Anda di halaman 1dari 29

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH PANCASILA


BAB VI
REALISASI PANCASILA

Penulis : NUR ANISA PRATIWI


NIM : 1901110643
Dosen Pembimbing: Dra. ERNAWATY, M.Si

ILMU KOMUNIKASI KELAS B


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil‘alamin, Puji syukur kehadirat Allah


SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini pada mata kuliah Pancasila tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Makalah Individu pada mata kuliah Pancasila yang mana ditujukan kepada pembaca terutama
kepada Dosen Pembimbing yakni Ibu Dra. ERNAWATY, M.Si. tentang Realisasi Pancasila.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari berbagai hambatan. Diantaranya adalah
sulitnya mencari sumber/referensi dan keterbatasan kesempatan untuk berbicara atau bertanya
pertanyaan yang saya kurang pahami dengan Dosen ketika kelas sedang berlangsung. Namun hal
tersebut dapat diatasi dengan pembelajaran yang lebih baik dan menggunakan kesempatan
dengan baik dalam mengamati pembicaraan dengan Dosen secara cermat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini yaitu:
1. Allah SWT yang memberikan kesehatan serta kesempatan untuk membuat makalah ini.
2. Orangtua yang sangat membantu pemberian motivasi serta nasehat yang bermanfaat dalam
proses pembuatan makalah tulis ini.
3. Dosen Pancasila yakni Ibu Dra. ERNAWATY, M.Si yang telah memberikan saya tugas
individu berupa makalah yang penulis sajikan dengan bentuk makalah sederhana.
4. Teman-teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
5. Semua pihak yang telah membantu.
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persoalan yang bersangkutan
tentang realisasi pancasila.

25 Oktober 2019

Penulis
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding
fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi
nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan,
dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itusering pula
terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di
antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan
ini dan bukan itu.

Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak
berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham
teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi
nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi
nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri
secara seimbang tanpa pernahberhenti tepat di tengah. Pada saat berdirinya negara Republik
Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideology Pancasila dan UUD 1945 dalam
mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak November 1945 sampai sebelum
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan
mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti menggerakan
pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme. Deviasi ini
dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum
yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri. Kebijakan ini sangat
menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri.
Hal ini tampakpada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro
ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang.

Pancasila sebagai Weltanschauung berarti nilai-nilai pancasila merupakan etika


kehidupan bersama bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut atau praksis kehidupan di dalam
masyarakat bangsa Indonesia diatur oleh nilai-nilai pencasila. Dengan kata lain setiap
anggota masyarakat Indonesia mewujudkan di dalam kehidupan sehati-harinya nilai-nlai
pancasila seperti di dalam kegiatan berkeTuhanan yang Maha Esa yang meminta toleransi
serta menghargai sesama yang berbeda keyakinan agamanya. Dia mempunyai rasa
nasionalisme yang kuat untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang Indonesia yang
menjunjung tinggi kedaulatan bangsa Indonesia dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa yang
lain. Selanjutnya dia mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi dalam menghargai akan nilai-
nilai yang dimilikinya tetangganya sesamanya dan umat manusia di seluruh dunia. Demikian
pula dia mempunyai sikap yang demokratis yang tidak memutlakkan pendapatnya sendiri
tetapi mencari jalan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan akhirnya dia adalah
seorang yang mempunyai rasa keadilan sosial yang menghargai akan nilai-nilai hidup
manusia yang setara. Nilai-nilai yang ada dalam adat-istiadat masyarakat sejak zaman Kutai
sampai Majapahit semakin mengkristal pada era sejarah perjuangan bangsa yang ditandai
dengan perumusan Pancasila sebagai dasar negara oleh para pendiri (founding fathers).

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai filsafat bangsa, sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia dan fungsi lainnya, memiliki realisasi yang diambil dari nilai-
nilai pancasila itu sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan secara
nyata bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilai-nilai
agama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri sebelum membentuk negara.

