Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BATUBARA
Kelompok :
Kelas : D
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenan dan
RahmatNya kepada kami, sehingga tugas genesa mineral dan batu bara tentang
minyak bumi ini dapat selesai tepat pada waktunya sesuai dengan yang
diharapkan. Tugas ini disusun agar Mahasiswa dapat mengetahui secara praktis
mengenai dasar – dasar teori tentang minyak bumi.
Dengan telah tersusunnya tugas ini, maka kami selaku penyusun
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Waterman Sulistyna Bargawa, M.T. Selaku Dosen Genesa Mineral
dan Batu Bara, TA 2017/2018 Program Studi Teknik Pertambangan , FTM,
UPN ”Veteran” Yogyakarta.
2. Ir. Ketut Gunawan, M.T., Ir. Drs. Abdul Rauf, M.Sc., Dr. Edy Nursanto,
S.T, M.T. selaku Dosen Genesa Mineral dan Batu Bara.
3. Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah
membantu sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusun telah berusaha agar tugas ini sempurna, jika terdapat kesalahan
dalam tugas ini kami mohon maaf. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat penyusun harapkan untuk perbaikan kedepan.
Akhir kata, saya berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat dan
memberikan ilmu bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penyusun
(Kelompok)
i
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….................iii
BAB
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………….1
1.3. Tujuan ………………………………………………….......1
II. PEMBAHASAN
2.1. Genesa Batugamping ………………………………………2
2.2. Jenis – jenis Batugamping …………………………………4
2.3. Fenomena Karst ……………………………………………5
2.4. Terbentuknya Goa …………………………………………7
2.5. Terbentuknya Sungai Bawah Tanah ……………………….9
2.6. Terbentuknya Stalagtit, Stalagmit dan Pilar ……………….9
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………13
3.2. Saran ………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Mengetahui dasar – dasar tentang batu gamping
2. Mengetahui proses terbentuknya batu gamping
1
BAB 2
PEMBAHASAN
Ø secara organic
Sebagian besar batu gamping di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari
pengendapan cangkang atau rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang
berasal dari kerangka binatang koral/kerang
Untuk batu gamping yang terjadi secara mekanik, sebetulnya bahannya tidak jauh
berbeda dengan jenis batu gamping yang terjadi secara organic. Yang
membedakannya adalah terjadinya perombakan dari bahan batu kapur tersebut yang
kemudian terbawa oleh arus dan biasanya diendapkan tidak jauh dari tempat
semula.
Ø Secara kimia
Sedangkan yang terjadi secara kimia adalah jenis batu gamping yang terjadi dalam
kondisi iklim dan suasana lingkungan tertentu dalam air laut ataupun air tawar.
Selain hal diatas, mata air mineral dapat pula mengendapkan batu gamping.
Jenis batu gamping ini terjadi karena peredaran air panas alam yang melarutkan
lapisan batu gamping dibawah permukaan, yang kemudian diendapkan kembali
dipermukaan bumi. Magnesium, lempung dan pasir merupakan unsur pengotor
yang mengendap bersama-sama pada saat proses pengendapan. Keberadaan
pengotor batu gamping memberikan klasifikasi jenis batu gamping, apabila
pengotornya magnesium, maka batu gamping tersebut diklasifikasikan sebagai batu
gamping dolomitan.
2
Begitu juga apabila pengotornya lempung, maka batu kapur tersebut
diklasifikasikan sebagai batu gamping lempungan, dan batu gamping pasiran
apabila pengotornya pasir. Persentase unsure-unsur pengotor sangat berpengaruh
terhadap warna batu kapur tersebut, yaitu mulai dari warna putih susu, abu-abu
muda, abu-abu tua, coklat, bahkan hitam. Warna kemerah-merahan misalnya,
biasanya disebabkan oleh adanya unsure mangan, sedangkan kehitam-hitaman
disebabkan oleh adanya unsure organic. Batu gamping dapat bersifat keras dan
padat, tetapi dapat pula kebalikannya. Selain yang pejal dijumpai pula yang porous.
