Anda di halaman 1dari 54

Presentasi Kasus Besar

WANITA 47 TAHUN DENGAN GASTROENTERITIS AKUT DEHIDRASI


RINGAN-SEDANG, SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS DERAJAT
RINGAN DENGAN MANIFESTASI ARTRITIS, CUSHING SYNDROME,
HIPERTENSI STAGE II, DM TIPE II NON-OBESE DD DM
TIPE LAIN, DAN HYPERTENSIVE HEART DISEASE

DISUSUN OLEH:
Maudy Putri Saraswati G99172110
Naurah Asyifa Priandini G99172125
Ridha Hayu Arsaningtyas G99172140
Rari Dewinda Sudarmaji F G991903051

PEMBIMBING:
dr. Eva Niamuzisilawati, Sp.PD, M.Kes, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus kecil ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

Wanita 47 Tahun dengan Gastroenteritis Akut Dehidrasi Ringan-Sedang, Systemic


Lupus Erythematous Derajat Ringan dengan Manifestasi Artritis, Cushing Syndrome,
Hipertensi Stage II, DM Tipe II Non-Obese dd DM
Tipe Lain, dan Hypertensive Heart Disease

Telah dipresentasikan pada


Hari, tanggal : April 2019

Oleh:
Maudy Putri Saraswati G99172110
Naurah Asyifa Priandini G99172125
Ridha Hayu Arsaningtyas G99172140
Rari Dewinda Sudarmaji F G991903051

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus Besar

dr. Eva Niamuzisilawati, Sp.PD, M.Kes, FINASIM

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada 12 Maret 2019 di
Bangsal Flamboyan 8 Ruang 813D RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SL
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
No. Rekam Medis : 013904xx
Tanggal Masuk : 12 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 15 Maret 2019

B. Keluhan Utama
BAB cair sejak 4 hari SMRS

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan
BAB cair sejak 4 hari SMRS. Keluhan BAB cair dirasakan >10 kali
setiap hari, konsistensi cair, warna kuning, jumlah 1 gelas
belimbing, lendir dan darah disangkal. Keluhan tidak hilang dengan
istirahat dan belum diberikan obat apapun. Keluhan disertai nyeri
perut sebelumnya. Nyeri perut dirasakan di bagian bawah kiri, terasa
seperti diremas-remas. Keluhan disertai mual tetapi tidak muntah.
BAK pasien tidak ada keluhan. Pasien BAK 3-4 kali sehari. Setiap

3
kali BAK kurang lebih satu gelas belimbing, warna kuning, nyeri
saat BAK (-), ayang-ayangan (-), BAK berpasir (-), nyeri pinggang
(-).
Keluhan lain yang dirasakan adalah pasien mengeluhkan
nyeri di sendi tubuh sejak 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan hilang
timbul makin lama makin memberat terutama pada persendian di
lengan, tangan, tungkai, kaki kanan dan kiri. Keluhan nyeri
membaik dengan obat MP yang diminum oleh pasien namun
keluhan kembali muncul dalam 3-4 jam setelah minum obat.
Keluhan tidak menghilang dengan istirahat. Keluhan tidak disertai
dengan pembengkakkan dan demam sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat sakit lupus ± 3 tahun terakhir, rutin
kontrol dan konsumsi obat MP. Pasien juga mengatakan mempunyai
sakit darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu, rutin minum obat
amlodipin 10mg/hari. Pasien juga mengaku mempunyai sakit
kencing manis sejak ± 3 tahun, rutin berobat menggunakan insulin
sebelum makan dan sebelum tidur. Pasien menyangkal memiliki
riwayat penyakit jantung dan penyakit asma sebelumnya. Pasien
sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa dan mondok kurang
lebih 3 bulan yang lalu di RSUD Dr. Moewardi.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit yang sama : (+) nyeri sendi
Riwayat mondok : (+) Januari 2019 dengan
keluhan serupa
Riwayat pengobatan TB : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat sakit liver : disangkal

4
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Rwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwasat sakit asma : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : ayah dan ibu
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal

HT HT

Keterangan
Laki –laki

Pasien

Perempuan

Meninggal dunia

F. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat minum jamu : disangkal

5
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dan sehari-hari tinggal di rumah
bersama keluarga. Berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS
kelas 3.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 12 Maret 2019 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6
2. Tanda vital
a. Tekanan darah : 170/90 mmHg
b. Nadi : 102 kali/menit, irama reguler, isi nadi
cukup, nadi kanan dan kiri sama,
frekuensi nadi dan frekuensi jantung
sama.
c. Frekuensi nafas : 20 kali/menit, reguler
d. Suhu : 36.70 C per axillar
e. VAS : 5 di regio genu
3. Status gizi
a. Berat badan : 48 kg
b. Tinggi badan : 156 cm
c. IMT : 19.72 kg/m2
d. Interpretasi : normoweight
Pemeriksaan Kepala
4. Kepala : Bentuk mesocephal, tonjolan tulang (-), simetris, luka (-)
5. Rambut : Rambut warna hitam, rambut tebal, distribusi rata, mudah
rontok (+), rambut jagung (-), rambut mudah dicabut (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter

6
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-)
7. Wajah : Wajah simetri, gerakan involunter (-),moon face (+),
butterfly rash (-)
8. Kulit wajah : pucat (-), sianosis (-)
9. Telinga : Normotia, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-),
nyeri tekan tragus (-)
10. Sinus paranaslis dan Hidung : Nyeri tekan sinus paranasalis (-),
sekret (-), epistaksis (-), krepitasi (-), deviasi septum nasi
(-)
11. Bibir : Sianosis (-), benjolan (-), bibir tampak kering dan pecah
pecah
12. Mulut : Bibir kering (+), lidah berada di tengah , tidak tertarik ke
salah satu sisi, papil lidah atrofi (-), lidah kotor (-), gusi
berdarah (-), oral thrush (-), tonsil T1-T1, uvula (+) di
tengah, faring hiperemis (-),
13. Gigi : Gigi tanggal (-), caries gigi (-), gusi hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher
14. Tekanan vena juglaris : R+2 cmH2O,
15. Kelenjar tiroid : Simetris kanan dan kiri, pembesaran
kelenjar tiroid (-), tanda peradangan (-), thril
(-), nodul (-) , nyeri tekan (-), bising (-)
16. Kelenjar getah bening : pembesaran kelenjar getah bening leher (-),
nyeri tekan (-), luka (-)
17. Thorax : Bentuk normochest, simetris,
pengembangan dada kanan=kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal,
sela iga melebar(-), pembesaran kelenjar
getah bening axilla (-/-), spider nevi (-),
18. Pemeriksaan Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak

7
 Palpasi : Ictus kordis kuat angkat, teraba di SIC VI 1 cm
ke lateral linea mid clavicularis sinistra,
diameter 2,5 cm, amplitudo iktus normal, durasi
2/3 durasi sistol,
 Perkusi :
Batas Jantung
- Kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
- Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
- Kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
- Kiri bawah: SIC VI 1 cm ke lateral dari Linea Mid
Clavicularis Sinistra
Kesan: batas jantung kesan melebar caudolateral
 Auskultasi :
- SIC 2 linea parasternalis dekstra : BJ II lebih keras dari BJ I
, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
- SIC 2 linea parasternalis sinistra: BJ II lebih keras dari BJ I ,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
- SIC 4-5 linea parasternalis sinistra : BJ I lebih keras dari BJ
II , intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
- SIC 4-5 linea midclavicularis sinistra : BJ I lebih keras dari
BJ II , intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pemeriksaan Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris kanan dan kiri,
sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris
kanan=kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi intercostal (-)