Sejalan dengan latar belakang tersebut diatas dalam era yang globalisasi dimana tatanan
kehidupan yang semakin liberal, arus informasi yang demikian deras menyebabkan semakin
memudarnya fungsi dan peranan Pancasila baik sebagai pandangan hidup bangsa , maupun
sebagai norma dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia perlu adanya
tindakan bagaimana mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila serta mengimplementasikan
nilainilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Oleh karena itu, realisasi pancasila sangat penting karena pancasila sebagai dasar filsafat,
pandangan hidup pada hakikatnya merupakan suatu sistem nilai, yang pada giliranya untuk
dijabarkan, direalisasikan serta diamalkan dalam kehidupan secara konkrit dalam konteks
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas dan disusun oleh penulis dalam makalah ini, merumuskan tentang
masalah Realisasi Pancasila. Hal ini mencakup tentang berikut:
1. Realisasi pancasila yang subjektif maupun objektif,
2. Internalisasi nilai-nilai pancasila,
3. Aktualisasi nilai-nilai pancasila
4. Implementasi nilai-nilai pancasila
5. Realisasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas,
pembuatan makalah ini bertujuan:
1. Memenuhi tugas dari Dosen/pengajar,
2. Menambah wawasan tentang realisasi pancasila yang subjektif maupun objektif,
3. Mengetahui tentang internalisasi nilai-nilai pancasila,
4. Mengetahui aktualisasi nilai-nilai pancasila
5. Mengetahui implementasi nilai-nilai pancasila
6. Mengetahui realisasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

II

PEMBAHASAN

2.1 Realisasi Pancasila yang Objektif


Realisasi pengalaman pancasila secara objektif yaitu realisasi serta implementasi nilai-
nilai pancasila dalam segala aspek penyelenggaraan negara, terutama dalam kaitannya
dengan penjabaran nilai-nilai pancasila dalam praktis penyelenggaraan negara dan peraturan
perundang-undang di indonesia.

Implementasi penjabaran pancasila yang bersifat objektif adalah merupakan perwujudan


nilai-nilai pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
realisasi kongkritnya merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum)
indonesia. Implementasi Pancasila yang objektif ini berkaitan dengan norma-norma hukum
dan moral, secara lebih luas dengan norma-norma kenegaraan.

Realisasi dan pengamalan Pancasila secara objektif berkaitan dengan pemenuhan wajib
hukum yang memiliki norma-norma yang tertuang dalam suatu sistem hukum positif. Hal ini
di maksudkan agar memiliki daya imperatif secara yuridis. Walaupun aktualisasi objektif
tertuang dalam suatu system peraturan perundang-undangan namun dalam
implementasi pelaksanaan Pancasila secara optimal justru realisasi subjektif yang memiliki
kekuatan daya imperative moral merupakan suatu prasyarat bagi keberhasilan pelaksanaan
Pancasila secara objektif.

Dengan kata lain, aktualisasi subjektif lebih menentukan keberhasilan aktualisasi


Pancasila yang objektif, dan tidak sebaliknya. Dapat juga dikatakan bahwa aktualisasi secara
objektif itu akan berhasil secara optimal bilamana didukung oleh aktualisasi atau pelaksaan
Pancasila secara subjektif

2.2 Penjabaran Pancasila yang Objektif

Pengertian penjabaran Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi
dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang Legislatif, Eksekutif maupun
Yudikatif dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan negara Indonesia. Hal itu dapat dirinci sebagai berikut:

1. Tafsir Undang-Undang Dasar 1945, harus dilihat dari sudut dasar filsafat negara
Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV.
2. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat
dasar-dasar pokok pikiran yang tercantum dalam dasar filsafat negara Indonesia.
3. Tanpa mengurangi sifat-sifat undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat,
interpretasi pelaksanaannya harus mengingat unsur-unsur yang terkandung dalam
filsafat negara.
4. Pelaksanaan undang-undang harus lengkap dan menyeluruh, meliputi seluruh
perundang-undangan di bawah undang-undang dan keputusan-keputusan administrasi
dari semua tingkat penguasa negara.
5. Pokok kaidah negara serta pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 dan UUD 1945 juga didasarkan atas asas kerohanian Pancasila. Bahkan
yang terlebih penting lagi adalah dalam realisasi pelaksanaan kongkritnya yaitu dalam
setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan antara lain:
a. Bentuk dan kedaulatan dalam negara.
b. Hukum, perundang-undangan dan peradilan
c. Sistem Demokrasi
d. Pemerintahan dan Pusat sampai daerah
e. Politik dalam dan luar negeri
f. Keselamatan, keamanan dan pertahanan
g. Kesejahteraan
h. Kebudayaan
i. Pendidikan dan lain sebagainya (Notonagoro, 1971)
j. Tujuan negara
k. Reformasi dan segala pelaksanaannya
l. Pembangunan Nasional dan lain pelaksanaan kenegaraan

Negara pada hakikatnya adalah merupakan lembaga kemanusiaan, lembaga


kemasyarakatan yang merupakan suatu organisasi. makna hakikat serta arah dan tujuan
pembangunan nasional adalah berdasarkan pancasila yang bersumber pada hakikat kodrat
manusia ‘monopluralis’ yang merupakan esensi dari Pancasila. Pembangunan dalam suatu
negara sangat penting karena negara sebagai lembaga kemasyarakatan maka negara pada
hakikatnya bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan dari
seluruh warganya.
2.3 Realisasi Pancasila yang Subjektif

