Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Penyakit Jantung Koroner pada Lansia

a. Definisi

Penyakit jantung koroner adalah suatu manifestasi khusus dari

arteriosklerosis pada arteri koronaria (Depkes RI, 2006). Penyakit

jantung koroner adalah penyakit pada pembuluh darah arteri koroner

yang terdapat di jantung, yaitu terjadinya penyempitan dan

penyumbatan pada pembuluh darah tersebut. Hal itu terjadi karena

adanya atheroma atau arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah),

sehingga supply darah ke otot jantung menjadi berkurang (Maulana,

2006). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2005) penyakit

jantung koroner bukanlah akibat penurunan fungsi akibat penuan.

Namun, penuaan menyebabkan perubahan pada integritas lapisan

dinding arteri (arteriosklerosis), sehingga menghambat aliran darah dan

nutrisi jaringan.

Menurut Odden et al (2011) usia lanjut merupakan prediktor kuat

terjadinya penyakit arteri koroner pada individu. Meningkatnya usia

juga dikaitkan dengan keadaan atherosklerosis yang lebih berat dan

menyeluruh serta sering disertai kerusakan ventrikel kiri, dengan

7
8

kejadian tiga penyakit pembuluh dan penyakit arteri koroner kiri utama

menjadi dua kali lipat antara usia 40-80 tahun.

Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya berbagai

penyakit kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (Tekanan

Darah Siastolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi

TDD (Tekanan Darah Diastolik) meningkat seiring dengan TDS

sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena

kekakuan arteri akibat ateroklerosis (Suhardjono, 2006).

Menua adalah proses menghilangnya secara berlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho,

2010).

Lanjut usia adalah proses terus-menerus atau berlanjut secara

alamiah, dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk

hidup (Nugroho, 2010). Menurut Undang – Undang No. 30 / tahun

1998 Bab 1 pasal 1 ayat 2 berbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun keatas.

Dari beberapa pendapat diatas, jadi peneliti dapat menyimpulkan

bahwa penyakit jantung koroner pada lansia yaitu terhambatnya suplai

oksigen akibat adanya penyempitan atau sumbatan pada arteri koroner

yang terjadi pada lansia yang akan meningkat dua kali lipat pada umur

60 tahun keatas.
9

b. Anatomi Dan Fisiologi

Menurut Price & Wilson (2006), jantung terletak didalam

mediastinum di rongga dada, yaitu diantara kedua paru-paru.

Perikarium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan : lapisan

dalam disebut perikardium viseralis dan lapisan luar disebut

perikardium parietalis. Kedua lapisan perikardium ini dipisahkan oleh

cairan pelumas, yang berfungsi mengurangi gesekan pada gerakan

memompa dari jantung itu sendiri.

Perikardium parietalis melekat pada tulang dada sebelah depan,

dan pada kolumna vetebralis di sebelah belakang, sedangkan kebawah

pada diafragma. Perikardium viseralis langsung melekat pada

permukaan jantung. Jantung terdiri dari tiga lapisan.

Lapisan terluar disebut epikardium, lapisan tengah merupakan

lapisan otot yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam yaitu

lapisan endotel yang disebut endokardium. Ruang jantung bagian

atas(atrium), secara anatomi terpisah dari ruang jantung sebalah bawah

(ventrikel), oleh suatu annulus fibrosus.

Keempat katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara

fungsional jantung dibagi menjadi alat pompa kanan dan alat pompa

kiri, yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru, dan darah

bersih keperedaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah

konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi : vena kava,

atrium kanan, ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru-paru, vena


10

pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteri, arteriola, kapiler,

venula, vena, vena kava. Sebenarnya jantung memutar ke kiri dengan

apeks terangkat ke depan. Rotasi ini menempatkan bagian kanan

jantung ke anterior, dibawah sternum, dan bagian kiri jantung relatif ke

posterior. Apeks jantung dapat dipalpasi di garis midklavikula pada

ruang interkostal keempat atau kelima. Efisiensi jantung sebagai pompa

tergantung dari nutrisi dan oksigenisasi otot jantung. Sirkulasi koroner

meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke

miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil.

Untuk dapat mengetahui akibat-akibat dari penyakit jantung koroner,

maka kita harus mengenal terlebih dahulu distribusi arteria koronaria ke

otot jantung dan sistem penghantar.

Morbiditas dan mortalitas pada Infark Miokardia tergantung pada

derajat gangguan fungsi yang ditimbulkannya, baik mekanis maupun

elektris. Arteria koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi

sistemik. Muara arteria koronaria ini terdapat didalam sinus valsalva

dalam aorta, tepat di atas katup aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari :

arteria koronaria kanan dan kiri. Arteri koronaria kiri mempunyai dua

cabang besar, arteria desendens anterior kiri dan arteria sirkumfleksa

kiri (Price & Wilson, 2006).

Fungsi dari sistem arteri koronaria adalah untuk memberi darah

kepada miokardium. Arteri koronaria kiri mensuplai belahan jantung

kiri. Arteri koronaria kanan mensuplai darah kepada belahan jantung


11

kanan. Hanya terdapat sedikit sambungan (anastomosis) di antara arteri

koronaria utama, karena itu bila terjadi sumbatan arteri koronaria atau

salah satu cabangnya akan menghilangkan aliran darah (ischemia)

kepada bagian otot jantung yang mendapat suplai oleh pembuluh itu

dan berakibat angina pectoris atau infark miokardial. Yang menjadi

penyumbat bisa bekuan darah yang paling sering deposit

lemak/penumpukan lemak pada dinding arteri (arteri koronaria).

Sistem vena dari jantung mempunyai tiga bagian : vena thebesian

menyalurkan darah dari bagian kanan miokardium atrium dan ventrikel,

vena kardiak anterior menyalurkan bagian terbesar dari ventrikel kanan

dan sinus koronaria dengan cabang-cabangnya menyalur darah ke

ventrikel sebagian besar dari pengembalian darah vena miokardial

(Niluh, 2006).

Pembuluh koroner terdiri dari tiga lapisan yaitu tunika intima

(lapisan dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika adventisia

(lapisan luar) (Whetherill, 2011).

c. Etiologi

Menurut Price & Wilson, (2006) aterosklerosis pembuluh koroner

merupakan penyebab penyakit arteri koronaria yang paling sering di

temukan. Atherosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan

fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit

lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi

terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah


12

miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan

lumen akan diikuti perubahan vaskuler yang mengurangi kemampuan

pembuluh untuk melebar. Dengan demikian keseimbangan antara suplai

dengan kebutuhan oksigen akan menjadi berkurang, membahayakan

miokardium. Sedangkan menurut Sjaifoellah Noer (2009) penyakit

jantung koroner terutama disebabkan oleh proses arteriosklerosis yang

merupakan suatu kelainan degeneratif, meskipun dipengaruhi oleh

banyak faktor, kelainan degeneratif ini akan menyebabkan

ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan

masukan (supplay) nya, sehingga bisa menyebabkan iskemia dan

anoksia yang ditimbulkan oleh kelainan vaskuler dan kekurangan

oksigen dalam darah.

d. Faktor-faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Menurut Petel (2008) faktor-faktor resiko penyakit jantung

koroner terbagi dalam faktor-faktor resiko besar (major risk factor) dan

faktor-faktor yang kecil (minor risk factor), yaitu :

1) Faktor resiko besar (major risk factor)

a) Usia

Usia adalah resiko penting dan 80% dari kematian akibat

penyakit jantung koroner (PJK) terjadi pada orang dengan usia

65 tahun atau lebih (Michael Pecth, 2011). Meningkatnya usia

seseorang akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya penyakit

jantung koroner. Peningkatan usia berkaitan dengan


13

penambahan waktu yang digunakan untuk proses pengendapan

lemak pada dinding pembuluh nadi. Disamping itu proses

kerapuhan dinding pembuluh tersebut semakin panjang sehingga

semakin tua seseorang maka semakin besar kemungkinan

terserang penyakit jantung koroner (Mursito, 2011).

b) Jenis kelamin

Pria mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita

penyakit jantung koroner, wanita biasanya tidak terserang oleh

penyakit ini sampai setelah menopause. Peningkatan setelah

menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan

peningkatan lipid di dalam darah (Niluh, 2004).

