Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Pinang (Areca Chatecu L.)

Pinang dikenal dengan beragam nama, seperti pineung (Aceh), pining

(Batak Toba), jambe (Jawa),dan bua (Maluku). Sementara dalam bahasa Inggris,

pinang biasa dikenal sebagai Betel palmatau, Betel nut tree. Nama ilmiah pinang

adalah Areca catechu L. Dalam bahasa Hindi, buah ini disebut supari, tetapi bahasa

Melayu menyebutnya adakka atau adekka, lalu Sri Lanka menyebutnya puvak.

Sementara Thailand dan China masing-masing menyebutnya dengan mak dan pin-

lang. Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Tumbuhan

monokotil ini tergolong palem-paleman.

Secara rinci, menurut Cronquist (1982) taksonomi pinang (Areca Chatecu

L.) diuraikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/ monokotil)

Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Arecales

Family : Arecaceae (Suku pinang- pinangan)

6
7

Genus : Areca

Species : Areca Chatecu L

Berdasarkan hasil penelitian Petrina et al, (2017) diketahui bahwa senyawa

metabolit yang terkandung dalam kulit buah pinang yaitu falvoniod, alkaloid,

fenolik, dan triterpenoid. Kandungan utama kulit buah pinang yang bersifat

antioksidatif adalah flavonoid. Flavonoid paling banyak ditemukan pada

tanaman pinang. Flavonoid dapat mencegah pembentukan radikal bebas dengan

cara kompleksisasi dengan inisiator radikal bebas logam transisi. Berikut ini

adalah gambar buah pinang seperti yang disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pinang (Areca Chatecu L.)

2.2 ArangAktif

Arang aktif adalah suatu material berpori yang mengandung 85-95%

karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan


8

pada suhu tinggi. (Kvech et al., 1998). Arang aktif merupakan adsorben terbaik

dalam sistem adsorpsi karena memiliki luas permukaan yang besar dan daya

adsorpsi yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Dimana luas

permukaan merupakan salah satu parameter penting dalam proses adsorpsi

menggunakan arang aktif. Arang aktif bersifat hidrofobik, yaitu molekul pada arang

aktif cenderung tidak bisa berinteraksi dengan molekul air. Arang aktif diperoleh

dengan proses aktivasi agar zat-zat pengotor yang melapisi permukaan arang dapat

dihilangkan sehingga dapat meningkatkan porositas arang aktif. Proses aktivasi

dapat dilakukan dengan menggunakan uap panas, gas karbondioksida pada suhu

700-11000C atau dengan penambahan bahan-bahan kimia sebagai activator. Luas

permukaan (surface area) adalah salah satu sifat fisik dari arang aktif yaitu sebesar

1,95 x 106 m2kg-1, dengan total volume pori-pori sebesar 10,28 x 104m3mg-1 dan

diameter pori rata-rata 21,6 Å, sehingga sangat memungkinkan untuk dapat

menyerap adsorbat dalam jumlah banyak. Semakin besar luas permukaan suatu

arang aktif maka akan semakin tinggi daya serapnya.

Menurut Hendra (2006) arang aktif adalah arang yang konfigurasi atom

karbonnya bebas dari ikatan unsure lain, serta rongga atau pori dibersihkan dari

senyawa lain atau pengotor sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas dan

daya serap terhadap cairan akan meningkat. Sedangkan Hartanto dan Ratnawati

(2010), melaporkan bahwa arang aktif adalah arang yang tersusun oleh atom-atom
9

C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C

pada setiap sudutnya seperti yang terlihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Struktur grafit arang aktif (Hartanto dan Ratnawati, 2010)

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), arang aktif yang baik

mempunyai persyaratan seperti tercantum pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Persyaratan Arang Aktif Menurut SNI 06-37370-1995

