Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

• Nama : An. F.N


• Usia : 2 Tahun 2 bulan
• Jenis kelamin : Perempuan
• Agama : Islam
• Status pernikahan :-
• Alamat : Cililitan besar, Jl. H. Hasbih Rt 008 Rw 03 Jakarta
• No. RM : 120304

Keluhan Utama:
Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RS Pusdikkes diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang sejak 30
menit SMRS. Kejang terjadi 1 kali sekitar kurang dari 5 menit.Menurut keluarga pasien, kejang
dialami pasien seluruh badan tampak pasien kelojotan, pasien tidak sadarkan diri saat kejang,
beberapa saat setelah kejang pasien menangis. Keluhan disertai demam sejak 1 hari SMRS,pola
demam terus menerus.Pasien sudah dibawa ke klinik dan diberikan obat penurun panas melalui
anus, demam turun kemudian naik kembali beberapa jam kemudian.

Keluhan batuk pilek disangkal, mual dan muntah disangkal, BAK dan BAK dalam batas
normal, tidak keluar cairan dari telinga, tidak mengejan maupun menangis saat BAK, dan
riwayat trauma kepala disangkal.Riwayat perdarahan spontan disangkal. Riwayat imunisasi
lengkap sesuai usia.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Kejang demam sederhana sekitar kurang lebih 1 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada

1
Tanda Vital:
• KU: Kompos mentis, pasien masih menangis, tampak sakit sedang.
• TD: -
• N: 105x/menit
• S: 38ºC
• P: 22x/menit

Status gizi:

BB : 12 kg
TB : 120 cm
Status gizi (TB/U) : Gizi Baik

Pemeriksaan Fisik:

• Kepala

• Bentuk : Normocephali
• Rambut&Kulit : Warna hitam, pertumbuhan dan distribusi rambut merata
• Mata : Kedudukan bola mata simetris
• Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen +/+, membran timpani
intak
• Hidung : Cavum nasi lapang, sekret -/-, septum deviasi (-), hipertrofi konka
-/-
• Mulut : mukosa bibir kering (+)
• Lidah : Letak ditengah, atrofi -, coated tongue –
• Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
• Faring : Arcus faring simetris, hiperemis (-)
• Leher : KGB tidak teraba membesar

• Thorak

• Dinding thorak : laterolateral> anteroposterior


• Paru

2
• Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
• Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
• Perkusi : sonor/sonor
• Auskultasi : bising nafas dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
• Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis teraba
• Perkusi : Batas jantung normal
• Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
• Inspeksi : Perut tampak datar
• Palpasi : Supel
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Bising usus (+), 8x/menit
• Anus dan rektum : Tidak ada kelainan
• Genitalia : Tidak ada kelainan
• Anggota gerak
• Atas : Deformitas (-), rom terbatas (-), edema (-)
• Bawah : Deformitas (-), rom terbatas (-), edema (-), nyeri tekan (-)
• Tulang belakang : Dalam batas normal
• Kulit : Warna kuning langsat, turgor kulit normal
• Lain – lain : Akral hangat, CRT < 2”

• Status Neurologis

• Meningeal sign : Kaku Kuduk (-), Brudzinski 1 dan 2 (-)


• Refleks fisiologis : (+) normal
• Refleks Patologis : (-)
• Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal

3
Diagnosis

• Kejang Demam Sederhana

Rencana / Planning :

• Rencana Terapi ;
• IVFD KAEN 3B 20 tpm
• Norages bolus 150 mg
• Rencana Diagnosis
• Pemeriksaan H2TL, LED, dan Widal
• Rencana Edukasi

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (21/04/2018)

Hematologi
Hemoglobin 11,5 g/dL
Hematokrit 35 %
Leukosit 11 x 103 µL
Trombosit 250.000 µL
LED 30

Immuno Serologi
S. Thypi O 1/160
S. Thypi AO 1/160
S. Thypi BO 1/160
S. Thypi CO 1/160
S. Typhi CH 1/320

4
BAB II

BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta:dr. Ita Masitoh Ardi, dr. Riris Rismawati, dr. Wahyuningtyastuti Widia P.D