Pria usia <65 tahun kira-kira mempunyai kemungkinan

meninggal akibat penyakit jantung 4 kali lebih besar dibanding

wanita (Pecth, 2011).

c) Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)

Tekanan darah yang tinggi akan menimbulkan trauma

langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,

sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner hal ini

menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard

infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi

dibanding orang normal. Tekanan darah sistolik diduga

mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kejadian PJK pada

hipertensi sering dan secara langsung berhubungan dengan


14

tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian Framingham selama

18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan

hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina

pectoris dan miokard infark. Juga pada penelitian tersebut

didapatkan penderita hipertensi yang mengalami miokard infark

mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang

normotensi dengan miokard infark. Hasil penelitian

Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan

Tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar

pada kelompok tekanan darah diastolik 90-104 mmHg

dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan

pada tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x lebih besar.

Penelitian stewart 1979 & 1982 juga memperkuat hubungan

antara kenaikan takanan darah diastolik dengan resiko mendapat

miokard infark (Djohan, 2004). Pengaruh hipertensi dapat

dimodifikasi melalui kepatuhan terhadap regimen medis untuk

pengendalian sistolik dan diastolik tekanan darah (Niluh, 2004).

d) Hiperlipidemia

Hiperlipidemia merupakan kondisi dimana terjadinya

peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida di dalam darah.

Orang yang kadar kolesterol melebihi 300 ml/dl memiliki resiko

4 kali untuk menderita penyakit jantung koroner dengan mereka

yang kadarnya 200 ml/dl (Niluh, 2006).


15

e) Merokok

Merokok merupakan faktor besar yang memberi

kontribusi kepada penyakit jantung koroner. Para perokok

sigaret mempunyai 2-3 kali untuk meninggal karena penyakit

jantung koroner dari pada orang bukan perokok. Resiko

bergantung pula kepada banyaknya rokok yang dihisap dalam

sehari, lebih banyak/sering merokok maka lebih tinggi

resikonya. Nikotin meningkatkan beban kerja miokardium dan

terjadi dampak peningkatan kebutuhan oksigen.

Karbonmonoksida mengganggu pengangkutan oksigen (Niluh,

2006).

f) HDL

Para peneliti menemukan bahwa tingkat kholesterol HDL

(high density lipoprotein) rendah merupakan faktor kedua

setelah umur untuk faktor resiko penyakit jantung

kardiovaskuler (CVD). Seseorang yang merokok umumnya

mengalami penurunan kadar HDL (high density lipoprotein) dan

peningkatan kandungan LDL (low density lipoprotein) sehingga

resiko terjadinya penebalan dinding pembuluh darah meningkat,

keadaan inipun bukan hanya dialami oleh perokok itu sendiri,

tetapi juga oleh perokok pasif/orang yang ada di sekeliling

perokok (Khairani & Sumiera, 2005).


16

g) Kolesterol Total

Kolesterol total merupakan kadar keseluruhan kholesterol

yang beredar dalam tubuh manusia. Yang meliputi LDL, HDL,

dan Trigliserida. Kadar kholesterol total tinggi merupakan

penyebab utama terjadinya sumbatan atau penyempitan

pembuluh darah. Beberapa penelitian mengungkapkan

peningkatan kadar kholesterik terutama trigliserida dan LDL

yang disertai penurunan HDL mempunyai hubungan dengan

meningkatnya resiko penyakit jantung koroner. (Indonesian

Journal Of Clinical Pathology And Medical Laboratory 2006).

2) Faktor-faktor Resiko Kecil (Minor Risk Factor)

a) Obesitas

Obesitas atau berat badan yang berlebihan yang

berhubungan dengan beban kerja jantung yang meningkat dan

juga kebutuhan oksigen untuk jantung. Yang spesifik, obesitas

berhubungan dengan peningkatan intake kalori dan peningkatan

kadar low density lipoprotein (LDL) (Niluh, 2004). Orang yang

gemuk akan lebih cenderung menderita penyakit jantung

koroner dibanding seseorang yang berbobot normal (Mursito,

2011).

b) Kurang Gerak

Telah dibuktikan bahwa kegiatan gerak dapat

memperbaiki efisiensi jantung dengan mengurangi kecepatan


17

jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap fisiologis yang

lain dari kegiatan gerakan ialah menurunkan kadar kepekatan

rendah dari lipid protein, menurunkan kadar glukosa darah dan

memperbaiki cardiac output dapat mengurangi kemungkinan

penyakit jantung koroner (Niluh, 2004).

c) Diabetes Mellitus

Arteriosklerosis koroner diketahui 2-3 kali lebih banyak

pada orang dengan diabetes, tanpa memandang kadar lipid

dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler diketahui terjadi

pada diabetes mellitus dan metabolisme lipid yang tidak normal

memegang peranan juga dalam pertumbuhan atheroma.

Berpegang teguh pada regimen medis yang dianjurkan untuk

mengatur glukosa dapat mengurangi pengaruh faktor resiko dan

itu menjadi tanggung jawab individu untuk realisasinya (Niluh,

2004).

e. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit jantung koroner menurut Niluh (2006)

meliputi berbagai kondisi patologi yang menghambat aliran darah

dalam arteri yang mensuplai jantung. arteriosklerosis, merupakan

arteriosklerosis yang paling banyak terjadi pada manusia, ditandai

dengan akumulasi bahan lemak (lipid) dan jaringan fibrosa pada

dinding arteri, karena arteriosklerosis bertambah, lumen dari pembuluh

menjadi sempit dan aliran darah terhambat ke daerah miokardium yang


18

disuplai oleh arteri itu. Karena bentuknya, arteriosklerosis dinding

arteri juga kehilangan elastisitas dan menjadi kurang responsif terhadap

perubahan volume dan tekanan. Kondisi-kondisi yang menghambat

suplai darah koroner antara lain atherosclerosis, arteriosklerosis,

arteritis, spasmus arteri koroner, trombus koroner dan emboli.

Walaupun berbagai teori telah ditelusuri untuk menjelaskan

patogenesis, dari arteriosklerosis, etiologi kondisi ini tetap belum jelas.

Lesi arteriosklerosis biasanya timbul pada permulaan dan bifurkasi dari

arteri koroner utama. Arteri koroner kiri lebih sering terkena

dibandingkan dengan yang kanan. Proses penyakit pada awalnya

setempat, kemudian menjadi difus dan bertambah dengan

atherosklerosis. Lesi pertama yang timbul pada dinding arteri koroner

disebut garis lemak. Lesi ini timbul pada pembuluh-pembuluh koroner

sejak umur 15 tahun, sel-sel yang mengandung lipid atau “foam cells

(sel-sel busa)” invasi ke dalam dinding intima dan menimbulkan garis-

garis lemak, karena penyakit berlanjut kemudian timbul sejenis

benjolan dengan ukuran yang terus meningkat sehingga kapasitas lumen

pembuluh menjadi terbatas. Lesi tersebut merupakan jenis karakteristik

khas arteriosklerosis yang berkembang.

Tingkat arteriosklerosis yang lebih berkembang ditandai dengan

benjolan fibrosa berkapur atau disebut komplikasi lesi yang sangat

timpang. Deposit kapur dapat rupture dan meningkatkan risiko

spasmus, membentuk trombus dan emboli. Ini adalah jenis lesi


19

atherosclerosis yang memunculkan gejala penyakit jantung koroner.