Jenis Persyaratan

Kadar Air Maksimal 15%

Kadar Zat Mudah Menguap Maksimal 25%

Kadar Abu Total Maksimal 10%

Kadar Karbon Minimal 65%

Daya Serap Terhadap I2 Minimal 750 mg/g

Daya Serap Terhadap Metilen Biru Minimal 120 mg/g


10

2.2.1 Proses Pembuatan Karbon Aktif

Proses pengontrol
glasifikasi
Karbonisasi Arang Arang Aktif
CO2, uap, dll
i

Material

Proses aktivasi
(H3PO4, ZnCL2, dll)
Arang Arang Aktif
K
Disaring/dicuci
arbonasi
Gambar 2.3 Skema pembuatan karbon aktif secara umum (Marsh dan Francisco,
2006)
Pada Gambar 2.3 menjelaskan secara skematis proses pembuatan arang aktif

secara umum yaitu metode arang aktif teraktivasi fisika dan aktivasi kimia. Namun

pada prinsipnya terdapat tiga proses pembuatan arang aktif secara berkelanjutan

sebagai berikut.

1. Pemilihan bahan dasar

Arang aktif dapat dibuat dari berbagai macam bahan yang didalamnya

terkandung unsur karbon seperti batu bara, tempurung kelapa, kayu, sekam

padi, tulang binatang, dan lain-lain. Pemilihan bahan dasar untuk dijadikan

arang aktif harus memenuhi beberapa kriteria seperti unsure anorganik


11

yang rendah, ketersediaan bahan (tidak mahal dan mudah didapat),

memiliki daya tahan yang baik dan mudah untuk diaktivasi (Marsh dan

Fransisco, 2006). Oleh karena sabut kulit pinang memenuhi kriteria arang

aktif maka sabut pinang sangat berpotensi untuk menjadi bahan baku arang

aktif.

2. Karbonisasi

Karbonisasi atau pengarangan adalah suatu proses pemanasan pada suhu

tertentu dari bahan-bahan organic dengan jumlah oksigen terbatas. Alat yang

digunakan untuk karbonisasi biasanya adalah tanur. Proses ini bertujuan

menghilangkan unsur-unsur bukan karbon seperti hydrogen dan oksigen.

Proses ini menyebabkan terurainya senyawa organik penyusun struktur bahan

mmbentuk air, methanol, uap asam asetat, hidrokarbon, dan tar-tar. Setelah

karbonisasi material yang tertinggal adalah karbon dalam bentuk arang yang

mempunyai area permukaan yang kecil. Pada saat karbonisasi terjadi beberapa

tahap meliputi: penghilangan air atau dehidrasi, penguapan selulosa,

penguapan lignin, dan pemurnian karbon. Pada suhu pemanasan sampai

4000C terjadi penghilangan air, penguapan selulosa, dan penguapan lignin,

sedangkan proses pemurnian karbon terjadi pada suhu 500-8000C. Unsure

karbon diperoleh pada suhu 500-8000 yaitu sekitar 80% (Marsh dan

Franscisco, 2006).
12

3. Aktivasi

Aktivasi bertujuan untuk membuka, menambah dan memperbesar pori yang

telah terbentuk pada proses karbonisasi. Melalui proses ini dapat

meningkatkan luas permukaan dan daya adsorpsi karbon aktif karena pada

proses karbonisasi masih mengandung zat yang menutupi pori-pori

permukaan arang aktif. Pada proses aktivasi, arang aktif mengalami

perubahan sifat fisika maupun kimia sehingga dapat berpengaruh terhadap

daya adsorpsi (Budiono dkk., 2009).