8
 Palpasi
- Statis : Simetris kanan dan kiri, emfisema
subkuitis (-),benjolan (-), nyeri tekan (-)
- Dinamis : Pergerakan kanan=kiri, fremitus raba
kanan=kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor, pekak pada batas absolut paru
hepar pada SIC VI linea midclavicularis
dekstra
- Kiri : Sonor, timpani sesuai batas paru
lambung pada SIC VII linea aksilaris
anterior sinistra
 Auskultasi
Suara dasar paru: vesikuler di kedua
lapang paru, suara tambahan: wheezing
(-/-), ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi
basah halus (-/-), krepitasi (-/-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, buffalo hump (+)
- Dinamis :Pengembangan dada simetris
kanan=kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-),
 Palpasi
- Statis : Simetris kanan dan kiri, emfisema subkuitis
(-), benjolan (-), nyeri tekan (-)
- Dinamis : Pergerakan kanan=kiri, fremitus raba
kanan=kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor

9
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
: Suara dasar paru : vesikuler kedua di lapang paru , suara
tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi
basah halus (-/-), krepitasi (-/-)
14. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding thorak, simetris,
ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput
medusae (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat 35x / menit, bruit hepar
(-), bising epigastrium (-)
 Perkusi :
- Timpani (+), pekak alih (-), undulasi (-), nyeri ketok (-)
- Pekak pada bawah procesus xiphoideus sepanjang 5 cm ,
Pekak pada BACD sepanjang 8 cm
- Timpani pada SIC VI linea aksilaris anterior kiri ,
Splenomegali (-)
- Liver span : Jarak antara batas atas dan batas bawah hepar
sepanjang 8 cm
 Palpasi :
- Supel, Distended (-), nyeri tekan (-), defans muskuler (-)
- Shifting dullness : Tidak ada perubahan suara dari timpani
ke redup
- Undulasi : tidak merasakan getaran pada dinding perut
kontralateral
- Hepar : Tepi hati lancip, permukaan tidak berbenjol,
konsistensi kenyal , nyeri tekan (-)
- Murphy sign : negatif
- Schuffner : tidak teraba membesar
- Mc burney sign: Nyeri tekan pada titik mcburney (-)

10
- Bimanual palpasi : Ginjal tak teraba (-/-)
- Nyeri ketok costovertebrae angle (-/-)
15. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem _ _
_ _ _ _

Superior Ka/Ki Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (+/+), deformitas (-/-), palmar eritem (-/-),
Inferior Ka/Ki Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin(-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak genu bilateral (+/+), deformitas (-/-),

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan laboratorium (13 Maret 2019, 01.40 WIB)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.5 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 38 % 33-45
Leukosit 6.6 ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 459 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.37 juta/ul 4.10-5.10
Index Eritrosit
MCV 87/0 /um 80.0-96.0
MCH 26.3 Pg 28.0-33.0
MCHC 30.3 g/dl 33.0-36.0
RDW 13.7 % 11.6-14.6

11
MPV 8.6 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.40 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 0.00-2.00
Netrofil 85.50 % 55.00-80.00
Limfosit 11.20 % 22.00-44.00
Monosit 2.80 % 0.00-7.00
Kimia Klinik
Glukosa Darah
114 mg/dl 60-140
Sewaktu
SGOT 14 u/l <31
SGPT 32 u/l <45
Creatinine 0.6 mg/dl 0.6-1.2
Ureum 28 mg/dl <50
Elektrolit
Natrium Darah 142 mmol/L 136-145
Kalium Darah 3.5 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.25 mmol/L 1.17-1.29
Serologi
HbsAg Non-reactive Non-reactive

B. Pemeriksaan laboratorium (13 Maret 2019, 13.16 WIB)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Kimia Klinik
HbA1c 7.5 % 4.8-5.9
Glukosa Darah Puasa 81 mg/dl 70-110
Glukosa 2 Jam PP 161 mg/dl 80-140
Asam Urat 5.3 mg/dl 2.4-6.1

12
Kolestrol Total 229 mg/dl 50-200
Kolestrol LDL 179 mg/dl 79-186
Kolestrol HDL 61 mg/dl 34-87
Trigliserida 96 mg/dl < 150

C. Pemeriksaan urin (13 Maret 2019, 13.35 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan Clear
Kimia Urin
Berat Jenis 1.019 1.015 – 1.025
pH 6.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton +/Positif 1 mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif mg/dl Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 5.7 /uL 0 – 8.7
Leukosit 2.6 /LPB 0 – 12
Epitel
Epitel Squamous 8 – 10 /LPB Negatif
Epitel Transisional 2–3 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
Silinder

13
Hyline 0 /LPK 0-3
Granulated 0–1 /LPK Negatif
Lekosit - /LPK Negatif

Yeast Like Cell 0.0 /uL 0.0 – 0.0


Mukus 0.38 /uL 0.00 – 0.00
Sperma 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Konduktivitas 26.9 mS/cm 3.0 – 32.0
Eritrosit: 1-2/LPB. Leukosit: 2-3/LPB.
Lain - lain
Bakteri (+)
Kesan Ketonuria, bakteriuria

14
D. Foto rontgen Thorax (13 Maret 2019)

Foto thorax PA (inspirasi kurang, asimetris)


Cor: Ukuran membesar dengan CTR 64%
Pulmo: Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik

Kesimpulan:
Cardiomegaly

15
E. Pemeriksaan EKG

Kesimpulan: sinus ritmis, HR 75 x/menit, normoaxis, zona transisi


v2-v3, LVH

III. RESUME

A. Anamnesis:

- Keluhan utama: Pasien mengeluh BAB cair sejak 4 hari SMRS.


- Keluhan BAB cair dirasakan >10 kali setiap hari, konsistensi cair,
warna kuning, jumlah 1 gelas belimbing, lendir dan darah disangkal.
- Keluhan tidak hilang dengan istirahat dan belum diberikan obat
apapun.
- Keluhan disertai nyeri perut dirasakan di bagian bawah kiri, terasa
seperti diremas-remas, serta mual tetapi tidak muntah.
- Pasien mengeluhkan nyeri di sendi tubuh sejak 2 minggu SMRS. Nyeri
dirasakan hilang timbul makin lama makin memberat terutama pada
persendian di lengan, tangan, tungkai, kaki kanan dan kiri.

16
- Keluhan nyeri membaik dengan obat MP yang diminum oleh pasien
namun keluhan kembali muncul dalam 3-4 jam setelah minum obat.
Keluhan tidak menghilang dengan istirahat. Keluhan tidak disertai
dengan pembengkakkan dan demam sebelumnya.
- Pasien memiliki riwayat sakit lupus ± 3 tahun terakhir, rutin kontrol
dan konsumsi obat MP. Pasien juga mengatakan mempunyai sakit
darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu, rutin minum obat amlodipin
10mg/hari. Pasien juga mengaku mempunyai sakit kencing manis
sejak ± 3 tahun, rutin berobat menggunakan insulin sebelum makan
dan sebelum tidur.
- Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa dan mondok
kurang lebih 3 bulan yang lalu di RSUD Dr. Moewardi.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
- Tekanan darah : 170/90 mmHg
- Nadi :102 kali/menit
- VAS : 5 di regio genu
2. Rambut: mudah rontok (+)