Nama Wahana: RS. Pusdikkes Kodiklat TNI-AD

Topik: Kejang Demam Sederhana

Tanggal (kasus): 17 Oktober 2018

Nama Pasien: An. F.N No. RM: 06-51-32

Tanggal Presentasi: 14 November 2018 Nama Pendamping: dr. Satyaningtyas

Tempat Presentasi: RS. Pusdikkes Kodiklat TNI-AD

Objektif Presentasi:

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi: An. F.N Usia sekian dengan Kejang Demam Sederhana

□ Tujuan: Mengobati An. F.N dan melakukan terapi agar pasien menjadi lebih baik dan tidak
jatuh ke komplikasi yang lebih berat.

□Tinjauan
Bahan bahasan: □ Riset □ Kasus □ Audit
Pustaka

Cara □ Presentasi dan


□ Diskusi □ Email □ Pos
membahas: diskusi

5
Data Pasien: Nama: An. F.N Nomor Registrasi: 06-51-32

Nama Klinik: RS. Pusdikkes K


Telp: Terdaftar sejak:
odiklat TNI-AD

Data utama untuk bahan diskusi:

Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien datang ke IGD RS Pusdikkes diantar oleh ibunya dengan
keluhan kejang sejak 30 menit SMRS. Kejang terjadi 1 kali sekitar kurang dari 5 menit.Menurut
keluarga pasien, kejang dialami pasien seluruh badan tampak pasien kelojotan, pasien tidak
sadarkan diri saat kejang, beberapa saat setelah kejang pasien menangis. Keluhan disertai demam
sejak 1 hari SMRS,pola demam terus menerus.

1. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah diberikan obat penurun panas melalui anus di klinik
2. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Kejang Demam Sederhana
3. Riwayat Keluarga: -
4. Lain-lain: Pasien keadaan sadar compos mentis, nadi 105x/menit, pernapasan 22x/menit, suhu
38ºC. Pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal, pemeriksaan status neurologis
didapatkan dalam batas normal (tidak ada defisit neurologis). Hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis dan titer widal yang meningkat.
Daftar Pustaka:
Kejang Demam Sederhana

Hasil Pembelajaran:
1. Definisi dan Epidemiologi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Gejala Klinis
5. Tatalaksana dan Pencegahan

6
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:

Subjektif: Berdasarkan autoanamnesis, Pasien datang ke IGD RS Pusdikkes diantar oleh


ibunya dengan keluhan kejang sejak 30 menit SMRS. Kejang terjadi 1 kali sekitar kurang dari 5
menit.Menurut keluarga pasien, kejang dialami pasien seluruh badan tampak pasien kelojotan,
pasien tidak sadarkan diri saat kejang, beberapa saat setelah kejang pasien menangis. Keluhan
disertai demam sejak 1 hari SMRS,pola demam terus menerus.Pasien sudah dibawa ke klinik
dan diberikan obat penurun panas melalui anus, demam turun kemudian naik kembali beberapa
jam kemudian.

Objektif: Pasien dalam keadaan compos mentis, nadi 105x/menit, pernapasan 22x/menit, Suhu
38ºC. Pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal, pemeriksaan status neurologis
didapatkan dalam batas normal (tidak ada deficit neurologis)

Hasil laboratoriumHasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan titer widal yang
meningkat.

Assessment: Berdasarkan data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas serta hasil
laboratorium, dapat disimpulkan pasien mengalami kejang demam sederhana yang disebabkan
oleh infeksi tifoid, dimana adanya keluhan seperti kejang sebanyak 1 kali dan kurang dari 5
menit, sebelum dan saat kejang disertai demam dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
adanya deficit neurologis.Pada hasil pemeriksaan H2TL dan widal didapatkan leukositosis dan
titer widal yang meningkatsehingga yang dialami pasien saat ini dapat ditegakkan sebagai
Kejang Demam Sederhana et causa Demam Tifoid.