Batu gamping yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakannya
maupun sifat-sifatnya. Hal ini terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas,
sehingga batugamping tersebut menjadi berhablur, seperti yang dijumpai pada
marmer. Selain itu, air tanah juga sangat berpengaruh terhadap penghabluran
kembali pada permukaan batugamping, sehingga terbentuk hablur kalsit.
3
2.2. Jenis – jenis Batugamping
1. Gamping Terumbu
2. Gamping Oolitik
Batuan sedimen kimiawi yang terbentuk dari butiran kalsit. Batuan ini baik
untuk bahan bangunan.Memiliki lapisan (LIAS) yaitu lapisan gamping dan serpih
laut dalam yang tersusun berselang-seling. Lapisan ini mengendap sebagai lumpur
laut dalam dan gampingnya terpisah keika batuan mengeras.
3. Gamping Numulitis
4. Gamping Kristalin
Batu gamping kristalin merupakan salah satu jenis batuan sedimen yang
terbentuk dari batuan sediment seperti yang kita kira, batuan sedimen terbentuk dari
batuan sedimen, tidak juga terbentuk dari clay dan sand, melainkan batuan ini
terbentuk dari batu-batuan bahkan juga terbentuk dari kerangka calcite yang berasal
dari organisme microscopic di laut yang dangkal.
4
Sehingga sebagian perlapisan batu gamping hampir murni terdiri dari kalsit, dan
pada perlapisan yang lain terdapat sejumlah kandungan silt atau clay yang
membantu ketahanan dari batu gamping tersebut terhadap cuaca. Sehingga lapisan
yang gelap pada bagian atas batuan ini mengandung sejumlah besar fraksi dari
silika yang terbentuk dari kerangka mikrofosil, sehingga dimana lapisan pada
bagian ini lebih tahan terhadap cuaca.
Penggunaan istilah karst secara internasional berawal dari bahasa Jerman yang
diserap dari bahasa Slavia kras yang memiliki arti lahan gersang berbatu. Istilah
kras diberikan untuk wilayah di Serbia, Bosnia, Herzegovina, Slovenia,
Albania (dahulu Yugoslavia) yang memiliki topografi khas akibat proses pelarutan
pada batuannya.
Di beberapa negara penggunaan istilah bentang alam unik ini beragam misalnya
karst (Jerman dan Inggris), carso (Italia), kras (negara-negara Balkan), karusuto
(Jepang), atau kars (Malaysia). Sedangkan di Indonesia pernah diperkenalkan
dengan istilah kras atau curing (Kamus Kebumian Purbo-Hadiwidjojo, 1994).
Dalam ilmu bumi, definisi karst adalah suatu wilayah kering, yang tidak
subur/gersang dan berbatu-batu sedangkan dalam geologi, pegunungan yang terdiri
dari batu gamping dan kemudian memperlihatkan bentang alam yang khas akibat
adanya proses pelarutan batuannya oleh air, dinamakan morfologi karst.
5
Kawasan Karst merupakan kawasan yang mudah rusak. Batuan dasarnya mudah
larut sehingga mudah sekali terbentuk goa-goa bawah tanah dari celah dan retakan.
Mulai banyaknya permukiman penduduk yang terdapat di daerah ini akan
berpengaruh terhadap tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Serta bahaya dari alam sendiri berupa bencana alam guguran batuan dan runtuhnya
goa bawah tanah.
Bukit-bukit kecil dalam jumlah banyak yang merupakan sisi-sisi erosi akibat
pelarutan kimia pada batu gamping, sehingga terbentuk bukit-bukit (conical hills).
Banyaknya Stalaktit dan Stalakmit akibat dari air yang masuk ke lubang-lubang
(doline) kemudian turun ke gua dan menetes dari atap gua ke dasar gua yang
berubah jadi batuan.
6
Permukaan bumi 25 persen merupakan kawasan Karst, sehingga 25 persen
kehidupan dunia pun tergantung pada kawasan ini. Keunikan kawasan Karst itu
sendiri terletak pada fenomena melimpahnya air bawah permukaannya yang
membentuk jaringan sungai bawah tanah, namun di sisi lain, kekeringan tampak di
permukaan tanahnya.