3. Wajah : moon face (+)

4. Mulut : bibir kering (+)

5. Jantung: batas jantung kesan melebar caidolateral

6. Punggung: buffalo hump (+)

7. Abdomen: Auskultasi: bising usus (+) meningkat 35x/menit

8. Ekstremitas : superior : kanan dan kiri nyeri sendi (+)

Inferior : kanan dan kiri nyeri sendi (+)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah (13 Maret 2019)
- Darah Rutin: Hb 11.5 g/dl ↓, AT 459 ribu/µl ↑
- Index Eritrosit: MCH 26.3 pg ↓, MCHC 30.3 g/dl ↓, PDW 16% ↓

17
- Hitung Jenis: netrofil 85.5% ↑, limfosit 11.2% ↓
- Kimia Klinik: HbA1c 7.5% ↑,GD2PP 161 mg/dl ↑,kolesterol total 229 mg/dl ↑
2. Pemeriksaan urin (13 Maret 2019)
Keton (+)
Bakteri (+)
Epitel squamous: 8-10/LPB
Epitel transisional: 2-3/LPB
Silinder granulated: 0-1/LPK
Mukus: 0.38 /uL
Eritrosit: 1-2/LPB
Leukosit: 2-3/LP
Kesan : Ketonuria, bakteriuria
3. Foto Thorax PA (13 Maret 2019)
Kesimpulan: cardiomegaly
4. EKG
Kesimpulan : LVH

IV. DIAGNOSA/PROBLEM LIST


1. GEA dehidrasi ringan-sedang
2. SLE derajat ringan dengan manifestasi artritis
3. Cushing syndrome
4. Hipertensi stage II
5. DM tipe II Non-obese dd DM tipe lain
6. HHD

18
RENCANA AWAL

No Diagnosis Pengkajian Masalah Rencana Awal Rencana Terapi Rencana Rencana


(Assesment) Diagnosis Edukasi Monitoring
1 GEA Anamnesis  Feses rutin  Bed rest tidak Penjelasan  Perbaikan
dehidrasi - Keluhan utama: total kepada keadaan
ringan- Pasien mengeluh  Rehidrasi pasien umum
sedang BAB cair sejak 4 hari 20ml/ kgBB mengenai  Monitoring
SMRS.  Attapulgite kondisi, BC
- Keluhan BAB cair tab 2 tab/diare prosedur
dirasakan >10 kali p.o diagnosis dan
setiap hari, tatalaksana
konsistensi cair, beserta
warna kuning, komplikasi
jumlah 1 gelas yang dapat
belimbing, lendir dan terjadi.
darah disangkal.
- Keluhan tidak hilang
dengan istirahat dan

19
belum diberikan obat
apapun.
- Keluhan disertai
nyeri perut dirasakan
di bagian bawah kiri,
terasa seperti
diremas-remas, serta
demam, batuk dan
pilek.
Pemeriksaan fisik :
Nadi :102
kali/menit
Mulut : bibir kering (+)
Abdomen: Auskultasi:
bising usus (+)
meningkat 35x/menit
Pemeriksaan
penunjang: -

20
Komplikasi: Dehidrasi
berat
2 SLE derajat Anamnesis:  -  Inj. MP 12,5 Penjelasan Monitoring
ringan - Pasien mengeluhkan mg/ 12 jam kepada VAS dan
dengan nyeri di sendi tubuh pasien keluhan
manifestasi sejak 2 minggu mengenai
artritis SMRS. Nyeri kondisi,
dirasakan hilang prosedur
timbul makin lama diagnosis dan
makin memberat tatalaksana
terutama pada beserta
persendian di lengan, komplikasi
tangan, tungkai, kaki yang dapat
kanan dan kiri. terjadi.
- Keluhan nyeri
membaik dengan obat
MP yang diminum
oleh pasien namun
keluhan kembali

21
muncul dalam 3-4 jam
setelah minum obat.
Keluhan tidak
menghilang dengan
istirahat. Keluhan
tidak disertai dengan
pembengkakkan dan
demam sebelumnya.
- Pasien memiliki
riwayat sakit lupus ± 3
tahun terakhir, rutin
kontrol dan konsumsi
obat MP.
Pemeriksaan Fisik:
Wajah : moon face (+)
Punggung : buffalo
hump (+)
Ekstremitas :

22
a) superior : kanan dan
kiri nyeri sendi (+)
b) Inferior : kanan dan
kiri nyeri sendi (+)
Pemeriksaan
Penunjang:
-
Komplikasi: neuropati
SLE
3 Cushing Anamnesis Uji 24 jam free Tappering off MP Penjelasan -
Syndrome Konsumsi MP 3 tahun cortisol urin hingga <10 kepada
Pemeriksaan Fisik mg/24 jam pasien
Bufallo hump (+) mengenai
Moon face (+) kondisi,
prosedur
diagnosis dan
tatalaksana
beserta
komplikasi

23
yang dapat
terjadi.
4. Hipertensi Anamnesis  -  Ramipril Penjelasan KUVS/8jam
stage II Pasien juga mengatakan 5mg/24jam p.o kepada
mempunyai sakit darah  Amlodipin pasien
tinggi sejak 5 tahun 10mg/24jam mengenai
yang lalu, rutin minum p.o kondisi,
obat amlodipin prosedur
10mg/hari. diagnosis dan
Pemeriksaan Fisik tatalaksana
Tekanan darah : 170/90 beserta
mmHg komplikasi
Pemeriksaan yang dapat
Penunjang: - terjadi.
Komplikasi:
Hipertensi kronis, HHD

24
5. DM tipe II Anamnesis  GDP  Inj. Lantus 0- Penjelasan GDS 22/05
Non-obese dd Pasien juga mengaku  GD2PP 0-0-10 unit kepada
DM tipe lain mempunyai sakit  HbA1c SC pasien
baik kencing manis sejak ± 3  Profil lipid  Inj. mengenai
tahun, rutin berobat Novorapid 8- kondisi,
menggunakan insulin 8-8 unit SC prosedur
sebelum makan dan diagnosis dan
sebelum tidur. tatalaksana
Pemeriksaan Fisik beserta
- komplikasi
Pemeriksaan
yang dapat
Penunjang:
terjadi.
GDS : 144 mg/dl
HbA1c: 7.5%
GDP: 81 mg/dl
GD2PP: 161 mg/dl

Komplikasi: koma
hiperglikemi, KAD,

25
HHS, nefropati DM,
neuropati DM
6. HHD Anamnesis  Echocardiography  Inj. Penjelasan  EKG
Riwayat darah tinggi Furosemide kepada  BC
(+) sejak 5 tahun yang 20mg/8jam pasien
lalu mengenai
Pemeriksaan Fisik kondisi,
Jantung: perkusi: batas prosedur
jantung kesan melebar diagnosis dan
caidolateral. tatalaksana
Pemeriksaan beserta
Penunjang: komplikasi
Foto Thorax PA (13 yang dapat
Maret 2019) terjadi.
Kesimpulan:
cardiomegaly

Komplikasi: CHF,
syok cardiogenik

26
V. FOLLOW UP
A. 13 Maret 2019 (DPH 1)
Subjektif Pasien mengeluhkan nyeri sendi, pusing, dan mual,
BAB cair. Muntah, demam disangkal.
Objektif KU : sakit sedang, compos mentis E4V5M6
TD : 170/100 mmHg
HR : 96x/menit
RR : 20x/menit
T : 36.3oC
VAS : 2-3
GD2PP: 144
GDP: 98
Kepala : mesocephal, rambut rontok (+)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Wajah : moon face (+), malar rash (-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa basah (+), oral ulcer (-)
Leher : JVP R+2 cmH2O, KGB membesar
(-)
Thorax : normochest, simetris, punggung
buffalo hump (+)
Cor : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), batas jantung kesan melebar caudolateral
Pulmo : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
Abdomen : Bising usus (+) 24x/menit , nyeri
tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstremitas : superior dan inferior nyeri sendi (+)
- -
oedem
- -

