Anda di halaman 1dari 29

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1. Batuan dan Tanah


Menurut Made Astawa Rai, batuan adalah campuran dari satu atau lebih mineral
yang berbeda, tidak mempunyai komposisi kimia tetap. Tetapi, batuan tidak sama
dengan tanah, tanah dikenal sebagai material yang mobile, rapuh, dan letaknya
dekat dengan permukaan bumi. Istilah batuan hanya untuk formasi yang keras dan
padat dari kulit bumi yang merupakan suatu bahan yang keras dan koheren atau
yang telah terkonsolidasi dan tidak dapat digali dengan cara biasa, misalnya dengan
cangkul dan belincong.

Tanah, dalam pengertian teknik secara umum didefinisikan sebagai material yang
terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat
secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang melapuk (yang
berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong
di antara partikel-partikel tersebut. Menurut Smith (1984), tanah merupakan suatu
lapisan sedimen lepas seperti kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), lempung
(clay), atau suatu campuran dari bahan-bahan tersebut. Sedangkan menurut
Bieniawski (1973), tanah adalah suatu material bentukan alam yang mempunyai
kuat tekan uniaksial kurang dari 1 MPa.

Garis batas antara tanah dan batuan sulit ditentukan. Pada banyak kasus, sering
dijumpai berbagai material di alam tidak mudah untuk diklasifikasi. Material
tersebut dapat dikategorikan “batuan sangat lunak” atau “tanah sangat keras”. Pada
Geologi misalnya, batuan adalah semua material yang ditemukan dalam kerak
bumi, tidak tergantung berapa banyak mineral penyusun pada batuan tersebut.
Sedangkan tanah adalah batuan yang telah mengalami disintegrasi dan dekomposisi
yang biasanya ditemukan sebagai lapisan sangat tipis yang berada di atas bagian
kerak bumi di mana tanaman dapat tumbuh.

15
Siklus pembentukan batuan dimulai dari magma keluar dan membeku dan
terbentuk batuan beku. Setelah batuan beku terpapar di permukaan atau dekat
permukaan, maka akan terjadi proses pelapukan dan hasilnya yang berupa material
lapuk akan ter-transport dan diendapkan atau mengalami sedimentasi sehingga
hasil akhirnya disebut sedimen. Jika material sedimen tersebut mengalami
konsolidasi dan tegangan, maka material tersebut akan menjadi batuan sedimen
(Gambar 3.1).

Dalam fungsi waktu dan jika batuan sedimen mengalami pembebanan dan
temperatur di dalam bumi, maka batuan tersebut akan mengalami metamorfosa
sehingga terbentuk batuan metamorf.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa batuan beku dan batuan sedimen atau batuan
metamorf yang mengalami pelapukan dapat menjadi batuan sedimen baru.
Demikian juga halnya dengan kejadian batuan metamorf baru, bahwa apakah
batuan beku atau batuan sedimen atau batuan metamorf jika mengalami
metamorfosa akan dapat menjadi batuan metamorf baru.

Gambar 3.1
Siklus Pembentukan Batuan

16
3.2. Pengujian Laboratorium
Menurut Arif (2016), perancangan suatu lereng tambang diperlukan pengetahuan
mengenai karakteristik material penyusunnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti penyelidikan lapangan atau dengan melakukan pengujian di
laboratorium terhadap conto (sample) batuan dari lapangan. Pengujian di
laboratorium ini dilakukan untuk mendapatkan:
1. Sifat fisik batuan, seperti: bobot isi, berat jenis, porositas, angka pori, kadar air,
dan derajat kejenuhan.
2. Sifat mekanik batuan, seperti: kuat tekan uniaksial dan kuat geser langsung.

Uji sifat fisik (Made Astawa Rai, 2013) berguna sebagai data pendukung dari
batuan yang akan diuji. Apabila hasil dari uji sifat fisik batuan yang diuji
menunjukkan ketidakseragaman, hal ini menjadi indikasi tidak meratanya kekuatan
batuan, atau dengan kata lain batuan yang diuji sangat bervariasi (heterogen).

Prosedur yang dapat dilakukan untuk memperoleh data sifat fisik batuan adalah
sebagai berikut:
1. Tentukan berat asli contoh batuan: Wn
2. Batuan dijenuhkan dengan menggunakan desikator selama 24 jam, lalu
ditimbang: Ww
3. Timbang massa batuan jenuh yang tergantung dalam air: Ws
4. Conto batuan jenuh dikeringkan di dalam oven selama 24 jam pada suhu
+ 90°C
5. Timbang massa batuan dalam kondisi kering: Wo
6. Tentukan volume conto batuan total: Ww-Ws

Uji kuat tekan uniaksial atau Unconfined Compressive Strength (UCS) merupakan
suatu pengujian yang bertujuan untuk menentukan nilai kuat tekan uniaksial sebuah
conto batuan dalam geometri yang beraturan, baik dalam bentuk silinder, balok,
atau prisma dalam satu arah (uniaksial). Tujuan utamanya dalam pengujian ini
adalah untuk klasifikasi kekuatan dan karakterisasi batuan utuh. Hasil uji ini
menghasilkan beberapa informasi, seperti kurva tegangan regangan (Gambar 3.2),
nilai kuat tekan uniaksial, modulus young, dan nisbah poisson. Uji kuat tekan
uniaksial menggunakan mesin tekan untuk membebani conto batuan berbentuk

17
silinder, balok, atau prisma. Setelah pengujian ini, dilakukan pengolahan data
berupa kurva tegangan regangan dengan sisi puncak pada regangan aksial
didefinisikan sebagai nilai kuat tekan uniaksial batuan. Lalu, dari hasil kuat tekan
uniaksial yang dihasilkan dapat diklasifikasikan kekuatan batuan yang diuji apakah
termasuk dalam batuan yang sangat kuat, medium, lemah, atau sangat lemah
(Tabel 3.1 dan Gambar 3.3).