Proses aktivasi terbagi menjadi dua yaitu aktivasi secara termal/fisika dan

aktivasi secara kimia. Aktivasi termal/fisika melibatkan gas sebagai

pengoksidasi. Sedangkan pada aktivasi kimia menggunakan bahan-bahan

kimia sebagai agen pengaktivasi (activating agent). Activator ini akan

membuat atom-atom karbon menjadi aktif sehingga dapat meningkatkan daya

serap. Zat activator bersifat mengikat air dan akan masuk dalam pori dan

membuat permukaan arang yang awalnya tertutup menjadi terbuka. Senyawa

kimia yang biasa dipakai sebagai activator antara lain: MgCl2, HNO3, NaCl,

CaCl2, ZnCl2, H3PO4,H2SO4 dan lain-lain. Aktivasi kimia memiliki beberapa

keunggulan daripada aktivasi fisika. Pada aktivasi kimia, suhu aktivasi yang

digunakan lebih rendah daripada yang digunakan pada aktivasi fisika. Selain

itu, aktivasi kimia menghasilkan pembentukan struktur pori yang lebih baik,
13

luas permukaan yang lebih tinggi, produk arang aktif yang lebih besar/banyak

(Marsh dan Franscisco, 2006).

2.3 Adsorpsi Larutan

Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan molekul-molekul suatu zat pada

permukaan zat lain sebagai akibat dari gaya tarik molekul-molekul yang bekerja

pada permukaan adsorben. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat yang

menyerap disebut adsorben (Osipow, 1962). Berdasarkan gaya tarik antar molekul

adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

1. Adsorpsi fisika, yaitu adsorpsi yang disebabkan oleh gaya Van Der Waals antara

permukaan adsorben dengan permukaan adsorbat. Adsorpsi ini ditandai dengan

terjadinya ikatan lemah dan mudah putus, panas adsorpsinya yang rendah (0,42-

4,20 kJ/mol), keseimbangan adsorpsi terjadi secara reversible dan cepat serta

biasanya membentuk lapisan multilayer pada permukaan adsorbennya.

2. Adsorpsi kimia, yaitu adsorpsi yang ditandai dengan terjadinya ikatan kovalen

antara zat yang diserap dengan adsorben, dimana ikatan ini relative lebih kuat

dibandingkan dengan ikatan pada adsorpsi fisika, panas adsorpsinya cukup tinggi

(≥ 20,92 kJ/mol), keseimbangan adsorpsi terjadi secara irreversible, dan

membentuk satu lapisan molekul (monolayer) pada permukaan adsorben.

2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi Larutan

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi arang aktif:


14

1. Sifat adsorben

Karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang sebagian besar terdiri

dari unsur karbon dan berbentuk amorf dengan struktur yang tidak

beraturan. Selain komposisi, struktur pori juga merupakan faktor yang

penting dalam proses adsorpsi arang aktif karena berhubungan dengan luas

permukaan. Semakin banyak pori-pori yang terbentuk, luas permukaan

semakin besar karena jumlah molekul adsorbat yang diserap oleh adsorben

akan meningkat dengan bertambahnya luas permukaan dan volume pori

dari adsorben.

2. Sifat adsorbat

Jika molekul adsorbat lebih kecil dari pori-pori adsorben maka adsorpsi

akan semakin besar. Proses adsorpsi oleh arang aktif terjadi karena

terjebaknya molekul adsorbat dalam rongga arang aktif. Arang aktif dapat

menyerap molekul lain yang berukuran lebih kecil atau sama dengan

diameter pori adsorben.

3. Temperature

Dalam pemakaian karbon aktif sebaiknya menyelidiki temperature pada

saat berlangsungnya proses, karena tidak ada peraturan umum yang bisa

diberikan mengenai temperature yang digunakan dalam adsorpsi. Faktor

yang mempengaruhi temperature dalam proses adsorpsi adalah viskositas

dan stabilitas termal senyawa yang diserap. Jika pemanasan tidak


15

mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, misalnya terjadi perubahan

warna maupun dekomposisi, maka adsorpsi dilakukan pada titik didihnya.

Untuk senyawa yang mudah menguap, adsorpsi dilakukan pada suhu kamar

atau pada suhu yang lebih rendah.