27
Assesment 1. SLE derajat ringan dengan manifestasi artritis
2. GEA dehidrasi ringan-sedang
3. HHD
4. DM tipe II non-obese dd DM tipe lain
5. Cushing syndrome
Planning Terapi
1. Bed rest tidak total
2. O2 3 lpm NK
3. Diet DM 1700 kkal
4. Inf RL 20 tpm
5. Inj. Santagesic 1 amp/8 jam
6. Candesartan 8 mg/24 jam p.o
7. Amlodipin 10 mg/24 jam p.o
8. New Diatab 2 tab/BAB cair p.o
9. MP 4 mg 1-0-1 p.o
10. Ostovel 0,25 g/24 jam p.o
11. Myfortic 360 mg/12 jam p.o
12. Inj. Novorapid 8-8-8 IU SC
13. Inj. Lantus 0-0-0-10 IU SC
Planing
1. Cek urin, feses rutin
2. Cek GDP, GD2PP, HbA1c, profil lipid, asam urat
3. ALP, GGT, Protein total
4. Bilirubin direct/ indirect

B. 14 Maret 2019 (DPH 2)


Subjektif Pasien mengeluh nyeri sendi, sakit kepala, dan BAB
cair berkurang. Mual, muntah, demam disangkal
Objektif KU : sakit sedang, compos mentis E4V5M6
TD : 170/110 mmHg

28
HR : 82x/menit
RR : 20x/menit
T : 36.4oC
VAS : 1-2
GD2PP : 145
GDP : 144
Kepala : mesocephal, rambut rontok (+)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Wajah : moon face (+), malar rash (-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa basah (+), oral ulcer (-)
Leher : JVP R+2 cmH2O, KGB membesar
(-)
Thorax : normochest, simetris, punggung
buffalo hump (+)
Cor : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), batas jantung kesan melebar caudolateral
Pulmo : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
Abdomen : Bising usus (+) 24x/menit , nyeri
tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstremitas : superior dan inferior nyeri sendi (+)
oedem
- -
- -

HbA1c : 7,5 Hb : 11.5


GDP : 81 AL : 6.6
GD2PP: 161 AT : 459
Cholesterol: 229 SGOT : 14

29
LDL : 179 SGPT : 32
HDL : 61 Cr : 0.6
TG : 96 Ureum : 28
HCO2 : 142 Ca : 1.25
K : 3,5 HbsAg : non reaktif
Assesment 1. SLE derajat ringan dengan manifestasi artritis
2. GEA dehidrasi ringan-sedang (perbaikan)
3. HHD
4. DM tipe II non-obese dd DM tipe lain
5. Cushing syndrome
Planning Terapi
1. Bed rest tidak total
2. O2 3 lpm
3. Diet lunak 1700 kkal
4. Inf NaCl 20 tpm
5. Inj. Santagesic 1 amp/8jam
6. Candesartan 8mg/24jam p.o
7. New diatabs 8mg/24jam p.o
8. Amlodipin 10mg/24jam p.o
9. MP 4 mg1-0-1
10. My Fortic 360mg/12 jam p.o
11. Ostovel 0.25g/24jam p.o
12. Simvastatin 0-0-0-20 mg p.o
13. Inj Novorapid 6-6-6 IU SC
14. Inj Lantus 0-0-0-10 IU SC

C. 15 Maret 2019 (DPH 3)


Subjektif Nyeri perut, nyeri sendi, sakit kepala, dan BAB cair
disangkal.

30
Objektif KU : sakit sedang, compos mentis E4V5M6
TD : 160/100 mmHg
HR : 84x/menit
RR : 20x/menit
T : 36.2oC
VAS :0
Kepala : mesocephal, rambut rontok (+)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Wajah : moon face (+), malar rash (-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa basah (+), oral ulcer (-)
Leher : JVP R+2 cmH2O, KGB membesar
(-)
Thorax : normochest, simetris, punggung
buffalo hump (+)
Cor : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), batas jantung kesan melebar caudolateral
Pulmo : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
Abdomen : Bising usus (+) 20x/menit , nyeri
tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstremitas : superior dan inferior nyeri sendi (-)
oedem
- -
- -
Assesment 1. SLE derajat ringan dengan manifestasi artritis
(perbaikan)
2. GEA dehidrasi ringan-sedang (perbaikan)
3. HHD
4. DM tipe II non-obese dd DM tipe lain

31
5. Cushing syndrome
Planning Terapi
1. Bed rest tidak total
2. O2 3 lpm
3. Diet Lunak DM 1720 kkal
4. Inf RL 20 tpm
5. Inj Santagesic 1 amp/8 jam
6. Candesartan 1 x 16mg p.o
7. Amlodipin 10 mg/24 jam p.o
8. MP 4 mg/12 jam
9. Myfortic 360mg/12 jam p.o
10. Ostovel 0,25 g /24 jam p.o
11. Simvastatin 0-0-0-20 mg p.o
12. Inj. Novorapid 8-8-8 IU SC
13. Inj. Lantus 0-0-0-10 IU SC

Plan:
1. GDP, GD2PP
2. BLPL

32
BAB II
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis pasien diketahui pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi
dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari SMRS. Keluhan BAB cair dirasakan >10
kali setiap hari, konsistensi cair, warna kuning, jumlah 1 gelas belimbing, lendir
dan darah disangkal. Keluhan tidak hilang dengan istirahat dan belum diberikan
obat apapun. Keluhan disertai nyeri perut sebelumnya. Nyeri perut dirasakan di
bagian bawah kiri, terasa seperti diremas-remas. Keluhan disertai mual tetapi tidak
muntah.

Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut oleh Perkumpulan


Gastro Enterologi Indonesia tahun 2009, definisi diare akut yaitu perubahan pada
frekuensi buang air besar menjadi lebih sering dari normal atau perubahan
konsistensi feses menjadi lebih encer atau kedua-duanya dalam waktu kurang dari
14 hari. Umumnya disertai dengan segala gangguan saluran cerna yang lain seperti
mual, muntah dan nyeri perut, kadang-kadang disertai demam, darah pada feses
serta tenesmus (gejala disentri) serta diare juga dapat didefinisikan dari berat tinja
lebih dari 200 gram per hari pada populasi barat, atau kandungan air pada tinja lebih
dari 200cc per hari.

Kemudian definisi dari Gastroenteritis akut yaitu adanya inflamasi pada


membrann mukosa saluran gastrointestinal dan ditandai oleh diare atau muntah.
Pada pasien ini disebutkan bahwa terdapat keluhan BAB cari >10 kali setiap hari,
dengan sekali BAB berjumlah sekitar 1 gelas belimbing, sehingga didapatkan
dalam sehari terdapat sekitar 2400 cc volume feses yang keluar setiap hari.
Kemudian terdapat perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer daripada
biasanya. Keluhan BAB cair juga dirasakan selama 4 hari, dan disertai dengan
gangguan saluran cerna lain seperti mual dan nyeri perut bagian bawah kiri.
Keseluruhan gejala yang dirasakan pasien dapat kami ambil kesimpulan bahwa
pasien dapat didiagnosa sebagai gastroenteritis akut.