Gambar 3.2
Kurva Tegangan Regangan (Bieniawski, 1989)

Tabel 3.1
Klasifikasi Kekerasan Batuan
Klasifikasi UCS
Tipe Batuan
Kuat Tekan (MPa)
Sangat
10 - 20 Lapuk dan batuan sedimen lemah terkompaksi
Lemah
Lemah 20 - 40 Batuan sedimen lemah tersementasi, skiss
Batuan sedimen kompak, beberapa batuan beku
Medium 40 - 80
dengan bobot isi rendah
Batuan beku kompak, beberapa batuan
Kuat 80 - 160
metamorf
Sangat Kuat 160 - 320 Kuarsit, batuan beku dengan bobot isi tinggi
Sumber: Made Astawa Rai, 2013

Kuat geser langsung (Made Astawa Rai, 2013) merupakan perlawanan internal
batuan terhadap tegangan yang bekerja sepanjang bidang geser dalam batuan
tersebut, yang dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik dan faktor eksternal. Untuk
mengetahui kuat geser langsung yang menggunakan conto uji paling tidak sebanyak
empat buah. Masing-masing conto batuan dikenai gaya normal (Fn) tertentu yang

18
diaplikasikan tegak lurus terhadap permukaan bidang diskontinu, dan gaya geser
(Fs) dikenakan untuk menggeser conto batuan hingga pecah. Hubungan antara gaya
perpindahan horizontal terhadap tegangan geser dapat dilihat di kurva tegangan-
perpindahan geser pada Gambar 3.4.

Gambar 3.3
Klasifikasi Kuat Tekan Menurut Berbagai Sumber (Bieniawski, 1989)

Gambar 3.4
Kurva Tegangan Perpindahan Geser pada Uji Kuat Geser Langsung
(Duncan dan Wright, 2014)

3.3. Geometri Jenjang


Geometri jenjang (Waterman, 2015) terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang
tunggal, dan lebar dari jenjang penangkap (catch bench). Rancangan geoteknik
jenjang biasanya dinyatakan dalam bentuk parameter-parameter untuk ketiga aspek
ini. Tinggi jenjang: biasanya alat muat yang digunakan harus mampu pula mencapai
pucuk atau bagian atas jenjang. Jika tingkat produksi atau faktor lain mengharuskan
ketinggian jenjang tertentu, alat muat yang akan digunakan harus disesuaikan pula
ukurannya.

19
Sudut lereng jenjang: penggalian oleh alat gali mekanis seperti loader atau shovel
di permukaan jenjang pada umumnya akan menghasilkan sudut lereng antara
60 – 65 derajat. Sudut lereng yang lebih curam biasanya memerlukan peledakan
pre-splitting.

Lebar jenjang penangkap: ditentukan oleh pertimbangan keamanan. Tujuannya


adalah menangkap batu-batuan yang jatuh, perlu bulldozer kecil atau grader untuk
membersihkan catch bench ini secara berkala. Di beberapa tambang terkadang
digunakan konfigurasi multijenjang (double/triple bench), pada umumnya untuk
jenjang yang tingginya 5 – 8 meter. Dalam hal ini, jenjang dibuat setiap dua atau
tiga jenjang. Tujuannya adalah untuk menerjalkan sudut lereng keseluruhan.
Jenjang penangkap biasanya dibuat lebih besar dibandingkan dengan jenjang
tunggal.

Komponen dasar pada open pit adalah jenjang. Bagian jenjang adalah:
1. Crest dan toe
Crest adalah bagian tertinggi (puncak) daripada jenjang, sedangkan toe
adalah bagian terendah (kaki) daripada jenjang (Gambar 3.5).

Gambar 3.5
Sayatan Melintang Jenjang (Kennedy, 1990)

2. Jenjang kerja
Jenjang kerja merupakan bagian dari jenjang yang berfungsi sebagai tempat
bekerja bagi peralatan tambang, seperti: Power shovel, backhoe, dan
sebagainya.

20
3. Jenjang penangkap (catch bench)
Jenjang penangkap merupakan jenjang yang berada di antara jenjang utama
yang dibuat guna menangkap material yang jatuh atau runtuh dari jenjang
sebelumnya. Ukuran dari jenjang ini biasanya relatif lebih kecil dari jenjang
utamanya (Gambar 3.6).

Gambar 3.6
Geometri Jenjang Penangkap (Kennedy, 1990)

4. Pit slope geometry


Pit slope geometry disebut juga geometri kemiringan dari front penambangan.
Face angle adalah sudut lereng jenjang tunggal.

3.4. Proses Perancangan Lereng Tambang Terbuka


Garis besar pada proses perancangan lereng tambang terbuka telah dikembangkan
lebih dari 25 tahun dan relatif sama, meskipun beberapa metodologi dapat berbeda
tergantung beberapa praktisi. Proses dasar pada perancangan lereng tambang
terbuka, tanpa memperhatikan ukuran dan material (Gambar 3.7). Dengan
menggunakan pendekatan ini, Read dan Stacey (2009) menjelaskan proses
perancangan lereng pada beberapa tingkatan proyek yang penting terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu:
1. Perumusan model geoteknik pada daerah bukaan tambang
2. Pengumpulan model dengan data relevan
3. Membagi model menjadi domain geoteknik
4. Membagi lebih lanjut domain tersebut menjadi sektor rancangan

21
5. Merancang elemen-elemen lereng pada sektor yang berhubungan dengan
domain
6. Melakukan evaluasi dan estimasi stabilitas hasil rancangan lereng terhadap
kriteria keberhasilan proyek
7. Implementasi dan kebutuhan pengawasan terhadap rancangan yang telah dibuat

Gambar 3.7
Proses Perancangan Lereng (Read dan Stacey, 2009)

Hasil dari rancangan lereng tidak hanya layak secara teknik, namun juga harus
memenuhi konteks luas dari operasi penambangan keseluruhan, seperti: aman
secara akuntansi, peralatan tersedia untuk implementasi lereng, memenuhi
perolehan penambangan dan tingkat risiko yang diizinkan.

Model geoteknik, merupakan dasar untuk seluruh proses perancangan lereng dan
model tersebut terdiri atas empat komponen model, yaitu: model geologi, model
struktur, model massa batuan, dan model hidrologi. Keempat model tersebut
memiliki penerapan pada aspek lain, sebagai contoh pada pencadangan bijih dan
operasi penambangan. Akan tetapi, aspek-aspek tersebut pada dasarnya merupakan
hal penting pada proses perancangan lereng tambang.

22
3.5. Stabilitas Lereng pada Tambang Terbuka
Ada tiga komponen pada perancangan lereng tambang terbuka. Pertama,
kemiringan lereng keseluruhan (overall pit slope) dari crest hingga toe, dengan
semua ramp dan bench. Overall pit slope dapat bervariasi dengan jenjang yang
lebih landai pada batuan lemah, dan jenjang yang lebih tegak pada batuan yang
kompak. Sudut kemiringan lereng dapat bervariasi juga tergantung kondisi geologi
dan layout ramp. Kedua, inter-ramp angle pada sebuah jenjang, atau banyak
jenjang, yang berada pada setiap ramp tergantung jumlah ramp dan lebar ramp.
Ketiga, face angle pada jenjang tunggal tergantung pada jarak vertikal antara
jenjang, atau kombinasi multijenjang, dan lebar jenjang penangkap.