4. Ukuran partikel

Ukuran partikel dapat mempengaruhi proses adsorpsi. Semakin kecil

ukuran partikel, proses adsorpsi akan semakin cepat. Untuk meningkatkan

kecepatan adsorpsi digunakan arang aktif dengan ukuran mikro atau meso.

Salah satu cara untuk memperkecil ukuran partikel suatu adsorben adalah

dengan cara penggerusan secara perlahan dan pemisahan partikel sesuai

ukuran yang diinginkan.

5. pH

Untuk asam-asam organik dengan penambahan asam-asam mineral,

adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan. Hal ini disebabkan karena

kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organic

tersebut. Sebaliknya bila pH asam organic dinaikkan dengan penambahan

alkali, adsorpsi akan menurun akibat dari terbentuknya garam.

6. Waktu kontak

Karbon aktif membutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan apabila

ditambahkan kedalam suatu cairan. Waktu yang dibutuhkan berbanding


16

terbalik dengan jumlah karbon yang digunakan. Untuk larutan yang

memiliki viskositas tinggi, dibutuhkan waktu kontak yang lebih lama.

2.3.2 Kapasitas Adsorpsi

Kapasitas adsorpsi adalah jumlah maksimum adsorbat yang dapat

teradsorpsi pada permukaan adsorben tiap gramnya. Penentuan kapasitas adsorpsi

didasarkan pada banyaknya zat terlarut yang teradsorpsi oleh setiap gram adsorben

pada keadaan jenuh. Kapasitas adsorpsi suatu arang aktif didasarkan pada besarnya

pori dari arang aktif yang dipengaruhi oleh jenis pengaktivasi yang diberikan.

1. Isoterm Langmuir

Isotherm Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi yaitu: laju adsorpsi

bergantung pada ukuran dan struktur molekul adsorbat; sifat pelarut dan porositas

adsorben; semua situs pada permukaan bersifat bersifat homogen dengan energy

ikatan yang besar sehingga membentuk lapisan tunggal (monolayer) pada adsorben

dan adsorbat; kemampuan adsorpsi molekul pada suatu situs tidak tergantung pada

situs lainnya (Atkins, 2006).

Persamaan isotherm adsorpsi Langmuir ditulis dalam bentuk persamaan

sebagai berikut :

𝐶 1 𝐶
= + …………………………………….................................(2.1)
𝑚 𝑛𝐾 𝑛

Dimana :

C = konsentrasi adsorbat saat kesetimbangan (mg/L)


17

m = massa adsorben (g)

n = jumlah zat terlarut yang teradsorpsi saat keadaan setimbang (kapasitas

adsorpsi) (mg/g)

K= konstanta kesetimbangan adsorpsi (L/mol).

Adapun grafik isotherm adsorpsi Langmuir diperlihatkan pada Gambar 2.4

dibawah ini

C/m (mg/g)

1
×𝑏
(𝐶/𝑚)

1
(𝐶/𝑚)

C(mg/L)

Gambar 2.4 Model isotherm Langmuir (Atkins, 2006).

Dari kurva linear hubungan antara C/m vs C maka dapat ditentukan nilai b

dari kemiringan (slope) dan K dari intersep kurva. Energi adsorpsi (Eads) yang

didefinisikan sebagai energi yang dihasilkan apabila satu mol zat terlarut

teradsorpsi dalam adsorben dan nilainya ekuivalen dengan nilai negative dari

perubahan energi Gibbs standar, ΔG0, dapat dihitung menggunakan persamaan :


0
𝐸𝑎𝑑𝑠 = Δ𝐺𝑎𝑑𝑠 = −𝑅𝑇 ln 𝐾 ………………………………………(2.2)

Dimana:
18

R= tetapan gas umum (8,314 J mol-1 K)

T= temperature (K)

K= konstanta kesetimbangan adsorspi yang diperoleh dari persamaan Langmuir.