33
Adanya volume cairan dan feses yang terlalu banyak keluar dan tidak
disertai dengan volume intake cairan yang cukup, maka akan sangat rentan terjadi
dehidrasi pada pasien. Untuk mengukur derajat dehidrasi pada orang dewasa, kita
dapat menggunakan beberapa kriteria melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,
yaitu.

Menurut tabel di atas, pasien termasuk dalam dehidrasi ringan sedang


dikarenakan berdasarkan anamnesis pasien masih merasakan haus, kemudian
berdasarkan pemeriksaan fisik, dari keadaan umum pasien didapatkan lemas dan
mukosa bibir kering.

34
Untuk mengetahui penyebab pasti dari gastroenteritis akut, dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang meliputi:

- Pemeriksaan feses rutin


- Pada kasus dengan dehidrasi dilakukan pemeriksaan darah, feses, dan urin
rutin, pemeriksaan kimia darah meliputi ureum, kreatinin, elektrolit, serum
transaminase, gula darah, dan bila perlu analisis gas darah.
- Kultur feses dilakukan pada kasus dengan dehidrasi, demam, diare
berdarah, atau setelah 3 hari pengobatan tidak ada perbaikan klinik.
- Pemeriksaan sigmoidoskopi/kolonoskopi dilakukan pada kasus diare
berdarah bila pemeriksaan penunjang yang sebelumnya tidak
memperlihatkan penyebab yang jelas.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan darah, pemeriksaan kimia
darah meliputi ureum, kreatinin, elektrolit, serum transaminase dan gula darah.
Kemudian pasien dilakukan planning kultur feses untuk mengetahui penyebab pasti
dari diare akut.

Berdasarkan derajat dehidrasi ringan-sedang, kita dapat memberikan


terapi supportif yaitu dapat melalui

 Oral, misalkan:
1. Cairan garam gula, oralit, pedialyte, renalyte.
Diberikan pada pasien dengan diare akut tanpa komplikasi atau
dengan dehidrasi ringan.
2. Larutan rehidrasi oral (LRO), dengan komposisi:
– Natrium 75mmol/L, Klorida 65mmol/L, glukosa anhidrat
75mmol/L, kalium 20mmol/L, sitrat 10mmol/L = 245mmol/L
– Larutan rehidrasi oral (LRO) dari beras (air tajin) lebih superior
dari LRO biasa pada kolera.
 Intravena
Diberikan kepada pasien dengan diare akut dengan komplikasi dehidrasi
sedang-berat dan/atau komplikasi lainnya.

35
Resusitasi, dapat digunakan cairan intravena sebagai berikut:
– Ringer laktat
– Ringer asetat
 Rumatan, dapat digunakan kombinasi elektrolit + nutrisi cairan intravena
sebagai berikut:
- Ringer laktat
- Ringer asetat > + Dekstrosa + As.Amino - Normal salin
- Ringer dekstrosa - Aminofluid - Dan cairan sejenis lainnya
- Ringer dekstrosa
- Aminofluid
- Dan cairan sejenis lainnya
Pada pasien ini telah mendapatkan terapi cairan intravena menggunakan
Ringer Laktat dengan 20 tetes per menit untuk rumatan cairan. Lalu untuk evaluasi
perbaikan dehidrasi dapat dinilai melalui klinis pasien dan adanya peningkatan urin
output.

Pasien didiagnosis sebagai odapus (orang dengan lupus) sejak 3 tahun


SMRS. Pasien merasakan nyeri hilang timbul yang semakin memberat di seluruh
persendian ekstremitas superior dan inferior. Pasien mengaku keluhan membaik
setemah mengonsumsi MP tetapi keluhan muncul kembali 3-4 jam kemudian.
Karena diagnosis SLE pasien sudah tegak 3 tahun lalu, maka perlu dilakukan tes
reaktivitas SLE untuk menentukan derajat flare yang sedang dialami oleh pasien
menggunakan kriteria MEX-SLEDAI sebagai berikut:

MEX-SLEDAI Kondisi Pasien Score


Gangguan Neurologis Tidak didapatkan psikosis, CVA, Kejang, 0
(8) Sindrom otak organik, mononeuritis, maupun
neuritis.
Gangguan Ginjal (6) Didapatkan silinder granulated (+1), epitel 0
squamous (8-10), dan epitel transisional (2-
3), eritrosit (2), Leukosit (3)

36
Vaskulitis (4) Tidak didapatkan kelainan kulit 0
Hemolisis (3) Hb 11,5 0
Trombositopeni
Miositis (3) Nyeri dan lemah sendi otot proksimal 0
Artritis (2) Nyeri seluruh sendi ekstremitas (+), tetapi 2
tidak ditemukan adalanya pembengkakan
Gangguan Rambut mudah rontok (+) tetapi pull test (-) 0
Mukokutaneus (2)
Serositis Pleuritis (-), Pericacarditis (-), Peritonitis (-) 0
Demam (-)
0
Fatigue (-)
Leukopenia (-)
0
Limfopeni (-)
Total Score 2

Interpretasi dari kriteria tersebut adalah:

0–1 Remisi
2–5 Ringan
6–9 Sedang
10 - 13 Berat
 14 Sangat berat

Dari kriteria MEX-SLEDAI dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami


flare SLE ringan dengan jumlah skor 2. Menurut pedoman diagnosis dan
pengelolaan SLE rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011, pasien
ini masuk ke dalam kriteria SLE ringan karena secara klinis tenang, tidak terdapat
tanda atau gejala yang mengancam nyawa, dan fungsi organ masih stabil. Sehingga
menurut pilar pengobatan SLE, hal yang perlu dilakukan oleh petugas kesehatan
adalah:

37
A. Edukasi/konseling
1. Penjelasan mengenai definisi dan penyebab lupus
2. Tipe dari SLE dan sifat masing-masing tipe
3. Masalah yang terkait dengan fisik. Hal ini berhubungan dengan penjelasan
kegunaan latihan fisik (berenang, sepeda statis) untuk mencegah atrofi otot
ekstremitas, penjelasan mengenai pemakaian steroid yang dapat
mengakibatkan osteoporosis (meningkatkan kemungkinan fraktur),
cushing syndrome, dan komplikasi lainnya. Penjelasan mengenai
pentingnya mengatur jadwal istirahat, pengaturan diet yang seimbang,
pemakaian alat kontrasepsi, dan tanda infeksi untuk mengatasi infeksi
lebih cepat juga diperlukan.
4. Pengenalan masalah psikologis pasien juga perlu diperhatikan seperti
pemahanan diri pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengtasi
stress dan kelelahan, dan bagaimana cara untuk mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat (jenis, dosis, lama pemakaian, perlunya suplementasi).
6. Dimana pasien dapat mendapatkan informasi mengenai SLE (kelompok
pendukung, yayasan masyarakat)
B. Program Rehabilitasi
Program ini diperlukan untuk mencegah wasting otot yang dapat terjadi karena
imobilitas >2 minggu. Dapat dilakukan dengan transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) untuk mengurangi rasa nyeri pasien sehingga mobilitas
segera dapat dilakukan untuk mencegah kekakuan dan spasme otot.

C. Pengobatan Medikamentosa.
Pasien ini mengalami SLE derajat ringan dengan manifestasi artritis ringan.
Sehingga dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah dengan kortikosteroid
<10mg/hari secara peroral untuk keluhan nyeri dan inflamasi. Pada pasien ini
digunakan metil prednisolone 4mg peroral/24 jam.