Lumen arteri menjadi begitu sempit sehingga timbul

ketidakseimbangan suplai oksigen untuk miokardium dibandingkan

dengan kebutuhannya. Manifestasi miokardium biasanya tidak akan

terjadi sampai arteri 75% tersumbat. Itu bisa berakibat angina pectoris,

infark miokardial dan kematian mendadak (Niluh, 2006).

Kerusakan arteri koroner dapat ditandai oleh adanya trombosis,

aterosklerosis atau spasme jaringan jantung yang tergantung pada aliran

darah dari arteri yang sakit akan menjadi iskemik dan nekrotik yang

mengakibatkan infark. Aterosklerosis secara nyata adalah suatu proses

panjang yang dimulai jauh sebelum terjadi gejala. Pada aterosklerosis,

intima dari arteri yang mengalami perubahan seperti arteri otot;

koroner, aortik, femoralis dan arteri poplitea adalah yang paling rentan.

Pada spasme arteri koroner, pembuluh darah disempitkan oleh adanya

aterosklerosis dapat dihambat bila spasme terjadi. Diyakini banyak

bagian dinding infark yang tebal atau infark nontransmural, akibat dari

spasme koroner. Arteri aterosklerosis berespon terhadap rangsang

vasodilator secara paradoksikal, menyebabkan vasokontriksi (Tuti,

2006) .

Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh

pembuluh darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya

iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan

menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan


20

menekan fungsi miokardium. Iskemia yang berlangsunng lebih dari 30-

45 menit akan menyebabkan kerusakan sel ireversibel serta nekrosis

atau kematian otot. Bagian miokardium yang mengalami infark atau

nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang

mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang berpotensi

dapat hidup (De Beasi, 2006).

Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Infark

transmural mengenai seluruh tebal dinding yang bersangkutan;

sedangkan infark subendokardial terbatas pada separuh bagian dalam

miokardium. Infark miokardium jelas akan menurunkan fungsi

ventrikel karena otot yang nekrosis kehilangan daya kontraksi

sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga mengalami ganguan

daya kontraksi. Secara fungsional infark miokardium akan

menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia: (1) daya

kontraksi menurun, (2) gerakan dinding abnormal, (3) perubahan daya

kembang dinding ventrikel, (4) pengurangan volume sekuncup, (5)

pengurangan fraksi ejeksi, (6) peningkatan volume akhir sistolik dan

akhir diastolik ventrikel, dan (7) peningkatan tekanan akhir diastolik

ventrikel kiri. Perubahan-perubahan tersebut akan merangsang jantung

untuk melakukan kompensasi yang dapat mencegah memburuknya

curah jantung dan tekanan perfusi: (1) peningkatan frekuensi denyut

jantung dan kekuatan kontraksi, (2) vasokontriksi umum, (3) retensi

natrium dan air, (4) dilatasi ventrikel, dan (5) hipertrofi ventrikel.
21

Tetapi semua respons kompensasi ini akhirnya dapat memperburuk

miokardium dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium (De

Beasi, 2006).

Menurut De Beasi (2006) patofisiologi dari penyakit jantung

koroner terbagi dalam dua tahap yaitu:

1) Iskemia

Adalah suatu keadaan kekurangan oksigen yang bersifat

sementara dan reversibel. Iskemia yang bersifat sementara akan

menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan,

dan menekan fungsi miokardium. Kebutuhan akan oksigen yang

melebihi kapasitas supply oksigen oleh pembuluh yang terserang

penyakit menyebabkan iskemia miokardial lokal.

Pada iskemia terjadi perubahan hemodinamika bervariasai

sesuai ukuran sigmen yang mengalami iskemia dan derajat respon

refleks kompensasi sistem syaraf otonom. Manifestasi

hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan

tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Jelas

bahwa, pola ini merupakan respon kompensasi simpatis terhadap

berkurangnya fungsi miokardium. Dengan timbulnya nyeri sering

terjadi perangsangan lebih lanjut oleh katekolamin. Penurunan

tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang

iskemia cukup luas atau merupakan suatu respon vagus.


22

Serangan iskemia biasanya mereda dalam beberapa menit

apabila ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik

dan elektrokardiografik yang terjadi semuanya bersifat reversibel

Angina pektoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia

miokardium. Mekanisme yang tepat bagaimana iskemia dapat

menyebabkan nyeri masih belum jelas. Agaknya reseptor syaraf

nyeri terangsang oleh metabolik yang tertimbun atau oleh suatu zat

stress mekanik lokal akibat kontraksi miokardium yang abnormal.

Umumya, angina dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan

kebutuhan miokardium akan oksigen, seperti latihan fisik, dan hilang

dalam beberapa menit dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin.

Angina yang lebih jarang yaitu angina Prinzmetal lebih sering terjadi

pada waktu istirahat daripada waktu bekerja, dan disebabkan oleh

spasme setempat dari arteria epikardium. Mekanisme penyebabnya

masih belum jelas diketahui (De Beasi, 2006).

2) Infark

Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan

menyebabkan kerusakan seluler irreversible dan kematian otot atau

nekrosis. Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis

akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang

mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang

berpotensi dapat hidup, ukuran infark akhir tergantung pada daerah


23

iskemik tersebut. Bila pinggir daerah ini mengalami nekrosis maka

besar daerah infark akan bertambah besar, sedangkan perbaikan

iskemia akan memperkecil daerah nekrosis. Infark miokardium

biasanya menyerang ventrikel kiri (De Beasi, 2006).

Infark transmural mengenai seluruh tebal dinding yang

bersangkutan, sedangkan infark subendokardial terbatas pada

separuh bagian dalam miokardium. Letak infark berkaitan dengan

penyakit pada daerah tertentu dalam sirkulasi koroner. Misalnya

infark dinding anterior disebabkan karena lesi pada ramus desendens

anterior arteria koronaria sinistra. Infark dinding interior biasanya

disebabkan oleh lesi pada arteria koronaria kanan, dan dapat disertai

berbagai derajat blok jantung. Infark miokardium jelas akan

mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis kehilangan

daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga

mengalami gangguan daya kontraksi (De Beasi, 2006).

Secara fungsional infark miokardium akan menyebabkan

perubahan-perubahan seperti pada iskemia : daya kontraksi

menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang

dinding ventrikel, pengurangan curah sekuncup, pengurangan fraksi

ejeksi, peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik

ventrikel dan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (De

Beasi, 2006).
24

Aspek biologis pada individu yang telah lanjut usia, akan

mengalami beberapa penurunan fungsi organ dan mengalami

perubahan fisik. Perubahan tersebut menurut Smeltzer (2009) meliputi

1) Perubahan sel, jaringan dan organ yang dapat diukur dalam bentuk

dan susunan tubuh.

2) Perubahan kardiovaskuler dimana terjadi perubahan struktural yang

normal dari penuaan yang terjadi pada jantung dan sistem vaskuler

mengakibatkan kemampuannya untuk berfungsi secara efisien

menurun.

3) Perubahan sistem pernafasan yang mempengaruhi kapasitas dan

fungsi paru hal ini mengakibatkan penurunan toleransi terhadap

aktivitas dan kebutuhan untuk istirahat selama aktivitas.

4) Perubahan integumen berupa penurunan fungsi dan penampilan

kulit. Perubahan menyebabkan hilangnya kekenyalan dan kulit

menjadi keriput dan mengelambir.

5) Perubahan genitourinaria. Perubahan genitourinaria tetap berfungsi

secara adekuat, meskipun terjadi penurunan massa ginjal.

Perubahan fungsi ginjal diantaranya penurunan laju filtrasi, ketidak

mampuan lansia menyosong kandung kemih dengan sempurna.

6) Perubahan gastrointestinal berupa motilitas yang

melambat,kehilangan gigi berkurranabsobsi nutrien diusus halus

dan konstipasi.
25

7) Perubahan muskoloskletal berupa kehilangan densitas tulang yang

pada akhirnya mengakibatkan ppenurunan mobiltas, keseimbangan

dan fungsi organ internal.