Plan :Rencana terapi pasien dirawat inap, kemudian diberikan Infus KAEN 3B 20 tpm karena
pasien sebelumnya demam dan kejang kemungkinan kekurangan cairan dan nutrisi.Dalam hal
terapi medikamentosa, pasien mendapatkan bolus norages 150 mg iv, kemudian cefotaxime
2x250mg/hari (i.v)selama 3-4 hari, sebagai antibiotik broad spectrumyang diharapkan dapat
mengatasi infeksi tifoid dan infeksi lainnya yang terjadi pada pasien yang ditandai oleh adanya
leukositosis dan titer widal yang meningkat. Dan diberikan parasetamol sirup 3x2 cth apabila
suhu pasien diatas 37,5 dan stesolid 10 mg apabila pasien kejang berulang.Pasien dikonsulkan
ke dokter spesialis anak agar dapat difollow up lebih lanjut,guna mengevaluasi keadaan pasien
agar mendapatkan terapi yang lebih tepat oleh dokter spesialis Anak.

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6bulan sampai 5
tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C, dengan metode pengukuran
suhu apa pun) yang tidak disebabkanoleh proses intrakranial.1,2
Dengan syarat:3,4,5
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolic lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang
demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang
sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan,
sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia
lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonates.

B. Epidemiologi dan Prevalensi


Kejang demam terjadi pada 2-4% dari populasi anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
(kebanyakan antara umur 6 dan 18 bulan). Di amerika antara 2-5% anak-anak mengalami
kejang demam pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Sekitar 70-75% merupakan kejang demam
sederhana.20-25% merupakan kejang demam kompleks.Dan sekitar sepertiga dari pasien ini
mengalami sedikitnya satu kali kekambuhan.Di internasional angka yang serupa juga
ditemukan pada Negara berkembang, walaupun mungkin di Negara Asia frekuensinya lebih
besar.Lebih dari 90% dari kejang demam adalah kejang umum, kurang dari 5 menit dan
terjadi awal pada penyakit yang menyebabkan demam.Penyakit pernafasan akut merupakan
hal terbesar yang dikaitkan dengan kejang demam.Gastroenteritis khususnya yang

8
disebabkan oleh shigella atau campylobacter dan infeksi traktus urinarius merupakan
penyebab yang lebih sedikit. 6-11
Kejang demam (sekitar 1-2,4%) jarang menjadi epilepsy atau kejang non febril pada
umur dewasa. kemungkinan untuk menjadi epilepsy lebih besar jika kejang demam
mempunyai manifestasi yang kompleks antara lain durasi lebih dari 15 menit, lebih dari satu
kali kejang dalam sehari. Faktor lain yang memperburuk yaitu onset awal dari kejang
(sebelum umur 1 tahun), riwayat keluarga epilepsy. Walaupun dengan adanya faktor tersebut,
resiko mengalami epilepsy setelah kejang demam itu masih sangat rendah yaitu sekitar 15-
20%.6
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai dibidang
neurologi anak dan terjadi pada 25% anak.Pada penelitian kohort prospektif yang besar, 2-
7% kejang demam mengalami kejang tanpa demam atau epilepsy di kemudian hari.Kejadian
kejang demam berkaitan dengan faktor genetik.Anak dengan kejang demam 25-40%
mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam.12,13

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor resiko kejang demam yang penting adalah demam. Seain itu, terdapat riwayat
kejang demam pada orangtua atau saudara kandung,, perkembangan terlambat, problem pada
masa neonates, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna
dan infeksi saluran kemih.Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
 Faktor Risiko Kejang Demam Pertama
Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat neonatus, perkembangan
terlambat, anak dalam perawatan khusus, kadar natrium serum yang rendah, dan
temperatur tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam Bila
ada 2 atau lebih faktor risiko, kemungkinan terjadinya kejang demam sekitar 30%.12,19
 Faktor Risiko Kejang Demam Berulang
Kemungkinan berulangnya kejang demam tergantung faktor risiko : adanya riwayat
kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat
kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor risiko ada,
kemungkinan 80 % terjadi kejang demam berulang. Jika hanya terdapat satu faktor