Realisasi Pancasila secara subjektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam pribadi


perseorangan, baik warga negara (masyarakat), individu, penduduk, penguasa negara ataupun
pemimpin rakyat maupun orang Indonesia. Pelaksanaan Pancasila yang subjektif ini justru
lebih penting karena pelaksanaan Pancasila yang subjektif merupakan syarat pelaksanaan
pancasila yang objektif (Notonegoro,1974;44). Dengan demikian pelaksanaan pancasila yang
subjektif ini berkaitan dengan kesadaran, ketaatan, serta kesiapan individu untuk
mengamalkan Pancasila. Dalam pengertian inilah akan terwujud jika suatu keseimbangan
kerohanian yang mewujudkan suatu bentuk kehidupan dimana kesadaran wajib hukum telah
berpadu menjadi kesadaran wajib moral. Sehingga dengan demikian suatu perbuatan yang
tidak memenuhi wajib melaksanakan Pancasila.

Pancasila secara subjektif dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan,


baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan,
kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila. Namun pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya mengerti
mengenai Pancasila sebagai suatu pegangan tapi harus mempunyai sikap mental, pola
berfikir dan tingkah laku maupun amal perbuatan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila secara
bulat dan murni.

Dalam pengamalan Pancasila yang subjektif ini bilamana nilai-nilai Pancasila telah
dipahami, diresapi, dan dihayati oleh seseorang maka orang itu telah memiliki moral
pancasila dan jika berlangsung terus menerus sehingga melekat dalam hati maka disebut
dengan kepribadian Pancasila. Pengertian kepribadian bangsa Indonseia dapat dikembalikan
kepada hakikat manusia.Telah diketahui bahwa segala sesuatu itu memiliki tiga macam
hakikat yaitu :

1. Hakikat abstrak, yaitu terdiri atas unsur-unsur yang bersama-sama menjadikan hal
itu ada, dan menyebabkan sesuatu yang sama jenis menjadi berbeda dengan jenis lain
sehingga hakikat ini disebut dengan hakikat universal. Contoh: jenis manusia, hewan,
tumbuhan.
2. Hakikat pribadi, yaitu ciri khusus yang melekat sehingga membedakan dengan
sesuatu yang lain. Bagi bangsa Indonesia hakikat pribadi ini disebut dengan
kepribadian dan hakikat pribadi ini merupakan penjelmaan dari hakikat abstrak.
3. Hakikat kongkrit, yaitu hakikat segala sesuatu dalam menyatakan kongkrit, dan
hakikat ini merupakan penjelmaan dari hakikat abstrak dan hakikat kongkrit.Oleh
karena itu bagi bangsa Indonsesia, pengertian kepribadian Indonesia ini memiliki
tingkatan yaitu :
a. Kepribadian yang berupa sifat-sifat hakikat kemanusiaan “monupluralis”, jadi
sifat-sifat kemanusiaan yang abstrak umum universal. Dalam pengertian ini
disebut kepribadian kemanusiaan, karena termasuk jenis manusia, dan
memiliki sifat kemanusiaan.
b. Kepribadian yang mengandung sifat kemanusiaan, yang telah terjelma dalam
sifat khas kepribadian bangsa Indonseia (pancasila) dan ditambah dengan
sifat-sifat tetap yang terdapat pada bangsa Indonesia, ciri khas, karakter,
kebudayaan dan lain sebagainnya.
c. Kepribadian kemanusiaan, kepribadian Indonesia dalam realisasi kongkritnya,
setiap orang, suku bangsa, memiliki sifat yang tidak tetap, dinamis tergantung
pada keadaan manusia (Indonesia) perorangan secara kongkrit.
(Notonegoro,1971;169).

Aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah pelaksanaan pada setiap pribadi


perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa setiap
orang Indonesia. Dalam pengertian inilah pelaksanaan pancasila yang subjektif yang
mewujudkan suatu bentuk kehidupan dimana kesadaran wajib hukum, telah terpadu menjadi
kesadaran wajib moral. Dalam hal ini nilai yang berkaitan pada diri seseorang adalah sikap
dan tingkah laku dalam realisasi Pancasila secara subjektif yang disebut moral Pancasila Jadi
Aktualisasi Pancasila yang bersifat subjektif ini lebih berkaitan dengan kondisi objektif, yaitu
berkaitan dengan norma-norma moral.