Gambar 3.8
Geometri Jenjang pada Tambang Terbuka (Wyllie dan Mah, 2005)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rancangan lereng meliputi tinggi


jenjang, kondisi geologi, kekuatan batuan, tekanan air tanah, dan kerusakan akibat
peledakan. Sebagai contoh, pada push-back lereng yang berkelanjutan, kedalaman
pit akan meningkat dan diharuskan melandaikan kemiringan lereng keseluruhan.
Untuk jenjang yang terdapat ramp, sudut kemiringan jenjang harus lebih landai
untuk mengurangi risiko longsor pada ramp tersebut, dibandingkan dengan lereng
tanpa terdapat ramp di mana beberapa kondisi ketidakstabilan masih dapat
ditoleransi. Ketika terdapat tekanan air yang signifikan pada lereng, perlu
pertimbangan untuk instalasi sistem penyaliran jika hal tersebut dapat menurunkan
ketinggian muka air tanah sehingga sudut kemiringan lereng dapat lebih tegak.
Untuk pit dengan kedalaman yang cukup besar di mana dengan meningkatnya
kemiringan jenjang sebesar satu atau dua derajat akan berdampak pada
berkurangnya jutaan kubik meter batuan yang harus dibongkar (Gambar 3.9).

23
Gambar 3.9
Potensi Meningkatnya Kemiringan Lereng (Read dan Stacey, 2009)

Penentuan sudut kemiringan lereng ditentukan oleh orientasi pasangan kekar


dominan jika terdapat kekar dengan arak kemiringan menuju ke face (out of the
face) dengan sudut yang tegak. Jika kondisi tersebut tidak ditemukan, sudut
kemiringan lereng akan mempengaruhi geometri lereng keseluruhan. Read dan
Stacey (2009) menjelaskan beberapa hal yang dapat timbul akibat adanya kondisi
ketidakstabilan lereng, yaitu:
1. Faktor keamanan atau sosial
a. Cedera atau kematian
b. Kehilangan pendapatan pekerja tambang
c. Kehilangan kepercayaan pekerja tambang
d. Kehilangan kredibilitas perusahaan, baik eksternal dan pemegang saham
2. Faktor ekonomi
a. Terganggunya operasi penambangan
b. Kehilangan cadangan
c. Kehilangan peralatan
d. Meningkatnya stripping ratio
e. Biaya pembersihan material longsor
f. Kehilangan pasar
3. Faktor lingkungan atau regulasi
a. Dampak lingkungan
b. Meningkatnya regulasi
c. Pertimbangan akan penutupan tambang

24
Definisi dari acceptance criteria mengizinkan pemegang saham, direksi, dan
regulator, untuk memahami tingkat performance dari lereng untuk menangani
ketidakstabilan dan/atau longsor. Kriteria tersebut awalnya dinyatakan dengan
sebutan Faktor Keamanan (FK), yang mana merupakan perbandingan kapasitas
lereng (gaya penahan) terhadap gaya penggerak pada lereng tersebut (gravitasi dan
tekanan air pori). Akhir-akhir ini juga diperkenalkan mengenai Probabilitas
Longsor (PL), yang mana merupakan probabilitas ketika FK bernilai 1 atau kurang,
dan dinyatakan secara statistika.

3.6. Jenis Longsoran Lereng


Secara umum, jenis longsoran pada lereng penambangan dibedakan menjadi empat
berdasarkan bidang gelincirnya. Keempat jenis longsoran tersebut adalah:
1. Longsor Bidang (Plane Failure)
Longsor bidang merupakan suatu longsor batuan yang terjadi di sepanjang
bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa
rekahan maupun bidang perlapisan batuan (Gambar 3.10). Secara umum
longsor bidang dapat terjadi apabila memenuhi beberapa syarat antara lain:
A. Jurus (strike) bidang luncur sejajar atau mendekati sejajar terhadap
jurus bidang permukaan lereng dengan perbedaan maksimal 20°.
B. Kemiringan (dip) bidang luncur harus lebih kecil daripada kemiringan
(dip) bidang permukaan lereng (ψf > ψp).
C. Kemiringan (dip) bidang luncur lebih besar daripada sudut gesek dalam
(ψp > Φ).

Gambar 3.10
Bentuk Longsor Bidang (Wyllie dan Mah, 2004)

25
2. Longsor Baji (Wedge Failure)
Longsor baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu
bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Sudut perpotongan antara
bidang lemah (ψi) tersebut lebih besar daripada sudut geser dalam batuan
(Gambar 3.12). Bidang lemah ini dapat berupa kekar (Joint) maupun bidang
perlapisan. Longsor baji dapat terjadi dengan syarat geometri sebagai berikut:
A. Permukaan bidang lemah (a) dan bidang lemah (b) rata, tetapi
kemiringan bidang lemah (a) lebih besar daripada bidang lemah (b).
B. Sudut kemiringan garis potong harus lebih kecil daripada sudut
kemiringan lereng (ψi < ψf).

Gambar 3.11
Bentuk Longsor Baji (Wyllie dan Mah, 2004)

3. Longsor Busur (Circular Failure)


Longsor batuan yang terjadi di sepanjang bidang luncur yang berbentuk busur
disebut longsor busur (Gambar 3.13). Longsor busur paling umum terjadi di
alam, terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras,
longsor busur hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami
pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah (rekahan) yang sangat rapat
dan tidak dapat dikenal lagi kedudukannya. Longsor busur akan terjadi jika
partikel individu pada suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak
saling mengikat. Oleh karena itu, batuan yang telah lapuk cenderung
mempunyai sifat seperti tanah. Tanda pertama suatu longsor busur biasanya
berupa suatu rekahan tarik di permukaan atau muka lereng. Kadang-kadang
disertai dengan menurunnya sebagian permukaan lereng yang berada di
samping rekahan tersebut. Penurunan ini menandakan adanya gerakan lereng
yang pada akhirnya akan terjadi longsoran.