2. Isoterm Freundlich

Isotherm Freundlich menjelaskan bahwa permukaan adsorben bersifat

heterogen, dimana tidak semua permukaan adsorben mempunyai daya adsorpsi

yang sama dan memiliki energy ikat yang lemah. Model isotherm Freundlich

menunjukkan lapisan adsorbat yang terbentuk pada permukaan adsorben adalah

multilayer. Hal ini berkaitan dengan cirri-ciri dari adsorpsi fisika dimana adsorpsi

dapat terjadi pada banyak lapisan (multilayer) (Atkins, 2006). Isotherm Freundlich

dinyatakan dengan persamaan berikut :

1/𝑛
𝑄𝑒 = 𝐾𝑓 𝐶𝑒 ………………………………………………………….(2.3)

Dimana :

Qe = Banyaknya zat yang terserap per satuaan berat adsorben (mol/g)

Ce = Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mol/L)

n = Kapasitas adsorpsi maksimum (mol/g)

Kf = Konstanta Freundlich (L/mol)

Persamaan diatas dapat diubah kedalam bentuk linear dengan mengambil

bentuk logaritmanya :

𝑙
Log 𝑄𝑒 = log 𝐾𝑓 + 𝑛 log 𝐶𝑒 ……………………………………….(2.4)
19

Sehingga dari rumus diatas dapat dibuat grafik seperti pada Gambar 2.5 dibawah

ini.

Log Qe

l/n

Log Kf

Log Ce

Gambar 2.5 Model isotherm adsorpsi Freundlich (Atkins, 2006)

2.4 Spektrofotometri Ultraviolet-Visible

Spektrofotometri Uv-Vis merupakan gabungan antara Spektrofotometri Uv

dan Visibel. Prinsip kerjanya adalah sinar/cahaya dilewatkan melewati sebuah

wadah (kuvet) yang berisis larutan, sehingga menghasilkan spektrum (Ewing,

1998). Alat ini menggunakan dua sumber cahaya yang berbeda, yaitu sumber

cahaya Uv pada panjang gelombang 220-380 nm dan sumber cahaya visibel pada

panjang gelombang 380-780 nm. Radiasi Uv-Vis dapat diserap oleh larutan

berwarna hal tersebut dikarenakan adanya gugusan kromofor yaitu gugus warna

dari dalam larutan atau gugus tak jenuh kovalen yang bertanggung jawab terjadinya

penyerapan, sehingga absorbansi maksimum larutan warna terjadi pada daerah


20

berwarna atau disebut dengan warna yang diserap sebagai warna komplementer dari

warna yang akan dianalisis. Panjang gelombang serapan menunjukkan ukuran jarak

tingkatan energi dari orbital-orbital senyawa yang diradiasikan oleh sinar Uv pada

daerah visible (Ewing, 1998).

Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk

menghitung banyaknya cahaya yang hamburkan:

It It
T= atau %T = x 100% ……………………………..(2.5)
I0 I0

dan absorbansi dinyatakan dengan rumus:

I
𝐴 = − log 𝑇 = −𝑙𝑜𝑔 I t …………………………………(2.6)
0

Dimana I0 merupakan intensitas cahaya datang dan I t atau I1 adalah

intensitas cahaya setelah melewati sampel. Serapan dinyatakan dengan nilai

intensitas absorbsi pada panjang gelombang maksimal. Absortivitas molar

diperoleh dari turunan hukum Lambert-Beer dengan persamaaan sebagai

berikut:

A = ε .b. c ……………………………….................................(2.7)

Dimana:

A = intensitas absorbs

b = tebal lintasan

c = konsentrasi larutan.

ε = koefisien absortivitas molar


21

2.5 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kandungan logam-

logam seperti Cu, Pb, Zn, Cr, Cd dan lain-lain dalam jumlah yang relatif kecil

secar9a kualitatif. Metode SSA menjadi pilihan yang tepat dalam analisis karena

kecepatan analisisnya, ketelitian yang tinggi dan tidak memerlukan pemisahan

terlebih dahulu terhadap sampel yang di analisis. Selain itu metode SSA sangat

tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990).

Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) ini didasarkan pada

penyerapan energi cahaya oleh atom-atom netral dalam keadaan gas pada panjang

gelombang tertentu. Prinsip kerja analisis Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

adalah mengukur serapan yang dilakukan oleh atom-atom logam hasil dari

pengubahan larutan sampel menjadi fase uap. Beberapa atom mengalami okidasi

termal dan sebagian besar tetap tinggal dalam keadaan dasar (ground state) dapat

menyerap radisasi yang dihasilkan oleh suatu sumber khusus yang dibuat dari unsur

tersebut (lampu katoda). Panjang gelombang yang dikeluarkan dari sumber radiasi

sama dengan yang diserap oleh atom-atom (Skoog D.A, 1991).

Besarnya energi yang diserap oleh atom pada tingkat energi dasar untuk

dapat tereksitasi disebabkan karena energi eksitasi elektron sangat karakteristik

untuk setiap unsur, sehingga hanya pada panjang gelombang tertentu suatu unsur

dapat mengalami eksitasi elektron. Proses atomisasi yang terjadi dalam

Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah sebagai berikut: larutan sampel


22

disemprotkan dalam bentuk aerosol ke dalam nyala api. Mula-mula terjadi

penguapan pelarut sehingga tertinggal partikel-partikel padat. Selanjutnya partikel

padat berubah menjadi gas, mengalami disosiasi menjadi atom netral. Di dalam

nyala, atom-atom netral menyerap radiasi energi cahaya yang dikenakan padanya

pada panjang gelombang yang sesuai.

Ringkasan proses atomisasi yang terjadi dalam Spektrofotometri Serapan

Atom (SSA) dapat dilihat pada Gambar berikut.

Desolvasi
Nebulasi

𝑀+ X2- 𝑀+ X2-
(Larutan) (Uap) 𝑀𝑋 (Padat)

Volatilisasi
M + X2- Disosiasi
(Uap) (Uap)

Pengukuran Absorbansi Absorpsi energi cahaya

M
Gambar 2.6 Rangkaian proses atomisasi pada AAS (Zainuddin, 1986)

Hubungan antara penyerapan cahaya dengan konsentrasi dinyatakan oleh

hukum Lambert Beer, dimana absorbans berbanding langsung dengan tebal larutan

dan konsentrasi larutan:

𝐴 = 𝑎. 𝑏.……………………………………………(2.8)

Dimana:
23

A= absorban

a= absorptivitas

b= panjang burner

C= konsentrasi larutan

Jika konsentrasi dinyatakan dalam mol/L (Molar) dan panjang burner

dinyatakan dalam centimeter (cm) maka adsorptivitas molar dengan symbol ɛ

(koefisien ekstingsi molar L mol-1 cm-1). Jadi 𝐴 = ɛ. b. C. Hukum Lambert Beer ini

merupakan dasar analisis kuantitatif secara spektroskopi pada umumnya.

2.6 Analisis Difraksi Sinar- X

Analisis difraksi sinar-X (XRD) adalah metode yang digunakan untuk

identifikasi arang aktif sabut buah pinang. Difraksi sinar-X (XRD) digunakan untuk

analisis kualitatif yang bersifat tidak merusak dan masih bisa digunakan untuk

analisis lainnya (Tan, 1992). Dasar penggunaan sinar-X adalah susunan sistematik

atom-atom atau ion-ion dalam bidang kristal. Pada kebanyakan kristal, jarak antar

atom atau bidang kristal mempunyai ukuran yang hampir sama dengan panjang

gelombang sinar-X (Tan, 1992).