Dalam pengamalan Pancasila perlu diusahakan adanya suatu kondisi individu akan
adanya kesadaran untuk merealisasikan Pancasila. Kesadaran adalah hasil perbuatan akal,
yaitu pengalaman tentang keadaan-keadaan yang ada pada diri manusia sendiri. Jadi
keadaan-keadaan inilah yang menjadikan objek dari kesadaran dan berupa segala sesuatu
yang dapat menjadi sumber pengalaman manusia. Aktualisasi serta pengalaman itu bersifat
jasmaniah maupun rohaniah, dari kehendak manusia.
Berdasarkan uraian diatas maka pelaksanaan Pancasila secara subjektif meliputi
pelaksanaan, pandangan hidup, yang mana telah dirumuskan dalam P4 (Pedoman
Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Lebih lanjut, pelaksanaan Pancasila secara subjektif itu akan lebih akan berhasil jika
dilakukan secara sistematik dan konsisten dalam usaha untuk membudayakan Pancasila.
Penerapan Panasila secara subjektif meliputi segala bidang kehidupan antara lain bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, yang juga dilaksanakan dalam lingkungan hidup pribadi, hidup kelurga, dan
hidup kemasyarakatan.

2.4 Internalisasi Nilai-nilai Pancasila

Realisasi nilai-nilai pancasila dasar filsafat negara Indonesia, perlu secara berangsur-
angsur dengan jalan pendidikan baik disekolah, masyarakat maupun di dalam keluarga
sehingga diperoleh hal-hal sebagai berikut:

1. Pengetahuan, yaitu suatu pengetahuan yang benar tentang pancasila,baik aspek nilai,
norma, maupun aspek praksisnya. Hal ini harus disesuaikan dengan tingkat
pengetahuan dankemampuan individu. Tanpa pendidikan yang cukup maka dapat
dipastikan bahwa pemahaman tentang ideology bangsa dan dasar filsafat Negara
hanya dalam tingkat-tingkat yang sangat pragmatis, dalam hal ini sangat berbahaya
terhadap ketahanan ideology penerus bangsa.
2. Kesadaran, yaitu selalu mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri
sendiri.
3. Ketaatan, yaitu selalu dalam keadaan kesediaan untuk memenuhi wajib lahir dan
batin. Lahir berasal dari luar misalnya pemerintah, adapun wajib batin dari diri
sendiri.
4. Kemampuan kehendak, yaitu yang cukup kuat sebagai pendorong untuk melakukan
perbuatan,berdasar nilai-nilai pancasila.
5. Watak dan hati nurani, yaitu agar orang selalu mawas diri dan dapat menilai diri
sendiri dengan baik.
Dengan demikian akan memiliki suatu ketahanan ideology yang berdasarkan keyakinan
atas kebenaran pancasila, sehingga dirinya akan merupakan sumber kemampuan untuk
memelihara, mengembangkan, mengamalkan, mewariskan, merealisasikan pancasila dalam
segala aspek kehidupan.

Pada dasarnya ada dua bentuk realisasinya yaitu bersifat statis dan yang bersifat dinamis.
Statis dalam pengertian intinya atau esensinya (yaitu nilai-nilai yang bersifat rokhaniah dan
universal). Bersifat dinamis dalam arti bahwa aktualisasinya senantiasa bersifat inovatif,
sesuai dengan dinamika masyarakat, perubahan, serta konteks lingkungannya.

Strategi dan metode proses internalisasi harus diikuti dengan strategi serta metode yang
relevan dan memadai. Oleh karena itu dalam proses internalisasi dan aktualisasi harus
diterapkan strategi yang relevan serta metode yang efektif.

2.5 Proses Pembentukan Kepribadian Pancasila

Bilamana kita rinci pemahaman dan aktualisasi Pancasila sampai pada tingkat mentalitas,
kepribadian dan ketahanan ideologis adalah sebagai berikut :

1. Proses penghayatan diawali dengan memiliki pengetahuan yang lengkap. Kemudian


diserap dan dihayati.
2. Kemudian ditingkatkan ke dalam hati sampai adanya suatu ketaatan, yaitu suatu
kesediaan yang harus senantiasa ada untuk merealisasikan Pancasila.
3. Kemudian disusul dengan adanya kemampuan dan kebiasaan untuk melakukan
perbuatan mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kemudian ditingkatkan menjadi mentalitas, yaitu selalu terselenggaranya kesatuan
lahir batin, kesatuan akal, rasa, kehendak sikap dan perbuatan.