26
Gambar 3.12
Bentuk Longsor Busur (Wyllie dan Mah, 2004)

4. Longsor Guling (Toppling Failure)


Longsor guling terjadi pada batuan yang keras dan memiliki lereng terjal
dengan bidang lemah yang tegak dan arahnya berlawanan dengan arah
kemiringan lereng. Longsor ini dapat berbentuk balok atau bertingkat.
Kondisi untuk menggelincir atau meluncur ditentukan oleh sudut gesek dalam
dan kemiringan bidang luncurnya, tinggi balok dan lebar balok yang terletak
pada bidang miring (Gambar 3.13). Kondisi untuk menggelincir atau
meluncur ditentukan oleh sudut gesek dalam (Φ) dan kemiringan bidang
luncurnya (ψ), tinggi balok (h), dan lebar balok (b) yang terletak pada bidang
miring bertingkat. Kondisi geometri yang dapat menyebabkan terjadinya
longsoran guling antara lain:
A. Balok akan tetap mantap (stabil) apabila ψ < Φ dan b/h > tan Φ.
B. Balok akan meluncur apabila ψ > Φ dan b/h > tan Φ.
C. Balok akan tergelincir, kemudian mengguling (toppling) apabila ψ > Φ
dan b/h < tan Φ.
D. Balok akan langsung mengguling apabila ψ < Φ dan b/h < tan Φ.

Gambar 3.13
Bentuk Longsor Guling (Wyllie dan Mah, 2004)

27
3.8. Metode Kesetimbangan Batas (Bishop Simplified)
Metode kesetimbangan batas menggunakan geometri representatif, material
dan/atau kuat geser kekar, bobot isi material, tekanan air tanah, dan pembebanan
eksternal atau kondisi penyanggaan untuk menentukan faktor keamanan lereng
berdasar pada asumsi mekanika yang disederhanakan. Terdapat dua pendekatan
yang digunakan untuk menentukan kesetimbangan statis pada analisis
kesetimbangan batas. Beberapa prosedur mendasarkan pada kesetimbangan massa
batuan yang terikat pada batas bawah dengan asumsi permukaan bidang gelincir
dan batas atas dengan permukaan lereng. Pada prosedur ini, persamaan
kesetimbangan ditulis dan diselesaikan untuk sebuah tubuh batuan tunggal (single
free body). The Infinite Slope Procedures dan The Swedish Slip Circle Method
merupakan contoh dari penerapan prosedur single free body. Pada prosedur yang
lainnya, massa batuan dibedakan menjadi beberapa potongan (slices) vertikal atau
horizontal, dan persamaan kesetimbangan dinyatakan untuk menyelesaikan
persamaan pada setiap slice. Prosedur ini dinamakan procedures of slices, terdiri
dari beberapa metode, seperti Ordinary Method of Slices, The Simplified Bishop,
dan Spancer’s (Duncan dan Wright, 2014).

Prosedur yang mendasar pada permukaan bidang gelincir lingkaran dengan


memperhatikan momen kesetimbangan pada titik tengah lingkaran. Dengan melihat
pada lereng dan permukaan bidang gelincir lingkaran pada Gambar 3.14, momen
putar dapat dinyatakan dengan:
𝑀𝑑 = Σ𝑊𝑖 𝑎𝑖 ................................................................................................... (3.1)

Gambar 3.14
Lereng dengan Bidang Gelincir Lingkaran (Duncan dan Wright, 2014)

28
Di mana Wi merupakan massa pada slice ke-i dan αi adalah jarak horizontal antara
titik pusat lingkaran dengan titik tengah slice. Meskipun secara teori lengan momen,
αi diukur dari titik pusat lingkaran menuju ke pusat gravitasi slice, beberapa slices
tidak cukup sehingga terdapat perbedaan antara titik pusat (titik tengah lebar) dan
titik gravitasi dari slice dapat diabaikan. Pada beberapa kasus, αi diukur dari titik
pusat lingkaran terhadap titik tengah (titik tengah lebar) dari slice.

Lengan momen, αi pada Persamaan 3.1 dapat menjelaskan jari-jari lingkaran dan
inklinasi bagian bawah slice. Meskipun bagian dasar slice berbentuk lengingan,
bagian dasar tersebut dapat dilakukan pendekatan sebagai garis lurus, sebagaimana
dijelaskan pada Gambar 3.14, dengan mengabaikan kehilangan akibat akurasi.
Inklinasi pada bagian dasar slice digambarkan sebagai sudut αi, diukur antara
bagian dasar slice dan garis horizontal. Sudut antara garis perpanjangan dari titik
pusat lingkaran ke titik tengah bagian dasar slice dan ari vertikal nilainya sama
dengan sudut αi. Sehingga, lengan momen (αi) dapat dinyatakan dengan:
𝑎𝑖 = 𝑟 sin 𝑎𝑖 ................................................................................................... (3.2)

Dan momen penggerak menjadi:


𝑀𝑑 = 𝑟Σ𝑊𝑖 sin 𝑎𝑖 ...........................................................................................(3.3)

Momen penahan dihasilkan dari tegangan (τ) pada bagian dasar setiap slice.
Tegangan normal (σ) pada bagian dasar siap slice bekerja menuju titik tengah
lingkaran, dan tidak menghasilkan momen. Momen penahan total untuk semua slice
dinyatakan:
𝑀𝑟 = Σ𝑟𝑆𝑖 = 𝑟Σ𝑆𝑖 ......................................................................................... (3.4)
Di mana Si adalah gaya geser pada bagian dasar slice ke-i dan akumulasi berlaku
pada semua slice. Gaya geser merupakan produk dari tegangan geser (τ), dan luas
bagian dasar slice, yang mana untuk sebuah slice satuan ketebalan adalah ∆𝑙𝑖 ∙ 1.
Sehingga:
𝑀𝑟 = 𝑟Σ𝜏𝑖 ∆𝑙𝑖 ................................................................................................. (3.5)

Tegangan geser dapat dinyatakan sebagai kuat geser dan faktor keamanan dapat
dinyatakan sebagai berikut:
𝑆𝑖 ∆𝑙𝑖
𝑀𝑟 = 𝑟Σ 𝐹
.................................................................................................. (3.6)

29
Di mana Si adalah kekuatan batuan pada bagian dasar slice. Dengan memasukkan
momen penahan dan momen penggerak, persamaan tersebut dapat ditulis untuk
menyatakan faktor keamanan:
Σ𝑆𝑖 ∆𝑙𝑖
𝐹 = Σ𝑊 .................................................................................................. (3.7)
𝑖 sin 𝑎𝑖

Jari-jari lingkaran telah dihapus baik pada pembilang ataupun penyebut pada
persamaan ini. Akan tetapi, persamaan ini tetap valid hanya pada bidang gelincir
berbentuk lingkaran.

