan perfusi cairan ke ginjal
1) Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan
lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba
lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan
pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan
berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan
lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan
apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,
2) Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan
untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi
dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari
perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah
diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh
hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan
perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan
adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti (
trombosit,fibrinogen).
2.1.8 Kegawatdaruratan Neonatal
2.1.8.1.1 Definisi
tekanan suhu dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian
dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona
termonetral , yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk
mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas
Bayi Hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Adapun
suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 ºC (Suhu axila). Gejala awal hipotermi apabila
suhu awal <36 ºC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh
bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36ºC).
Disebut hipotermi berat bila suhu <32 ºC, diperlukan termometer ukuran rendah
Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau
bayi yang diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat
Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas :
hipotermi ringan (cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 ºC, hipotermi sedang yaitu
antara 32-36ºC, dan hipotermi berat yaitu suhu tubuh <32 ºC. (Yunanto, 2008:40).
4.1.3. Diagnosis
suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu
petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukuranya dapat dilakukan
melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu bayi yang
dianjurkan, oleh karena mudah, sederhana dan aman. Tetapi pengukuran melalui rektal sangat
dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua BBL, oleh karena sekaligus sebagai tes
skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus. Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan
Perinatal adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri
dari kehidupan intera uterin ke kehidupan ekstra uterin selama 28 hari. Empat aspek transisi pada
bayi baru lahir dimasa perinatal yang cepat berlangsung adalah sistem pernapasan, sirkulasi, dan
c. bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,
g. distress pernapasan,
h. sepsis
i. pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.
a) Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna
d) Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakainnya agar dia tidak kedinginan
e) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,
basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti
mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan
f) Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang
lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan
tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.
g) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi
preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan anoksia,
Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya
mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi
Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL jumlah
glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari glikogen
dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan dalam hati.
Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui penggunaan
ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa dari sumber
Menurut ( Yunanto, 2008:44 ) BBL dapat mengalami dapat mengalami hipotermi melalui
metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada keadaan
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas. Adapun
1) Konduksi
Perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedan suhu antara kedua obyek. Kehilangan
panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih dingin.
Sumber kehilangan panas terjadipada BBL yang berada pada permukaan/alas yang dingin,
2) Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaankulit bayi dan aliran
udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa:
inkubator dengan jendela yang terbuka,atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.
3) Radiasi
Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat
dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu
4) Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber
kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.
3. Kegagalan Termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam
persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat
menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
a. Hipoglikemia-sidosis metabolik
e. Gangguan pembekuan darah sehingga meningkatkan pulmonal yang menyertai hipotermi berat
f. Shock
g. Apnea
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:287) beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi
antara lain :
a. Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)
b. Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.
e. Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.
Ada prinsip dasar untuk mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir,yaitu.
Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui jendela/pintu yang terbuka
akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya
dapat timbul serangan dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal hipotermia. Bayi
kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena kontrol suhunya masih
belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermia seringkali tidak terdeteksi oleh
Untuk mencengah terjadinya serangan dingin setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan
handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu).
Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh
tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
b) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos
tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan
c) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks
d) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai
dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah
sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam
incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dilakukan
oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup
di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap
hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna
baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar
berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika
terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali
sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi
harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus
Menurut Agustinayanto (2008) metode kanguru atau perawatan bayi lekat ditemukan
sejak tahun 1983, sangat bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan hipotermi baik
selama perawatan di rumah sakit ataupun di rumah. Perawatan bayi dengan metode kanguru bisa
digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan popok
dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi diletakkan di antara payudara ibu
dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu
berdiri atau duduk,dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang
hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). Suhu optimal didapat lewat
kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu ibu merupakan sumber
panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan membuat bayi merasa
nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembanganpsikomotor bayi sebagai reaksi rangsangan
Keuntungan yang di dapat dari metode kanguru bagi perawatan bayi yaitu.
d. Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.
b. Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala bayi
sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada
c. Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di
antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di
d. Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang elastik
e. Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan
dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan
f. Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.
g. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi, cara