9
risiko hanya 10 – 20 % kemungkinan terjadinya kejang demam berulang.5-18
 Faktor Risiko Menyadi Epilepsi
Risiko epilepsi lebih tinggi dilaporkan pada anak – anak dengan kelainan
perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua
atau saudara kandung dengan epelepsi, dan kejang demam kompleks. Anak yang tanpa
faktor risiko, kemungkinan terjadinya epilepsi sekitar 2% , bila hanya satu faktor risiko
3% akan menjadi epilepsy, dan kejadian epilepsi sekitar 13 % jika terdapat 2 atau 3
faktor resiko. 14-19

D. Patofisiologi Kejang Demam


Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ diperlukan suatu energy
yang didapat dari metabolism. Bahan baku untuk metabolism otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantara fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.20
Kejang demam terjadi pada anak pada saat perkembangan ketika ambang kejangnya
rendah. Untuk bisa mengerti bagaimana panas dan demam bisa memicu kejang, dan
bagaimana anak mengalami kondisi ini,dan bagaimana 70% dari semua kasus epilepsy
dimulai pada masa anak-anak, seseorang harus mengerti bahwa setiap otak mempunyai
keunikan ambang batas. Sebagai contoh, setiap orang akan mengalami kejang jika
demamnya cukup tinggi. Sekali ambang ini dicapai gangguan elektrikal dalam otak akan
mempengaruhi fungsi motorik dan mental.21
Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukan luar adalah ionik. Dala keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya.Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel neuron, maka
terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membrane sel neuron.Untuk menjaga
keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energy dan bantuan enzim Na-K-ATPase
yang terdapat pada permukaan sel.20

10
Keseimbangan potensial membrane ini dapat dirubah oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada keadaan demam kenaikan
suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolism badal 10%-15% dan kebutuhan oksigen
akan meningkat 20%. Bila terjadi kenaikan suhu akan terjadi perubahan keseimbangan
membrane sel, akan terjadi difusi dari ion Kalium dan Natrium sehingga terjadi lepas muatan
listrik. Lepas muatan sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
membrane sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan kejang yang terjadi dari tinggi rendahnya
ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38°C sedangkan pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40°C atau lebih.20

E. Klasifikasi Kejang Demam


1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentukkejang umum
(tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.2,5,22
Keterangan:
a. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejangdemam
b. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5menit dan
berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:2,23
1. Kejang lama (>15 menit)
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Keterangan:

11
1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi
pada 8% kejang demam.24
2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial.25
3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang
demam.26

F. Manifestasi Klinis
Menurut J. Gordon Millichap dan Jerry A. Collifer, kejang demam dibagi menjadi dua
yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks8,27
Kejang demam sederhana biasanya dikaitkan dengan :
- kejang biasanya bersifat umum, tonik klonik dan berlangsung kurang dari 15 menit.
- Frekuensi 1 kali dalam 24 jam
Pada kejang demam kompleks biasanya:
- Kejang bersifat fokal atau parsial
- Lama kejang lebih dari 15 menit.
- Frekuensi kejang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana dikatakan memiliki faktor risiko yang kecil untuk menjadi
epilepsi di kemudian hari. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko untuk menjadi epilepsi
antara lain kejang yang atipikal, riwayat keluarga epilepsi awal kejang demam kurang dari
umur 6 bulan, dan adanya kelainan neurologis. Insiden untuk menjadi epilepsi ini sekitar 9%
ketika terdapat beberapa faktor risiko dan hanya 1% pada anak tanpa faktor risiko.28

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam.
Perlu ditanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang menyaksikan anaknya semasa
kejang yang berupa: 29

12
1. Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan setelah
kejang)
2. Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
selepas kejadian kejang
3. Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA), dan lain-lain)
4. Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami
kejang dengan demam atau tanpa demam, riwayat perkembangan (gangguan
neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan
usianya, riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi
dalam keluarga.
5. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare, keluhan lain yang
menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas yang menyebabkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak, apakah terdapat
penurunan kesadaran. Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terutamanya
suhu tubuh, apakah tedapat demam, yang dapat dilakukan di beberapa tempat seperti
pada axilla, rektal dan telinga. Pada anak dengan kejang demam penting untuk
melakukan pemeriksaan neurologis, antara lain:30
1. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernique, Laseque, Brudzinski I dan
Brudzinski II.
2. Pemeriksaan nervus kranialis.
3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil
edema.
4. Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK dan lain lain.
5. Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek patologis dan fisiologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan

13
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah (level of evidence 2, derajatrekomendasi B).2
b. Pungsi lumbal2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,saat ini pemeriksaan
pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis danpemeriksaan
klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis.
c. Pemeriksaan laboratorium2
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah (level of evidence 2, derajatrekomendasi B).
d. Pungsi lumbal2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,saat ini pemeriksaan
pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin padaanak berusia <12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengankeadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis.

14
e. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila
bangkitan bersifat fokal.
Keterangan:
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya focus kejang di
otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
f. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukanpada
anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajatrekomendasi B).
Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,seperti kelainan neurologis
fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atauparesis nervus kranialis.29,31

H. Diagnosis Banding
1. Kejang demam kompleks
Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau
parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari
15 menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah
kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali, dan
di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan diri.32
2. Epilepsi 28,33
a. Definisi
Merupakan kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya
bangkitan epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan manifestasi klinis lepasnya
muatan listrik yang berlebihan dan hipersinkrin dari sel neuron di otak.
Sindrom epilepsy adalah epilepsy yang ditandai oleh sekumpulan gejala
dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis serangan, etiologi,
anatomi, faktor pencetus, usia onset, berat penyakit, kronisitas, dan kadang
prognosis.
b. Klasifikasi
 Klasifikasi Epilepsi Internasional
1. Epilepsy parsial

15
2. Epilepsy umum
3. Tidak terklasifikasi
 Klasifikasi Epilepsi dan Sindrom Epilepsi (ILAE,1989)
1. Epilepsi yang berkaitan dengan lokalisasi (fokal, parsial)
2. Epilepsi umum
3. Epilepsi umum dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifat fokal
atau umum
4. Sindrom spesial
c. Diagnosis Kerja
Pada dasarnya epilepsi merupakan diagnosis klinis, berdasarkan
anamnesis ditunjang dengan gambaran EEG. Skema diagnostic epilepsy terbagi 5
aksis :
 Aksis 1 : Iktal fenomeologi (bangkitan berdasarkan iktal terminology)
 Aksis 2 : Tipe bangkitan (berdasarkan tipe, lokalisasi
 Aksis 3 : Sindrom (berdasarkan daftar sindrom epilepsy)
 Aksis 4 : Etiologi
 Aksis 5 : Gangguan fungsi
d. Pemeriksaan penunjang
 EEG : bertujuan untuk menentukan klasifikasi sindrom epilepsy di luar
bangkitan
 MRI Kepala : bertujuan untuk mengetahui kelainan struktur otak

3. Status Epileptikus28,33
a. Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang terjadi terus-menerus ≥ 30
menit berupa bangkitan fokal/umum, konvulsi/nonkonvulsi atau dalam 30 menit
terjadi beberapa kali bangkitan tanpa adanya pemulihan kesadaran.
Impending SE adalah keadaan bangkitan akut ditandai kejang umum terus
menerus selama 5 menit atau kejang nonkonvulsi (klinis/EEG) atau kejang fokal
>15 menit atau tidak ada pemulihan kesadaran di antara 2 bangkitan
b. Epidemiologi

16
Sering ditemukan pada anak usia ≤ 3 tahun. Keadaan yang mendasari antara
lain:
 Akut : ensefalopati, ensefalitis, meningitis, perdarahan intracranial
 Kronis : malformasi otak, sindrom neurokutan, pasca-trauma kepala, epilepsy

I. Tatalaksanan dan Pencegahan


1. Saat Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien dating dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena.
Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.34
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurangdari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg.35,36,37,38
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena.
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.39,40
2.Saat Demam
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).Meskipun
demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,3-4 kali sehari.41,42

17
b. Antikonvulsan
 Pemberian Obat Antikonvulsan Intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu
faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.43,44
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.45
 Pemberian Obat Antikonvulsan Rumatan
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak di
inginkan,maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalamjangka pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi D).
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.2,43
Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.