Pada Persamaan 3.7, notasi (i) menyatakan nilai untuk setiap slice tunggal.
Sehingga, untuk keseluruhan lereng dilakukan penjumlahan nilai keseluruhan slice.
Σ𝑆∆𝑙
𝐹 = Σ𝑊 sin 𝑎.................................................................................................... (3.8)

Untuk kuat geser dinyatakan:


𝑠 = 𝑐 + 𝜎 tan Φ............................................................................................. (3.9)

Substitusi persamaan ini ke Persamaan 3.8, sehingga:


Σ(𝑐+𝜎 tan Φ)∆𝑙
𝐹= ........................................................................................... (3.10)
Σ𝑊 sin 𝑎

Persamaan 3.10 menunjukkan persamaan kesetimbangan batas statis untuk


berbagai momen terhadap titik pusat lingkaran. Jika ϕ bernilai 0, Persamaan 3.10
menjadi:
Σ𝑐∆𝑙
𝐹 = Σ𝑊 sin 𝑎.................................................................................................... (3.11)

Di mana dapat mengetahui faktor keamanan. Persamaan 3.11 merupakan turunan


pada Swedish Circle (ϕ = 0) Method, dan memenuhi kesetimbangan momen pada
titik tengah lingkaran dengan tanpa membuat asumsi selain ϕ = 0 dan bidang
gelincir berbentuk lingkaran. Kedua persamaan menghasilkan nilai FK yang sama.

Jika sudut gesek dalam tidak sama dengan nol, Persamaan 3.10 membutuhkan
tegangan normal pada bagian dasar setiap slice diketahui. Permasalahan pada
penentuan tegangan normal adalah tidak dapat ditentukan secara statis dan
membutuhkan asumsi tambahan untuk menghitung faktor keamanan. The Ordinary
Method of Slices dan The Simplified Bishop membuat dua perbedaan asumsi untuk
mendapatkan tegangan normal pada bagian dasar slice dan faktor keamanan.

30
Pada Bishop Simplified, gaya pada sisi samping slice diasumsikan secara horizontal
(dengan catatan, tidak ada tegangan geser antar slice). Gaya tersebut dijumlahkan
pada arah vertikal untuk memenuhi kesetimbangan pada arah tersebut dan untuk
menyatakan tegangan normal pada bagian dasar setiap slice. Pada Gambar 3.15,
tekanan air pori dianggap tidak ada, maka kesetimbangan momen dinyatakan:
𝑟Σ𝑊 sin 𝛼 = 𝑟Σ𝑆........................................................................................... (3.12)
Jika s adalah kekuatan geser tanah sepanjang l (𝑏 = 𝑙 cos 𝛼), maka:
𝑠 𝑠 𝑏
𝑆 = 𝐹 𝑙 = 𝐹 cos 𝛼............................................................................................. (3.13)

Gambar 3.15
Gaya yang Bekerja pada Prosedur Bishop Simplified (Duncan dan Wright, 2014)

Kemudian substitusi Persamaan 3.13 ke Persamaan 3.12, didapatkan:


𝑟 𝑠𝑏
𝑟Σ𝑊 sin 𝛼 = 𝐹 Σ cos 𝛼..................................................................................... (3.14)
Σ(𝑠𝑏 ⁄cos 𝛼)
𝐹= ................................................................................................ (3.15)
Σ𝑊 sin 𝛼

Kekuatan geser s, dinyatakan sebagai berikut:


𝑠 = 𝑐 + 𝜎 tan ϕ............................................................................................. (3.16)

Di mana σ adalah tegangan normal pada permukaan bidang gelincir l. Untuk


mengevaluasi σ dengan memperhatikan kesetimbangan gaya vertikal pada setiap
irisan, maka:
𝑊 = 𝑆 sin 𝛼 + 𝑃 cos 𝛼.................................................................................. (3.17)
𝑃 cos 𝛼 = 𝑊 − 𝑆 sin 𝛼.................................................................................. (3.18)

Kemudian tegangan normal dapat dijelaskan sebagai berikut:


𝑃 𝑃 cos 𝛼 𝑊 𝑆
𝜎= = = − 𝑏 sin 𝛼........................................................................ (3.19)
𝑙 𝑏 𝑏

31
Gabungkan Persamaan 3.13 dan 3.19 ke Persamaan 3.16, maka didapatkan:
𝑊 𝑆
𝑠 = 𝑐 + ( 𝑏 − 𝑏 sin 𝛼) tan 𝜙.......................................................................... (3.20)
𝑊 𝑠
𝑠 = 𝑐 + ( 𝑏 − 𝐹 tan 𝛼) tan 𝜙......................................................................... (3.21)
𝑐+(𝑊⁄𝑏 ) tan 𝜙
𝑠 = 1+(tan 𝛼 tan 𝜙)⁄𝐹........................................................................................ (3.22)

Kemudian didapatkan mα:


tan 𝛼 tan 𝜙
𝑚𝛼 = (1 + ) cos 𝛼.......................................................................... (3.23)
𝐹

Gabungkan Persamaan 3.22 dan 3.23 ke Persamaan 3.15, maka akan didapatkan
nilai faktor keamanan sebagai berikut:
Σ[𝑐+(𝑊⁄𝑏) tan 𝜙]𝑏
𝑚𝛼
𝐹= ......................................................................................... (3.24)
Σ W sin 𝛼

Persamaan 3.24 adalah persamaan faktor keamanan pada prosedur Bishop


Simplified. Bila terdapat kehadiran tekanan air pori, persamaan tersebut menjadi:
Σ[𝑐+(𝑊⁄𝑏−𝑢) tan 𝜙]𝑏
𝑚𝛼
𝐹= ...................................................................................... (3.25)
Σ W sin 𝛼

3.9. Probabilitas Longsor (Monte Carlo)


Kata “probabilitas” memiliki arti yang berbeda-beda pada setiap orang; di mana,
probabilitas merupakan suatu disiplin ilmu yang luas dan besar (Whitman, 1984).
Akan tetapi, terdapat banyak aplikasi yang menggunakan dasar teori ini, dan setiap
aplikasi menggunakan sifatnya tersendiri. Aplikasi teori pada geoteknik meliputi:
1. Optimalisasi pencarian, eksplorasi, dan pengujian
2. Teori Reliabilitas
3. Optimalisasi rancangan dihadapkan dengan ketidakpastian
4. Evaluasi risiko

Rancangan dengan menggunakan probabilitas merupakan prosedur sistematis


untuk memeriksa efek yang timbul akibat adanya variasi setiap parameter pada
stabilitas lereng. Ketika distribusi probabilitas faktor keamanan telah dihitung,
dapat ditentukan probabilitas longsor lereng tersebut.