8) Perubahan sistem pernafasan, struktur dan fungsi sistem saraf

berubah dengan bertambahnya usia, berupa berkurangnya massa

otak progresif karena berkurangnya sel saraf yang tidak bisa digant,

sehingga terjadi perlambatan respon dan waktu untuk bereaksi,

menurunnya hubungan pernafasan.

f. Manisfetasi Klinis

Niluh (2004) menjelaskan bahwa manifestasi klinis penyakit

jantung koroner (PJK) bervariasi tergantung pada derajat aliran dalam

arteri koroner. Bila aliran koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan

tidak akan timbul keluhan atau manifestasi klinis.

Dalam keadaan normal, dimana arteri koroner tidak mengalami

penyempitan atau spasme, peningkatan kebutuhan jaringan otot

miokard dipenuhi oleh peningkatan aliran darah, sebab aliran darah

koroner dapat ditingkatkan sampai 5 kali dibandingkan saat istirahat,

yaitu dengan cara meningkatkan frekuensi denyut jantung dan isi

sekuncup seperti pada saat melakukan aktifitas fisik, bekerja atau

olahraga.

Mekanisme pengaturan aliran koroner mengusahakan agar suplai

maupun kebutuhan jaringan tetap seimbang agar oksigenasi jaringan

terpenuhi, sehingga setiap jaringan mampu melakukan fungsi secara


26

optimal. Perlu diingat bahwa metabolisme miokard hampir 100%

memerlukan oksigen, dan hal tersebut telah berlangsung dalam keadaan

istirahat, sehingga ekstrasi oksigen dari aliran darah koroner akan habis

dalam keadaan tersebut. Peningkatan kebutuhan oksigen hanya

dimungkinkan dengan menambah aliran dan bukan dengan

meningkatkan ekstraksi aliran darah.

Meskipun tampaknya sederhana, bahwa kebutuhan konsumsi

oksigen jaringan tergantung pada peningkatan arteri koroner, tetapi

mekanisme yang mendasari cukup kompleks. Berbagai keadaan akan

mempengaruhi antara suplai dan kebutuhan, yang pada dasarnya

melalui mekanisme sederhana, yaitu : suplai berkurang meskipun

kebutuhan tak bertambah, dan kebutuha meningkat, sedangkan suplai

tetap.

Bila arteri koroner mengalami gangguan penyempitan (stenosis)

atau penciutan (spasme), pasok arteri koroner tidak mencukupi

kebutuhan, secara populer tidak terjadi ketidak seimbangan antara

pasok (supplay) dan kebutuhan (demand), akan memberikan gangguan.

Manifestasi gangguan dapat bervariasi tergantung kepada berat

ringannya stenosis atau spasme, kebutuhan jaringan (saat istirahat atau

aktif), dan luasnya daerah yang terkena. Dalam keadaan istirahat,

meskipun arteri koroner mengalami stenosis lumen sampai 60% belum

menimbulkan gejala, sebab aliran darah koroner masih mencukupi


27

kebutuhan jaringan, antara lain dengan mekanisme pelebaran pembuluh

darah (vasodilatasi) pasca daerah stenosis.

Stenosis koroner pada keadaan ini tidak memberikan keluhan,

sering disebut penyakit jantung koroner laten atau silent ischemia.

Beberapa keluhan/manifestasi yang sering terjadi pada penyakit jantung

koroner :

1) Iskemia

Iskemia adalah suatu keadaan kekurangan oksigen yang

bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang lama akan

menyebabkan kematian otot atau necrosis. Secara klinis maka

necrosis miokardium dikenal dengan nama infark miokardium

(Price & Wilson, 2005).

2) Palpitasi

Palpitasi merupakan manifestasi PJK meskipun tidak spesifik.

Ia bisa timbul spontan ataupun atas faktor pencetus yang menambah

iskemia seperti aktivitas fisik, stress dll. Mungkin ia timbul primer

atau sebagai permulaan manifestasi gagal jantung (Noer, 2009).

3) Sesak Napas

Sesak napas mulai dengan napas yang terasa pendek sewaktu

melakukan aktivitas yang cukup berat, yang biasanya

tidakmenimbulkan keluhan. Makin lama sesak makin bertambah,

sekalipun melakukan aktivitas ringan, seperti naik tangga 1-2 lantai

ataupun berjalan terburu-buru atau berjalan datar agak jauh. Pada


28

keadaan yang lanjut dapat terjadi gagal jantung kiri, yang jelas

manifestasi disfungsi ventrikel kiri (Noer, 2009).

4) Angina Pektoris

Angina pektoris yang spesifik merupakan gejala utama dan

khas bagi PJK. Memang angina pektoris merupakan gejala yang

paling belakangan timbul sehinggalayak juga dipandang sebagai

pembeda PJK asimtomatik dan simtomatik (Niluh, 2004).

Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan

sakit dada kekurangan oksigen suatu gejala klinik yang disebabkan

oleh iskemia miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak

adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dan

kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen

secukupnya untuk kontraksi miokard. Gejalanya adalah sakit dada

sentral atau restrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau

kedua tangan, leher atau punggung.

Sakit sering timbul pada kegiatan fisik maupun emosi atau

dapat timbul spontan sewaktu istirahat. Penderita dengan angina

pektoris dapat dibagi dalam beberapa subset klinik. Penderita

dengan angina pektoris stabil, pola sakit dadanya dapat dicetuskan

kembali oleh suatu kegiatan dan oleh faktor-faktor pencetus

tertentu, dalam 30 hari terakhir tidak ada perubahan dalam hal

frekuensi, lama dan faktor-faktor pencetusnya (sakit dada tidak

lebih lama dari 15 menit).


29

Pada angina pektoris tidak stabil, umumnya terjadi perubahan-

perubahan pola : meningkatnya frekuensi parahnya dan atau lama

sakitnya dan faktor pencetusnya. Sering termasuk disini sakit waktu

istirahat, pendeknya terjadi crescendo kearah perburukan gejala-

gejalanya. Subset ketiga adalah Angina Prinzmetal (variant) yang

terjadi karena spasme arteri koronaria (Niluh, 2004).

5) Infark Miokard

Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri

koroner. Terjadinya trombus dapat disebabkan oleh rupture plak

yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trobosit.

Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang

kolusi dan aliran darah kolateral. Keluhan yang khas ialah nyeri

dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas

atau ditindih benda berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan

(umumnya kiri), bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan

epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris

biasa dan tak responsive terhadap nitrogliserin (Noer, 2009).

g. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan EKG yang

dikerjakan waktu istirahat, waktu aktivitas sehari-hari 24 jam (Holter)

ataupun waktu stress (latihan/obat-obatan), pemeriksaan Radiologiist,

pemeriksaan laboratorium terutama untuk menemukan faktor resiko,

pemeriksaan ekokardiografi dan Radio Nuclid Miokardial Imaging


30

(RNMI) waktu istirahat dan stress fisis ataupun obat-obatan, sampai

dengan Arteriografi Koroner dan angiografi ventrikel kiri (AK &LGV).

(Noer, 2009).

Tabel 1

Pemeriksaan Penunjang pada Berbagai Fase Iskemia Miokardium

Pemeriksaan
Iskemia Miokardium Keterangan
Penunjang
Kelainan biokimia Pemeriksaan asam 0,5 – 1,5
Laktat dalam mmol/L.
ruangan jantung

Kelainan fungsi diastolik Ekokardiografi -/+ stress atau


RNMI obat-obatan

Kelainan fungsi sistolik Ekokardografi RNMI -/+ stress atau


obat-obatan

Kelainan EKG Ekg istirahat, stress Dengan catatan


dan obat-obatan. keluhan OS

Angina pektoris Holter

Total iskemia Holter


(Price & Wilson, 2006).

