Anda di halaman 1dari 12

Co-Asistensi Bidang Reproduksi

KASUS DAN PENANGANAN HIPOFUNGSI OVARIUM PADA SAPI DI DINAS


PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN BONE PROVINSI
SULAWESI SELATAN

Disusun Oleh:

MIRNA MUALIM
C024182016

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Di Sulawesi Selatan, jumlah sapi yang pernah didata oleh pemerintah berjumlah
sekitar 1.434.998 ekor, dimana Kabupaten Bone memliki jumlah populasi sapi terbanyak
dengan jumlah 415.073 (Dinas Provinsi Sulawesi Selatan, 2017). Dengan jumlah populasi
sapi terbanyak dibanding wilayah kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, tidak menutup
kemungkinan beberapa sapi tersebut terjangkit berbagai macam penyakit, termasuk penyakit
yang menyerang organ reproduksi
Gangguan reproduksi pada sapi dipengaruhi oleh banyak faktor, namun faktor
lingkungan yang menyebabkan terganggunya perilaku normal, perawatan dan pakan yang
buruk sangat penting untuk diperhatikan. Kegagalan reproduksi menjadi salah satu faktor
utama yang dapat menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi
pakan yang buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan
reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem pemeliharaan penggembalaan
atau ekstensif yang kekurangan pakan (Relic & Vukovic, 2013).
Hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan oleh
kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal yang dicirikan oleh rendahnya kadar
hormon gonadotropin terutama FSH sehingga terjadi anestrus atau birahi tenang (silent
heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan hipofungsi, ovarium berukuran
normal, namun permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang artinya tidak ada
folikel dominan yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini menandakan bahwa pada
ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi corpus luteum. Laporan ini akan
membahas penyakit yang ditemukan pada organ reproduksi dengan nama penyakit
hipofungsi ovarium pada sapi. Kasus ini ditemukan saat pelaksanaan bagian reproduksi di
Kabupaten Bone pada tanggal 15 hingga 25 July 2019.

I.2 Rumusan Masalah


a). Apakah penyebab sapi mengalami hipofungsi ovarium pada sapi?
b). bagaimana penanganan yang tepat untuk kasus hipofungsi ovarium pada sapi?
I.3 Tujuan
a). Untuk mengetahu penyebab sapi yang mengalami hipofungsi ovarium pada sapi.
b). Untuk mengetahui bagaimana penanganan hipofungsi ovarium pada sapi.

2
BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1 Hipofungsi ovarium
Hipofungsi ovari adalah suatu kejadian dimana ovarium mengalami penurunan
fungsinya sehingga tidak terjadi perkembangan folikel dan tidak terjadi ovulasi. Menurut
Hafez (2000) bahwa anestrus akibat hipofungsi ovari sering berhubungan dengan gagalnya
sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun
kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi
hipotalamus-pituitariaovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi GnRH, sehingga
tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi
fungsi hipofise anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah, yang
menyebabkan ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Suartini et al.
2013).

Gambar 1. Ovarium normal dan hipofungsi ovarium (Disnakkeswan 2014).

Hipofungsi ovarium dapat diakibatkan oleh manajemen pakan yang buruk, stress
lingkungan dan defisiensi hormon (Herry 2015) sehingga terjadi gangguan hormonal.
Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan dalam jumlah yang tidak sesuai
mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak tidak memadai dengan nutrisi
yang dibutuhkan oleh penggunaan energi harian. Hal ini menyebabkan kondisi tubuh ternak
memburuk sehingga mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan maka dalam pemberian

3
pakan sehari-hari, dibutuhkan nutrisi yang menunjang saluran reproduksi seperti protein,
vitamin A, dan mineral seperti fosfor, yodium, dan tembaga (Lukman dkk., 2007).
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada ternak
sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang diletakkan pada
kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi yang buruk akan lebih
mudah mengalami stres dibandingkan ternak yang ditempatkan di lingkungan yang nyaman
(Deden, 2000).
Tingkat stres yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus hormonal.
Defisiensi hormon dapat terjadi ketika kelenjar endokrin tidak dapat mensekresikan hormon
dalam jumlah yang cukup sehingga fungsi-fungsi normal organ tubuh tidak dapat
bekerja dengan optimal. Dalam hal ini, hormone yang disekresi di hipotalamus, hipofisa
anterior, dan ovarium sehingga terjadinya hipofungsi ovarium. Akibat dari
faktor-faktor tersebut, efisiensi reproduksi terganggu sehingga produktivitas menurun
(Herry, 2015).