Sejarah geologi karst dimulai pada zaman karbon (sebutan untuk sebuah
masa di 354-290 juta tahun lalu) akhir, hingga Perm (290-248 juta tahun lalu) awal
yang menimbulkan batuan tertua. Umumnya pada akhir masa Perm awal, terjadi
aktivitas tektonik berupa pengangkatan dan pelipatan satuan sabak serta timbulnya
sesar mendatar. Pada zaman Trias (248-206 juta tahun lalu) awal, terjadi proses
susut laut yang membentuk morfologi batu gamping. Ini akan diikuti dengan intrusi
ke permukaan yang menerobos batu gamping, hingga mengakibatkan batu gamping
menjadi marmer.
7
Akibat proses gaya-gaya geologi yang berpengaruh, akan terbentuk struktur
rekahan yang disebut diaklas, yakni jalur resapan air permukaan dan membentuk
morfologi karst. Hal ini akan terus terjadi, entah sampai kapan berakhirnya.
Mengapa pembentukan gua sangat intensif di kawasan kars yang batuannya
didominasi batu gamping / batu kapur / limestone? Hal ini sangat terkait dengan
sifat batu gamping yang unsur utamanya adalah karbonat CaCO3 yang sangat
reaktif terhadap larutan asam, khususnya larutan senyawa asam yang mengandung
CO2. Walaupun secara kimiawi prosesnya sangat rumit dan kompleks, tetapi proses
pelarutan batu gamping secara sederhana mengikuti persamaan reaksi berikut:
8
2.5 Terbentuknya Sungai Bawah Tanah
Sungai bawah tanah terbentuk akibat hujan yang mengikis permukaan batu
kapur. Selama beratus – ratus tahun air tersebut mengikis dan membentuk goa. Air
tersebut tidak berhenti sampai disana, melaikan terus mengikis hingga antar goa
saling betemu dan membentuk aliran – aliran air atau yang kita sebut sebagai sungai
bawah tanah.
Sumber : google.com
9
Dua kunci fakta untuk memahami bagaimana gua terbentuk.
1. CO₂ terdapat dalam kesetimbangan dengan larutan CO₂ dalam pelarut air murni.
Konsentrasi CO₂ dalam air proporsional dengan tekanan parsial gas CO₂ yang
bereaksi dengan air (hukum Henry), [CO₂(aq)] ≈ . dalam lekukan tanah lebih
tinggi daripada di atmosfer karena terus-menerus melepaskan CO₂ dari dalam
tanah.
2. Di daerah batu kapur, gua terbentuk oleh air hujan yang mengandung gas (CO₂)
yang di serap dari atmosfer batu kapur tersusun dengan bahan utama CaCO₃.
CaCO₃ larut oleh asam lemah. Kemudian membentuk saluran dalam jangka waktu
yang lama. Reaksi kimia ini merupakan reaksi kesetimbangan.
Reaksi CO₂ dan air menghasilkan . Persentase meningkatkan daya larut bahan-
bahan ionik yang terdiri dari anion asam lemah.
Inilah penjelasan dari proses pembentukan gua. Ketika air permukaan menetes
melalui celah-celah pada tanah, maka akan bertemu dengan udara yang terjebak
dalam tanah dengan tekanan CO₂ yang tinggi. Sebagai hasilnya CO₂(aq) akan
meningkat (persamaan 1 bergeser ke kanan) dan larutan menjadi bersifat lebih
asam. Ketika CO₂ memperkaya air yang bereaksi dengan batu kapur, maka makin
banyak CaCO₃ yang larut (persamaan 2 bergeser ke kanan). Sebagai hasilnya maka
semakin banyak batu-batu ynag terbentuk, semakin banyak air yang mengalir di
dalamnya. Seiring berjalannya waktu, gua perlahan-lahan akan membentuk stalaktit
dan stalagmit.
10
Proses pembentukan stalaktit dan stalagmit melalui terowongan-terowongan bawah
tanah. Beberapa larutan sebagian besar melarutkan Ca(HCO₃)₂ melewati langit-
langit gua yang terbentuk. Ketika menetes maka akan bertemu dengan udara yang
mempunyai tekanan CO₂ lebih rendah dari tekanan CO₂ di tanah, sehingga
beberapa CO₂(aq) keluar dari larutan (persaman 1 bergeser ke kiri). Ini
menyebabkan CaCO₃ mengendap di langit-langit dan di tempat tetesan jatuh
(persamaan 2 bergeser ke kiri).