Pemeriksaan EKG istirahat mungkin normal, menunjukkan

iskemia atau infark lama. Iskemia miokardium secara khas disertai oleh

dua perubahan elektrokardiogram akibat perubahan elektrokardiologi

seluler, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segemen ST. Elevasi

segmen ST dikaitkan dengan sejenis angina yang dikenal dengan nama

angina prinzmetal (Price & Wilson, 2006).

Gambaran EKG pada penderita infark miokardium akut mula-

mula terlihat adanya peninggian gelombang T (hiperakut), tetapi


31

gambaran ini jarang terlihat, karena terjadi dalam waktu relatif singkat

yang kemudian diikuti oleh elevasi segmen ST.

Gelombang T mula-mula masih positif, tetapi dengan berjalannya

waktu, segmen ST menurun kembali dan gelombang T menjadi terbalik

(Ismudiati, 2003). Tetapi yang jelas adalah, bahwa setiap EKG dengan

elevasi ST memberikan kesan adanya tahap kerusakan akut dari suatu

infark, makin kuat elevasi ST (semakin tinggi kenaikan segmen ST),

makin besar kemungkinan terjadinya infark (Meurs, 2005).

Bila disesuaikan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dengan

kelainan akibat iskemia maka dapat dilihat seperti Tabel 1. Pemeriksaan

yang dilakukan hendaknya disesuaikan dengan konsep cost effective,

yaitu tergantung pada tingkatan iskemia yang ingin ditemukan dan

penatalaksanaan yang akan dikerjakan (Noer, 2009).

h. Diagnostik

Pada anamnesis harus dicari adanya faktor-faktor resiko. Makin

banyak dan berat faktor risiko makin cepat timbulnya PJK. Menemukan

adanya kelainan biokimia sukar meskipun masih bisa dilakukan,

misalnya dengan pengukuran asam laktat dalam jantung pada waktu

terjadi iskemia (Price & Wilson, 2006).

Akan tetapi adanya gejala dan tanda gangguan fungsi diastolik

dan sistolik mungkin sudah ditemukan pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik atau penunjang. Iskemia miokardium lebih jelas

dengan adanya kelainan EKG waktu istirahat/stress, apalagi bila disertai


32

angina pektoris yang khas. Harus diingat bahwa kemungkinan adanya

iskemia tak bergejala (tanpa angina pektoris) ternyata besar sekali, bisa

mencapai 75%, sehingga harus diusahakan evaluasi teliti terhadap tanda

dan gejala untuk menemukan PJK pada fase dini (Noer, 2009).

i. Penatalaksanaan

Pasien sebaiknya dilihat secara keseluruhan (holistic) dan

diperlakukan individual mengingat PJK adalah penyakit multifaktorial

dengan manifestasi yang bermacam-macam (Noer, 2009).

Menurut Noer (2009) penatalaksanaan dibagi menjadi 2 macam,

yaitu :

1) Umum

Yang dimaksud disini adalah :

a) Penjelasan mengenai penyakitnya

Pasien biasanya merasa tertekan, khawatir terutama untuk

melakukan aktivitas. Karena itu perlu sekali diberikan penjelasan

mengenai penyakitnya, dibesarkan hatinya, bahwa memang ia

harus menyesuaikan diri, akan tetapi bahwa penyakitnya sendiri

masih dapat dikendalikan.

b) Hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan O2 miokardium

Pengaturan kembali keseimbangan O2 miokardium dalam

hal ini adalah dari segi konsumsinya, karena masukan (supplay)

sudah pasti terbatas dan hanya dapat diubah dengan cara khusus.

Hal-hal yang meningkatkan kebutuhan O2 sampai menimbulkan


33

iskemia harus dicegah atau disesuaikan, misalnya aktivitas,

terburu-buru, emosi, kelainan-kelainan ekstrakardial seperti

hipertensi, hipertiroidisme, infeksi, obat-obatan, dll. Pasien harus

menyesuikan aktivitas fisis dan psikis dengan keadaan sekarang

mengubah cara hidup (life style) nya.

c) Pengendalian faktor risiko

Penting sekali mengontrol faktor risiko, karena mereka

mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi diabetes mellitus

dan hiperlipidemia harus diobati. Pengendalian liperhipidemia

sampai kolesterol dibawah 200 mg% misalnya, bukan saja

menekan laju penyakit, tetapi terbukti juga mengurangi stenosis

(regresi) arteri koronaria. Rokok harus dihentikan dan berat badan

dikurangi sampai tak ada lagi kelebihan berat.

Dengan demikian makanan harus diatur rendah lemak jenuh

dan jumlah kalori yang sesuai. Bila maka pun menimbulkan

serangan angina pektoris, porsinya disesuaikan, kalau perlu

frekuensi di tingkatkan dengan porsi yang dikurangi serta mudah

dicerna.

d) Pencegahan

Pencegahan yang dimaksud adalah sekunder yaitu sudah

terjadinya aterosklerosis pada beberapa pembuluh darah, yang

akan berlangsung terus menerus. Obat-obat pencegahan diberikan

untuk menghambat proses aterosklerosis dipembuluh darah


34

lainnya dan menghambat penumpukan lemak dipembuluh darah,

obat yang paling sering dipakai adalah aspirin (A) dengan dosis

375 mg, 160 mg sampai 80 mg, bahkan ada yang mengatakan

dosis lebih rendah dari itu juga bisa efektif.

e) Penunjang

Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia

akut, agar tak terjadi iskemia yang lebih berat sampai IJA. Untuk

menambah masukan misalnya diberikan O2 disamping pasien

diistirahatkan total ditempat tidur. Antikoagulan parenteral

diberikan untuk mencegah stenosis total karena timbulnya bekuan

sebagai akibat pecahnya plak aterosklerosis. Obat yang dipakai

adalah heparin (H). Bila akan dipakai lebih lama dapat diteruskan

dengan OAK. Trombolik (T) dimaksudkan untuk reka analisis,

yang mengalami stenotik, seperti pada pasien IJA. Hanya disini

stenosis sudah berlangsung kronik sehingga efektivitasnya

diragukan.

2) Mengatasi iskemia

a) Medikamentosa

Obat-obatan untuk mengatasi angina pektoris adalah

sebagai berikut :

(1) Nitrat (N), yang dapat diberikan parenteral, sublingual,

buccal, oral, transdermal, dan ada yag dibuat lepas lambat.

Preparatnya ada gliseril trinitrat (GTN), isosorbid dinitrat


35

(ISDN), dan isosorbid 5 mononitrat (ISMN). Kerugiannya

adalah efek samping seperti flushing, hipotensi postural, dan

toleransi. Untuk mengatasi toleransi diberikan periode bebas

nitrat lebih kurang 10 jam.

(2) Berbagai jenis penyakit beta (BB) mengurangi kebutuhan

oksigen. Ada yang bekerja cepat seperti pindolol dan

propranolol, bekerja lambat seperti sotalol dan nadolol; ada

yang ISA + seperti oksprenolol dan pindolol; ada yang larut

dalam lemak sehingga menembus blood brain barier seperti

propranolol, metoprolol, pindolol. Yang harus diingat pada

pemakaiannya adalah bahwa ia dapat mengurangi

kontraktilitas (awas pada disfungsi LV), menimbulkan

spasme bronkus (asma/PPOK) dan menurunkan HR,

sehingga harus waspada terhadap bradikardia dan blockade

jantung. Efek samping misalnya mimpi-mimpi, rasa dingin

pada kaki. Rasa lelah, efek metabolik, (gula darah dan lipid)

dan withdrawal effect yang bisa menimbulkan angina

pektoris lebih berat pada waktu menghentikan obat.

(3) Antagonis Calsium (Ca A), juga terdiri dari beberapa jenis,

cara pemakaian oral dan parenteral. Umumnya obat-obat ini

mengurangi kebutuhan O2 dan menambah masuknya (dilatasi

koroner). Ada yang menurunkan HR seperti verapamil dan

diltiazem, tetapi ada yang menimbulkan takikardia seperti


36

nifedipin. Kebanyakan inotropik negatif kecuali beberapa

yang vasodilator kuat sehingga menurunkan afterload dan

dapat dipakai pada LV, misalnya amilodipin. Efek samping

utama seperti sakit kepala, edema kaki, bradikardia sampai

blockade jantung konstipasi, dll.