II. 2 Gejala Klinis


Ternak yang mengalami hipofungsi ovarium tidak terlihat gejala estrus (anestrus) atau
menampakkan silent heat dalam jangka waktu yang lama karena estrogen yang berperan
dalam gejala birahi dihasilkan dalam jumlah sedikit dimana belum mencapai batas yang
dibutuhkan (Deden 2000).

Gambar 2. Kondisi ovarium ternak hifofungsi ovarium (Ridhosofian, 2014)


Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda (Ruiqing dan Xinli 2009) karena
gangguan hormon FSH dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang untuk
diovulasikan. Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran normal, tetapi permukaannya
teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal (Herry 2015). Penyataan Herry (2015) dapat
didukung oleh Lo´pez-Gatius et al (2001) yang menyatakan bahwa ovari yang mengalami

4
hipofungsi berukuran minimal 8-15 mm ketika dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah
waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL atau kista serta tanda estrus (Herry , 2015).

II. 3 Diagnosa
Hewan tidak menunjukkan gejala birahi baik itu dara maupun indukan (dapat terjadi
selama beberapa siklus). Pada pemeriksaan palpasi rektal yang dilakukan dokter hewan atau
petugas kesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata dan halus, khususnya pada dara, folikel
masih premature sebesar 1.5cm; tidak teraba adanya CL baik yang sedang berkembang
maupun regresi; pada sapi indukkan, terkadang ovarium teraba dengan bentuk yang tidak
beraturan karena adanya sisa CL dan korpus albican yang telah lama teregresi sehingga
terkadang rancu untuk membedakannya dengan folikel yang baru berkembang (Deden,
2000). 12
Untuk meneguhkan diagnosis, pemeriksaan kedua dapat dilakukan pada hari ke 10
setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium tersebut hipofungsi maka tidak akan ada
perubahan yang terjadi dari pemeriksaan pertama, namun jika ovarium tersebut normal, maka
akan terbentuk CL (Deden 2000) selanjutnya dapat dilakukan pemerikasaan darah seperti
pemeriksaan kadar kalsium, proetin, glukosa dan keton, namun ini sifatnya pilihan serta
pemeriksaan feses apakah terdapat infestasi cacing berupa telur atau tidak.

II. 4 Terapi dan Pencegahan Penyakit.

Gambar 3. Pemberian pakan yang bernutrisi pada sapi (Suartini et al 2013).

Perbaikan pakan dan nutrisi harus dilakukan, khususnya peningkatan asupan energi,
untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan metabolism tubuhnya.Stimulasi
aktivitas ovarium dapat dilakukan dengan menginduksi pertumbahan folikel dan siklus birahi
normal menggunakan obat-obatan hormonal berdasarkan dari pemeriksaan dokter hewan

5
sebelumnya. Pengobatan ini juga akan mengakibatkan terjadinya superovulasi, karena itu
pada birahi pertama yang terjadi setelah pengobatan tidak disarankan untuk mengawinkan
ternak tersebut (Suartini et al 2013).
Terapi yang diberikan pada saat penanganan kasus tersebut Pemberian GnRH seperti
lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin untuk menginduksi estrus. Hormon2
tersebut berfungsi merangsang pelepasan gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior
sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan
folikel menghasilkan estrogen sehingga sapi menunjukkan tanda - tanda birahi (Suartini et al
2013).