Kortikosteroid eksogen yang dikonsumsi pasien dapat meningkatkan


kadar kortisol darah dan dalam kurun waktu tertentu (konsumsi jangka panjang)
maka akan mengakibatkan manifestasi sistemik. Kortisol mempunyai efek

38
potensiasi terhadap hormon lain seperti somatotropin dan katekolamin dalam proses
lipolisis di jaringan lemak. Pada pasien ini didapatkan hiperlipidemia yang ditandai
dengan peningkatan kolesterol total. Hiperkortisolisme menyebabkan penumpukan
jaringan lemak pada tempat yang khas seperti pada wajah (moon face), area
interskapular (buffalo hump) dan dasar mesenterik (obesitas tubuh). Penyebab
distribusi jaringan lemak yang khas ini belum diketahui, tetapi diperkirakan
berhubungan dengan resistensi insulin dan atau peningkatan kadar insulin. Pada
pasien ini didapatkan moon face dan buffalo hump.

Pada pasien ini juga didapatkan hipertensi. Hipertensi pada penderita


sindroma Cushing disebabkan oleh peningkatan produksi angiotensin II sebagai
akibat dari peningkatan produksi angiotensinogen oleh hepar, peningkatan aktivitas
pembuluh darah terhadap hormon vasokonstriksi, penurunan reuptake hasil
degradasi katekolamin, atau hambatan pada vasodilator seperti kinin dan
prostaglandin.

Kortisol mempunyai efek antagonis terhadap insulin sehingga


meningkatkan konsentrasi glukosa melalui glukoneogenesis di hepar, selain itu
kortisol juga mempunyai efek antagonis terhadap kerja insulin dalam uptake
glukosa di perifer. Asam amino dan gliserol yang dihasilkan dari pemecahan
protein dan lemak akibat efek katabolisme kortisol digunakan sebagai bahan
glukoneogenesis. Kortisol meningkatkan sintesis dan aktivitas sejumlah enzim di
hepar yang terlibat dalam proses metabolisme glukosa dan asam amino. Resistensi
terhadap insulin serta peningkatan glukoneogenesis hepar dapat menyebabkan
gangguan toleransi glukosa seperti yang terjadi pada pasien ini dengan hasil GD2PP
161 mg/dl. Untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologinya maka perlu
dilakukan pengukuran kadar kortisol dengan algoritma seperti yang ditunjukkan
pada gambar 1. Pada pasien ini telah diketahui bahwa pasien mengonsumsi
metilprednison jangka panjang selama 3 tahun terakhir untuk terapi SLE, sehingga
kemungkinan besar hal tersebut menjadi etiologi dari Cushing syndrome yang
diderita pasien sebagai efek samping obat. Terapi yang dapat diberikan adalah

39
dengan menurunkan secara perlahan dosis kortikosteroid yang diberikan hingga
mencapai dosis fisiologis pasien sesuai algoritma pada gambar 2.

Gambar 1. Algoritma diagnosis Cushing syndrome.

40
Gambar 2. Algoritma tappering off untuk pencegahan withdrawal steroid eksogen.

Pasien juga memiliki riwayat kencing manis sejak ± 3 tahun dan saat ini
rutin berobat menggunakan insulin sebelum makan dan sebelum tidur. Hasil
pengobatan dengan insulin yang telah dilakukan pasien perlu dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar
yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah sesuai target yang
ditentukan. Kriteria pengendalian DM pada konsensus kerap berubah dari tahun
2006, 2011 dan yang terakhir 2015. Pada konsensus tahun 2006, kriteria
pengendalian DM dibagi menjadi 3 kriteria yaitu baik, sedang dan buruk dengan 9
parameter berupa IMT, tekanan darah, glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam
PP, A1c, kolestrol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida.

41
Tabel 1. Kriteria pengendalian diabetes melitus (Perkeni, Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2006)

Parameter Baik Sedang Buruk


Glukosa darah puasa (mg/dl) 80 – 100 100 – 125  126
Glukosa darah 2 jam post 80 – 144 145 – 179  180
prandial (mg/dl)
A1c (%) < 6,5 6,5 – 8 8
Kolesterol total (mg/dl) < 200 200 – 239  240
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100 – 129  130
Kolesterol HDL (mg/dl) > 45
Trigliserida < 150 150 – 199  200
IMT (kg/m2) 18,5 – 23 23 – 25 > 25
Tekanan darah (mmHg) 130/80 130-140/80-90 > 140/90
Kriteria terbaru pengendalian DM menurut Perkeni 2011 dibagi berdasarkan risiko
kardiovaskular, yakni sebagai berikut :

Tabel 2. Target pengendalian DM (Perkeni, Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2011)

Parameter Risiko KV (-) Risiko KV (+)


IMT (kg/m2) 18,5 - < 23 18,5 - < 23
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 130 < 130
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 80 < 80
Glukosa darah puasa (mg/dl) < 100 < 100
Glukosa darah 2 jam PP (mg/dl) < 140 < 140
HbA1c (%) <7 <7
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 < 70
Kolesterol HDL (mg/dl) Pria >40 Pria > 40
Wanita > 50 Wanita > 50
Trigliserid (mg/dl) < 150 < 150
Keterangan: KV = kardiovaskular, PP = post prandial

42
Tabel 3. Sasaran pengendalian DM (Perkeni, Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, 2015)

Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23*
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 90
Glukosa darah prepandial (mg/dl) 80 – 130 **
Glukosa darah 1-2 jam PP (mg/dl) < 180 **
HbA1c (%) < 7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 (< 70 bila risiko KV sangat
tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki > 40; Perempuan > 50
Trigliserida (mg/dl) < 150
Keterangan: KV = kardiovaskular, PP = post prandial
*The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment, 2000
**Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015

Dari hasil anamnesis pada pasien tidak didapatkan keluhan klasik DM


seperti poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain seperti kesemutan, gatal, mata kabur juga
disangkal pasien. Kemudian dari pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan berat
badan pasien 48 kg, tinggi badan 156 cm dengan IMT pasien 19,72 kg/m2 termasuk
dalam kategori normoweight atau non-obese. IMT pasien sesuai dengan parameter
IMT pada target pengendalian DM yaitu 18,5 - < 23 kg/m2. Tekanan darah pasien
saat di IGD 170/90 mmHg. Tekanan darah tersebut tidak sesuai dengan target
pengendalian DM yaitu tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90
mmHg. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan untuk menilai
parameter pengendalian DM berupa glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam post
prandial, HbA1c, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida. Target glukosa

43
darah puasa yang perlu dicapai yaitu 80-130 mg/dl dan glukosa darah 2 jam post
prandial <180 mg/dl, kemudian pada pasien didapatkan GDP 81 mg/dl dan GD2PP
161 mg/dl sehingga hasil glukosa darah pasien sesuai dengan target pengendalian
DM. Kadar HbA1c pada pasien tidak sesuai dengan target yang mana HbA1c yang
seharusnya dicapai yaitu <7%, namun pada pasien HbA1c 7,5%. Kolesterol LDL
pada pasien yaitu 179 mg/dl juga tidak sesuai dengan target kolesterol LDL <100
mg/dl. Namun, kolesterol HDL dan trigliserida pasien mencapai target dari
pengendalian DM. Kolesterol HDL pasien yaitu 61 mg/dl sesuai target pada
perempuan >50 mg/dl, dan trigliserida pasien 96 mg/dl sesuai dengan target
trigliserida <150 mg/dl. Pasien memenuhi 5 dari 9 parameter pengendalian DM
sehingga pasien termasuk pasien diabetes melitus dengan gula darah terkontrol
baik.