2.6 Sosialisasi dan Pembudayaan Pancasila

1. Epistemologi Realisasi Nilai-nilai Pancasila

Jika kita ingin merealisasikan atau mengamalkan Pancasila harus dipahami terlebih
dahulu bahwa Pancasila itu merupakan suatu sitem nilai, di mana kelima sila merupakan
suatu kesatuan yang sistematik. Oleh karena itu setiap sila tidak dapat dipisahkan dengan sila
lainnya.

Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara, sehingga konsekuensinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam hukum dasar negara sebagai norma dasar
dalam penyelenggaraan negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem Epistemologi dalam realisasi Pancasila adalah bahwa Pancasila sebagai suatu
sitem nilai, kemudian dijabarkan dalam norma dasar negara, yaitu UUD 1945. Pancasila juga
merupakan suatu filsafat bangsa Indonesia maka Pancasila diistilahkan sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia.

2. Proses Sosialisasi dan Pembudayaan Pancasila

Dalam suatu sistem masyarakat, suatu fenomena sosial budaya akan terkandung di
dalamnya suatu nilai keagamaan, nilai kemanusiaan, dan nilai kebersamaan. Wujud budaya
kongkret lainnya adalah bentuk-bentuk budaya fisik yang dihasilkan manusia, wujud budaya
ini juga sering disebut sebagai benda-benda budaya. Dalam hubungan ini, manusia senantiasa
membutuhkan sarana fisik untuk mencapai tujuannya. Benda-benda budaya tersebut baik
berupa sarana atau alat-alat dalam kehidupan masyarakat, maupun sebagai hasil ekspresi dan
kreasi manusia.

Secara sistematik, wujud sistem sosial-kebudayaan dalam pembudayaan Pancasila dapat


dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1) Sistem nilai (pembudayaan nilai-nilai Pancasila)


2) Sistem sosial (pembudayaan Pancasila pada kehidupan sosial)
3) Wujud fisik (Pembudayaan Pancasila dalam wujud budaya fisik)

Oleh karena itu dalam proses pembudayaan nilai-nilai Pancasila harus meliputi tiga
dimensi tersebut. Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat nampak semakin kuatnya
pengaruh individualisme, primordialisme serta fanatisme etnis, ras, golonga, maupun agama.

3. Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila


Yaitu proses pembudayaan pada domein values (nilai). Realitas nilai adalah merupakan
sesuatu yang hanya dapat dipahami dan dimengerti oleh manusia. Misalnya nilai KeTuhanan,
selain pengertian KeTuhanan juga harus dihubungkan dengan realitas kehidupan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misalnya sikap toleransi, tidak memaksakan
keyakinan beragama pada orang lain, dan sebagainya.

4. Pembudayaan Pancasila pada Kehidupan Sosial

Yaitu proses pembudayaan Pancasila dalam kehidupan sosial-budaya secara kongkrit.


Dalam hubungan ini realisasi Pancasila dilakukan secara langsung dalam kehidupan
masyarakat secara kongkrit. Misalnya praktek realisasi musyawarah mufakat, sikap toleransi,
sikap tenggang rasa, realisasi kemanusiaan, misalnya membantu warga yang sedang kesulitan
dan lain sebagainya.

5. Pembudayaan Pancasila dalam Wujud Budaya Fisik

Yaitu pembudayaan nilai-nilai Pancasila secara langsung dalam wujud kebudayaan fisik.
Misalnya pada kaos dengan gambar simbol nasionalisme, semboyan, kebangsaan dsb. Secara
lebih luas, dapat dilakukan pada benda budaya lain seperti buku, buku cerita anak, gantungan
kunci, patung, pakaian, lukisan, dan sebagainya.

2.7 Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila

Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa
semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan
baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur
permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah
itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada).
Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu di aktualisasikan dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus
kita pertahankan tanpa mengenal perubahan? Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya
3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas
dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak,
bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang
bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan
eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai
dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat,
maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga
masyarakat.

Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental
merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk
kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan
harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada
nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik
dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang
dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental
merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga
proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang
menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa
cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis
terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh
organisasi kekuatan social politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan
ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.
Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas.

Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai
praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya
bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program
atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas
pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti
pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang
amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika
pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut
akan kehilangan kredibilitasnya.

Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi
suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka
terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat
inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut. Untuk menjaga konsistensi dalam
mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka
perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan
Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual
(Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan
individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam
bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.

Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak


transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi
kategori imperatif (berupa normanorma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses
tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang
berupa pengurangan, penambahan, dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110-111).
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasila sebagai ideologi bersifat
futuralistik.

Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-
citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke
dalam kehidupan praksi kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana.
Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan
yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam
berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan
pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga
tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian
menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman,
meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap
dan abadi.

Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu
terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak
hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi
mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi
mungkin perlu ditinggalkan. Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami
pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang
ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri
Pancasila.

Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai


pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamic). Potensi dalam
pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah.
Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan
aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah.
Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat
dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai
realitas merupakan sumber daya untuk proses kemenjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan
dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan
perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi
kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan
penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara
orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara,
yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk
memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis
pasalpasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi;
faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk
memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus
menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup
keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).

Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat
yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses
perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan
kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang
terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber
pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai
atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan
transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi,
terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan
negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga
terhadap masalah ideologi. Dalam kaitan ini, M.Habib Mustopo (1992: 12) menyatakan,
bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama
didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan
di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar
bangsa semakin erat dan luas.

Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat
kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan
bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa
ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan
manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu
pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.
Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau
dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai
asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolaholah menganggap bahwa ada eksistens yang
bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy
of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya
kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama
terhadap gagasangagasan, ide-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau
menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga
tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus
menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11).
Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka
terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi,
pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya.
Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru
dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif
baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi
pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya
yang berasal dari luar.

Prof. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar
tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar
tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan
selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap
pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem
filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat
Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990:
229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang
dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa
mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan
keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang
tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa
mendatang.

Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar
pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi,
bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-
nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau
ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika
yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai
alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi
kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi
antar negara pada umumnya. Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi.

Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim
hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka.
Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup
diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna
yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses
akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideology Pancasila akan menunjukkan
sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang
berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik.

Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi
nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial,
budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak apriori menolak
bahanbahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilainilai yang
dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57),
bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup
sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat
negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf,
sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk
menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam
pengembangan dirinya. Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan
bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya.

Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif
dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial
dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu,
bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa,
sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional.
Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi
dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, system masyarakat dunia
(Sastrapratedja, 1996: 3). Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang
mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek
kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya”
dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan
budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yang
terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil
akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus
tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia
tidak mandeg, melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu
memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam
memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat
selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya citacita di
masa depan.

Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang


terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau
sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994:
76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa
yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang.
Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut
dalam satu kesatuan yang integral. Teori hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung
pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata
bila dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak. Setiap relitas yang
sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi materi bagi bentuk yang lain, sehingga
setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali
namun perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada
realitas yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

2.8 Implementasi Nilai-Nilai Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idil bangsa Indonesia, dewasa ini dalam
zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama
lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari
ideologi Negara dalam format politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap
pancasila. Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus bukan
dalam pengertian keabsahan substansialnya, tetapi dalam konteks implementasinya.
Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara
bukan hanya bersal dari faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.

Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti
negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi
manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki
cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan
pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa. Implementasi pancasila dalam kehidupam bermasyarakat pada
hakikatmya merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan bangsa. Adapun
pengimplementasian tersebut di rinci dalam berbagai macam bidang antara lain politik,
ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan kemananan (POLEKSOSBUDHANKAM) serta
aspek Hak Asasi Manusia (HAM)
1. Implementasi Pancasila dalam Bidang Politik
Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasar-kan pada dasar
ontologis manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah
sebagai subjek Negara, oleh karena itu kehidupan politik harus benar-benar
merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia. Pengembangan politik Negara
terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas
sebagaimana tertuang dalam sila-sila pancasila dam esensinya, sehingga praktek-praktek
politik yang menghalalkan segala cara harus segera diakhiri.

2. Implementasi Pancasila dalam Bidang Ekonomi


Di dalam dunia ilmu ekonomi terdapat istilah yang kuat yang menang, sehingga
lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas dan jarang
mementingkan moralitas kemanusiaan. Hal ini tidak sesuai dengan Pancasila yang lebih
tertuju kepada ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistic yang mendasarkan
pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas (Mubyarto, 1999). Pengembangan
ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan, demi
kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas
kekeluargaan seluruh bangsa.

3. Implementasi Pancasila dalam Bidang Sosial dan Budaya


Dalam pembangunan dan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya di
dasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi di
segala bidang dewasa ini. Sebagai anti-klimaks proses reformasi dewasa ini sering kita
saksikan adanya stagnasi nilai social budaya dalam masyarakat sehingga tidak
mengherankan jikalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai gejolak
yang sangat memprihatinkan antara lain amuk massa yang cenderung anarkis, bentrok
antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya yang muaranya adalah masalah
politik. Oleh karena itu dalam pengembangan social budaya pada masa reformasi dewasa
ini kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai
yaitu nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika pancasila pada hakikatnya
bersifat humanistic, artinya nilai-nilai pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber
pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya.