Sinar-X dihasilkan dalam suatu tabung sinar-X oleh pukulan elektron-

elektron yang bergerak cepat ke suatu target logam. Atom-atom yang mengalami

eksitasi dalam target tersebut memancarkan radiasi dengan panjang gelombang

antara 0,001 dan 100 Å, yang merupakan panjang gelombang radiasi Kα dan Kβ,

dimana kebanyakan logam memancarkan pita-pita lebar dari radiasi Kα dan Kβ,
24

contohnya target Cu. Dengan menggunakan saringan nikel, radiasi Kβ dari Cu dapat

dihalangi atau dijerap dan radiasi Kα dari Cu yang lolos diisolasi untuk digunakan

dalam analisis. Jika suatu berkas sinar radiasi Kα Cu mengenai bidang kristal dari

suatu mineral, sinar-X dipancarkan oleh atom-atom dalam kristal. Untuk

memperoleh difraksi, harus terjadi penguatan pada sinar-X yang terpancarkan

tersebut pada suatu arah tertentu. Penguatan sinar-X yang terpancarkan menjadi

kuantitatif hanya jika mengikuti hukum Bragg. Hukum Bragg didefinisikan sebagai

berikut:

𝑛𝜆 = 2𝑑 sin 𝜃 ……………………………………………………….(2.9)

Dimana:

d = jarak antara bidang atom dalam kristal

𝜆 = panjang gelombang

𝜃 = sudut difraksi

n = tingkat difraksi

Hukum Bragg menduga bahwa semua bidang-bidang dalam suatu kristal

memantulkan sinar-X, apabila kristal dimiringkan dengan sudut tertentu terhadap

berkas sinar datang. Difraksi dari bidang-bidang atom berjarak sama yang berurutan

menghasilkan difraksi maksimum. Apabila difraksi maksimum ini diterima oleh

film fotografi, akan dihasilkan suatu seri titik atau garis (pita). Posisi dari garis-

garis tersebut berhubungan langsung dengan jarak d.


25

2.7 Analisis BET (Brenauer- Emmet- Teller)

Luas permukaan arang aktif dapat diukur dengan metode adsorpsi isotermis

seperti Langmuir, BET, Freundlich ataupun dengan metode Scanning Electron

Microscope (SEM) untuk mengetahui perubahan struktur permukaan arang aktif.

Pada penelitian ini akan diukur luas permukaan arang aktif dengan menggunakan

aplikasi model BET terhadap adsorpsi fisik dengan menggunakan nitrogen sebagai

adsorbat. Penentuan luas permukaan dilakukan dengan alat pengukur dengan

prinsip BET. Dengan alat tersebut, maka luas permukaan dari arang aktif dapat

langsung diketahui.

Persamaan adsorpsi yang sering digunakan untuk menghitung adsorpsi

permukaan padatan yang diturunkan oleh Brunauer–Emmet-Teller, dituliskan

sebagai berikut (Lowell and Shields, 1984) :

𝑃 1 (𝐶−1) 𝑃
𝑃0
= + ( 0) ……………………………….(2.10)
𝑊 [( )−1] 𝑊𝑚 𝐶 𝑊𝑚 𝐶 𝑃
𝑃

Dimana :

P = Tekanan gas (mmHg)

P0 = Tekanan uap jenuh adsorpsi (mmHg)

W = Berat yang teradsorpsi pada tekanan relative P/P 0 (gram)

Wm = Berat yang teradsorpsi pada lapisan tunggal (gram)

C = Konstanta BET
26

Untuk mendapatkan luas permukaan adsorben, digunakan persamaan berikut

(Lowell and Shields, 1984) :

𝑊𝑚 𝑁 𝜎
𝑆= ……………………………………………….(2.11)
𝑀

Dimana :

Sg = Luas permukaan spesifik adsorben (m2/gram)

N = Bilangan Avogadro (6.023 x1023 molekul/mol)

𝜎 = Luas penampang satu molekul adsorbat (m2)

M = Berat molekul adsorbat (gram)

Anda mungkin juga menyukai