Etiologi diabetes melitus pada pasien ini juga dapat disebabkan oleh efek
dari SLE yang dialami pasien. SLE merupakan suatu penyakit rematik autoimun
yang ditandai dengan adanya inflamasi multisistem kronis. Inflamasi kronis
menyebabkan gangguan metabolik seperti resistensi insulin kemudian diabetes
melitus. Hal ini terbukti dengan risiko mengalami DM yang lebih tinggi pada pasien
SLE. Selain itu, pengobatan utama pada SLE masih menggunakan kortikosteroid
akibatnya pasien SLE rentan terhadap efek samping metabolik yang tidak
diinginkan dari penggunaan kortikosteroid jangka panjang yaitu resistensi insulin,
diabetes melitus (DM), obesitas dan tekanan darah tinggi, yang dapat menyebabkan
penyakit kardiovaskular. Peningkatan risiko diabetes sekitar dua kali lipat dan
gangguan toleransi glukosa dilaporkan pada pasien yang diobati secara kronis
dengan glukokortikoid sistemik, bahkan dengan dosis yang lebih rendah dari
prednisolon 7,5 mg setiap hari. Risiko ini ditunjukkan lebih besar pada subjek
dengan adipositas abdomen atau kecenderungan genetik terhadap diabetes dan pada
subjek yang menggunakan dosis glukokortikoid yang lebih tinggi dan untuk periode
waktu yang lebih lama. Steroid meningkatkan kadar glukosa darah dengan berbagai
mekanisme, yaitu antagonis kerja insulin dan menginduksi resistensi insulin
sehingga menghasilkan peningkatan produksi glukosa hati dan pengurangan

44
penyerapan glukosa ke dalam otot. Steroid juga dapat menginduksi apoptosis pada
sel  pankreas yang dapat menyebabkan berkurangnya sekresi insulin. Pengurangan
ekspresi glukosa transporter 2 (GLUT-2) oleh glukokortikoid dapat menyebabkan
obesitas dan selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya diabetes melitus. Sehingga
DM yang dialami pasien dapat termasuk dalam DM tipe 2 atau DM tipe lain karena
obat yang dalam kasus ini akibat steroid atau steroid-induced diabetes mellitus.

Pengobatan DM pada pasien ini berupa pemberian insulin yaitu Inj. Lantus
0-0-0-10 unit SC dan Inj. Novorapid 8-8-8 unit SC. Terapi insulin pada pasien
diabetes yang menjalani rawat inap dilihat dari derajat keparahan penyakit, target
glukosa darah, dan pemantauannya dibagi menjadi 2 bagian besar:

a. Pasien DM dengan penyakit kritis


Yaitu pasien DM yang mengalami penyakit berat dan mengancam keselamatan
pasien dalam waktu 24 jam

1) Kritis dengan kegawatdaruratan diabetes (krisis hiperglikemia)


2) Kritis dengan kegawatdaruratan non diabetes
b. Pasien DM dengan penyakit non kritis
Yaitu pasien DM yang tidak mengalami penyakit berat dan dirawat di
perawatan non-intensif, tetapi memerlukan regulasi glukosa darah yang
optimal dan cepat, antara lain:

1) Tidak terkontrol dengan OHO


2) Pemakaian kortikosteroid
3) Persiapan operasi
4) Diabetes gestasional
5) Keadaan khusus yang menyebabkan gangguan metabolisme insulin
Pasien termasuk pasien DM dengan penyakit non kritis dengan pemakaian
kortikosteroid. Sasaran kendali glikemik pada rawat inap pada pasien yaitu sebelum
makan: 100-140 mg/dl dan acak: <180 mg/dl. Terapi insulin dapat diberikan secara
infus intravena kontinyu atau subkutan, secara terprogram atau terjadwal. Regimen

45
terapi dosis insulin terbagi pada pasien rawat inap dibagi menjadi dosis awal dan
penyesuaian dosis.

Tabel 4. Regimen terapi dosis insulin terbagi pada pasien rawat inap

Dosis awal Penyesuaian dosis


 Bila pasien sudah pernah menggunakan  Dosis insulin basal dan
insulin dan glukosa darah terkendali baik, prandial dinaikkan /
gunakan dosis sebelumnya diturunkan secara bertahap 2-
 Bila pasien belum pernah menggunakan 4 unit setiap kali pemberian,
insulin, dan sebelumnya mendapatkan berdasarkan hasil kurva
insulin IV kontinyu, dihitung dosis glukosa darah harian
total/24 jam terlebih dahulu. Dapat
diberikan dalam bentuk:
a. insulin prandial dengan dosis 80%
dari total dibagi 3
atau
b. kombinasi basal dan prandial dengan
rasio 50% basal dan 50% prandial
dibagi 3 kali pemberian dari 80%
dosis total/24 jam
 Bila pasien belum pernah menggunakan
insulin dan sebelumnya tidak
mendapatkan insulin IV kontinyu,
dimulai dengan insulin prandial 3 kali 5-
10 U
 Long-acting insulin mulai diberikan bila :
a. glukosa darah siang dan malam sudah
terkendali, tetapi glukosa puasa
masih tinggi

46
b. total short-acting yang diberikan >30
atau 50 unit/hari, tetapi glukosa darah
belum terkendali

Pasien sudah pernah menggunakan insulin dan glukosa darah pasien


terkontrol baik, sehingga pemberian insulin menggunakan dosis sebelumnya yaitu
inj. Lantus 0-0-0-10 unit SC dan inj. Novorapid 8-8-8 unit SC. Jenis insulin yang
diberikan pada pasien yaitu insulin kerja cepat (rapid-acting) berupa insulin aspart
(Novorapid) dengan awitan 5-15 menit dan lama kerja 4-6 jam. Selain itu, pasien
juga diberikan insulin kerja panjang (long-acting) berupa insulin glargine (Lantus)
dengan awitan 1-3 jam dan lama kerja 12-24 jam.

Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat inap hendaknya selalu


berpegang pada prinsip kehati-hatian terhadap kejadian hipoglikemia. Pemantauan
glukosa darah pada pasien rawat inap dengan insulin subkutan dosis terbagi yaitu
kurva glukosa darah diperiksa 2-3 kali/minggu dan kurva glukosa darah harian
terdiri dari pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi, siang dan sore/malam.
Selama masa perawatan di rumah sakit dilakukan monitoring berupa pemeriksaan
gula darah 2 jam post prandial pada jam 22.00 dan gula darah puasa pada jam 05.00
untuk monitoring efek insulin yang digunakan sehingga mencegah efek samping
hipoglikemia pada pasien. Dalam perawatan hari pertama, GD2PP pasien 98 dan
GDP 144, sedangkan GD2PP 145 dan GDP 144 dalam perawatan hari kedua. Pada
hari ketiga perawatan, kondisi pasien sudah stabil dan sudah diperbolehkan pulang.

47
Kurva Glukosa Darah
200

150

100

50

0
DPH 0 DPH 1 DPH 2

GD2PP GDP

Gambar 3. Kurva monitoring glukosa darah

Dari anamnesis diketahui pasien juga mengatakan memiliki riwayat darah


tinggi atau hipertensi yang sudah diderita sejak lama. Ayah dan ibu pasien juga
memiliki riwayat hipertensi. Dari hasil pemeriksaan vital sign, didapatkan tekanan
darah pasien 170/90 mmHg. Pengertian hipertensi menurut pedoman JNC7
didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140
mmHg, dan tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
Berdasarkan rekomendasi Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC7),
klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun adalah
sebagai berikut:

Tabel 5. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah


Darah (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi Tingkat 1 140-159 atau 90-99

48
Hipertensi Tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Berdasarkan pernyataan di atas, sehingga pasien dapat diklasifikasikan


dalam hipertensi tingkat 2. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
hipertensi. Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer
(esensial) dan hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi esensial ini masih belum
diketahui, tetapi factor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam
menyebabkan hipertensi esensial. Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya
penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian penggunaan
obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan
tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.