Gambar 4. Hormon GnRh analogue untuk menginduksi birahi birahi (Suartini et al 2013)

6
BAB III
Pembahasan
III.1 Kasus

Gambar 5. Sapi kasus hipofungsi ovarium


Seekor sapi betina di laporkan oleh warga kec Waji kab bone dengan kondisi tidak
pernah birahi selama kurang lebih 7 bulan, BCS 2,5, sudah di IB sebanyak 3x tapi tidak
mengalami kebuntingan. Setelah di palplasi per rektal ditemukan bahwa ovarium teraba licin
dan di diagnosa mengalami hipofungsi ovarium.
- Anamnesa
Seekor sapi betina dilaporkan oleh warga kecamatan Waji Kabupaten Bone sapi
dengan gejala tidak pernah birahi selama kurang lebih 7 bulan. Body Condition Score
kedua sapi berkisar 2.5. Kondisi sapi tidak terlalu lemas dan menunjukkan gejala
yang normal. Setelah di palplasi per rektal ditemukan bahwa ovarium teraba licin dan
di diagnosa mengalami hipofungsi ovarium.

- Terapi lapangan
a. Petugas lapangan menyuntikkan vitamin ADE dan mengedukasi peternakan untuk
memperhatikan nutrisi sapi dan manajemen pakan.
- Terapi literature
a. Pemberian GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin
untuk menginduksi estrus.
b. Memperbaiki manajemen kandang dan pakan untuk mencegah terjadinya kejadian
kasus yang sama.

7
Gambar 6. Penyuntikan Vitamin ADE pada sapi

8
BAB IV
Penutup
IV. 1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan, dapat disimpulkan bahwa sapi tersebut
mengalami hipofungsi ovarium. Hal ini terjadi akibat mutu nutrisi pakan yang rendah
mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak tidak memadai dengan nutrisi
yang dibutuhkan oleh penggunaan energi harian sehingga terjadi gangguan hormonal. Terapi
yang diberikan yaitu dengan memberikan vitamin A, D, dan E untuk menunjang kesehatan
ternak dan juga menjaga kesehatan reproduksi sapi. Vitamin A mencegah terjadinya
kelahiran pedet yang lemah dan retensio plasenta. Vitamin D membantu mencegah siklus
estrus yang tidak teratur. Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal.

IV.2 Saran
Setelah dilakukan pengamatan dengan beberap literatur bahwa perlu adanya
pemberian pakan yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh hewan sehingga ketika kebutuhan
tubuh dari hewan tersebut terpenuhi maka diharapkan kejadian hipofungsi ovarium tidak
terulang lagi. Serta perlu dilakukan penangan lebih lanjut terhadap terapi alternative seperti
pemasangan alat SIDR agar dapat mengkontrol system reproduksi pada sapi tersebut. Dan
peternak di sarankan agar kiranya lebih berperan aktif terhadap kondisi lingkungan atau area
kandang mulai dari pentilasi udara hingga kepadatan hewan dalam satu kandang.

9
Daftar Pustaka

Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti.Yogyakarta(ID):Makalah


Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia.
Adams, G.P., Jaiswal, R., Singh, J. and Malhi, P., 2008. Progress in understandingovarian
follicular dynamics in cattle. Theriogenol. 69:72–80.
Aksi Agraris Kanisius. 1995. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Kanisius,
Yogyakarta.
Animals”. 7thed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.
Anwar, Ruswana. 2005. Sintesis, Fungsi Dan Interpretasi Pemeriksaan Hormon Reproduksi.
Disampaikan pada pertemuan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi bagian
Obstetri dan Ginekologi RSHS/FKUP Bandung.
Arthur GH, dkk. 1989. Veterinary Reproduction and Obstetric – 6th Edition. Bailliere Tindal:
London.
Budiyanto A. 2012. Peningkatan tingkat kebuntingan dan kelahiran sapi di Indonesia dan
masalah-masalah yang terkait. seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan
Penanganannya pada Ruminansia Besar, 8 Maret 2012.
[BALIVET] Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Laporan Pelaksanaan Kegiatan :
Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Kementrian
Pertanian Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. No. 530/2014.
Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus
Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus Hipofungsi
Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor.[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
[DISNAKKESWAN] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah.
2014. Penanganan Hipofungsi Ovaria pada Ternak Sapi. [Internet]. [diakses 2 desember
2017]. Tersedia pada: http://disnakkeswan.jatengprov.go.id/berita-penanganan-
hipofungsi-ovaria
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-7. diterjemahkan oleh
Srigandono B dan Praseno K. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Press.