18
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi
untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi anti konvulsan rumat.
 Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumatan
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1,
derajatrekomendasi B).46,47
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.2,45
 Lama Pengobatan Rumatan
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumatuntuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan
pada saat anak tidak sedang demam.39
3. Edukasi pada Orang Tua
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.2
 Beberapa Hal yang Harus Dikerjakan Bila Anak Kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

19
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit ataulebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar,atau terdapat
kelumpuhan.39,44

J. Komplikasi dan Prognosis


1. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.2,48,49,50
2. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

20
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.39,51,52
3. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai
4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.25,48
4. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.53,54

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc Task Force of LICE
Guidelines. Epilepsia.2009;50(1):2-6.
2. American Academy of Pediatrics.Subcommittee on Febrile Seizures.Pediatr.
2011;127(2):389-94.
3. Nelson KB, Ellenberg JH. Pediatr.1978;61(5):720-7.
4. National Institute of Health. Febrile seizure: Consensus development conference
statement summary. Pediatr. 1980;66:1009-12.
5. ILAE Guidelines. Commision on Epidemiology and Prognosis, International League
Against Epilepsy. Guidelines for Epidemiologic Studies on Epilepsy.Epilepsia.
1993:34:592-6.
6. Moe P.G., Seay A.R. Neurologic & Muscular Disorder. In : Current Pediatric Diagnosis
& Treatment. Editor : Hay W. W et al. eds 16th. 2003. USA. Lange Medical
Books/McGrow-Hill. P 717-45.
7. Gascon G.G., Mikati M. A. Seizures and Epilepsy. In: Textbook of Clinical Pediatrics.
Editor: Elzouki A V, Hanfi H A, Nazer H. 2001. Philadephia. William & Wilkins. P
1414-24.
8. Zempsky W.T. Pediatrics, Febril Zeisures. www.emedicine.com/emerg/topic376.htm.
last updated: October 14, 2004.
9. Seamens C. M., Slovis C.M. Seizures: Classification and Diagnosis. www.allergy-
consult.com/secure/textbook/11_seizures.htm
10. Baumann R. Febrile Seizures. www.emedicine.com/neuro/topic134.htm. Last updated:
February 12, 2005.
11. Camfield C.S., Camfield P.R. Febrile Seizures. www.ilae-
epilepsy.org/ctf/febrile_convulsions.html. Last updated: December 1, 2002.
12. Widodo DP. Konsensus tatalaksana kejang demam.Dalam Gunardi H, Tehuteru ES,
Kurniati N, Advani N, Setyanto Db, Wulandari HF, et al, Penyunting. Kumpulan tips
pediatri. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 193-203.

22
13. Mangunatmadja I. Kejang demam, apakah menakutkan?. Dalam Gunardi H, Tehuteru
ES, Kurniati N, Advani N, Setyanto Db, Wulandari HF, et al, Penyunting. Kumpulan
tips pediatri. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 191-2
14. Vining EPG, Freeman JM. Seizure Which Are Not Epilepsi. Pediatric Annual 1985; 14 :
711 -16
15. Mangunatmadja I. Kejang demam, apakah menakutkan?. Dalam Gunardi H, Tehuteru
ES, Kurniati N, Advani N, Setyanto Db, Wulandari HF, et al, Penyunting. Kumpulan
tips pediatri. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 191-2.
16. Verity Cm, Golding J. Risk of epilepsy after febrile convulsions: a national cohort study.
BMJ 1991; 303: 1373-6.
17. Berg AT. Febrile seizures and epilepsy: the contributions of epidemiology. Paedriatr
Perinat Epidemiol 1992; 6: 145-52.
18. Blumstein MD, Friedman MJ. Childhood seizurers. Emerg Med Clin N Am 2007; 25:
1061-86.
19. Camfield RP and Camfield SC. Management and treatment of febrile seizure. Curr Prob
Pediatr 1997; 27: 6-13.
20. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. 2002.
Jakarta. Percetakan Infomedika. Hal. 847-55
21. Dannenberg B.W. Seizure Disorders. www.thrombosis-
consult.com/secure/textbookarticles/textbook/11_seizures.htm.
22. Hesdorffer DC, Benn EK, Bagiella E, Nordli D, Pellock J, Hinton V, dkk. Ann Neurol.
2011;70(1):93-100.
23. Berg AT, Shinnar S. Epilepsia. 1996;37(2):126-33.
24. Nelson KB, Ellenberg JH. Pediatr. 1978;61(5):720-7.
25. Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. N Eng J of Med. 1987;316:493-8.
26. Shinnar S. Febrile seizure. Dalam: Swaiman KS, Ashwal S, penyunting Pediatric
Neurology Principles and Practice.Elsevier Saunders 2012.p.790-8.
27. Kari I.K. Kejang Demam. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Sanglah, Denpasar. Editor: Sudaryat, Soetjiningsih. Cetakan II. 2000. Lab/SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah. Hal. 198-204.