Pembentukan pilar stalaktit dan stalagmite terjadi ketika air mengandung kalsium
karbonat menguap secar berulang-ulang. Dengan kata lain, jumlah
CaCO₃ berkurang. Menurut asas Le Chatelier, jika kosentrasi zat berkurang, reaksi
akan bergeser ke arah zat yang berkurang tersebut. Jadi reaksi akan bergeser ke kiri
(pembentukan CaCO₃). Hal itu dapat di amati dari jatuhnya larutan dan
HCO₃ˉ yang berada di atap gua. Penguapan dalam gua terjadi dalam waktu yang
sangat lambat. Penyebabnya, karena tidak ada radiasi matahari untuk menarik
molekul air, kecilnya pergerakan udara bahkan hampir tidak ada, dan hampir semua
udara yang jenuh dengan uap air.
Stalaktit adalah jenis formasi geologi yang menggantung dari langit-langit gua,
mata air panas atau struktur bangunan buatan manusia seperti jembatan dan
tambang. Pertambahan panjang stalaktit hanya 0.2 mm pertahun. Lambatnya laju
pengendapan ini juga dipengaruhi oleh gerakan udara dan campuran di dalam batu
kapur.
Stalagmit adalah jenis fromasi batuan yang naik dari dasar atau lantai gua karena
akumulasi bahan tersimpan di lantai gua dari tetesan di langit gua.
Stalagmit pasangan dari stalaktit, yang tumbuh di lantai gua karena hasil tetesan air
dari atas langit-langit gua. Ciri-ciri stalaktit berlubang, bentuknya meruncing ke
bawah & lebih runcing dan menggantung, serta dapat di bentuk dari pelarutan batu
kapur, lava, es, mineral, lumpur, gambut atau pasir. Sedangkan stalagmit berlapis-
lapis, tidak berlubang, bentuknya meruncing keatas dan di lantai gua, dapat
dibentuk dari pelarutan batu kapur, lava, es, lumpur, gambut, dan beton.
11
Proses kimia yang sama dapat menghasilkan bentuk-bentuk endapan yang berbeda.
Kumpulan larutan Ca(HCO₃)₂ membentuk batu “lily” atau “koral”. Larutan
membentuk batu yang lembut, menghias pada dinding gua dengan warna yang
timbul menakjubkan dari ion-ion logam,seperti besi (coklat kemerahan) atau
tembaga (hijau kebiruan).
Gambar stalaktit dan stalagmit di Carisbad Caverns New Mexico, bentuk yang
mengagumkan di dalam gua batu kapur menghasilkan perubahan yang halus dalam
peristiwa kesetimbangan ionik karbonat lebih dari jutaan tahun (Wikimedia
Commons [1])
Stalagmit biasanya tidak boleh disentuh, karena penumpukan batuan dibentuk oleh
mineral, mempercepat keluar dari larutan air ke permukaan tua, minyak kulit dapat
mengubah permukaan dimana air mineral akan melekat sehingga mempengaruhi
pertumbuhan formasi . Minyak dan kotoran dari kontak manusia juga bisa menodai
pembentukan dan perubahan warna permanen.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Batu gamping adalah batuan sedimen yang sebagian besar disusun oleh
kalsium karbonat yang berasal dari sisa- sisa organisme laut seperti kerang, siput
laut, dan koral yang sudah mati. Banyak fenomena yang terjadi pada daerah batu
gamping yaitu stalagmite, stalagtit, dan pilar. Sungai bawah tanah juga termasuk
dari fenomena yang terbentuk di kawasan batugamping ini. Manfaat yang didapat
mulai dari tempat wisata, bahan tambang dan sebagai bahan kebutuhan kehidupan
manusi jaman sekarang.
3.2. Saran
1. Menjaga dan melestarikan kawasan – kawasan batugamping
2. Tidak mengeksploitasi secara berlebihan.
13
DAFTAR PUSTAKA
William, H., Turner, F.J. & Gilbert, C. M., 1982,“ Petrography, An Introduction
14