Tatalaksana hipertensi menurut JNC7 meliputi dua hal, yakni perubahan


gaya hidup dan terapi farmakologis. Perubahan gaya hidup dianjurkan pula oleh
pedoman lainnya, seperti American Diabetes Association (ADA) dan American
Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) sebagai terapi pertama
dalam tatakelola hipertensi. Rekomendasi JNC7 terkait perubahan gaya hidup
untuk menurunkan tekanan darah dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler
adalah sebagai berikut:

1. Mengurangi berat badan, dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar


5-20 mmHg setiap pengurangan 10 kg berat badan.
2. Tidak mengkonsumsi alkohol
3. Mengurangi asupan garam sehingga tidak melebihi 2-4 gram natrium atau
6 gram garam. Hal ini dapat menurunkan tekanan darah sekitar 2-8 mmHg.
4. Menjaga asupan kalium yang seimbang dari makanan (sekitar 90
mmol/hari).
5. Menjaga asupan kalsium dan magnesium yang seimbang dari makanan.
6. Berhenti merokok dan kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol

49
7. Berolahraga ringan 30 menit sehari, hal ini dapat mengurangi tekanan darah
sistolik 4-9 mmHg.
AHA/ASA merekomendasikan pola makan rendah natrium/garam, tinggi
kalium, dan kaya akan buah, sayur, dan produk olahan susu yang rendah lemak
untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko stroke. Bila pengubahan
gaya hidup tidak berhasil untuk menurunkan tekanan darah, maka dilakukan terapi
farmakologi sebagai bagian dari tatalaksana hipertensi. Diuretika golongan tiazida
(misalnya HCT) merupakan pilihan pertama bila tidak ada indikasi pemaksa
(compelling indication).

Indikasi pemaksa (compelling indication) merupakan kondisi risiko tinggi


seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik, gagal ginjal kronik, dan stroke
berulang, atau kondisi yang berkaitan dengan hipertensi misalnya diabetes. Obat-
obatan yang termasuk dalam kelompok ACE inhibitor (captopril, lisinopril),
angiotensin receptor blocker/ARB (valsartan, termisartan, irbesartan, losartan),
calcium channel blocker (amlodipin, diltiazem), dan beta blocker (bisoprolol) dapat
digunakan sebagai bagian dari tatalaksana hipertensi pada berbagai indikasi
pemaksa.

 Gagal jantung: beta blocker, ACE inhibitor, ARB, antagonis aldosteron


(spironolakton).
 Diabetes: diuretika (HCT), beta blocker, ACE inhibitor, ARB, dan calcium
channel blocker
 Penyakit ginjal kronik: ACE inhibitor, ARB
 Pencegahan stroke berulang: diuretik, ACE inhibitor

Pada pasien selain hipertensi tingkat 2 juga termasuk dalam indikasi


pemaksa, yaitu hipertensi dengan diabetes, sehingga pasien memerlukan tataksana
obat kombinasi. Pasien diberikan obat Ramipril 5mg/24jam (golongan ACE
inhibitor) dan Amlodipin 10mg/24jam (golongan calcium channel blocker).

50
Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target seperti
jantung (penyakit jantung iskemik, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung), otak
(stroke), ginjal (gagal ginjal), mata (retinopati), juga arteri perifer (klaudikasio
intermiten). Kerusakan organ-organ tersebut berlangsung pada tingginya tekanan
darah pasien dan berapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan
tidak diobati. Pemeriksaan fisik pada pasien juga didapatkan pelebaran batas
jantung ke arah caudolateral serta dari pemeriksaan penunjang seperti EKG
didapatkan gambaran LVH serta foto thorax didapatkan gambaran cardiomegali
dengan CTR 64%. Hal ini menandakan pasien telah mengalami komplikasi berupa
kelainan struktural jantung yang disebabkan oleh hipertensi arterial atau disebut
juga Hypertensive Heart Disease.

Dalam pengangan hipertensi, para ahli umumnya mengacu kepada


guideline-guideline yang ada. Salah satu guideline terbaru yang dapat dijadikan
acuan dalam penanganan hipertensi di Indonesia adalah guideline Joint National
Committee (JNC) 8 yang dipublikasikan pada tahun 2014.

Salah satu poin baru yang sangat penting dalam guideline JNC 8 ini adalah
adanya perubahan target tekanan darah sistolik pada pasien berusia 60 tahun ke atas
(target sistolik <150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg). Selain itu, target
tekanan darah pada pasien dewasa dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik juga
berubah dari guideline sebelumnya <130/80 mmHg menjadi <140/90 mmHg pada
guideline JNC 8. Hal ini merupakan target yang lebih achievable dibandingkan
guideline sebelumnya, dengan demikian penilaian keberhasilan terapi anti-
hipertensi akan menjadi lebih baik, sehingga meningkatkan moral dokter ataupun
pasien hipertensi.

51
Gambar 4. Algoritma penanganan hipertensi

52
BAB III
PENUTUP

Pasien merupakan seorang wanita 47 Tahun dengan Gastroenteritis Akut


Dehidrasi Ringan-Sedang, Systemic Lupus Erythematous Derajat Ringan dengan
Manifestasi Artritis, Cushing Syndrome, Hipertensi Stage II, DM Tipe II Non-Obese
dd DM Tipe Lain, dan Hypertensive Heart Disease. Penentuan diagnosis pada
pasien atas dasar kriteria yang sudah ditentukan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penegakkan diagnosis yang tepat dapat
mempengaruhi penatalaksanaan yang tepat pada pasien. Tatalaksana yang
diberikan dapat dimulai dari plan diagnosis, plan terapi, serta plan edukasi.
Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita perlu
dilakukan hingga penjelasan mengenai komplikasi dari penyakit tersebut.

53
DAFTAR PUSTAKA

Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. Seventh
report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. Dec 2003;42(6):1206-52.

Cortes S, Chambers S, Jerónimo A, Isenberg D. Diabetes mellitus complicating systemic


lupus erythematosus – analysis of the UCL lupus cohort and review of the
literature. Lupus. 2008 Nov; 17(11): 977-80.

James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J,


Lackland DT, LeFevre ML, MacKenzie TD, Ogedegbe O, Smith SC. 2014
evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults:
report from the panel members appointed to the Eighth Joint National Committee
(JNC 8). Jama. 2014 Feb 5;311(5):507-20.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.


2006. PB PERKENI.

PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. 2011. PB PERKENI.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.


2015. PB PERKENI.

Shaharir SS, Gafor AHA, Said MSM, Kong NCT. Steroid-induced diabetes mellitus in
systemic lupus erythematosus patients: analysis from a Malaysian multi-ethnic
lupus cohort. International Journal of Rheumatic Diseases. 2015; 18: 541-47.

Sattar SBA, Singh S. Bacterial Gastroenteritis. [Updated 2019 Mar 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/

Chow, Chung M et al. “Acute gastroenteritis: from guidelines to real life.” Clinical and
experimental gastroenterology vol. 3 (2010): 97-112.

PGI. Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. 2009. PB PGI

54

Anda mungkin juga menyukai