32
Pada analisis probabilitas, setiap parameter di mana terdapat ketidakpastian
diurutkan pada rentan nilai yang menjelaskan fungsi berat probabilitas (probability
density function). Beberapa jenis fungsi distribusi yang cocok untuk data geoteknik
meliputi distribusi normal, beta, eksponen negatif, dan triangular. Jenis fungsi yang
paling umum digunakan adalah distribusi normal di mana nilai rata-rata merupakan
frekuensi nilai yang paling sering muncul. Fungsi distribusi normal dinyatakan:
1
1 [(𝑥−𝑥̅ )/𝑆𝐷]2
𝑓(𝑥) = 𝑆𝐷√2𝜋 𝑒 −2 .......................................................................... (3.26)

Di mana 𝑥̅ adalah nilai rata-rata dirumuskan sebagai berikut:


∑𝑛
𝑥=1 𝑥
𝑥̅ = ....................................................................................................... (3.27)
𝑛

SD adalah standar deviasi dirumuskan sebagai berikut:


1⁄
∑𝑛
𝑥=1(𝑥−𝑥̅ )
2 2
𝑆𝐷 = [ ] ...................................................................................... (3.28)
𝑛

Apabila suatu distribusi teoritis telah diasumsikan, ditentukan berdasarkan bentuk


dari histogram, maka keabsahan (validitas) dari distribusi asumsi dapat dibenarkan
atau disangkal secara statistik dengan uji baik suai (goodness of fit test). Ada dua
metode uji baik suai suatu distribusi nilai, yaitu Chi-Kuadrat (chi-square) dan
Kolmogorov-Smirnov (K-S).

Uji Kolmogorov-Smirnov mencakup perbandingan antara frekuensi kumulatif


eksperimental dan teoritis dari jenis distribusi asumsi. Jika perbedaan frekuensi
tersebut cukup besar dibandingkan dengan suatu ukuran sampel tertentu, maka jenis
distribusi teoritisnya akan ditolak (Gambar 3.16).

Gambar 3.16
Frekuensi Kumulatif Empirik dan Teoritis (Tse, 2009)

33
Pada sampel berukuran n, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun
urutan himpunan data sampel dari terendah, sehingga akan membentuk suatu fungsi
frekuensi kumulatif tangga sebagai berikut:
𝐷𝑛 = max|𝐹(𝑥) − 𝑆𝑛 (𝑥)|............................................................................. (3.29)
𝑥

Pada uji K-S, selisih maksimum antara Sn(x) dan F(x) untuk seluruh rentang x
merupakan pengukur perbedaan antara model teoritis dan dan data pengamatan.
Selisih maksimum ditunjukkan oleh Persamaan 3.29 dan Tabel 3.2.

Tabel 3.2
Nilai Kritis 𝐷𝑛𝛼 untuk Taraf Nyata α (Tse, 2009)
Level of Significance α 0,10 0,05 0,01
1, 1, 1,
Critical Value

Secara teoritis, Dn merupakan suatu variabel acak yang distribusinya tergantung


pada n. Pada suatu taraf nyata tertentu, pengujian K-S membandingkan selisih
maksimum pengamatan dalam Persamaan 3.29 dengan nilai kritis 𝐷𝑛𝛼 yang
didefinisikan dengan:
𝑃(𝐷𝑛 ≤ 𝐷𝑛𝛼 ) = 1 − 𝛼.................................................................................... (3.30)

Misal untuk tingkat kepercayaan 95% dengan jumlah data minimal 30, maka level
1,36
signifikan yang digunakan adalah 0,05 dengan nilai kritis sebesar . Jika D yang
√30

diamati kurang dari nilai kritis 𝐷𝑛𝛼 maka distribusi yang diusulkan dapat diterima
pada taraf nyata α yang ditentukan, jika tidak distribusi yang diajukan akan ditolak
(Gambar 3.16). Namun perlu dilakukan peninjauan kembali pada variasi
penyebaran data properties batuan sebelum melakukan validasi statistik.

Keuntungan pengujian K-S dibandingkan dengan Chi-Kuadrat adalah bahwa


pengujian K-S tidak memerlukan pembagian data atas selang-selang, sehingga
masalah-masalah yang berkenaan dengan aprokmasi Chi-Kuadrat untuk ei yang
kecil dan atau jumlah selang k yang kecil tidak akan timbul dengan pengujian K-S.

Apabila semua fungsi memiliki nilai Dn lebih rendah dari nilai kritis, maka dapat
diuji lagi dengan menggunakan indikator Akaike Information Criteria (AIC) yang
dijelaskan pada Persamaan 3.31 dan Bayesian Information Criteria (BIC). AIC

34
adalah metode untuk mengatasi nilai log-likelihood yang cukup besar dengan
mengurangkan banyak parameter model dari log-likelihood tersebut. Hal ini
dilakukan apabila masih terdapat dua atau lebih model yang masih dapat
dibandingkan.

Log-likelihood dengan estimator θ dan p adalah banyaknya parameter model. θ


adalah nilai yang memaksimalkan fungsi likelihood atau disebut juga Maximum
Likelihood Estimator (MLE) dari θ. Karena fungsi logaritma selalu monoton naik,
maka θ juga merupakan maximum log-likelihood estimator.
𝐴𝐼𝐶 = log 𝐿(𝜃; 𝑥) − 𝑝................................................................................... (3.31)
𝑝
𝐵𝐼𝐶 = log 𝐿(𝜃; 𝑥) − 2 log .......................................................................... (3.32)

Model dengan AIC terbesarlah yang kemudian dipilih. Sedangkan BIC


didefinisikan oleh Persamaan 3.32 dan ada 3 fungsi distribusi asumsi teoritis yang
digunakan yakni normal, lognormal, dan gamma.

Probabilitas longsor dihitung menggunakan cara yang sama pada faktor keamanan
dengan besaran relatif pada perpindahan dan gaya penahan pada lereng yang
diamati. Terdapat dua metode perhitungan koefisien reabilitas, yaitu metode
Margin of Safety dan metode Monte Carlo.