Obat-obat tersebut dapat diberikan sendiri-sendiri atau

kombinasi (K) (2 atau 3 macam) bila diperlukan. Hanya

harus diperhatikan keuntungan-keuntungan yang diperoleh

dengan kombinasi tersebut (saling menguatkan atau menutupi

kekurangan/efek samping) dan kerugiannya (saling

menambah efek samping misalnya bradikardia, inotropik

negatif, metabolic, dll), ataupun kemungkinan keuntungan

mengubah/mengganti obat-obatan dari yang satu kelainan

untuk menghindari toleransi.

b) Revaskularisasi

Menurut Price (2006) revaskularisasi dapat dilaksanakan

dengan cara :

(1) Pemakaian trombolitik, biasanya pada PJK akut seperti IJK.

Rekanalisasi dengan trombolik paling sering dilakukan

pada PJK akut, terutama IJK.

(2) Prosedur invasif (PI), non operatif.

Prosedur invasif (Percutaneus Transluminal Coronary

Angiosplasty, PTCA) dipopulerkan Gruntzig pada tahun 1976,


37

ketika ia melakukan pelebaran koronaria dengan balon. Sampai

sekarang prosedur ini telah mengalami banyak kemajuan baik

teknik maupun peralatannya, sehingga indikasinya yang tadi

terbatas pada 1-2 pembuluh darah dengan kelainan yang

sederhana saja, sekarang telah mungkin pula untuk dilakukan

pada kelainan-kelainan yang kompleks dari berbagai pembuluh

darah tersebut.

Disamping PTCA memakai balon, sekarang sudah

dikembangkan pula alat-alat baru seperti rotablator,

atherectomy dan pemasangan stent, dengan bantuan alat-alat ini

PTCA lebih banyak dapat dilakukan dan lebih aman. Di

sebagian Kardiologi Penyakit Dalam oleh T. Santoso dkk

sampai sekarang prosedur invasive ini telah dikerjakan pada

1000 kasus dengan hasil yang cukup baik. Komplikasi dapat

ditekan serendah-rendahnya.

Beberapa kasus mungkin memerlukan tindakan operasi

(CAS) segera, dan hal ini hendaknya selalu dapat dilakukan

(persyaratan untuk melakukan PI). Masalah restenosis masih

tetap menjadi kelemahan prosedur ini.

(3) Operasi coronary artery surgery (CAS).

Operasi (CAS) juga mengalami banyak kemajuan

terutama dalam mengusahakan agar pembuluh darahnya tetap

paten cukup lama dan menemukan alternatif untuk kasus-kasus


38

yang sukar untuk dilakukan prosedur invasive dan fungsi LV

yang amat rendah. Beberapa macam operasinya antara lain

adalah sebagai berikut :

(a) Operasi pantas koroner (CABG)

(b) Transmyocardial (laser) recanalization (TMR)

(c) Transplantasi jantung untuk kardiomiopati iskemik

j. Komplikasi

Menurut Price & Wilson (2009) komplikasi penyakit jantung

koroner adalah :

1) Gagal jantung kongestif

2) Syok kardiogenik

3) Disfungsi otot papilaris

4) Defek septum ventrikel

5) Ruptura jantung

6) Aneurisme ventrikel

7) Tromboembolisme

8) Perikarditik

9) Sindrom dressler

10) Aritmia

2. Konsep Kadar Kolesterol LDL

LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol, merupakan jenis

kolesterol yang bersifat buruk atau merugikan (bad cholesterol ) karena

kadar LDL yang meningkat akan menyebabkan penebalan dinding


39

pembuluh darah. Kadar LDL lebih cepat sebagai penunjuk untuk

mengetahui resiko penyakit jantung koroner dari pada kolesterol total.

Kolesterol yang berlebihan dalam darah akan mudah melekat pada

dinding sebelah dalam pembuluh darah. Selanjutnya LDL akan menembus

dinding pembuluh darah melalui lapisan endotel, masuk kelapisan dinding

pembuluh darah yang lebih dalam yaitu intima. Makin kecil ukuran LDL

tersebut menyusup kedalam intimia, LDL demikian disebut LDL kecil

padat.

LDL yang telah menyusup kedalam intima akan mengalami

oksidasi tahap pertama sehingga terbentuk LDL yang teroksidasi. LDL ter-

oksidasi akan memacu terbentuknya zat yang dapat melekat dan menarik

monosit (salah satu jenis sel darah putih) menembus lapisan endotel dan

masuk kedalam intima menjadi makrofag. Sementara itu LDL-

teroksidasikan mengalami oksidasi tahap kedua menjadi LDL yang

teroksidasi sempurna yang dapat mengubah magrofag manjadi sel busa.

Sel busa yang terbentuk akan saling berikatan membentuk gumpalan yang

makin lama makin besar sehingga membentuk benjolan yang

mengakibatkan penyempitan lumen pembuluh darah.

Keadaan ini akan semakin memburuk karena LDL akan teroksidasi

sempurna juga merangsang sel-sel otot pada lapisan pembuluh darah yang

lebih dalam (media) untuk masuk kedalam lapisan intima dan kemudian

membelah-belah diri sehingga jumlahnya semakin banyak (Brunner dan

Suddarth, 2005).
40

Kadar LDL adalah yang paling signifikan dalam lipid darah, yang

meningkatkan resiko penyakit jantung. Jadi menurunkan LDL haruslah

menjadi target utama terapi. Untuk kolesterol LDL dibawah 130 mg/dl

adalah optimal, 130-159 mg/dl adalah ambang batas/agak tinggi, 160

mg/dl adalah tinggi (W. Chanda & Junge, 2008).

Peningkatan kolesterol darah terutama LDL kolesterol dalam

jangka waktu lama menyebabkan terjadinya penimbunan lemak didalam

lapisan pembuluh darah yang membentuk plak kolesterol, plak kolesterol

mengakibatkan terjadinya pengerasan dan penyempitan pembuluh darah

sehingga suplai darah ke otot jantung berkurang yang menyebabkan

penyakit jantung (Hutter et al, 2004). Faktor yang berkaitan dengan kadar

kolesterol LDL antara lain genetik, jenis kelamin, usia, gaya hidup, dan

pola diet sehari – hari (Anwar, 2004). Pola diet yang salah yaitu

kecenderungan kosumsi makanan rendah serat dan tinggi lemak (Cahanar

& Suhanda, 2006).

Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor terjadinya

penyakit kardiovaskuler. Tingginya kadar kolesterol LDL dapat

meningkatkan resiko arteriosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Hal ini

terjadi karena kolesterol LDL mudah teroksidasi sehingga dapat memicu

proses arteriosklerosis. Berbagai usaha telah dilakukan dalam menurunkan

kadar kolesterol LDL diantaranya yaitu mengurangi konsumsi lemak total

dan lemak jenuh (Ferranti & Neufeuld, 2003).


41

Dislipidemia merupakan keadaan kadar kolesterol yang tinggi

didalam darah, kolesterol LDL dan kolesterol HDL adalah dua jenis

lipoprotein yang berkaitan dengan penyakit jantung, kadar kolesterol LDL

paling signifikan pada lipid darah yang meningkatkan resiko penyakit

jantung sedangkan kolesterol HDL memiliki fungsi yang berkebalikan

dengan kolesterol LDL dalam penyakit jantung koroner (Krummel, 2004).

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Persiapan

1) Sebaiknya subjek dalam keadaan metabolik stabil, tidak ada

perubahan berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olah raga,

minum kopi/alkohol dalam dua minggu terakhir sebelum diperiksa,

tidak ada sakit berat atau operasi dalam dua minggu terakhir.

2) Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar kolesterol dalam

dua minggu terakhir.

b. Pengambilan bahan pemeriksaan

1) Pengambilan bahan dilakukan setelah puasa 12-16 jam (boleh

minum air putih). Sebelum bahan diambil subjek duduk selama

lima menit.

2) Pengambilan bahan dilakukan dengan melakukan bendungan vena

seminimal mungkin.

3) Bahan yang diambil adalah serum.


42

c. Analisa

1) Analisa kolesterol HDL dan kolesterol LDL dengan metode

persitipasi dan ensimatik kadar kolesterol LDL sebaiknya diukur

secara langsung, atau dapat juga dihitung dengan menggunakan

rumus friedewaid kalau kadar ≤ 400 mg/dl, sebagai berikut :

Kadar kolesterol LDL = kolesterol total – kolesterol HDL – 1/5

trigliserida mg/dl.

4. Penatalaksanaan

a. Diet

Diet merupakan cara yang efektif untuk menurunkan kolesterol

LDL dan menaikan klesterol HDL (Umi, 2007). Salah satu alternatif

yang aman menurunkan kadar kolesterol LDL yaitu modifikasi pola

diet, diet yang dianjurkan adalah membatasi konsumsi makanan yang

mengandung kolesterol dengan mengkonsumsi makanan yang bersifat

antihiperkolesterolemia (Varady & Kones, 2005).

Diet tinggi serat makanan (> 25 g/hari) berhubungan dengan

penurunan kejadian PJK, The American Heart Association (AHA)

merekomendasikan peningkatan asupan serat larut 10 hingga 25 g/hari

untuk menurunkan lipid, khususnya mengurangi kolesterol LDL.

Peningkatan asupan serat larut paling sedikit 5 sampai 10 g/hari bisa

mengurangi kolesterol LDL sebesar 5 persen. Sebuah meta-analisis

pada 8 studi klinis menunjukkan, asupan serat psyllium 10,2 g/hari


43

dapat menurunkan kolesterol LDL sebesar 7 persen apabila

dikombinasikan dengan diet rendah lemak (Anderson et al. 2004).

b. Mengkonsumsi zat yang larut

Ada beberapa jenis makanan yang mempunyai khasiat yang

menarik kolesterol dari dalam pencernaan dan dikeluarkan bersama

ampas/sisa makanan, misalnya jenis yang mengandung serat yang larut

(soluble fibre). Serat pangan dapat menghambat absorpsi kolesterol

dalam usus halus dan akhirnya akan menurunkan kolesterol dalam

plasma serta meningkatkan sintesis kolesterol oleh hati, sintesis

empedu, dan eksresi pemeriksaan kolesterol melalui feses. Oleh karena

itu, serat pangan telah banyak digunakan dan direkomendasikan untuk

menjaga kolesterol darah agar tetap normal (Brasher. 2008).

c. Olahraga rutin dan teratur

Olahraga dapat mengurangi beberapa faktor resiko terhadap

penyakit jantung koroner termasuk hiperkolesterol, hipertensi, diabetes

millitus, dan obesitas. Disamping itu olahraga yang teratur dapat juga

mengubah faktor-faktor protektif kardio, misalnya peredaran darah

jantung yang membaik dan meningkatkan kadar HDL-kolesterol serta

menurunkan kadar LDL-kolesterol (Brasher. 2008).

d. Obat-obatan

Obat yang termasuk golongan asam fibrat adalah gemfibrozil,

fenofibrate dan ciprofibrate. Fibrate menurunkan produksi LDL dan

meningkatkan HDL. LDL ditumpuk dari arteri sehingga meningkatkan


44

resiko penyakit jantung koroner, sedangkan HDL memproteksi arteri

atas penumpukan itu.

Obat anti hiperlipidemia yang termasuk dalam golongan resim

adalah kolestiramin (cholestyramin). Obat antihiperlipidemia ini

bekerja dengan cara meningkatkan asam empedu diusus dan

meningkatkan pembuangan LDL dari aliran darah (Riana, 2011).

Kolesterol adalah zat lemak yang sangat penting dalam

pembentukan dinding sel pada tubuh manusia dan hewan. Kolesterol

juga ditemukan beredar dalam sirkulasi darah manusia. Kolesterol

yang terdapat dalam tubuh manusia berasal dari dua sumber utama

yaitu dari makanan yang dikonsumsi dan dari pembentukan oleh hati.

Kolesterol yang berasal dari makanan terutama terdapat pada daging,

unggas, ikan dan produk olahan susu. Sedangkan makanan yang

berasal dari tumbuhan justru tidak mengandung kolesterol sama sekali.

Setelah makanan, kolesterol akan diserap oleh usus halus untuk

selanjutnya masuk kesirkulasi darah dan disimpan dalam suatu mantel

protein. Mantel protein kolesterol ini kemudian dikenan dengan nama

kilomikron (W. Freeman & Junge, 2008).

Penderita kadar kolesterol tinggi khususnya LDL adalah sasaran

utama untuk penderita penyakit kardiovaskuler, termasuk penyakit

jantung koroner. Fakta menunjukan 80% klien penyakit jantung

meninggal mendadak karena penyakit jantung koroner, dan bahkan

50% diantaranya tanpa gejala sebelumnya. Penyakit ini disebabkan


45

oleh kadar kolesterol LDL berlebihan yang membentuk plak

arteriosklerosis pada pembuluh darah koroner jantung dan

mengakibatkan otot jantung tidak menerima aliran darah.

Kolesterol darah dapat dibagi menjadi dua bagian utama :

kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai

“kolesterol jahat” dan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang

dikenal sebagai “kolesterol baik”. LDL membawa kolesterol dari hati

ke sel, dan HDL berperan membawa kolesterol dan sel ke hati. (W.

Freeman & Junge, 2008).

Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan memicu penimbunan

kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya arteriosclerosis

(penggeseran dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak

didinding pembuluh darah, kondisi ini merupakan cikal bakal

terjadinya penyakit jantung koroner (Baraas, 2006).

Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat disebabkan oleh

berbagai faktor. Faktor-faktor penyebab kadar kolesterol yang tinggi

adalah genetika, diet tinggi lemak, berlebihan berat badan, kurangnya

aktivitas fisik, dan merokok. Merokok dapat meningkatkan kadar

kolesterol LDL meningkatkan dan menurunkan kadar kolesterol HDL.

Kadar kolesterol LDL yang tinggi dapat disebabkan oleh

konsumsi alkohol atau obat-obatan. Kolesterol merupakan faktor resiko

stroke yang secara konsisten dilaporkan dari berbagai hasil penelitian.

Kolesterol LDL yang tinggi, kolesterol HDL yang rendah, dan rasio
46

kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan

resiko terkena sroke yang lain (misalnya : hipertensi, merokok,

obesitas) (Wardani, 2013).

Keberhasilan terapi penurunan kadar kolesterol darah akan

menurunkan resiko stroke dan penyakit jantung sebesar 60%.

Penurunan kadar kolesterol darah akan menghambat proses

arteriosclerosis. Perkembangan arteriosclerosis dapat dihambat pada

sebagian besar klien yang menjalani terapi selama dua tahun. Kadar

kolesterol darah yang tidak terkendali akan meningkatkan resiko stroke

dan penyakit jantung. Pasien berusia 40 tahun-an yang memiliki kadar

kolesterol LDL tinggi akan memiliki resiko sebesar 52% untuk

mengalami serangan jantung dan stroke pada usia diatas 50 tahun

(Lang et al, 2005).

Menurut dr. Rizaldi (2008) Pengendalian kadar kolesterol

menuju angka yang normal akan sangat bermanfaat untuk menurunkan

resiko stroke dan penyakit jantung. Target penurunan kadar kolesterol

adalah sebagai berikut :

1) Kadar kolesterol darah total dibawah 200 mg/dl

2) Kadar kolesterol darah LDL dibawah 130 mg/dl (pada individu

tanpa riwayat penyakit jantung koroner), atau dibawah 100 mg/dl

(bila pernah terkena penyakit jantung, merokok, menderita

hipertensi, diabetes).