23
28. Johnston M.V. Seizures in Childhood. In: Nelson Textbook of Pediatrics. Editor:
Behrman, Kliegman, Jenson. Eds 17th.2004. Pensylvania. Saunder. p 1993-2011.
29. Wong V, Rosman NP. HK J Pediatri 2002;7:143-51
30. Saharso, D. Et al. Kejang Demam dalam : Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Indonesia (IDAI). 2009: 150-153
31. AAP, Subcommitee on Febrile Seizure. Pediatr. 2011;127:389-94.
32. Arief R.F. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK-232: Vol. 42 No.9. 2015
33. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke-5, 2014
34. Appleton R, Macleod S, Martland T. Cochrane Database Syst Rev. 2008.
35. Knudsen FU. Arch Dis Child. 1979;54:855-7.
36. Dieckman J. An emerg Med 1994;23:216-24.
37. Knudsen FU. Practical management approaches to simple and complex febrile
seizures.Dalam: Baram TZ, Shinnar S, penyunting. San Diego: Academic Press
2002.h.120
38. Bassan H, Barzilay M, Shinnar S, Shorer Z, Matoth I, Gross-Tsur V. Epilepsia. 2013
Jun;54(6):1092-8. Epub 2013 Apr 3
39. Knudsen FU. Brain and Dev.1996;18(6):438-49.
40. Fukuyama Y, Seki T, Ohtsuka C, Miura H, Hara M. Brain Dev. 1996;18:479-84.
41. Rosenbloom E, Finkelstein Y, Adams-Webber T, Kozer E.Eur J PaediatrNeurol.
2013;17:585-8.
42. Offringa M, Newton R. Cochrane Database Syst Rev. 2012 Apr
18;4:CD003031.doi:10.1002/14651858.CD003031.pub2.
43. Sugai K. Brain Dev. 2010;32:64-70.
44. Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc Task Force of
LICEGuidelines. Epilepsia.2009;50(1):2-6.
45. Knudsen FU.Epilepsia. 2000;41(1):2-9.
46. Mamelle C. Neuropediatrics. 1984;15:37-42.
47. Farwell JR. N Engl J Med. 1990;322:364-9.
48. Ellenberg JH, Nelson KB. Arch Neurol. 1978;35:17-21.
49. Maytal, Shinnar S. Pediatr. 1990;86:611-7.

24
50. Martinos MM, Yoong M, Patil S, Chin RF, Neville BG, Scott RC, dkk. Brain. 2012
Oct;135(Pt 10):3153-64. Epub 2012 Sep 3.
51. Berg AT, Shinnar S, Darefsky AS, Holford TR, Shapiro ED, Salomon ME, dkk. Arch
Pediatr Adolesc Med. 1997;151:371-8.
52. Pavlidou E, Tzitiridou M, Kontopoulos E, Panteliadis CP. Brain Dev. 2008;30:7-13.
53. National Institute of Health. Febrile seizure: Consensus development conference
statement summary. Pediatr. 1980;66:1009-12.
54. Vestergaard M, Pedersen MG, Ostergaard JR, Pedersen CB, Olsen J, Christensen J.
Lancet. 2008;372(9637):457-63.

25

Anda mungkin juga menyukai