Analisis Monte Carlo merupakan metode alternatif untuk menghitung probabilitas


longsor di mana penerapannya lebih luas. Analisis Monte Carlo mengabaikan
operasi integrasi yang mana dapat menjadi kompleks, dan pada kasus distribusi beta
tidak dapat diselesaikan secara eksplisit. Nilai lainnya pada analisis Monte Carlo
adalah kemampuan untuk bekerja pada campuran beberapa jenis distribusi, jumlah
variabel, yang mana dapat atau tidak independen satu sama yang lainnya. Teknik
Monte Carlo merupakan prosedur iterasi yang terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1. Melakukan estimasi distribusi probabilitas untuk setiap variabel
2. Membuat nilai acak untuk setiap parameter
3. Menghitung nilai gaya perpindahan dan gaya penggerak, dan tentukan gaya
penahan lebih besar daripada gaya penggerak
4. Ulangi proses sebanyak N kali (N > 100) dan kemudian tentukan nilai PL:
𝑁−𝑀
𝑃𝑓 =
𝑁

35
Di mana M adalah banyaknya kejadian gaya penahan lebih besar dari gaya
penggerak (faktor keamanan lebih besar dari 1).

Gambar 3.17
Bagan Alir Simulasi Monte Carlo untuk Menghitung PL
(Anthanasiou Grivas, 1980 dalam Wyllie dan Mah, 2004)

3.10. Ketidakpastian Data


Ketidakpastian data dapat dihitung, dan hal tersebut harus diidentifikasi terlebih
dahulu. Parameter masukan untuk suatu analisa didapatkan dari investigasi,
pengukuran, dan evaluasi. Hal tersebut menghasilkan berbagai sumber
ketidakpastian data. Ketidakpastian data yang berhubungan dengan permasalahan
Geoteknik dibagi menjadi dua kategori, ketidakpastian Aleatory dan ketidakpastian
Epistemic (Nadim, 2007 dalam Cederstrom, 2014).

Ketidakpastian Aleatory merupakan ketidakteraturan alami pada parameter.


Contohnya pada bidang Geoteknik adalah variasi yang tidak dapat dipisahkan pada
parameter tanah (soil) yang mana menyebabkan ketidakpastian data pada properti
tanah tersebut. Ketidakpastian Aleatory (tidak dapat dihindari) tidak dapat
dieliminasi atau direduksi.

36
Ketidakpastian Epimistic adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan
akan suatu parameter. Kurangnya pengetahuan pada suatu variabel dapat berupa
ketidakpastian pengukuran, ketidakpastian model, dan ketidakpastian statistik
(Nadim, 2007 dalam Cederstrom, 2014). Ketidakpastian pengukuran dihasilkan
dari bagaimana suatu pengujian dilakukan dan hal tersebut juga tergantung pada
metode yang digunakan dan orang yang melakukan pengujian tersebut.
Ketidakpastian model berhubungan dengan pengidealan dan permasalahan fisik
yang dibuat. Informasi statistik terjadi karena terbatasnya jumlah data yang didapat
dari survei geoteknik.

Ketidakpastian data pada properti tanah yang mana terdiri dari ketidakpastian
Aleatory dan ketidakpastian Epistemic ditempatkan pada suatu model dan
berkontribusi pada ketidakpastian keseluruhan. Sumber-sumber ketidakpastian ini
(Gambar 3.18) dapat dituliskan:
𝑉(𝑥) ≅ 𝑉𝑠𝑝 (𝑥) + 𝑉𝑒 (𝑥) + 𝑉𝑠𝑡𝑎𝑡 (𝑥) + 𝑉𝑏𝑖𝑎𝑠 (𝑥)............................................. (3.33)
Dimana:
𝑉(𝑥) adalah variasi dari ketidakpastian total pada properti x
𝑉𝑠𝑝 (𝑥) adalah variasi dari variabel spasial x
𝑉𝑒 (𝑥) adalah variasi dari noise pengukuran x
𝑉𝑠𝑡𝑎𝑡 (𝑥) adalah variasi dari galat statistik pada nilai perkiraan x
𝑉𝑏𝑖𝑎𝑠 (𝑥) adalah variasi dari pengukuran atau bias permodelan pada prosedur yang
digunakan untuk mengukur x

Gambar 3.18
Sumber-Sumber Ketidakpastian pada Properti Geoteknik Tanah
(Jones, 2002 dalam Cederstrom, 2014)

37
Ketidakpastian data pada parameter tanah dibagi menjadi beberapa sumber.
Sumber-sumber tersebut terdiri dari:
1. Variasi Asli
Material tanah bukanlah material homogen dan dapat menghasilkan perbedaan-
perbedaan pada properti tanah. Properti tanah bervariasi 10 sampai 100 kali lebih
banyak dari material yang digunakan pada konstruksi bangunan (Sallfors, 2009
dalam Cederstrom, 2014). Variasi ini disebut variasi asli dikarenakan terbentuk
akibat aktivitas geologi yang terjadi pada tanah pada masa lampau. Proses geologi
merupakan alasan material tanah tidak homogen dan properti tersebut dapat
bervariasi pada suatu daerah.

Banyak parameter tanah yang bervariasi secara vertikal dan horizontal terhadap
kedalaman. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan suatu parameter tanah akan
menghasilkan suatu fungsi kedalaman (Phoon, 1999 dalam Cederstrom, 2014).
Fungsi tersebut (Persamaan 3.34) digunakan untuk memodelkan variasi asli.
𝜉(𝑧) = 𝑡(𝑧) + 𝑤(𝑧)....................................................................................... (3.34)

ξ merepresentasikan suatu nilai in situ pada parameter tanah yang mana bervariasi
terhadap kedalaman. t(z) adalah suatu fungsi kecenderungan dan w(z)
merepresentasikan komponen fluktuasi. Komponen fluktuasi adalah variasi yang
melekat pada material tanah. Gambar 3.19 menunjukkan variasi yang melekat pada
tanah bervariasi terhadap kedalaman.

Gambar 3.19
Variabel yang Melekat pada Tanah (Phoon, 1999 dalam Cederstrom, 2014)

38
2. Ketidakpastian pada Pengukuran
Ketika properti tanah telah dievaluasi dengan melakukan pengukuran, hal tersebut
juga menimbulkan risiko galat pengukuran pada data masukan. Untuk mengatasi
galat pengukuran pada properti tanah in situ, diperkenalkan suatu variabel e
(Persamaan 3.35). Variabel tersebut bergantung pada kedalaman (z) dan tak
berkorelasi secara normal (w). Sumber galat pengukuran dapat berasal dari
peralatan, bagaimana pengukuran tersebut dilakukan, dan akibat pengujian acak.
𝜉𝑚 (𝑧) = 𝜉(𝑧) + 𝑒(𝑧)..................................................................................... (3.35)
𝜉𝑚 (𝑧) = 𝑡(𝑧) + 𝑤(𝑧) + 𝑒(𝑧)........................................................................ (3.36)

3. Ketidakpastian dari Metode Pengujian


Semua parameter tanah didapatkan dari pengujian. Pengujian tersebut akan
menghasilkan ketidakpastian pada model jika pengukuran atau interpretasi tidak
dilakukan secara benar dan kebiasaan sains. Kesalahan sistematis muncul akibat
seberapa presisi metode pengujian yang digunakan. Apabila metode yang
digunakan telah kalibrasi dengan baik, maka galat sistematis dapat diabaikan. Galat
acak muncul akibat akurasi yang rendah pada metode atau orang yang melakukan
pengujian tidak melakukannya sesuai prosedur yang benar.