3) Kadar kolesterol HDL diatas 35 mg/dl.


47

4) Kadar trigliserida dibawah 250 mg/dl.

Pengendalian kadar kolesterol darah sesuai target dicapai dengan

perubahan pola hidup dan terapi obat. Perubahan pola hidup yang

dianjurkan meliputi penurunan berat badan, banyak makan serta

konsumsi buah dan sayuran, berhenti merokok, olahraga dan

pembatasan konsumsi lemak berlebih.

Lemak merupakan salah satu sumber energi yang memberikan

kalori paling tinggi. Disamping sebagai salah satu sumber energi,

sebenarnya lemak atau khususnya kolesterol memang merupakan zat

yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama untuk membentuk dinding

sel-sel dalam tubuh. Kolesterol juga merupakan bahan dasar

pembentukan hormon-hormon steroid. Kolesterol yang kita butuhkan

tersebut secara normal diproduksi sendiri oleh tubuh dalam jumlah

yang tetap. Tetapi kolesterol bisa meningkat jumlahnya karna asupan

makanan yang berasal dari lemak hewani, telur dan yang disebut

sebagai makanan sampah (junkfood) (Rahayue, 2003).

Kadar kolesterol tinggi dalam darah merupakan faktor resiko

yang penting untuk terjadinya penyakit jantung koroner, semakin

tinggi kolesterol semakin tinggi risiko penyakit jantung koroner.

Kolesterol dalam darah dikemas dalam lipoprotein, kolesterol LDL (k-

LDL) dikenal sebagai kolesterol jahat, karena bila terlalu banyak

kolesterol LDL (k-LDL) dalam darah maka akan mengendap dan

menyumbat pembuluh darah (Houn, 2005).


48

e. Hubungan Kolesterol LDL dengan Penyakit Jantung Koroner Pada

Lansia

Kolesterol LDL biasa disebut kolesterol jahat yang dapat

menghambat pembuluh arteri dan meningkatkan resiko serangan jantung

dan stroke. Kolesterol darah dapat dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu

kolesterol LDL yang dikenal sebagai kolesterol jahat dan kolesterol HDL

yang dikenal sebagai kolesterol baik. LDL membawa kolesterol dari hati

ke sel, dan HDL berperan membawa kolesterol dari sel ke hati (Houn.

2005).

Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor terjadinya penyakit

kardiovaskuler. Tingginya kadar kolesterol LDL dapat meningkatkan

resiko arteriosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Hal ini terjadi karena

kolesterol LDL mudah teroksidasi sehingga dapat memicu proses

arteriosklerosis. Berbagai usaha telah dilakukan dalam menurunkan kadar

kolesterol LDL diantaranya yaitu mengurangi konsumsi lemak total dan

lemak jenuh (Ferranti & Neufeuld, 2003).

Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan memicu penimbunan

kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya arteriosklerosis

(pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak

didinding pembuluh darah. Hal ini dihubungkan dengan peningkatan

resiko penyakit akibat gangguan pembuluh darah (misalnya: penyakit

jantung koroner, stroke).


49

Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat disebabkan oleh berbagai

faktor. Yaitu genetik, kelebihan berat badan, kurangnya aktivitas fisik dan

merokok. Merokok meningkatkan kadar kolesterol LDL dan menurunkan

kadar kolesterol HDL. Kadar kolesterol LDL yang tinggi dapat pula

disebabkan oleh konsumsi alkohol atau obat-obatan (misalnya : steroid

atau pil kontrasepsi) (W. Freeman & Junge, 2008).

Penelitian tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap

kejadian PJK sudah banyak dilakukan, baik di luar negeri maupun di

dalam negeri. Penelitian Framingham Heart Study Prediction Score Sheets

mengemukakan cara untuk mengenal faktor risiko dengan mengukur

faktor risiko berdasarkan usia, kadar kolesterol darah (HDL and LDL

cholesterol), tekanan darah kebiasaan merokok dan adanya penyakit

diabetes mellitus, juga untuk mengestimasi risiko PJK pada laki-laki dan

wanita (Ramandika, 2012)

Perkembangan arteriosklerosis dapat dihambat pada sebagian

besar klien yang menjalani terapi selama dua tahun. Kadar kolesterol darah

yang tidak terkendali akan meningkatkan resiko stroke. Klien yang berusia

40 tahun yang memiliki kadar kolesterol LDL tinggi akan memiliki resiko

sebesar 52% untuk mengalami serangan jantung dan stroke pada usia

diatas 50 tahun (Lang et al, 2005).

LDL yang berlebihan akan berkumpul pada dinding pembuluh darah

arteri yang akan mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.

Penyumbatan ini disebabkan oleh kolesterol dan beberapa unsur lainnya


50

yang bisa disebut plak (plaques) penyumbatan ini dapat memicu terjadinya

arterioclerosis atau penegangan/pengerasan arteri sehingga lama kelamaan

dinding arteri menjadi rapuh. Plak (plaques) dapat terbentuk dimana saja,

Seperti juga organ tubuh yang lain, jantung juga memerlukan suplai darah

yang kontinue untuk terus bekerja. Jika suplai berkurang, maka akan

terjadi “angina” yang menyebabkan sakit/nyeri didada atau gejala lain

(Wardani, 2013)

Jika plak ini memiliki kesempatan membeku maka akan

menghalangi suplai darah keseluruh tubuh yang pada akhirnya sel-sel

tubuh akan kekurangan nutrisi dan oksigen yang diperlukan dan seseorang

dapat tiba-tiba meninggal jika pembekuan ini terjadi pada saluran darah

ke otak, maka akan menyebabkan stroke. Jika pembekuan terjadi disaluran

arteri koroner dapat menyebabkan serangan jantung (Wirawan, 2009).


51

B. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep pada suatu penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diminati atau diukur melalui

penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Nursalam, 2008). Untuk

mengetahui bagaimana hubungan kadar kolesterol LDL dengan penyakit

jantung koroner pada lansia di poli jantung RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu,

maka penulis membuat kerangka konsep dengan dua variabel yaitu variabel

independent adalah kadar kolesterol LDL dan variabel dependent adalah

penyakit jantung koroner pada lansia.

Secara skematis, kedua variabel tersebut digambarkan sebagai berikut.

Variabel independent variabel dependent

Penyakit jantung koroner


Kadar Kolesterol LDL
pada lansia

Bagan 1

Kerangka konseptual
52

C. Definisi Operasioanal

Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel ini

dapat menjadi indikator dari variabel lainnya.

Tabel 2

Definisi operasional independent dan dependent

Definisi Alat Skala


No Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Independent Merupakan Lembar Dokumentasi 0: Tinggi Ordinal
. Kadar jenis kolesterol cheklist dengan
kolesterol yang bersifat LDL>16
LDL buruk atau 0 mg/dl
merugikan 1: Ambang
(bad batas
cholesterol) dengan
karena kadar LDL 130
LDL yang –160
meningkat mg/dl
akan 2: Optimal
menyebabkan dengan
penebalan LDL<13
dinding 0 mg/dl
pembuluh
darah
2 Dependent Terhambatnya Lembar Dokumentasi 0 : penyakit Nominal
. Penyakit suplai oksigen cheklist jantung
jantung akibat adanya koroner
koroner pada penyempitan pada
lansia atau sumbatan lansia
pada arteri
koroner yang 1 : tidak
terjadi pada penyakit
lansia yang jantung
akan koroner
meningkat dua pada
kali lipat pada lansia
umur ≥ 60
tahun.
53

D. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol LDL

dengan penyakit jantung koroner pada lansia yang berobat di poli

jantung RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol LDL dengan

penyakit jantung koroner pada lansia yang berobat di poli jantung

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai