Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat
segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu
sendiri adalah hasil pemikiran filosofi tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan
alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan
sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh
para filosof Islam. Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam
pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti
Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran
para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita
dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan. Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini
adalah tokoh filsafat muslim yang bernama, Al-kindi. Alasannya adalah karena
tokoh tersebut merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Al-Kindi
2. Bagaimana corak pemikiran filsafat dari Al-Kindi

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui tentang riwayat hidup Al-Kindi
2. Mengetahui pemikiran-pemikiran filsafat Al-Kindi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Al-Kindi


Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn
Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah, Iraq
sekarang, tahun 801 M, pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari
dinasti Bani Abbas (750-1258 M) (Fuad el-Ahwani, 1996).
Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya,
salah satu suku besar zaman pra-Islam. Menurut Faud Ahwani, al-Kindi lahir dari
keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail al-Ash`ats ibn Qais, buyutnya,
telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi shahabat Rasul. Mereka
kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah sendiri, ayah al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah,
menjabat sebagai Gubernur, pada masa khalifah al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi
(785-876 M) dan Harun al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-
1258 M) (Kindi, 1950).
Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat
itu, yaitu al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqh dan teologi.
Yang perlu dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan
Islam, di samping Basrah, dan Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional
(aqliyah). Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring al-
Kindi untuk memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-Kindi kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani
Abbas ini al-Kindi mencurahkan perhatiannya untuk menterjemah dan mengkaji
filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Menurut
al-Qifthi (1171-1248 M), al-Kindi banyak menterjemahkan buku filsafat,
menjelaskan hal-hal yang pelik dan meringkaskan secara canggih teori-teorinya.
Hal itu dapat dilakukan karena al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa
Yunani dan Syiria, bahasa induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat
kemampuannya itu juga, al-Kindi mampu memperbaiki hasil-hasil terjemahan
orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na`ima al-Himsi, seorang penterjemah
Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneads inilah yang
dikalangan pemikir Arab kemudian disalah pahami sebagai buku Theologi karya
Aristoteles (348-322 SM) (Atiyeh dan Goerge, 1983).
Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, al-Kindi
kemudian bertemu dan berteman baik dengan khalifah al-Makmun (813-833 M),
seorang khalifah dari Bani Abbas yang sangat gandrung pemikiran rasional dan
filsafat. Lebih dari itu, ia diangkat sebagai penasehat dan guru istana pada masa
khalifah al-Muktashim (833-842 M) dan al-Watsiq (842-847 M). Posisi dan jabatan
tersebut bahkan masih tetap dipegangnya pada awal kekuasaan khalifah al-
Mutawakkil (847-861 M), sebelum akhirnya ia dipecat karena hasutan orang-orang
tertentu yang tidak suka dan iri atas prestasi-prestasi akademik yang dicapainya
(Fuad el-Ahwani, 1996).
Sikap iri dan permusuhan dari kalangan tertentu seperti inilah yang
tampaknya juga telah memunculkan informasi-informasi negatif tentang watak dan
sifat al-Kindi. Misalnya, al-Kindi ditampilkan sebagai sarjana yang mempunyai
sifat pelit dan kikir. Sifatnya ini bahkan ditonjolkan sebanding dengan tingkat
popularitas dan prestasi keilmuannya. Namun, George N Atiyeh (1923-2008 M)
meragukan kebenaran informasi tersebut. Sebab, menurutnya, para pengkritiknya
juga tidak dapat melakukan hal lain kecuali memuji prestasi-prestasi akademik dan
filsafatnya. Selain itu, beberapa informasi lain justru menyatakan sebaliknya, yaitu
bahwa al-Kindi mempunyai watak yang mulia, berperilaku sebagai orang yang
bermartabat, penuh dedikasi dan tulus (Atiyeh et al, 1983).
Mencermati kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan
bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan, karena
tidak satupan karya logikanya yang dapat ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan
ruang lingkup pengetahuan Al-Kindi yang luar biasa atau mungkin juga karena
alasan lain seperti kesesuaian pahamnya dengan ide-ide mu’tazilah, ini dapat dilihat
ketika khalifah al-Makmum mengajaknya bergabung dengan kalangan
cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-
karya Yunani, walaupun kelihatannyaia lebih cenderung menyimpulkan daripada
menerjemahkan karya-karya tersebut (Sirajudin, 2004).
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi
pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Al-
Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam pemikiran
Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh (1923-2008
M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi al-Kindi.
Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam
bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide
abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan
tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat bid’ah dan
kekufuran (Atiyeh dan Goerge, 1983).
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M. Menurut Atiyeh, al-Kindi
meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa orang
terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak lagi disukai,
tetapi juga sekaligus kematian seorang filosof besar yang menyukai kesunyian
(Harun, 1990).
Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah karya
tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok: (1) filsafat,
(2) logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) musik, (6) astronomi, (7) geometri, (8)
sperikal, (9) medis, (10) astrologi, (11) dialektika, (12) psikologi, (13) politik, (14)
meteorologi, (15) besaran, (16) ramalan, (17) logam dan kimia.
Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan
pengetahuan al-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerard (1114–
1187 M), tokoh dari Cremona, Italia kedalam bahasa Latin dan memberi pengaruh
besar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu, Gerolamo Cardano
(1501-1576 M), seorang tokoh matematika asal Italia, menilai al-Kindi sebagai
salah satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal di Eropa saat itu (Fuad el-
Ahwani, 1996).
Menurut Ahmad Daudi (1995), Al-Kindi termasuk orang kreatif dan
produktif dalam kegiatan tulis menulis, tulisannya cukup banyak dalam berbagai
disiplin ilmu, akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang,
informasi terakhir merupakan suatu kegembiraan karena sebagian risalah Al-Kindi
yang hilang tersebut telah ditemukan kembali. Untuk lebih jelasnya dibawah ini
dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi sebagai berikut :
1. Fi Al-Falsafah al-ula
2. Fi hudud al-asy ya’wa rusumuha
3. Fi al-fa’ill al-haq al-awwal al-fam
4. Fi ilati’ i-kaun wal fasad
5. Fi al-qaul fi nafsih
6. Fi wahdaniyatillah wa tanahirjirmi’i ‘alam
7. Fi ‘il ‘aql

2.2 Pemikiran Al-Kindi


2.2.1 Menyelaraskan Agama dan Filsafat Dalam Pandangan Al-Kindi
Selama ini orang berpendapat bahwa antara agama dan filsafat sebagai dua
hal yang saling kontradiktif. Pandangan tersebut pada mulanya dianut oleh mereka
yang berpaham konservatif dan sangat anti dalam menggunakan akal dalam
persoalan agama. Mereka berdasar pada asumsi bahwa filsafat secara epistemologi
bertolak pada murni akal danmemakai metode skeptip (keraguraguan). Sedangkan
agama adalah wilayah keimanan yang membutuhkan keyakinan, jawaban ini
sepintas cukup memuaskan namun sungguh tidak tepat jika jawaban ini kemudian
diterapkan pada filsafat Islam (Haidar, 2005).
Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan
pemaduan dan keselarasan antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, karena
antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang
kebenaran. Sedangkan kebenaran itu hanyalah satu, dalam pengembangan filsafat
pertama Al-Kindi mengatakan : ”yang paling luhur dan paling mulia di antara
segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan segala hal, sejauh batas akal
manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran dan bertindak sesuai
dengan kebenaran itu”(Suhrawardi, 2005)
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih menyakinkan
daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidaklah
bertentangan, Al-Kindi mengatakan “Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah
bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah
pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth)”. Dari sini kita lihat
persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa
yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana filsafat
menggunakan akal.
Tujuan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam,
usaha yang dilakukan cukup menarik dan bijaksana, ia mulai dengan membicarakan
kebenaran sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib
menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya,
sekalipun misalnya sumber itu dari orang asing, kemudian usaha berikutnya ia
masuk pada persoalan pokok yakni filsafat. Telah diketahui bahwa tujuan filsafat
sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, oleh karena itu sekalipun ia datang
dari Yunani, maka kita menurut Al-Kindi wajib mempelajarinya bahkan lebih jauh
dari kita wajib mencarinya.
Menurut Al-Kindi ada dua jenis ilmu pengetahuan : pertama, pengetahuan
ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur'an, pengetahuan ilahi
ialah rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw. Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan atau iman. Kedua,
pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan pemikiran rasional, kedua
pengetahuan ini satu dengan yang lain tidak mengandung pertentangan hanya dasar
dan argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain pengetahuan filsafat adalah
pengetahuan yang menggunakan akal sedangkan pengetahuan ilahi berasal dari
wahyu (Miska, 1983).
Selanjutnya menurut Al-Kindi “pengetahuan manusia sendiri terdiri dari
pengetahuan aqli dan pengetahuan naqli, pengetahuan pertama dapat
mengungkapkan hakekat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat
mengungkapkan bagian-bagian sifat dari obyeknya”. Hakekat yang dimaksud
adalah sifat-sifat umum dari objek.
Sebagai orang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa
sebelumnya, maka ia memperkenalkan pikiran-pikiran itu kepada dunia arab Islam
tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing oleh mereka. Oleh karena
itu, timbullah reaksi pada mereka untuk tidak mengambil filsafat dalam
menyelesaikan persoalan agama. Namun, Al-Kindi tetap semangat untuk
menghalalkan filsafat bagi umat Islam, untuk memuakan pihak terutama orang-
orang yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduan ini Al-Kindi juga
membawakan ayat-ayat Al-Qur'an menurutnya menerima dan mempelajari filsafat
sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti
dan membahas segala fenomena di alam semesta ini, di antara ayat-ayatnya sebagai
berikut :
1. Surat Al-Hasyr (59) : 2
“…maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”.
2. Surat Al-A’raf (7): 185
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan
segala sesuatu yang diciptakan Allah”.
3. Surat Al-Ghasyiyat (88) : 17-20
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan untuk bagaimana ia diciptakan.
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagai mana ia
ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia hamparkan langit,bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi,
bagaimana ia dihamparkan”.
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi
pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat.
AlKindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam
pemikiran Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh
(1923-2008 M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi
al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke
dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan
ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh
kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat
bid’ah dan kekufuran (Atiyeh, 1983)
Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal:
1. menterjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke
dalam bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thin (tanah liat).
2. Mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan
menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah
Yunani philosophos (filosof), falsafah untuk istilah philosophia (filsafat),
fanthasiyah untuk istilah phantasia (fantasi).
3. Menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata ganti
dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau
menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab.
Misalnya, al-mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan
istilah Yunani to ti esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk
menjelaskan istilah Yunani to on (substansi).
4. Memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.
Untuk menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan
cara menyelaraskan antara agama dan filsafat. Upaya untuk menyelaraskan agama
dan filsafat ini sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, membuat
kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa bangsa Arab dan Yunani adalah
bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling bermusuhan. Dalam kisah ini,
misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi dari nama negeri Yunani)
adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa
Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu, sehingga mereka mestinya dapat
saling melengkapi dan mencari kebenaran bersama meski masing-masing
menggunakan jalannya sendiri-sendiri.
Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang
dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan
mengambilnya. Dalam al-Falsafah al-Ula, secara jelas al-Kindi menulis: “Kita
hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan
mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu
ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih
berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain
tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran,
melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.
Pernyataan al-Kindi tersebut, sebelumnya juga pernah disampaikan oleh
Imam Ali ibn Abi Thalib (599-661 M), khalifah al-rasyidin yang keempat (656-661
M). Imam Ali menyatakan bahwa al-hikmah (pengetahuan atau kebenaran) adalah
milik umat Islam yang tercerer, karena itu ia harus diambil di manapun ditemukan
(al-hikmah dlalah al-mu’minin khudzu ainama wajadtumuha).
Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana
dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa
menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan menentang
kegiatan filosofis. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan pertanyaan
kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu, mereka harus
memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu juga jika
menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argument
tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat.
Artinya, filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dihindari,
karena sebagai sarana dan proses berpikir.
Selain itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan model ketiga ini, al-Kindi
ingin menunjukkan bahwa para filosof dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud
untuk merongrong wahyu dan agama; sebaliknya, justru memberi dukungan pada
agama dengan argument-argumen yang rasional dan kokoh.
Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda
tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis
maupun teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia
untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya
adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut
Al-Kindi, tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena
keduanya mengarah kepada tujuan yang sama.
Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras
dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara
memberikan makna alegoris (takwil) terhadap teks-teks atau naskah yang secara
tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran rasional-filosofis.
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah benar
adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur’an dengan
pemahaman filosofis, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman
kita sendiri dalam memahami makna al-Qur’an. Secara jelas al-Kindi menulis,
“Semua ucapan Nabi Muhammad saw adalah benar adanya dan apa yang
disampaikannnya dari wahyu Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan
argument-argumen rasional filosofis. Hanya orang yang kehilangan akal sehat dan
dipenuhi kebodohan yang menolaknya” (Atiyeh, 1983).
Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan
kekal. Ia memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna
dan mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan
Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa menurut al-Kindi,
adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat
lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang
substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya
adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari.
Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari
tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat
tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan
bersatu dengannya. Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh
mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak
semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit.
Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar
kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan
kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan
dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang
terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami
penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan,
Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke
dunia akali. Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive),
daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana
Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya
berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai
dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang
dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula.
Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan
amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang
menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja. Sekalipun
ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi
sering kali hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan
kemampuan jiwa, sedang daya appetitive dan irascible ada semata-mata untuk
pertumbuhan dan pelestarian (jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag),
sementara yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak
mengherankan ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan
manusia adalah sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk
membedakan jiwa dari badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat
pemarah sedang jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang
ditentang tidak sama. Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan
yang sebenarnya. Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah
merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan


pemaduan dan keselarasan antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, karena
antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang
kebenaran. Dalam pengembangan filsafat pertama Al-Kindi mengatakan : ”yang
paling luhur dan paling mulia di antara segala seni manusia adalah seni filsafat,
pengetahuan segala hal, sejauh batas akal manusia, tujuannya adalah mengetahui
hakekat kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran itu”.
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih menyakinkan
daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidaklah
bertentangan, Al-Kindi mengatakan “Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah
bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah
pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth)”. Dari sini kita lihat
persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa
yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana filsafat
menggunakan akal.
Beberapa pemikiran al-Kindi dalam filsafat sendiri meliputi:
1. Talfiq, Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat.
2. Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir,
belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati
tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
3. Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama
mendekatinya dengan keimanan.
4. Jawaban filsafat menunjukan ketidak-pastian (semu) dan memerlukan
berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang
dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan
dengan mutlak.
5. Tentang jiwa, menurut Al-Kindi tidak tersusun, mempunyai arti penting,
sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan.
Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah,
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Daudi. (1995). Kuliah Filsafat Islam Cetakan ke-2. Jakarta: Bulan Bintang,
Jakarta.
Atiyeh dan George N. (1983). Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Diterjemahkan oleh
Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka.
Fuad el-Ahwani. (1996). “Al-Kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim.
Diterjemahkan oleh A Muslim. Bandung: Mizan.
Haidar, Bagir. (2005). Buku Saku Filsafat. Bandung: Arasy.
Harun Nasution. (1990). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Kindi. (1950). al-Falsafah al-Ulâ, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-
Kindî al-Falsafiyah,(Mesir, al-I`timad).
Miska, Muhammad Amin. (1983). Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam. Jakarta: UI Press.
Sirajuddin Zar. (2004). Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Soleh, Achmad Khudori. (2016). Filsafat Islam. Yogyakarta: Arruzz Media.
Suhrawardi, Amroni Daradjat. (2005). Kritik Filsafat Paripetik. Jakarta: Lkis.
KATA PENGANTAR

Assalamuálaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh


Alhamdulillahilladzi, arsala raasulahu bilhuda wa diinil haq, liyundzirahu
‘ala diini kulli wa kafaa billahi syahiida. Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyahdu
anna muhammadan ábduhu waraasuluuhu, laa nabiya ba’dahu.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas kasih karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Pemikiran Filosof Muslim Al Kindi”. Tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Fauzi selaku dosen pengajar
kami yang telah memberikan kami kesempatan untuk mengerjakan mengenai
materi dalam makalah ini.
Besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan serta pengalaman bagi pembaca. Ambil manfaatnya dan
buang yang sekiranya menjadi madharatnya Makalah ini kami akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh
karena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirul kalam, jazakallahu khairan katsiraan, wabillahi taufiq wal hidaayah.
Wassalamuálaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

Bandung, April 2019

Penulis

Anda mungkin juga menyukai