10
Gitonga PN. 2010. Pospartum reproductive performance of dairy cows in medium and large
scale farms in Kiambu and Nakuku Districts of Kenya. Thesis. University of Nairobi
Faculty of Veterinary Medicine.
Gitonga, C. W., Edwards, T., Karanja, P. N., Noor, A. M., Snow, R. W. & Brooker, S. J.
(2012) Plasmodium infection, anaemia and mosquito net use among school children
across different settings in Kenya. TropicalMedicine & International Health, 17(7):
858-870.
Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in Farm
Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US) : Lea and
Febiger.
Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju Kemandirian
Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia.
Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, 25 April..
http://networkunion.en.made-in-china.com/product/gbJnplijJyGI/China.
Https://ridhosofian.wordpress.com/2014/02/26/masalah-reproduksi-sapi-brahman
Lo´pez-Gatius F, Santolaria P, Ya´niz J, Rutllant J dan Lo´pez- Be´ jar M. 2001.
Lukman AS, Wulan CP dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong . Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Marawali A, Hine MT, Burhanuddin HLL, Belli. 2001. Dasar-dasar ilmu reproduksi ternak.
Jakarta(ID). Departemen pendidikan nasional direktorat pendidikan tinggi badan
kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia timur.
Opsomer, G., Y. T. Grohn, J. Hertl., M. Coryn., H. Deluyker., A. Kruif. 2000. Risk factors
for post partum ovarian dysfunction in high producing cows in Belgium: a field study.
Theriogenology. 53: 841–857. pada-ternak-sapi-.html.
Pemayun TGO. 2007. Kadar Prostaglandin F2α pada cairan vesikula seminalis dan produk
sel monolayer vesikula seminalis sapi bali. J Veteriner. 8(4):167-172.
Persistent ovarian follicles in dairy cows: a therapeutic approach.
Putro, P. P. 2006. Gangguan Reproduksi pada Sapi Brahman-Cross. Bagian Reproduksi dan
Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.
Relic, R. and Vukovic, D. 2013. Reproductive and welfare on dairy cows. Bulletin U A S V
M, Veterinary Medicine. 70 (2).

11
Ruiqing L dan Xinli G. 2009. Treating infertile milk cows by traditional chinese medicine. J
Agr Sci. 1(1): 82-85.
Salman A. 2013. Status reproduksi ternak sapi dan kerbau betina di Jawa Tengah. Di dalam:
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan: Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan
Hewan Tahun 2013. Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Stevenson, J.S., K.E. Thompont, W.L. Fobes, G.C.Lamb, D.M. Grieger and L.R. Corah.
2000. Synchronizing estrus and (or) ovulation in beef cows after combinations of
GnRH, norgestomet, and prostaglandin F2alpha with or withaout timed insemination. J.
Anim. Sci. 78, Issue 7: 1747 – 1758.
Suartini NK, Trilaksana IGHB,Pemanyun TGO. 2013. Kadar estrogen dan munculnya estrus
setelah pemberian Buserelin(Agonis GnRH) pada sapi Bali yang mengalami anestrus
postpartum akibat hipofungsi ovarium. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan.
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Syarifuddin, N. 2005. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak dan
Kesehatan Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir
Bidang Peternakan Di Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Fakultas Pertanian
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Theriogenology. 56: 649–659.
Toelihere MR. 1997. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung(ID): Angkasa.
ToelihereM.R.1997.AnimalreproductioninIndonesia:StateofArt.Abstractof4thInternationalMe
etingonBiotechnologyinAnimalReproduction.BogorIndonesia
Whittier, J. C. 2015. Reproductive Anatomy and Physiology of the Cow. University

12

Anda mungkin juga menyukai