4. Implementasi Pancasila dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara


Pada hakikatnya adalah merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-
hak warga negara maka diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam
rangka mengatur ketertiban warga maupun dalam rangka melindungi hak-hak warganya.
Melihat kembali kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan kehendak dalam mengisi kemerdekaan RI
yakni sebagai berikut:
a. Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b. Memajukan kesejahteraan umum / bersama
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
d. Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang
berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial.

6. Implementasi Pancasila dalam Aspek Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi


Manusia
Masih jauh impian dengan kenyataannya. Ketika hak-hak sebagai warga negara
masih sangat sedikit yang menikmati, namun kewajibannya harus tetap dilaksanakan.
Dilihat dari pasal kelima seharusnya saat ini hak warga negara lebih diperhatikan,
misalnya hak yang paling mendasar yakni Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia
adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku
seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, agama, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki
wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas
HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum
terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat
terwujud ke arah yang lebih baik. Di Indonesia ini pelanggaran-pelanggaran terhadap
HAM menyebabkan banyak rakyat yang sangat menderita. Contoh nyata akibat
pelanggaran tersebut adalah Kemiskinan.
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan
kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Hal
ini sebenarnya didasari oleh rendahnya kualitas SDM Karena latar belakang pendidikan
yang masih tergolong rendah dan kualitas moral para pemimpin yang tidak baik.
Maksudnya adalah ketidak merataan pembangunan dibeberapa daerah sehingga beberapa
wilayah di Indonesia memiliki nilai kemiskinan yang rendah sedangkan daerah lainnya
memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Jadi ini adalah bukti tidak adilnya pemerintah
terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang menyebabkan kemiskinan.
Ketimpangan dalam pendidikan, dimana banyak anak usia sekolah harus putus
sekolah karena biaya, mereka harus bekerja dan banyak yang menjadi anak jalanan.
Walaupun sudah diberlakukannya beberapa program untuk mengurangi biaya sekolah
atau bahkan membebaskan biaya sekolah BOS (Biaya Operasional Sekolah) tapi
kenyataannya pem-bagiannya masih belum merata diseluruh wilayah Indonesia dan
masih banyak dipotong oleh pihak-pihak tertentu.
Ketimpangan dalam pelayanan kesehatan, dimana persoalan keadilan dalam
kesehatan masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin Indonesia. Didalam hal ini
maksudnya adalah belum dirasakan manfaat PJKMM (Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin) atau ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) sehingga
munculnya anggapan “orang miskin dilarang sakit” karena biaya berobat di Indonesia
bisa dikatakan cukup tinggi dan hanya untuk kalangan menengah ke atas.

2.9 Realisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Merupakan butir sila pertama dari ke-5 sila yang ada dalam Pancasila. Sila
pertama ini merupakan induk sila-sila kedua, tiga, empat, dan lima dimana sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi dasar bagi seluruh umat beragama di Indonesia
dalam menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bermasyarakat,
beribadah, bersosialisasi dan dalam aspek kehidupan lainnya. Dalam sila ini bangsa
Indonesia mengaku adanya Tuhan Sang Pencipta dan mengakui bahwa seluruh alam
semesta ini adalah ciptaan-Nya. Realisasi:
a. Beriman dan bertaqwa yaitu secara sadar patuh melaksanakan perintah
Tuhan. Setiap umat harus mempelajari agama dan mengamalkannya.
b. Saling menghormati dan bekerja sama dengan pemeluk agama lain tanpa adanya
sekat atau batas agama.
c. Saling menghormati dan bertoleransi dalam menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
d. Tidak memaksa suatu agama kepada pemeluk agama lain.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Baradab


Butir kedua dari Pancasila yang mengandung pengertian bahwa seluruh manusia
merupakan makhluk yang beradab dan memiliki keadilan yang setara dimata Tuhan.
Yang intinya seluruh manusia itu sama derajatnya baik si miskin maupun si kaya, yang
berpangkat maupun tidak mereka tetap sama. Realisasi:
a. Mengakui persamaan hak, derajat, dan kewajiban antar sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Seperti gemar mengikuti kegiatan donor
darah, menyantuni anak yatim, dan lain-lain.
f. Berani membela kebenaran dan keadilan.
g. Mentaati hukum dan tidak diskriminatif.