4. Galat akibat Keterbatasan Jumlah Pengujian


Jumlah pengujian yang dilakukan pastilah terbatas dikarenakan banyak faktor,
termasuk faktor ekonomi. Hal tersebut berarti bahwa hasil pengujian tidak
menggambarkan karakteristik tanah dengan baik meskipun metode pengujiannya
telah sesuai. Jumlah pengujian yang telah dilakukan bernilai rendah dari sudut
pandang statistik bahkan dipertimbangkan secara luas pada survei geoteknik.

5. Ketidakpastian Transformasi
Pengukuran geoteknik kadang-kadang memberikan parameter rancangan yang
mana dibutuhkan dalam permodelan, oleh karena itu sering dilakukan suatu
transformasi untuk menghasilkan parameter rancangan yang dicari. Pada tahap
transformasi, nilai pengukuran tersebut diubah menjadi parameter rancangan yang
sesuai. Ketika melakukan hal tersebut, ketidakpastian data berupa ketidakpastian
transformasi dapat muncul. Gambar 3.20 menunjukkan transformasi pada
karakteristik probabilistik.

39
Gambar 3.20
Ilustrasi Ketidakpastian Transformasi (Phoon, 1999 dalam Cederstrom, 2014)

3.11. Nilai Faktor Keamanan dan Probabilitas Longsor


Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor 1827 K/30/MEM/2018, yang dimaksud dengan Geoteknik
Tambang adalah pengelolaan teknis pertambangan yang meliputi penyelidikan,
pengujian conto, dan pengolahan data geoteknik serta penerapan rekomendasi
geometri dan dimensi bukaan tambang, serta pemantauan kestabilan bukaan
tambang.

Geoteknik tambang paling kurang terdiri atas:


1. Penyelidikan geoteknik yang meliputi jumlah, kedalaman, dan lokasi
pengeboran inti, deskripsi litologi, preparasi conto geoteknik, pengukuran
dan analisis struktur geologi, ketempatan, pengaruh peledakan, serta hasil
penyelidikan hidrologi dan hidrogeologi.
2. Pengujian conto geoteknik yang meliputi laboratorium pengujian dan hasil
dari uji sifat fisik dan sifat mekanik conto.
3. Pengolahan data hasil penyelidikan geoteknik dan pengujian conto geoteknik
yang menggambarkan model dengan parameter yang ditetapkan dari hasil
butir (a) dan (b) probabilitas longsor sebagaimana tabel berikut:

40
Tabel 3.3
Nilai Faktor Keamanan dan Probabilitas Longsor Lereng Tambang

4. Kriteria keparahan longsor (consequences of failure):


A. Tinggi bila ada konsekuensi terhadap:
1. Kematian manusia
2. Cidera berat manusia lebih dari 3 (tiga) orang
3. Kerusakan sarana dan prasarana pertambangan lebih dari 50%
4. Terhentinya produksi lebih dari 24 (dua puluh empat) jam
5. Cadangan hilang dan tidak bisa diambil
6. Kerusakan lingkungan yang berdampak sampai ke luar wilayah
IUP termasuk pemukiman
B. Menengah bila ada konsekuensi terhadap:
1. Cidera berat manusia
2. Kerusakan sarana dan prasarana pertambangan dari 25% (dua
puluh lima persen) sampai 50% (lima puluh persen)
3. Terhentinya produksi lebih dari 12 (dua belas) jam sampai kurang
dari 24 (dua puluh empat) jam
4. Cadangan tertimbun tetapi masih diambil
5. Kerusakan lingkungan di dalam wilayah IUP

41
C. Rendah bila ada konsekuensi terhadap:
1. Cidera ringan manusia
2. Kerusakan sarana dan prasarana pertambangan kurang dari 25%
(dua puluh lima persen)
3. Terhentinya produksi kurang dari 12 (dua belas) jam
5. Rekomendasi hasil pengolahan data yang menjelaskan geometri dan dimensi
bukaan tambang dan timbunan dan/atau penyanggaan yang diperlukan.
6. Jumlah, kedalaman, dan lokasi pengeboran inti dapat mewakili keseluruhan
litologi dan struktur geologi di area rencana bukaan tambang dan rencana
konstruksi fasilitas pertambangan.
7. Kegempaan meliputi koefisien gempa (peak ground acceleration) sesuai
dengan SNI 1726:2012 dan perubahannya.
8. Dalam hal terjadi gempa dengan nilai koefisien gempa yang lebih besar dari
standar dalam SNI 1726:2012 dan perubahannya, koefisien gempa yang
digunakan adalah koefisien gempa yang lebih besar tersebut.

3.12. Tahapan Permodelan Software SLIDE 6.0 (Rocscience)


Analisa stabilitas lereng dengan pendekatan Faktor Keamanan (FK) dan
Probabilitas Longsor (PL) lereng keseluruhan menggunakan bantuan software
SLIDE 6.0 (Rocscience) yang mana dilakukan dengan tahapan yang terdapat pada
Gambar 3.21 di bawah ini, yang terdiri dari.
1. Melakukan permodelan geometri lereng sesuai rancangan lereng.
2. Melakukan permodelan geologi pada model lereng yang telah dibuat
(material boundary).
3. Memasukkan nilai properti material penyusun lereng.
4. Memasukkan data statistik untuk analisa probabilitas.
5. Melakukan permodelan tingkat kejenuhan lereng (ketinggian muka air tanah)
dan juga koefisien getaran.
6. Menentukan tipe longsor (circular atau non circular).
7. Melakukan Computer untuk menghasilkan nilai faktor keamanan dan nilai
probabilitas longsor.

42
Mulai

Input Geometri Lereng


(External Boundary)

Input Stratigrafi Material Penyusun Lereng


(Material Boundary)

Model
Input Material Properties

Input Material Statistics

Input Tinggi MAT dan Koefisien Gempa


(Water Table dan Seismic Load)

Input Surface Type


(Circular/Non Circular)

Proses
(Compute)

Hasil
(Interpret)

Gambar 3.18
Tahapan Permodelan SLIDE

43

Anda mungkin juga menyukai