3. Persatuan Indonesia
Sila ketiga dari Pancasila yang mengandung makna bahwa Indonesia ini adalah
negara persatuan dan menjunjung tinggi nilai kesatuan. Ini di buktikan dengan kehidupan
di seluruh penjuru Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke yang beraneka ragam
suku, budaya, ras, dan agamanya tetapi metap mengakui bahwa mereka adalah satu yaitu
bangsa Indonesia, yang terkenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika “walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Realisasi:
a. Menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
b. Rela berkorban demi bangsa dan Negara: bekerja keras, tidak KKN.
c. Cinta tanah air Indonesia : meningkatkan prestasi di segala bidang.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia: percaya diri sebagai orang Indonesia

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan
Dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, pasti terjadi banyak perbedaan-
perbedaan yang mencolok dalam setiap aspek kehidupan, hal ini dikarenakan tidak ada
manusia di dunia ini yang sama. Untuk itu sila ke empat Pancasila ini menjelaskan
tentang budaya demokrasi, bahwa perbedaan itu hal yang wajar dan tidak perlu
diperdebatkan dan setiap warga negara Indonesia berhak dan diberi kebebasan dalam
menyampaikan pendapatnya baik pribadi maupun dimuka umum. Bahkan kebanyakan
orang mengatakan bahwa yang membuat indah itu adalah perbedaan, tanpa berbedaan itu
dunia ini akan terasa monoton. Realisasi:
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi
b. Tidak memaksa kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan budaya musyawarah mufakat dalam setiap keputusan bersama.
d. Menghormati setiap pendapat yang ada, dengan prinsip bahwa
perbedaan pendapat itu wajar.
e. Aktif dalam musyawarah, memberikan hak suara, dan mengawasi wakil rakyat.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Seluruh manusia di dunia ini memiliki keadilan yang sama tanpa membedakan
status sosial atau ukuran apapun. Di Indonesia seluruh keadilan rakyat di jiwai oleh sila
kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang berarti seluruh
rakyat indonesia memiliki keadilan dan derajat yang sama baik dimata pemerintah
maupun di depan hukum. Realisasi:
a. Menjunjung tinggi keadilan.
b. Bersikap adil terhadap sesama (tidak pilih kasih).
c. Menolong sesama manusia
yang membutuhkan (tidak egois dan tidak individualis).
d. Menghargai karya orang lain (tidak membajak dan membeli produk bajakan).
e. Bekerja keras (tidak pasrah dengan takdir Tuhan).

Dari uraian nilai-nilai kelima butir Pancasila itu kita dapa melihat betapa apik dan
luhur nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sehingga sangat disayangkan apabila
nilai-nilai itu hanya menjadi wacana belaka dan tidak terealisasikan sebagaimana
mestinya dalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya kesadaran dan sikap menjiwai
Pancasila yang kurang.

Nilai-nilai tersebut mungkin bisa merusak ke dalam hati dan jiwa rakyat Indonesia
apabila nilai-nilai itu telah tertanam sejak dini mulai dari tiap-tiap individu yang hidup di
tengah keluarga, sekolah, dan berada di tengah-tengah masyarakat.
III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai filsafat bangsa, sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia dan fungsi lainnya, memiliki realisasi yang diambil dari nilai-nilai
pancasila itu sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan secara nyata
bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilainilai agama yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri sebelum membentuk negara. Oleh karena itu, realisasi
pancaisla sangat penting karena pancasila sebagai dasar filsafat, pandangan hidup pada
hakikatnya merupakan suatu sistem nilai, yang pada giliranya untuk dijabarkan, direalisasikan
serta diamalkan dalam kehidupan secara konkrit dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini penulis dapat menegetahui lebih medalam tentang Realisasi
pancasila yang subjektif maupun objektif, penjabarannya, serta bentuk realisasi nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kepada pembaca terutama Dosen pembimbing apabila
dalam penulisan makalah ini ada kejanggalan/kesalahan baik penulisan maupun makna dalam
bacaan, untuk memberikan masukan baik kritik ataupun saran kepada saya selaku penulis, agar
kedepannya dapat menulis karya ilmiah yang lebih baik lagi. Karena pada dasarnya manusia tak
luput dari kesalahan dan kebenaran itu datangnya dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Kaelan, MS. Pendidikan Pancasila, 2014. Paradigma: Yogyakarta

http://fah.uinsgd.ac.id/web/public/pdf/file_1510801002.pdf

http://www.proceedings.id/index.php/pkn/article/view/744/742

https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/8-PendidikanPancasila.pdf

http://eprints.uad.ac.id/9432/1/Pancasila%20Dwi.pdf

https://www.slideshare.net/irmafardik/bab-realisasi-pancasila

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PNCASILA%20OK.pdf

Anda mungkin juga menyukai